"Kau mengerti apa yang aku bilang, 'kan?"
Seseorang berambut merah itu mengangguk paham.
"Bagus."
"Tapi, apa aku harus memakai baju ini?" keluhnya saat melihat sosok dirinya yang sedang mengenakan setelan kimono merah marun bermotif bunga sakura.
"Kesan pertama itu penting." Perempuan yang lebih tua usianya itu mengencangkan ikatan obi putih yang melingkar pada pinggang rampingnya.
Pemilik manik zamrud itu menggerutu ucapan tak jelas ketika melihat refleksi dirinya pada cermin tinggi di hadapannya. Seharusnya ia tidak mengenakan kimono berwarna berani yang sewajarnya diperuntukan bagi kaum hawa. Tapi mau bagaimana lagi, kalau saja dia tidak diwajibkan melaksanakan peraturan gila dari para pendahulu klan, tidak akan pernah laki-laki seperti dia menyentuh kimono berbahan sutra itu.
"Utusan dari Hyuuga sudah datang," ucap salah satu wanita paruh baya.
"Ayo."
Laki-laki bertubuh mungil itu berjalan mengikuti kepala pelayan sambil lesu dan tidak bersemangat. Kepalanya yang biasanya selalu tegap memandang ke depan, kini menunduk, hanya mampu melihat sepasang kakinya yang terbalut tabi* putih.
"Yang semangat, ya." Kepala pelayan itu menepuk pelan pundaknya, "Kau pasti bisa, Gaara."
:
:
-Someday My Prince Will Come-
:
Naruto? Yaeyalah punya MK.
Kalo tuh manga/anime/apalah itu punya gue, udah gue jadiin YAOI dari kapan tau!
:
Romance – Drama
:
Warning's: Standard Aplied. EYD, Kosa kata, dan kawan-kawannya yang enggak sesuai sama Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Gue enggak nerima FLAMER soal PAIR! Udah jelas enggak suka kenapa pake baca!
Efek samping dan kegangguan pada mental ditanggung oleh pembaca, Author tidak bertanggung jawab atas ketergantungan yang terjadi.
:
:
Sabaku no Gaara. Delapan belas tahun. Tinggi seratus enam puluh empat centimeter, mempunyai ciri-ciri rambut merah dengan tanda 'Ai' pada kening bagian kirinya. Pecinta panda dengan julukan 'rakun' itu duduk bersimpuh di tengah ruangan luas yang didominasi warna coklat kayu dan emas dari ukiran pada dinding.
Setelah seorang pelayan pria yang menjemputnya, Gaara dibiarkan menunggu sendirian di ruangan yang sepertinya biasa digunakan untuk menerima tamu. Ia tidak henti-hentinya melihat sekeliling ruangan teduh itu. Suasana sejuk dan tenang semakin menambah kenyaman dengan adanya hembusan angin yang masuk dari shoji* yang dibiarkan terbuka.
Kediaman bangsawan memang berbeda jauh sekali dengan rumah kecil yang menjadi tempat tinggalnya dulu.
Suara deheman menyentak Gaara yang sedang fokus memandang sebuah lukisan angsa putih. Tak jauh dari tempatnya duduk, laki-laki tampan berkulit putih pasi tersenyum ke arahnya. Kedua matanya yang meram semakin melengkung ketika senyuman itu semakin melebar.
"Kau Gaara?" tanya laki-laki yang namanya belum diketahui Gaara.
Pria ber-haori* putih dengan sulaman benang perak itu menghentakan kipas kayunya. Lipatan-lipatan kain berwarna biru langit itu menutup, menyembunyikan sentuhan lukisan pemandangan indahnya.
Ia mengangguk karena merasa namanya memang Gaara.
"Ikut aku."
Meski sedikit kesulitan bangun dari duduk bersimpuhnya, Gaara dengan patuh dan sopan mengikuti laki-laki berambut hitam gelap itu dari belakang dalam diam. Walau penasaran, Gaara tidak berniat menanyakan satu pertanyaan pun yang ada di dalam benaknya.
Mereka berdua berbelok pada persimpangan beranda luar kediaman klan Hyuuga. Setelah melewati sebuah ruangan tak kalah luas dari tempatnya barusan menunggu, Gaara dan tuan tak diketahui namanya itu memasuki sebuah ruangan yang sepertinya kamar utama karena di sisi lain ruangan itu terdapat undukan yang di atasnya tergelar futon lebar dan tebal.
"Ini kamar utama tuanmu. Di sana," laki-laki yang mengantar Gaara itu menunjuk sebuah pintu shoji dengan kipas kayunya, "Itu adalah kamarmu. Jadi kalau tuanmu perlu sesuatu, kau harus dengan cepat mengerjakannya, dia tidak sangat sabaran sekali. Mengerti?"
Gaara mengangguk.
"Oh, ya, aku Sai." Laki-laki itu memperkenalkan dirinya terlebih dulu. Ia menyodorkan telapak tangan berkulit putihnya. Paham kalau lawan bicaranya itu meminta jabatan tangan darinya, Gaara berniat membalas uluran tangan itu. Hingga suara seseorang menghentikan gerak tangannya.
"Kalian berdiri di depan kamarku."
Sekali tarikan Gaara mengembalikan letak tangannya ke posisi semula. Merasa tidak enak hati dan kurang sopan, ia menundukan kepalanya tidak berani memandang langsung pria berpostur tubuh tinggi yang berdiri tak jauh di depan mereka berdua.
"Ah! Neji-san," Sai membungkukan badannya saat pemilik kamar besar itu berjalan mendekati mereka, "Sudah selesai latihannya?"
Neji hanya melirik Sai sekilas sebelum menunjuk ke Gaara yang berdiri menunduk. "Dia... Siapa?"
"Sabaku no Gaara, dia adalah 'mate' mu saat ini—" penanggung jawab kediaman besar klan Hyuuga itu memerintahkan Gaara agar menegapkan kepalanya "—dan Gaara, dia adalah tuanmu. Hyuuga Neji."
Gaara sadar, setelah ia mengangkat kepalanya, kedua mata hijau indahnya tidak bisa berpaling dari laki-laki berperawakan tinggi itu. Rambut panjang kecoklatannya terikat rapih kebelakang, sedangkan tubuh tegapnya berbalut gi hijau muda yang dilapasi dengan montsuki hitam berlambang keluarga di belakangnya.
Kedua manik itu seakan terjerat dengan bola mata keunguan milik Neji. Betapa sempurna sosok pewaris klan Hyuuga itu. Dirinya seakan kuat dan tak mudah dikalahkan oleh apapun itu. Menatapnya seperti ini terus seakan bisa membuat Gaara kehilangan akal sehatnya. Dia harus sadar akan siapa dirinya.
"Bukankah kau masih ada pekerjaan lain, Sai?" bahkan suara berat itu terdengar misterius mengandung sejuta rahasia. Dibalas tatapan tajam oleh Neji membuat Gaara menjatuhkan poros kepalanya. Kembali kepala bermahkotan rambut merah itu menunduk.
Sai mengangguk sekali sebelum meninggalkan tempatnya berdiri barusan, "Saya permisi dulu." Penanggung jawab kediaman Hyuuga itu melebarkan kipas kayunya yang menutupi wajahnya sebatas hidung sebelum bergegas pergi.
Kini, tinggal Gaara dan Neji yang berdiri diam di depan kamar besar si sulung Hyuuga. Tidak tahu harus berbuat apa, bungsu Sabaku no itu hanya membungkam mulutnya dari perkataan. Ia bergeser ke samping sambil masih tetap menunduk hormat ketika Neji berjalan mendekati pintu shoji putih kecoklatan kamarnya.
"Sampai kapan kau akan berdiri di sana?"
Neji yang telah masuk ke dalam kamarnya memberikan sedikit ruang agar pria bertubuh lebih pendek darinya itu bisa lewat. Ia membiarkan pintu shoji itu tetap terbuka agar Gaara masuk ke dalam kamar. Neji membuka montsuki hitamnya dan menggantung pada gantungan baju di pojok ruangan.
Ragu-ragu, Gaara memasuki kamar luas beraroma kayu manis dan mint itu. Di seberang ruangan, terdapat sederet jendela-jendela besar bertirai putih bersih. Lukisan-lukisan indah tergantung, menghiasi kamar hangat ini.
Saking seriusnya, Gaara sampai tidak menyadari kalau saat ini Neji sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Jadi..." suara rendah Neji membuat Gaara menengokan kepalanya cepat. Wajahnya merona tipis saat Gaara menyadari betapa dekat dirinya dengan Neji yang berdiri sembari menyilangkan kedua tangannya. Gi hijau mudanya sedikit terbuka di bagian dada, memperlihatkan garis dada bidang yang berhasil membuat deru jantung Gaara semakin mengencang.
Ini tidak wajar. Seharusnya dia tidak berdebar atau merona saat melihat laki-laki itu.
"Kau sudah tahu apa yang perlu dan tidak kau lakukan, 'kan?" jemari jenjang Neji menyentuh helaian lembut rambut merah Gaara. Ia dapat menghirup wangi segar dari tangan Neji yang tepat berada percis di samping kepalanya.
Gaara mengangguk tanpa menghasilkan suara.
"Bagus."
Tangan itu bergerak menuruni wajah Gaara, mengikuti bentuk wajah putih bersihnya. Ada desiran perasaan aneh yang membuat hati Gaara tidak nyaman. Ia sendiri tidak tahu apa itu. Namun, ada sedikit perasaan kecewa ketika Neji menyudahi sentuhan lembutnya.
:
:
Neji yang pada dasarnya menghormati ketenangan, kali ini menekuk kedua alisnya ketika ia mendengar suara teriakan yang memanggil namanya.
"NEJI-SAN!"
Dia hapal betul siapa pemili suara cempreng itu. Dengan malas, Neji membalikan badannya menghadap laki-laki muda yang sedikit berlari menghampirinya. Rambut kuning terangnya bergoyang tertiup hembusan angin.
Entah sampai kapan kediamannya akan menjadi tempat penitipan orang itu kalau 'pemilik'nya sedang pergi atau ada keperluan penting sehingga ia tidak bisa mengikut sertakan 'mate'nya.
"Kali ini dia pergi kemana?" tanya Neji malas.
Pria terang itu melebarkan senyumannya, menunjukan sederet gigi putihnya. "Sasuke sedang dipanggil oleh Ayahnya ke kediaman utama."
Neji memutar bola mata keunguannya malas. Seperti biasa, sahabat dari kecilnya itu akan menitipkan Naruto di kediamannya karena Sasuke tidak akan pernah membiarkan Naruto yang terlalu bersemangat itu sendirian.
Ia membiarkan Naruto mengikutinya dari belakang saat Neji berjalan menuju salah satu ruangan santai kediaman khas Jepang kuno itu. Naruto menyembulkan kepalanya dari balik punggung Neji saat ia berbicara pada seseorang.
"Gaara, kau temani dia dulu."
Gaara yang sedang menyiapkan teh untuk Neji menghentikan kegiatannya. Ekspresi Naruto berubah sumringah saat mengetahui ada teman baru di kediaman Neji.
"Neji," yang dipanggil memiringkan kepalanya karena suara cempreng Naruto, "Apa dia 'mate'mu?" tanya Naruto.
Tidak ada jawaban secara verbal. Neji hanya mengangguk. Ia meninggalkan Naruto kepada Gaara tanpa mengatakan satu katapun. Dia dan Sasuke memang sama-sama pelit bicara.
Percis seperti anak kecil yang baru saja bertemu dengan teman barunya, Naruto langsug menarik tangan Gaara untuk bersalaman. "Aku Naruto. Uzumaki Naruto. 'Mate' Uchiha Sasuke dari klan Uchiha. Salam kenal." Naruto menunjukan cengiran lebar andalannya, "Kau?"
"Aku Gaara. Aku..." dia tidak melanjutkan perkataannya. Gaara berpikir apa dia harus memperkenalkan dirinya seperti Naruto.
"Tidak apa-apa. Aku juga sepertimu saat pertama kali menjadi 'mate' Sasuke. Lama-lama juga terbiasa."
Dihari pertamanya menjadi 'mate' Hyuuga Neji, Gaara sudah mendapatkan satu teman yang berstatus sama dengannya.
:
Continued
:
Maaf kalo ada thypo atau kesalahan saat mengetik fic ini... juga kalo chap perdana ini terlalu pendek, Author janji chapter depan bakal di panjangin deh.
:
makasih :) greet, Ms. Pinguin
