A/N: Fic perdana nih, mohon bimbingannya para senpai. Iseng bikin fic buat karakter baru di fanfic Naruto: Naruko Uzumaki, soalnya masih dikit yang buat. Maklum baru beberapa bulan karakter ini lahir di FFn. Meskipun aneh juga sebenarnya karena di anime/manganya aja ga ada karakter ini. Maksudnya ada Female Naruto, tapi Masashi Kishimoto ga ngasih nama resmi "Naruko" buat dia.

Ayo Pulang, Onee-san

Naruto © Masashi Kishimoto

Genre: Family

Rate: T

Summary: Naruto sangat sayang pada kakaknya Karin. Sampai suatu hari terjadi hal yang paling ditakutkan Naruto. "Ini semua gara-gara Naruko dan Tou-san! Kalau saja mereka tidak datang dalam kehidupanku mungkin Nee-san masih..."

Warning: AU. OOC. Disini Naruto dan Naruko diceritakan kembar dan hubungan mereka BUKAN incest. Hanya menceritakan hubungan persaudaraan adik dan kakak kembarnya. Konoha disini digambarkan sebuah kota besar di Jepang. Semuanya POV Naruto, nanti kalo ada POV karakter lain pasti dikasih tau.


Chapter 1

-Sampai ketemu lagi Bodoh!-

"Nee-chan, kenapa Naru ga punya ayah?" tanya seorang anak laki-laki kepada anak perempuan disampingnya. Dari pipinya yang chubby, mungkin anak laki-laki itu berusia sekitar 4 atau 5 tahun sementara anak perempuan disampingnya tampak lebih tua. Anak perempuan itu kelihatannya kakak dari anak laki-laki tersebut. Mereka sedang berjalan berpegangan tangan.

Anak perempuan berambut merah itu tampak kaget dan menghentikan langkahnya, adiknya ikut berhenti. Dipandangnya wajah adiknya itu dengan heran dan balik bertanya, "Kenapa kok tiba-tiba tanya gitu?"

"Soalnya temen-temenku punya ayah. Aku iri sama mereka," balas anak laki-laki itu pelan, sambil menunduk sedih.

Melihat raut sedih di wajah adiknya itu, sang kakak kemudian berjongkok dan memegang pundak adiknya. Sambil tersenyum dia berkata, "Kamu ga usah iri sama mereka," diusapnya rambut pirang adiknya dengan penuh kasih sayang, "Tou-san sudah lama pergi. Tapi kamu 'kan punya Nee-san dan juga Kaa-san. Nee-san akan menjaga kamu seperti layaknya seorang ayah. Nee-san akan melindungi kamu meskipun harus mengorbankan nyawa Nee-san. Jadi kamu jangan khawatir ya?"

"Mmm.. bener ya Nee-chan?" Wajah anak laki-laki itu kembali ceria.

"Tentu saja Naru," jawab sang kakak tak kalah ceria. Saat itu juga anak laki-laki yang dipanggil Naru itu langsung memeluk kakaknya. Sang kakak membalas pelukan adiknya dan tersenyum melihat kelakuan adiknya itu. "Sekarang cepat kita pulang, nanti Kaa-san khawatir," lanjutnya, kembali menggenggam tangan mungil adik kesayangannya itu.

"Haaaiiii..."

Kedua kakak-adik itu kemudian melanjutkan perjalanan pulang mereka.


"Hoi bodoh! Cepat bangun nanti kesiangan ke sekolah!"

"Bentar lagi Nee-san.. hmmm.."

"Dasar pemalas! Selalu saja telat bangun. Cepat banguuun!"

"Haaahhh... Lima menit lagi!"

"Bangun sekarang! Kau ini tambah besar malah tambah malas!"

"Ukh... ia ia aku bangun."

"Cepat mandi, terus cepat turun, katanya Kaa-san punya berita bahagia untuk kita!"

"Ia cerewet."

Hampir tiap pagi kamarku selalu ramai oleh ocehan-ocehannya. Kombinasi antara aku yang pemalas dan 'dia' yang cerewet. Sempurna!

Dialah Karin-Neesan. Tsundere, berambut merah, tomboy, dan cerewet. Sepertinya Kaa-san menurunkan semua gennya pada Nee-san. Jadi seolah-olah dia adalah Kaa-san versi remaja. Bingung juga kemana perginya Nee-san yang kalem dan ramah seperti dulu? Apa mungkin aku yang nakal sehingga dia sering marah-marah dan jadi seperti itu? Haha, entahlah aku juga tidak tau...

Oh ya, orang tuaku sudah bercerai sejak aku berumur 2 tahun dan Nee-san 4 tahun. Tou-san terlalu mementingkan bisnisnya dan menelantarkan keluarga sehingga Kaa-san meminta cerai. Setelah itu Tou-san pindah ke Inggris, katanya mengurus bisnisnya disana. Aku juga tidak tau pasti, hanya tau dari cerita Nee-san. Wajah Tou-san saja tidak tau, mungkin aku masih terlalu kecil untuk mengingat wajahnya. Lagipula tidak ada satu pun foto Tou-san di rumah ini, sepertinya pembahasan mengenai Tou-san adalah hal tabu di keluarga ini. Karena Kaa-san terlalu sakit hati kali ya?

Sejak saat itu kami hanya hidup bertiga. Sebagai satu-satunya laki-laki di keluarga ini, aku merasa harus melindungi Kaa-san dan Nee-san. Jadi biarpun Nee-san cerewet, aku sangat sayang padanya. Dia sudah seperti sahabat buatku. Tempat untukku berbagi kesenangan dan kesedihan. Aku tidak bisa membayangkan kalau suatu saat nanti dia menikah dan pergi bersama suaminya. Aku pasti akan kesepian.

Kulihat Nee-san berlalu meninggalkan kamarku.

"Hmm... hooaaammm.." aku menguap dengan malas dan beranjak menuju kamar mandi.


"Ohayou, Kaa-saaan." Kuturuni tangga menuju meja makan. Kulihat Kaa-san menyiapkan roti di meja makan untukku sementara Karin-Neesan duduk di salah satu kursi di meja makan.

"Ohayou Naru-chan," balas Kaa-san sambil tersenyum.

"Kaa-san, sudah berapa kali kubilang, jangan panggil aku seperti itu, kayak anak kecil."

"Memang kau masih kecil bodoh, bangun aja mesti dibangunin, hahaha," ledek Nee-san padaku, tangannya sibuk dengan HP sambil sesekali membenarkan posisi kacamatanya. Kelihatannya dia sedang menulis email, terlihat dari pandangan matanya yang tak lepas dari layar HP.

"Berisik!" balasku ketus.

"Sudah, sudah jangan berantem, cepat habiskan sarapannya," lerai Kaa-san. Ia menuangkan susu hangat untukku kemudian menggeser kursi dan bergabung duduk di meja makan.

"Ehem.." Kaa-san berdehem bermaksud membuat perhatian kedua anaknya tertuju padanya. "Kaa-san punya berita bahagia untuk kalian," katanya sambil tersenyum memandang kearah kami bergantian. Hari ini sepertinya Kaa-san senang sekali, senyuman tak pernah lepas dari bibirnya.

"Aha ithuu Kha-chaan?" tanyaku dengan mulut yang masih penuh dengan roti.

Kaa-san berkata malu-malu dengan pipi yang merona, "Umm, Kaa-san.. Kaa-san mau rujuk lagi sama Tou-san."

"Apaa?" Aku dan Nee-san memandang Kaa-san tak percaya, kemudian kami saling pandang.

Dan 1 detik kemudian Nee-san beranjak dari kursinya untuk menghambur memeluk Kaa-san kegirangan. Reaksinya heboh sekali. Atau reaksiku yang terlalu 'biasa' ya? Bukannya aku tidak senang sih. Jujur, aku senang sekali. Selama ini aku merindukan sosok seorang ayah. Meskipun aku tidak pernah tau rasanya punya ayah itu seperti apa. Tapi minimal aku tidak akan jadi satu-satunya laki-laki di keluarga ini.

"Kaa-san serius?" tanya Nee-san memastikan. Ia melepas pelukannya dan memandang Kaa-san lekat-lekat.

"Tentu saja, katanya Tou-san sadar kalau anak-anak itu butuh sosok seorang ayah dan ibu, bukan salah satu seperti ini. Lagipula sekarang Naruko juga sudah besar, dan dia terus menanyakan Kaa-san."

"Tunggu.. tunggu.. Naruko itu siapa?" tanyaku. Perhatianku teralih saat mendengar nama asing di telingaku.

"Oh, gomen Naru-chan, Kaa-san belum cerita. Naruko itu kakak kembarmu," kata Kaa-san masih dengan wajah berseri-seri.

"A-apa? Kenapa aku tidak diberi tau kalau aku punya kembaran?" Aku berkata dengan sedikit nada kesal.

"Umm, gomen-gomen.. waktu itu Kaa-san sangat kesal sama Tou-san. Kaa-san memutuskan untuk tidak akan lagi membahas masalah Tou-san dan hal yang berhubungan dengannya. Gomen ne.. Naru-chan," kata Kaa-san. Wajahnya berubah menampakan rasa bersalah.

"Ia.. tapi kan-" protesku sebelum Nee-san memotong kata-kataku.

"Cukup bodoh! Mengertilah perasaan Kaa-san!" bentak Nee-san. Ia kembali ke tempat duduknya.

Aku hanya mendengus merasa sedikit kesal. Keterlaluan sekali sampai punya kembaran saja aku tidak diberi tau.

"Ngomong-ngomong kapan Kaa-san ngobrol dengan Tou-san?" tanya Nee-san.

"Sebenarnya sudah hampir 6 bulan ini kami saling berkomunikasi, dan tadi malam kami sepakat untuk rujuk kembali. Ini semua demi kebaikan kalian dan juga Naruko," jawab Kaa-san. Ia kembali memandang ke arah kami bergantian.

"Eehh? Udah lama juga. Kenapa aku tidak pernah dikasih tau? Aku ingin menghubungi Tou-san," rengeknya pada Kaa-san. Ah, kalau seperti ini Nee-san kayak anak kecil. Jauh dari bayangan Nee-san yang suka membentak dan menjitak kepalaku. Aku hanya tersenyum melihatnya. Jarang-jarang Nee-san seperti ini.

"Hehe. Gomen. Tapi tidak usah repot-repot Karin-chan, Tou-san akan kesini hari ini," ujar Kaa-san memeletkan lidahnya. Hah, dasar ibu dan anak sama-sama childish-nya.

"Hah? Beneran Kaa-san?" tanya Nee-san lagi, matanya kembali berbinar-binar. Kaa-san menjawabnya dengan anggukan kecil.

"Yeeeeeeeeeeeeee..." seru Nee-san, mengepalkan tangan ke udara.

"Nanti katanya sampai kira-kira jam 2 siang."

"Kaa-san aku yang jemput ke bandara ya? Ya? Ya?"

"Tidak usah, kamu kuliah kan?"

"Ga kok, hari ini kuliah cuma sampai jam 12. Boleh ya? Ya? Kaa-san siap-siap aja di rumah, masak yang enak buat Tou-san."

"Ya sudah, boleh deh. Awas nanti hati-hati di jalannya."

"Yeah! Love you Kaa-san, muah." Nee-san kembali beranjak dari kursinya dan mengecup pipi Kaa-san.

Menyebalkan sekali aku dicuekin oleh dua orang berambut merah ini. "Halooo, kalian lupa ada seorang blonde dicuekin disini?"

"He, gomen Naru-chan. Kamu pasti akan senang karena nanti akan ada teman ngobrol laki-laki di keluarga kita," hibur Kaa-san.

"..." Aku hanya mendengus malas. Walaupun dalam hati aku membenarkan kata-kata Kaa-san. Karena biar bagaimanapun perbandingan gender di keluarga ini tidak adil. Makanya aku selalu kalah dukungan dalam berbagai hal. Seperti memilih tempat liburan akhir pekan, menu makanan dan lain-lain. Dan yang paling malas saat aku disuruh menemani mereka belanja atau ke salon. Arrghhh... Apa kata teman-temanku kalo seorang Naruto Uzumaki, siswa ternakal di Konoha High School, kepergok sedang shopping dan nongkrong di salon?

Suara klakson mobil mengakhiri lamunan gaje-ku. Itu pasti Suigetsu, teman kuliah sekaligus pacar Nee-san yang datang menjemput.

"Kalau begitu aku berangkat ya Kaa-san, Suigetsu udah nunggu di depan," kata Nee-san yang kemudian beranjak dan kembali mengecup pipi Kaa-san.

"Hati-hati Karin-chan," kata Kaa-san mengingatkan putri sulungnya itu.

"Iya. Hei bodoh, cepat berangkat. Kasian Hinata-chan nunggu ojek-nya, hahaha," ejek Nee-san sambil mengacak-acak rambutku – yang sudah dari sananya acak-acakan – dan berlari menuju pintu depan.

"Ukh,, berhenti memanggilku 'bodoh', dan satu lagi, aku bukan tukang ojek!"

"Hahaha, sampai ketemu lagi bodoh!" ejeknya lagi.

"Huh dasar! Kalau begitu aku berangkat juga ya Kaa-san." Aku juga memutuskan untuk berangkat sekarang soalnya udah hampir jam 7 pagi.

"Ia hati-hati ya Naru-chan."

"Haaaiii..."

Aku segera menstarter motor Ninja hitamku, dan memacunya menuju rumah Hinata. Aku dan Hinata sudah pacaran 1 tahun, heran juga sih ternyata ada cewek yang suka pada berandalan sepertiku. Aku jadian sama Hinata juga atas bantuan Nee-san yang gila-gilaan nyomblangin kami waktu itu. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak sadar kalau Hinata menyukaiku.


Di sekolah aku sama sekali tidak konsentrasi belajar. Otakku penuh dengan rasa penasaran.

Penasaran bagaimana wajah kembaranku. Apa dia juga pirang? Punya tanda lahir di pipi juga?

Penasaran juga Tou-san kayak gimana? Apa dia galak seperti ayahnya Hinata? Apa dia hentai kayak Jiraiya-sensei?

"NARUTO! Apa jawabanmu?" Aku kaget saat guru sejarahku, Iruka-sensei, membentakku.

"Eh?" Aku bingung harus jawab apa. Aku sama sekali tidak memperhatikan pelajaran. Kutanya Kiba yang duduk di sebelahku, "Kiba pertanyaannya apa?"

"Dia tanya: 'Yang ngerjain PR lu sapa?'" jawab Kiba dengan malas.

"Saya sendiri Sensei!" jawabku mantap.

"Hahahahaahahahhaha..." seisi kelas 11-C tertawa terbahak-bahak. Aku heran kenapa mereka tertawa. Apa salah kalau aku mengerjakan PRku sendiri? Memangnya siswa pembuat rusuh sepertiku harus terus-menerus nyontek PR orang laen ya?

"Saya tanya: 'Manusia purba apa yang paling primitif?' Dan kamu jawab: 'Kamu sendiri?' Oh pantas di kelas kerjanya hanya melamun tidak jelas!" kata Iruka-sensei sambil tertawa.

Sh*t! Terjawablah sudah kenapa semua teman-temanku tertawa. Aku dikerjain, awas kau Kiba! Bersamaan dengan itu, bel pulang berbunyi. Akhirnya saat yang kunantikan datang juga.


"Aku pulaaang," seruku dengan malas. Cuaca hari ini panas sekali. Mungkin minuman dingin akan sedikit mendinginkan tenggorokanku. Aku berjalan menuju lemari es di dapur. Di freezer ada 2 eskrim coklat milik Nee-san. Ah, aku minta 1 (Minta tapi tidak izin dulu apa masih bisa disebut 'minta'? -,-). Kulihat Kaa-san sedang memasak, menyiapkan menu spesial untuk Tou-san dan Naruko yang sebentar lagi datang.

"Selamat datang Naru-chan," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari masakannya.

"Nee-san sudah pergi ke bandara?" tanyaku sambil menuju ruang keluarga yang berada dekat dapur dan menyalakan TV.

"Sudah, baru saja berangkat." Kaa-san masih saja konsen pada masakannya.

"Oh. Kaa-san, Nee-san semangat sekali ingin menjemput, kenapa ya?" tanyaku. Sejujurnya aku ingin menanyakan hal ini dari pagi tadi. Dari awal melihat reaksi Nee-san, aku sudah penasaran.

"Karena Nee-san-mu dulu dekat sekali dengan Tou-san, sangat dimanja. Jadi tidak heran kalo sekarang dia senang sekali, pasti dia sangat rindu sekali pada Tou-san. Kalau Naru-chan pasti tidak ingat Tou-san, waktu itu kamu masih kecil. Tou-san itu mirip sekali lho sama kamu," jawab Kaa-san, kali ini Kaa-san tersenyum ke arahku.

"Gitu ya." Pantesan tadi Nee-san kegirangan seperti itu.

CRAAATTT!

Aku menjatuhkan cone es krim yang sedang kumakan. Ada hal yang membuatku benar-benar shock.

"Naru-chan! Kenapa es krimnya jatuh begitu?" tanya Kaa-san bergegas mendekatiku, "Makanya hati-hati."

"Kaa-san.." Mataku terbelalak melihat tayangan di TV. Kaa-san yang penasaran kemudian menengok ke arah TV mencoba mencari sumber kekagetanku. Beberapa detik kemudian ekspresi wajahnya bercampur aduk antara kaget, sedih dan tidak percaya.

Tampak di TV ada tayangan breaking news, tentang kecelakaan mobil, korban kritis dibawa ke rumah sakit. Yang membuat kami kaget adalah nomor polisi dari mobil korban kecelakaan. Itu nomor mobil kami, mobil yang dibawa Nee-san! Kaa-san langsung terduduk lemas melihat tayangan tersebut. Aku berusaha menenangkannya.

"Kaa-san, Nee-san pasti selamat, sekarang kita ke rumah sakit," kataku menenangkan Kaa-san. Kemudian ada telpon masuk, aku segera mengangkatnya.

"Halo," jawabku.

"Halo, dengan kediaman Uzumaki?" tanya suara dari telpon.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya dari Rumah Sakit Konoha.." Perasaanku langsung tidak enak. "Ingin memberitahukan kalau saudari Uzumaki Karin sudah... sudah meninggal barusan.. Gomen.. Kami sudah berusaha semampu kami.. tapi... "

"..."

"Tuan?"

"Emh.. i-iya terima kasih informasinya, kami segera kesana."

"Naru-chan?"

"Ka-Kaa-san.. Nee-san.. Nee-san.. sudah..."

Aku menggeleng pelan, Kaa-san menangis sejadi-jadinya. Aku memeluknya menenangkan. Meskipun sebenarnya badanku juga lemas mendengar berita buruk ini. Otot-ototku seolah tidak mau menuruti perintahku. Mataku panas. Nafasku berat.

Aku berharap ini hanya mimpi buruk dan aku ingin segera terbangun. Dan saat aku terbangun aku akan melihat Karin-Neesan memukulku dengan guling menyuruhku untuk cepat bangun. Atau menghujaniku dengan ocehan-ocehan-selamat-pagi-nya itu. Tapi ini bukan mimpi...

Ini kenyataan.. Karin-Neesan sudah pergi..

Untuk selamanya...

"Sampai ketemu lagi bodoh!"


Aku memandang nisan di depanku.

Uzumaki Karin

20 Juni 1991 - 10 September 2010

Nee-san mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke bandara. Aku masih tidak percaya ini terjadi. Pagi tadi Nee-san masih bisa tertawa-tawa. Membangunkanku dengan ocehannya yang cerewet. Dan 11 jam kemudian dia malah tertidur, tak berdaya di gundukan tanah ini.

"Saatnya pulang Naruto," kata Tou-san menepuk pundakku.

Aku hanya menggeleng pelan. "Aku ingin disini dulu."

"Naru-chan, Kaa-san mengerti perasaanmu. Tapi kita harus pulang, ini sudah hampir gelap." Kali ini Kaa-san yang menimpali.

Aku kembali menggeleng.

"Mmm.. Tou-san dan Kaa-san pulang duluan saja. Biar aku yang nemenin Naruto-kun disini," seru suara feminim dari gadis pirang di sampingku.

Naruko Namikaze.

Kembaranku. Fisik kami memang punya kesamaan di beberapa hal. Mata. Warna rambut. Selain tentu saja garis wajah kami yang beda. Dia lebih lancip dan feminim. Warna kulitnya juga lebih cerah. Rambut pirangnya tumbuh panjang sepinggang dan diikat model twin tail.

Sesaat Tou-san dan Kaa-san saling berpandangan.

"Baiklah," Tou-san kembali berkata, "Jangan pulang terlalu malam ya, kami pulang duluan."

"Iya Tou-san," jawab Naruko.

Keadaan jadi hening saat orangtua kami pulang. Aku hanya memandang nisan di depanku. Pikiranku kacau. Aku tak tau kalau kehilangan Nee-san akan sesakit ini. Seperti ada lubang besar di hatiku.

"Naruto-kun..." Naruko memandangku khawatir. Aku mengacuhkannya. Kemudian dia mendekat dan memegang tanganku. "Aku tau kamu sedih. Tapi kita harus terus melanjutkan kehidupan kita. Kita tidak boleh terus-menerus dalam kesedihan."

"..." Aku diam tidak merespon apa-apa. Kupejamkan mata sejenak. Kenapa jadi seperti ini? Sebelumnya kami bahagia, sebelum... sebelum mereka datang.. Mereka datang dan Nee-san pergi. Ini semua gara-gara Naruko dan Tou-san! Kalau saja mereka tidak datang dalam kehidupanku mungkin Nee-san masih...

Melihatku yang hanya terdiam, Naruko kembali berkata, "Naruto-kun, meskipun Karin-Neesan sudah tiada, aku akan berusaha jadi kakak pengganti yang..."

PLAK!

Aku menepis tangan Naruko dengan kasar.

"Kau tidak akan pernah bisa menggantikan Karin-Neesan! Karin-Neesan adalah kakak terbaik untukku. Kau pikir kau siapa? Bertemu saja baru hari ini. Jangan sok akrab denganku!" bentakku pada Naruko. Entah apa yang merasukiku pikiranku. Mendengar kata 'pengganti' aku langsung tidak terima. Karin-Neesan tidak akan bisa digantikan oleh siapapun!

"Gomen Naruto-kun... Aku..." Naruko kaget dengan perlakuanku dan mundur beberapa langkah.

"CUKUP!" Aku membentaknya lagi dengan keras kemudian pergi meninggalkan area pemakaman. Naruko memanggil-manggil namaku tapi tak aku hiraukan. Pikiranku tak karuan, aku perlu menenangkan pikiranku. Aku tidak tau mau pergi kemana. Aku hanya mengikuti kemana kaki ini membawaku.

To Be Continue...


A/N: Akhirnya chapter 1 selesai juga. Review ya. Saya newbie yang masih butuh kritik, saran, dan bimbingan dari-senpai-senpai semua. Sampai ketemu di chapter selanjutnya. ;)

Arigato

-rifuki-