Naruto © Masashi Kishimoto.

Story(c)Raawrrr.

Warning! Standard applied.

Genre: Spiritual/Angst.

Saya tak mendapatkan keutungan material apapun terkait pembuatan fiksi ini.

For #16InoFicsChallenge2016 #12

~ Happy Reading ~


[ — Karena kesedihan dan kehilangan, dapat menumbuhkan kebencian. ]

.

1st. POV.

.

"Jangan lupa berdoa sebelum makan."

Peringatan itu selalu ayah berikan sebelum aku makan. Dan pasti hal itu aku turuti.

"Jangan lupa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah terjadi hari ini."

Dan ayah selalu berucap begitu sebelum aku tidur seraya mengusap lembut surai pirangku.

"Jangan membalas perbuatan mereka, Ino."

Ini merupakan perintah mutlak dari ayah saat aku ingin membalas perbuatan jahat teman-temanku di sekolah.

Sekedar informasi, aku merupakan korban bullying di sekolahku. Alasannya? Karena aku miskin. Alasan yang klise, 'kan?

Ya. Aku tinggal di rumah kecil yang dihiasi oleh retakan tembok dan atap yang bocor, bersama ayah. Hanya berdua.

Kata ayah, ibu meninggal sembilan tahun lalu, tepat pada waktu umurku menginjak satu tahun.

"Kenapa?" Aku bertanya pada ayah.

Kenapa aku tak boleh berbuat jahat kepada mereka sedangkan mereka dengan mudahnya berbuat jahat padaku?

"Karena Tuhan tidak suka hal itu."

Aku mendengus sebal. Namun ayah malah tersenyum. Huh?

"Tidak usah kau balas dengan kejahatan lagi. Perbuatan mereka biar Tuhan yang balas. Mengerti?"

Aku ragu.

"Yah, meskipun tidak langsung dibalas dalam waktu dekat, sih. Tapi ada satu hal yang harus kau ingat, anakku sayang. Tuhan akan selalu memberikan kebahagiaan pada umat-Nya. Tuhan tidak akan membuat umat-Nya sedih."

.

.

.

.

"Ayah bohong."

Aku berucap sendu. Air mata tak henti mengalir membasahi pipi tembamku. Mataku menatap nanar pada gundukan tanah di hadapanku.

Tempat peristirahatan terakhir ayah.

"A-ayah bilang Tuhan tak akan membuat umat-Nya bersedih."

Suaraku bergetar. Kedua tanganku terkepal erat.

"A-ayah bilang—hiks— Tuhan akan selalu memberikan kebahagiaan."

Isak tangisku berhasil lolos— lagi.

"T-tapi kenapa Tuhan tega membawamu pergi untuk selamanya ayah?"

Hatiku berdenyut sakit saat memori tentangku dan ayah muncul dalam benakku.

"Kenapa Tuhan tega, ayah?! Kenapa Dia tega membiarkanku di sini sendirian?! Aku tak punya siapa-siapa lagi! Aku— aku—"

Tak bisa kulanjutkan kembali kata-kata penuh emosi barusan. Tubuhku bergetar hebat karena menahan isak tangis. Kepalaku sengaja aku tundukkan, bulir-bulir air mata jatuh membasahi tanah yang kini kupijak.

Dengan lirih aku berkata, "Aku tidak percaya pada Tuhan. Aku... benci Tuhan."


.

.

TAMAT

.