Aku tidak bisa melihatmu seperti kamu melihat kepadaku,
Aku tidak bisa berbicara padamu dengan nada biasa sepertiku pada orang lain,
Lantas bagaimana?
Bagaimana cara menyembunyikan perasaan ini darimu?
Pernah mendengar hal menarik tentang Sakura? Warna yang varian serta aroma yang ternyata tidaklah serupa. Dan tahukah pula bahwa pohon sakura memiliki nilai masing-masing berbeda dengan setiap sejarah bagaimana pohon tersebut bisa tumbuh hingga menembus dimensi waktu?
Salah satu contohnya adalah Miharu Takizakura atau pohon air terjun sakura dimana orang sering kali menganggap sebagai satu dari tiga pohon sakura yang paling di hormati di Jepang. Pohon ini begitu besar. Dia terletak di kota Tamura, Prefektur Fukushima atau lebih tepatnya di daerah Miharu-machi.
Nama Miharu sendiri didapat dari daerah di mana pohon tersebut ditanam, sedang kata Takizakura memiliki artian air terjun sakura karena penampakannya yang demikian lebar menjuntai layak sebuah air terjun.
Seperti pada umumnya pohon sakura selalu dianggap menjadi sebuah pemandangan menakjubkan saat dimana mereka mekar dan kemudian berguguran meninggalkan dahan-dahannya, pun khususnya dari pohon berusia seribu tahun lebih ini dan memiliki tinggi sepanjang dua belas meter dan lebar berkisar dua puluh lima meter.
Perlu diketahui, Miharu Takizakura juga telah di akui sebagai salah satu kebesaran yang di miliki Jepang, pemerintahpun telah mengakuinya secara resmi. Karena keunik serta keindahan yang dimiliki. Selain itu pohon ini menjadu salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun dari luar, tak luput kehebatan daya tarik Miharu Takizakura disertai akan sejarahnya. Konon pohon miharu sering di pergunjingkan sebagai pohon permohonan pada roh-roh yang sebagian penduduk saling percaya bahwa itu ialah roh dari para kaisar beratus-ratus tahun silam.
Nao menguap, yang barusan dikatakan adalah berasal dari mulut guru tua pengoceh di depan kelas. Bosan sekali rasanya. Ini sudah lebih dari waktu seharusnya dan lelaki berbaju putih hitam itu nampak tidak peduli sama sekali dengan keefektipan waktu.
Bisa dikatakan pelajaran sejarah terbilang cukup seru, tapi apapun dan sebagaimanapun tidakah tetap terasa sebal jika sampai melupakan waktu pulang?
Diliriknya ke sekeliling, semua nampak penuh minat mencatat dan mendengarkan. Betul-betul membosankan! Nao berpikir, seperti apa cara agar guru menyebalkan itu tersadarkan? Memberi tahu secara gamblang takut dia dianggap tidak menyukai mata pelajaran ini. Di biarkan sampai selesai juga tidak mungkin, dia punya kegiatan selain bersekolah.
Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja, dengan iseng Nao tersenyum dan membuka suara dengan sedikit keras, "Ritsu, Takano-senpai sudah menunggu kita dibawah tuh. Gimana kalau sepulang ini kita sekalian ajak buat pergi ngelihat Miharu Takizakura? Kayaknya aku jadi tertarik nih."
"Nao.. Pelankan suaramu." bisik Ritsu di sebelahnya, "ya ampun aku lupa, habisnya Takano-senpai kelihatan udah bosan nunggu sih, tuh liat aja sendiri." kali ini Nao ikutan berbisik dengan mata yang melirik bawah jendela, tentu dengan sengaja ia pastikan orang lain bisa mendengar.
Benar saja, Miyagi selaku guru pengampu segera melirik ke arah jam dinding. Merasa telah banyak menyita waktu lelaki itu memilih segera pamit undur diri.
"Hahaha untung yah aku sadarin dia,"
"Nao! Miyagi-sensei belum jauh..!"
Nao terkekeh, "tidak apa-apa dong Ritsu. Emang kamu mau disini terus? Dan rela bikin Takano-senpai nungguin?"
Ritsu memerah, Nao tahu perihal sukanya Ritsu pada Takano. Karena ia dan Ritsu sudah bersahabat sedari kecil. Hal serupa pun sama dengan Takano. Hanya saja umur mereka selisih dua tahun. Jika Nao dan Ritsu adalah junior kelas satu berumur lima belas maka Takano dan Haitani adalah kelas tiga dengan usia tujuh belas. Ah ya, ada Haitani juga dalam kumpulan mereka.
"Ayo pulang!",
Nao mengangguk ceria, "yosh-yosh pulang lalu bersiap untuk mengunjungi pohon Miharu dan kita akan mengajak para senpai,"
"Tunggu Nao!", Ritsu kini berlari mengejar sahabatnya yang seenak hati pergi mencari Takano dan Haitani.
Sesampainya di lantai dasar, Nao tersenyum lebar mendekati para senpai yang memang sepertinya sudah menunggu dia dan Ritsu, "Yo, Masamune. Yo, Arata."
Takano dan Haitani melirik, yang menyapa barusan adalah Nao. Lelaki itu memang terbiasa memanggil mereka dengan nama depan tanpa embel-embel 'senpai', tidak seperti Ritsu yang selalu malu-malu dan formal terhadap para seniornya.
"Ada apa?" Takano membuka suara, di tatapnya Ritsu yang menunduk di sebelah Nao. "Masamune aku ingin kita berempat pergi mengunjungi Miharu Takizakura. Gimana? Gimana?"
"Kapan itu, Nao?" kali ini Haitani yang membuka suara. Dengan penuh semangat Nao menjawab, tentu saja hari ini."
"Malam ini? Memangnya harus sekarang? Perjalanan kereta bisa sampai tiga jam."
"Ma-sa-mu-ne peka sedikit dong, inikan akhir pekan. Ritsu kepengen jalan-jalan tuh," Nao menyenggol Ritsu dengan sikutnya. Sontak Ritsu gelagapan karena gugup. "Ti-tidak senpai, aku tidak."
"Besok saja ya Ritsu, biar waktunya lebih panjang. Sekalian aku juga ingin mempersiapkan sesuatu,"
"Apa itu Masamune?"
Takano menggeleng, "rahasia. Ritsu ayo kita pulang bersama."
"Baik senpai.."
Takano mengapit tangan junior manisnya dengan penuh kasih. Sesekali Takano juga meliriki Ritsu yang selalu menundukan wajah.
Dilihat dari manapun semua pasti tahu jika Takano dan Ritsu itu saling menyukai, terlihat jelas dari sikap keduanya yang memanglah sangat gamblang.
"Mereka sangat cocok ya? Aku harap mereka segera jadian."
Haitani melirik kearah Nao, "begitukah? Kurasa Ritsu terlalu pemalu, dia tidak akan sanggup dengan Takano yang sedikit ya sedikit nakal, ya kan?"
"Haha tapi lucu juga melihat seorang Masamune takluknya sama pria imut seperti Ritsu."
"Hn. Aku pikir juga begitu. Ngomong-ngomong aku duluan ya,"
"Arata-senpai, pulang bersama yuk!" Nao dengan semangat menggandeng tangan Haitani dengan berani. "Bodoh, kita beda arah! Mau sampai kapan pula kami mengulang kejadian seperti ini?"
Nao tertawa, "ya kalau begitu aku mau menginap saja. Ayo kita pulang!"
Haitani mendesah lelah, inilah Nao yang seenaknya. Tidak bisa dibantah ataupun di tolak. Bukan sekali, bahkan bisa di hitung ratusan kali junior itu selalu begitu, namun Haitani tidak keberatan sama sekali. Nao adalah sahabatnya, Haitani sayang terhadap Nao.
Takano menyodorkan setangkai bunga kepada Ritsu, lelaki tujuh belas tahun ini sedang menyatakan cintanya. "Sudah lama sekali aku menyukaimu. Ettoo aku tahu kita ini bersahabat, aku juga tahu kitapun adalah tetangga, dan parahnya aku tahu kita sama-sama lelaki. Tapi, aku betul suka kamu. Aku betul sayang dan ingin pacaran sama kamu." pernyataan cinta Masamune begitu tiba-tiba, Ritsu sampai menjatuhkan telepon selularnya. Ia senang, teramat senang. Tapi cinta bagi mereka yang bersahabat tidak semudah itu. Cinta itu terlalu mustahil.
"Terima.. Terima.." Nao berseru gembira, ia akan sangat senang dengan berpacarannya Takano dan Ritsu, dan Nao pun yakin Haitani akan berpikiran sama.
"Terima saja Ritsu," segera Ritsu melirik pada suara Haitani. Kakak kelasnya itu sedang tersenyum penuh arti.
Mungkin benar Ritsu menyukai Takano, tapi Ritsu juga tahu ada seorang lain yang juga menyukai pujaan hatinya. Seorang itupun akan terluka jika dia dan Takano berpacaran.
Ritsu menggeleng sedih, menundukan badannya sembilan puluh derajat. "Senpai, sebetulnya aku juga menyukai senpai. Tapi kita ini adalah sahabat. Cinta di antara sahabat itu mustahil. Maafkan aku. Aku tidak bisa. Maaf.. A-aku-aku pulang duluan, se-sepertinya aku tidak enak badan.." yang diputuskan tidak selaras keinginan, Onodera Ritsu menolak Takano begitu saja. Sementara Takano terdiam tidak bergeming sama sekali. Pun Nao dan Haitani yang terkejut tidak pernah menyangka dengan jawaban Ritsu.
"Aku pikir Ritsu hanya malu, aku akan bicara dengannya nanti," kata Haitani, ia menepuk-nepuk pundak Takano. Lelaki itu hanya tersenyum kecut merespon dukungan sahabat-sahabatnya. "Terimakasih Arata,"
Besoknya Masamune tidak masuk sekolah, Ritsupun serupa. Entah saling mengetahui atau tidak yang jelas keduanya sedang saling terpukul.
Haitani sudah melihat Takano, untunglah lelaki itu baik-baik saja di rumah. Katanya hanya sedang malas berangkat sekolah, sesederhana itu jawabannya. Meski Haitani begitu tahu seorang Ritsu yang merupakan tetangganyalah yang menjadi sebab.
Selesai dengan Takano, Haitani mengunjungi rumah Ritsu. Ada tissue berserakan. Kamar acak-acakan serta tampilan dari Ritsu yang terlihat kacau. "Puas menyakiti diri sendiri?"
Ritsu menoleh, ia abaikan Haitani lalu menangis kembali sambil terisak, "Apa maksud senpai?"
"Kenapa kau menolak Masamune?"
Ritsu menggeleng, "kita ini bersahabat. Dan aku tidak menyukainya dalam artian cinta."
Haitani mendesah napas, ia tarik Ritsu supaya merubah posisi menjadi duduk. "Kau bohong! Jelas sekali terlihat kau menyukai Masamune." Ritsu menggeleng. "Aku-a-aku tidak!"
"Kau ini benar-benar bodoh! Kalian saling suka lantas mengapa menolaknya? Tidak tahukah bisa saja ada orang iri terhadapmu? Tidakah kau tahu bahwa Masamune juga menjadi bersedih, aku tidak ingin dia sakit karena kebodohanmu. Minta maaf sana, perbaiki jawabanmu.."
Ritsu masih terisak, "kenapa Haitani-senpai begitu peduli? apa karena senpai menyukai Takano-senpai?"
"Kalau memang iya?"
Ritsu tidak bisa menahannya. Ia menangis, ia tidak mau Takanonya di rebut. Ia tidak mau Takanonya di curi, "aku sangat menyukainya Ritsu. Tapi dia menyukaimu. Aku menerimanya dan apa kamu berpikir betapa aku ini menyedihkan telah menyerah sebelum berperang?"
"Senpai aku.."
"Beritahu dia perasaanmu,"
"Aku tidak menyukai Takano-senpai! Aku tidak peduli! Aku betul-betul tidak ingin tahu apapun tentang Takano-senpai!"
Haitani mendesah lelah, ia bingung memahami Ritsu. Tetapi sejujurnya Haitani sedikit merasa senang, mungkin ini adalah kesempatannya untuk mendekati Takano. Apakah dengan melakukan ini dia termasuk orang yang jahat?
Merasa bingung Haitani pamit pulang, ia memutuskan berjalan sendirian sampai stasiun.
Langit sudah menggelap, udara pun sedang tidak begitu baik. Rasanya galau melanda sehingga seburuk apapun cuaca, tidak begitu diperhatikannya.
Haitani masih terus berjelajah malam. Ia sungguh tidak bohong ingin membantu Ritsu, tapi dia juga betul menyukai Takano. Seandai Takano menyukainya, dia pasti akan senang. Dia pasti akan membahagiakan Takano, pasti. Tapi mengapa Ritsu menolaknya? Apakah ini memang jalan untuknya dengan Takano supaya bersatu?
Tetapi angan tetaplah angan. Dia hanya berbentuk harap yang tak terelakan. Sampai kapanpun, selamanya pasti Takano tidak akan menjawab cintanya.
"Taruh embernya disitu, iya disitu."
"Tunggu dan biarkan aku memohon terlebih dahulu." seorang lelaki saling berbicara satu sama lain, entah sedang apa Haitani tidak mengerti. Yang jelas sekarang lelaki tersebut mengitari Miharu Takizakura dengan air di sebuah ember yang entah apa. Tak lama teman dari lelaki itu tertawa menertawai, "kau ini konyol Kyou. Mana mungkin Yanase yang sudah menolakmu tujuh kali berturut-turut mau menerima hanya karena kamu menyirami pohon besar ini. Yang ada nanti kamu jadi dikira tukang kebun hahaha,"
Haitani melirik lelaki berambut sedikit keriting yang tengah terbahak-bahak, ia merasa menjadi teringat perihal dirinya juga sering mengolok-olok Takano yang sudah sedari lama menyukai Ritsu, menyenangkan rasanya saat tertawa namun dalam waktu bersamaan terasa perih ikut melanda hatinya. Dan parahnya Takano tidak pernah menyadari perasaannya.
Keesokan harinya Haitani kembali mendatangi Miharu Takizakura. Malam yang larut di tempat ini selalu sepi, menyenangkan untuk Haitani sekadar menenang perasaan.
Tidak ia sangka disana ada lelaki kemarin dengan temannya juga yang masih orang sama sedang mengulang kegiatan sama.
Rasa hati tak begitu bagus membuat urung niatnya untuk bertanya, mungkin cukup dengan mengamati dia bisa tahu dari olokan lelaki yang Haitani baru ketahui ialah bernama Zen yang intinya temannya Kyou sedang melakukan sebuah ritual konyol karena terlalu frustasi sudah di tolak adik kelasnya yang bernama Yanase.
Sedikit miris melihatnya, tetapi Haitani adalah lelaki sehat. Sebagaimanapun kondisi ia pada Takano, dia yakin tidak akan sefrustasi seperti Kyou temannya Zen.
Hari ke tiga Haitani kembali mencari tenang di malam hari dengan mengunjungi pohon tua itu lagi, dan disana ternyata Kyou masih ada dengan gigihnya tetap melakukan hal serupa. Sedangkan temannya si Zen malah asyik bermain catur dengan lelaki yang baru Haitani lihat. Pun hari ke empat dan juga hari ke lima.
Dihari ke enam Haitani disana Kyou tidak ada. Haitani rasa lelaki tinggi berambut hitam sudah menyerah, diapun tahu cinta yang bertepuk sebelah tangan pasti akan berakhir sad ending, karena hidup tidak seperti cerita fiksi. Kamu berjuang akan cinta, dan cintamu akan tersampaikan.
Besoknya Haitani tetap mendatangi Miharu Takizakura, menyesap semilir angin malam untuk menghangat relungnya yang pilu. Tapi dengan tidak di duganya Kyou ada kembali di sana sedang berbincang pada pohon besar ribuan tahun itu. Karena penasaran Haitani berniat mencuri dengar, "Kami-sama terimakasih, setelah tujuh ini Yuu menerimaku. Terimakasih, terimakasih.."
Deg,
Haitani terkejut bukan main. Apa orang yang bernama Kyou itu sungguh-sungguh? Apa cinta bisa di permainkan? Dengan berbekal rasa penasaran Haitani menyapa Kyou menanyakan cara melakukan ritual. Tidak lupa Haitani memperkenalkan diri dan meminta maaf sudah mengamati Kyou beberapa hari ini.
Kyou bilang dia harus menyirami Miharu Takizakura sambil mengitari pohon dengan air permohonan sampai tujuh kali putaran. Dan tidak lama pohon itu akan mengabulkan permohonan, merubah takdir seseorang sesuai dengan harap. Setelahnya Haitani berterima kasih. Ia yang pada awalnya mengolok malah jadi bersemangat ikut melakukannya.
Hari itu berlalu begitu saja, di hari selanjutnya Haitani kembali datang. Ia mengajukan permohonan seraya menepukan kedua tangannya di dada.
"Aku ingin Masamune menyukaiku dan berhenti mengejar Ritsu..."
