DON'T BE TOO FAR
Cast : Jean Kirschtein, Marco Bott
Rating : T-M
Genre : Romance, hurt-comfort
Disclaimer : Isayama-sensei, jangan bosen2 dikirimin credits ya dari saya hahahaha~
Warning : YAOI LEMON! messed-up words! awkward! OOC, typo. Don't like, don't read!
-Chapter 1-
3D Maneuver Gear adalah alat yang digunakan para prajurit untuk berperang melawan Titan. Terdiri dari 2 tabung gas, kumparan kawat baja, dan 6 pasang bilah pedang yang ditarik dengan gagang berpelatuk. Fungsi dari pelatuk itu adalah untuk menembak keluar kawat baja yang nantinya dipakai para prajurit untuk melompat ke sana kemari demi menghindari serangan Titan. Sesuai yang sudah diajarkan, kita tidak bisa melawan Titan jika sedang berada di darat. Kalau pun harus berada di darat, harus mengendarai kuda. 3D Maneuver Gear adalah alat untuk bergerak paling utama selain kuda.
Pelatihan penggunaan alat perang itu dilaksanakan di hutan pelatihan Akademi Militer. Selain penggunaan secara individu, para prajurit juga dituntut untuk bisa berperang secara tim. Pelatihan ini sudah menjadi agenda wajib para prajurit baru yang sedang menuntut ilmu di sini. Ini adalah ilmu dasar yang harus dikuasai semua prajurit. Kalau pun nanti kau memilih masuk ke jajaran Polisi Militer yang sudah dipastikan tidak ikut dalam peperangan melawan Titan, kau harus tahu bagaimana cara menggunakan alat perang ini jika suatu hari dibutuhkan.
"Jean! Kita harus ke timur! Jangan sampai salah jalur untuk keluar!" seruku kepada Jean di tengah-tengah sesi latihan. Kami melompat cukup dalam ke hutan, berburu replika Titan demi mendapatkan nilai.
Jean berhasil mendapatkan 1 replika Titan dan menebas tengkuknya. Dia berseru membalasku, "Ikuti aku, Marco! Rute ini sudah benar!" Aku melihat dia melompat ke arah berlawanan dari jalur yang kumaksud.
"Tetapi aku melihat Mikasa ke Timur!" aku berseru lagi setelah melompati dua pohon besar untuk mengikuti Jean. Dia terlalu cepat untuk diikuti.
"Sudah ikuti aku saja, Marco! Aku tidak akan salah menentukan arah!" Jean melompat lebih cepat dan kali ini lebih jauh dariku.
Aku terpaksa mengeluarkan tekanan gas lebih banyak supaya bisa cepat menyusulnya. Selama mengikutinya, aku sudah mendapatkan kira-kira 7 replika Titan berukuran besar. Tetapi kali ini aku mengalami kendala soal kecepatan. Jean bisa bergerak lebih cepat dan lebih lincah dariku. Kadang sulit mengikutinya kalau dia sudah terlalu banyak bergerak.
"Jean, tunggu aku!" aku berseru, namun sepertinya dia tidak mendengarku. Aku tidak mendengar sahutan apa pun darinya.
Dari posisiku ini, aku bisa melihat Reiner dan Annie juga tengah berusaha mengikuti Jean. Sudah kuduga, mereka percaya sekali dengan insting Jean menemukan rute tercepat keluar dari hutan. Meski mereka berada di tim yang berbeda, tetapi mereka tidak ragu mengikutinya. Aku terus melompat, aku sangat berharap masih punya sisa gas saat berhasil keluar dari hutan.
Karena terlalu cepat melompat, aku sampai tidak memperhatikan apa yang ada di kiri dan kananku. Ketika aku hendak menembak kawat baja ke salah satu pohon, bahu kananku terkena cabang pohon yang besar dan tajam. "Aah! Aaaaack!" aku berteriak karena ujung runcing cabang itu menembus jaket seragamku dan menimbulkan torehan luka dalam di bahuku. Aku kehilangan keseimbangan sehingga aku tidak tahu ke mana aku mengarahkan kawat bajaku.
Dan tembakanku meleset, "Oh, tidak! Huaaaaa!"
Aku melayang jatuh dari ketinggian beberapa meter, satu kawat baja berhasil kutembak dan menahan tubuhku. Sekarang aku menggantung dengan posisi kepalaku menghadap tanah. Salah gerak sedikit saja, kawat bajaku lepas dan kepalaku akan membentur tanah dari ketinggian kira-kira 2 meter.
"Marco!" seseorang berseru memanggilku tidak jauh dariku. Aku melihat Armin menyeruak dari balik pohon besar dan langsung mendarat tepat di bawahku. Dia bersama Bertholdt, "Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"
"Lakukan sesuatu, Armin!" aku berseru padanya. Aku sudah tidak tahan lagi dengan posisi seperti ini dan bahu kananku terasa perih, "Aku terluka, aku tidak bisa menggerakkan tanganku!"
"Tenanglah! Aku akan menolongmu, Marco!" laki-laki berambut pirang itu kemudian melompat ke pohon tempat aku menancapkan kawat bajaku. Bertholdt berada di bawah dan bersiap menangkapku. "Kau siap, Bertholdt?" tanya Armin.
"Ya, aku siap!" sahutnya.
Armin mencongkel kawat baja yang berat itu dengan pedangnya dan aku pun terhempas ke bawah. Berholdt menangkapku, kami sama-sama jatuh karena dia tidak kuat menopang tubuhku yang terhempas kencang dari atas. Setelah berada di tanah, aku baru merasakan sakit yang luar biasa di bahu kananku. Armin membantuku membuka jaketku untuk melihat lukanya. Dia mendesis, "Ini mengerikan. Kau kena di mana, Marco?"
"Di pohon yang tadi kau pijak, Armin," kataku menahan sakit. "Aku melompat terlalu cepat mengikuti Jean. Aku tidak melihat cabang itu, sehingga tanpa sadar aku mengenainya dan inilah yang terjadi padaku."
"Berarti sekarang kita sudah berada di rute Jean," kata Bertholdt. "Sebentar lagi kita keluar. Kau bisa tahan sakitmu dulu, Marco?"
"Ya, sedikit," jawabku dan aku mencoba berdiri. Aku masih mengeluh kesakitan, "Rasanya dalam sekali lukanya."
"Jean bisa marah besar melihatmu seperti ini, Marco," kata Armin sambil menopang tubuhku dengan tangan kecilnya.
"Aku baik-baik saja, Armin," kataku mencoba meyakinkannya. Walau yah, aku juga tahu itu yang akan terjadi nanti. Jean pasti marah kepadaku karena tidak berada di dekatnya, lalu kembali kepadanya dalam kondisi terluka.
"Tidak ada waktu, ayo kita keluar. Tahan sakitmu sebentar, Marco," Bertholdt lalu menembak satu kawat baja ke pohon besar, begitu juga dengan Armin, agar mereka bisa mengangkatku untuk keluar dari sini. Perasaanku tidak enak dan perutku terasa mual.
Lega sekali rasanya sudah bisa keluar dari hutan. Komandan Keith sempat memarahi kami bertiga karena terlambat keluar. Aku yang menjelaskan duduk perkaranya dan aku lega dia mengerti keadaannya. Dia lalu memanggil 2 orang petugas kesehatan untuk memeriksa lukaku. Ketika sedang diperiksa, aku melihat Jean menyeruak di antara para prajurit yang sedang beristirahat di pinggiran hutan. Dia menghampiriku dan menatapku cemas.
"Apa yang terjadi, Marco?" tanya Jean, sedikit gemetar karena dia tidak menyangka harus melihatku seperti ini. "Bukankah kau berada di belakangku? Bagaimana mungkin kau terlambat-"
"Jean, maafkan aku. Sungguh…" aku buru-buru menyela. "Aku tadi mengikuti rute-"
"Aku dengar penjelasanmu nanti," tiba-tiba dia memotong pembicaraanku. "Setelah kau menutup lukamu, ikut aku ke markas." Dia melepaskan jaket seragamnya lalu disampirkan di pundakku. Dia pergi meninggalkanku tanpa mengatakan apa pun lagi.
"Tunggu, Jean!" aku sangat berharap dia berada di sini denganku sekarang. Aku tidak mengerti mengapa dia bersikap seperti itu padaku. Aku sudah menduga dia akan marah, dan aku sudah siap menerima segala amarahnya berkenaan dengan kondisiku sekarang.
"Aku akan bicara dengannya," tiba-tiba Armin menghampiriku bersama Eren.
"Tidak usah, Armin," aku menampiknya. "Biarkan dia seperti itu dulu. Nanti kucari waktu yang tepat untuk berbicara dengannya."
"Tetapi dia tidak boleh bersikap seperti itu padamu, Marco!" tukas Eren. "Kau bagian terpenting di timnya. Seharusnya dia bisa sedikit memberikan pengertian kepadamu."
"Hahahaha…begitulah Jean, Eren. Kalian tidak usah khawatir," kataku kemudian bergabung dengan Armin dan Eren meninggalkan hutan untuk kembali ke markas. Aku merapatkan jaket seragam milik Jean yang disampirkan dipundakku. Aku mencium aroma khas tubuhnya dan menenggelamkan separuh wajahku di balik kerahnya.
Sorot mata Jean tadi membuatku agak takut. Nada bicaranya pun terkesan dingin. Bagaimana aku akan berhadapan dengannya nanti? Paling tidak, bagaimana aku harus bersikap di depannya saat hendak mengembalikan jaketnya ini?
Ketakutanku ini pun kemudian menjadi kenyataan…
Jean terkesan menghindariku saat beraktifitas di markas. Di kelas, di perpustakaan, di mana pun, dia hanya diam dan tidak mau berbicara apa pun kepadaku. Armin dan Connie sudah mencoba memancingnya berbicara, tetapi dia malah membentak mereka tanpa alasan.
Saat makan malam, Jean pun masih bersikap sama seperti tadi. Biasanya kami akan bercerita ini dan itu berkenaan dengan pembelajaran dan sesi latihan hari ini. Atau kami akan bergabung di meja Connie dan Eren untuk berbincang-bincang santai dengan mereka. Tetapi momen kami berada di ruang makan ini menjadi momen yang sangat canggung.
"Bagaimana bahumu, Marco?" tanya dia setelah menegak habis minumannya. Nada bicaranya masih terdengar dingin di telingaku.
"Ma-masih sakit…" jawabku sedikit canggung.
"Selesai makan, langsung ke kamar dan beristirahat. Kau akan menambah parah lukamu jika tidak beristirahat cukup," hanya itu yang dia katakan sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang makan.
"Jean, tunggu sebentar!" aku mengejarnya. Dia berhenti di pintu keluar ruang makan dan menoleh kepadaku. Kedua matanya menatapku dingin.
"Kau…kenapa, Jean?" tanyaku ragu-ragu.
"Hah? Aku tidak mengerti, Marco," jawabnya terdengar tidak peduli.
"Mengapa kau begitu dingin padaku?"
"Tsk! Jangan tanyakan itu lagi! Cepat kembali ke kamar dan beristirahat, Marco!" dan kali ini dia benar-benar meninggalkanku meski aku memanggilnya.
Aku menghela nafas dan merasa kecewa tidak bisa berbicara banyak dengannya. Di kepalaku muncul berbagai macam hal yang ingin kuutarakan, tetapi tak satu pun bisa kusampaikan padanya. Aku jadi membenci diriku sendiri karenanya. Aku bahkan tidak tahu kenapa Jean bersikap dingin begitu padaku. Aku mencoba menelaah apa yang sudah kulakukan kepadanya, baik sengaja maupun tidak.
Apa semua ini berkenaan dengan aku yang sedang terluka? Apa dia mencemaskanku? Tetapi mengapa begitu sikapnya?
-to be continue-
A/N : yep yep, jean/marco lagi people! Saya cinta banget pairing ini. saya lagi mencoba sesuatu yang lebih berani, bwahahaha~.
Terpaksa dipotong ke chapter 2 soalnya takut terlalu panjang kalo dijadiin 1 chapter. Maap ya… *sujud*
Oia, saya gak tau banyak tentang penggunakan 3DMG. Maap kalo ada salah ulasan di pembukaan. Yang saya tulis berdasarkan yang saya sering lihat di anime ^^a
Chapter 2 in rated-M, coming up next!
