Everlasting
Jaehyun X Taeyong
NCT-U & SMRookies © SM Entertaiment
BL. AU. Typo (s). OOC (s)
.
Sendirian tidak pernah benar-benar mengganggu Jaehyun. Bahkan, semakin sedikit orang, semakin baik. Karena membantunya berpikir lebih jernih, yang merupakan sesuatu yang benar-benar diperlukan―mengingat betapa ramainya teman-teman yang serumah dengannya.
Itu tepat tiga sore, saat ia mendarat dengan anggun di lantai, setelah meloncat dari lantai dua, karenas sedang terlalu malas menggunakan tangga.
Rumah besar bergaya gotik itu sepenuhnya hening. Semua orang mungkin sedang tertidur sekarang. Masih ada beberapa jam sebelum aktifitas biasanya di rumah itu di mulai. Dan ini adalah saat yang tepat bagi Jaehyun untuk menyelinap keluar.
"Mau pergi, Jae?"
Jika ia manusia, mungkin jantungnya akan meloncat keluar dari tempatnya karena suara tiba-tiba itu. Yah, sayangnya, ia bukan.
Jaehyun berbalik, menemukan sosok lain berdiri di belakangnya. Ten, sedikit aneh melihatnya terjaga di jam-jam seperti ini. "Hyung, tidak tidur?"
Yang ditanya nyengir. Mengangkat tangannya yang berisi dua kantung penuh berisi cairan merah pekat. "Aku kelaparan." Ten yang tadi berada tepat di depan Jaehyun tiba-tiba sudah ada di atas, memandangnya dari lantai dua sambil bersandar di palang tangga. Bibirnya sudah mulai menghabiskan kantung pertama cairan yang ia bawa. "Pastikan saja kau kembali sebelum malam. Jangan membuat yang lain khawatir, oke?"
Jaehyun mengangguk saja. Ia hanya ingin mencari udara segar, tidak akan lama-lama. Rumah ini bisa membuatnya mati kebosanan. "Selamat tidur, hyung."
Ten melambai.
Dan sekejap mata menghilang dari pandangan.
Jaehyun menghela nafas. Setidaknya yang ia temui bukan Yuta, atau Doyoung. Karena jika tidak ia pasti kena omel.
.
Vampir pada umumnya membenci sinar matahari. Karena serius, berada empat sampai lima jam di bawah paparan sinar matahari benar-benar bisa membunuh mereka. Sunblock dengan SPF sebesar apapun tidak akan membantu mengatasi masalah kulit mereka.
Mungkin, Jaehyun adalah satu dari sekian banyak vampir masokis yang suka keluar di saat matahari masih bertengger di atas sana. Meski berarti ia harus terbungkus rapat dari kepala sampai kaki, ia tak keberatan. Setidaknya ia bisa menghirup udara segar. Yah, tentu saja dalam artian tak sesungguhnya. Karena ia 'kan tidak bernafas seperti manusia.
Jaehyun memilih untuk duduk di bawah naungan pohon besar yang teduh. Meski sengaja keluar di jam segini, bukan berarti ia akan sengaja membakar kulitnya di bawah sinar matahari langsung. Dia memang masokis, tapi tak semasokis itu.
Mengeluarkan buku dari saku mantelnya, ia mulai membaca dalam hening.
Hanya suara samar-samar yang terdengar. Karena sore itu, isi taman benar-benar lenggang.
Jaehyun tersenyum.
Suasana seperti ini memang yang ia harapkan. Bisa menikmati waktu luangnya dengan bersantai membaca buku dengan tenang.
Ya setidaknya sampai―
DANG!
Sebuah bola basket yang entah muncul dari mana terbang ke arahnya dan berakhir memantul memukul buku ditangannya hingga jatuh.
Dia mendengar langkah kaki tergesa menghampirinya.
Langkah kaki kecil. Sepertinya dua anak kecil.
Dan benar saja, dua sosok mungil itu muncul dari balik semak-semak tak jauh dari tempatnya duduk.
Jaehyun tiba-tiba saja menegang. Ia mencium aroma lezat di udara, membuatnya benar-benar lapar.
Darah... aroma manis darah yang tak biasa.
"Paman," panggil salah satu dari dua anak itu, yang paling tinggi. Berjalan menghampirinya. "Bisakah aku mengambil bola basket itu?" Katanya sambil menunjuk benda bulat berwarna orange yang tergelak tak jauh dari tempat duduknya.
Jaehyun mencoba untuk menjaga dirinya tenang, meski sebenarnya ia ingin sekali langsung menerkam dan memakan hidangan lezat di depan matanya. Tapi kesadarannya masi tersisa untuk tak melakukan hal seperti itu.
Kendalikan dirimu, Jaehyun.
Jaehyun mengambil benda itu dan kemudian tanpa berkata apapun menyerahkannya. Melemparnya sedikit, dan ditangkap dengan mudah oleh anak itu.
Anak itu terlihat senang, mendapati bola orangenya kembali. "Terimakasih," katanya sambil membungkuk sedikit. Jaehyun membalasnya dengan senyum kaku. Anak itu langsung berbalik menghampiri anak lain yang lebih pendek darinya sambil berlari. "Ayo, Taeyong!" Dia menarik lengan temannya dan mereka sama-sama berlari, tapi sebelumnya anak yang lebih pendek berbalik sebentar, memandang Jaehyun dengan dua mata bulatnya yang lucu.
Sebelum menghilang ditelan semak-semak.
.
.
.
Butuh beberapa detik bagi Jaehyun untuk memproses apa yang terjadi barusan.
Dia baru saja tak bisa menahan dirinya untuk memangsa anak kecil, demi Tuhan. Anak kecil dengan dua pasang mata yang berbinar lucu. Dia hampir saja membenamkan taring-taring tajamnya pada leher seorang bocah!
Tapi―
Darah itu sangat cocok dengan seleranya. Ia bisa membayangkannya. Rasanya pasti sangat manis dan enak―
Oh, tidak-tidak, Jung Jaehyun.
"Jangan bilang..." Jaehyun menutup wajahnya dengan tangan.
Ya, Jung Jaehyun, secara teknis kau sudah berubah dari vampir masokis menjadi vampir masokis yang pedofil.
.
Jaehyun tak menunggu waktu lama untuk kembali ke rumah. Perasaannya menjadi tak menentu sejak ia bertemu dengan dua anak kecil di taman. Tenggorokkannya pun terasa kering, rasa laparnya tak kunjung hilang meski kini ia sudah hampir menghabiskan kantung darahnya yang kelima―
belas?
Yuta yang kala itu baru bangun, mendekat saat melihat salah satu keluarganya duduk sendiri di meja makan dengan berbungkus-bungkus kantung darah. Matanya membelalak melihat berapa banyak kantung darah yang kini telah kosong.
"Woah, woah, kau ingin menghabiskan persedian darah kita, Jae?" Yuta merebut kantung darah yang sedang dinikmati Jaehyun.
"Hai, Yuta-hyung, sudah bangun?" balas Jaehyun sekenanya.
Yuta menatap adiknya itu heran, ia duduk di kursi samping Jaehyun. "Apa yang terjadi?"
Jaehyun mengangkat wajahnya sebentar. "Hm. Tidak ada."
"Jangan bohong."
"Memang apa yang terjadi?" Suara lain datang dari sosok yang tiba-tiba saja muncul. Sosok itu kini duduk di atas meja dengan kaki menyila, menikmati satu kantung darah, secepat kita menghabiskannya dan mengambil kantung darah yang lainnya.
"Tadi Jaehyun pergi keluar lagi," suara yang lain muncul lagi, Ten. Yang tau-tau sudah berdiri menyandar ke meja, di samping Jaehyun.
Jaehyun menghela nafas.
Yuta yang tadinya hendak marah karena lagi-lagi larangannya untuk tak keluar rumah siang hari dilanggar Jaehyun, mencoba menahan amarahnya. "Jadi katakan―ada apa?"
Jaehyun gemetar mendengar nada bicara sang Hyung, mau tak mau ia mulai menceritakan mengenai apa yang telah menimpanya di taman tadi.
Ten dan Johnny tertawa, tentu saja. Sialan mereka itu.
"Jangan khawatir tentang hal itu," Yuta meyakinkan, menepuk bahu Jaehyun. Ia mengerti kenapa adiknya itu menjadi begini. "Itu hal yang normal―" dahinya berkerut, "―meski aku tidak pernah melihatnya terjadi pada anak kecil sebelumnya."
Jaehyun semakin terpuruk. Sementara suara tawa Johnny dan Ten semakin mengeras.
"Ini lucu sekali," kata Ten, disela tawanya.
"Aku tidak tahu kenapa kau sangat pengecut, Jae," Johnny yang iseng, mengambil pisau buah yang ada dimeja dan memainkannya. "Jika hanya anak kecil, kau akan bisa dengan mudah menculiknya. Membawanya ke gang kecil dan menghisap darahnya hingga kering―YA! Yuta! Kenapa kau memukulku?!"
"Kita berusaha untuk jadi manusiawi di sini!" Yuta hampir saja menusukkan pisau buah ke kepala Johnny saking kesalnya.
"'Manusiawi'?" Johnny memandang bosan. "Kita ini vampir. Kita meminum darah mereka untuk hidup, jadi jangan membual mengenai hal konyol seperti itu itu."
"Kau ini―"
"Wohoo!" Ten besorak senang saat melihat kedua Hyung-nya sudah siap saling memukul dan mencakar di ruang makan.
Jaehyun?
Dia segera mungkin meninggalkan ruangan dan menuju kamarnya, karena serius, ia tak peduli dengan pertarungan konyol Yuta dan Johnny. Ia hanya ingin menjernihkan pikirannya.
.
Keesokan harinya, di jam yang sama Jaehyun kembali ke tempatnya kemarin. Kali ini bukan untuk membaca buku. Tapi untuk tujuan yang lain.
Dan seseorang sudah lebih dulu berada di sana. Anak laki-laki tinggi yang kemarin meminta bola basketnya. Tapi dia sendirian.
"Oh, hai, Paman! Kita bertemu lagi," sapanya ramah.
Jaehyun tersenyum. "Sedang apa?" tanyanya. Meski dalam hati lebih ingin menanyakan mana temanmu yang satunya.
"Melemparkan batu," jawabnya.
Jaehyun tak mengerti. Ia memang bisa melihat jika anak itu sedang melemparkan kerikil-kerikil kecil. Tapi yang ia tak mengerti adalah untuk apa? Yang jelas anak itu akan memekik senang saat lemparannya menjadi lebih jauh dari lemparan sebelumnya.
Jaehyun menggeleng, duduk di tempatnya yang kemarin, tak terlalu jauh dari anak itu, dan mulai membaca. Anak kecil dan permainan mereka, pikirnya.
Tak berselang lama keheningan mereka terusik. Tepat setelah ia membaca satu halaman, aroma yang familiar menggelitik hidungnya.
Darah…
Jaehyun ingin darah ini…
"Sehun-hyung! Curang! Kenapa tidak menungguku?!"
Kenapa wajah anak itu manis sekali, batin Jaehyun. Terutama matanya yang bulat―
"Karena Taeyong lama!"
"Hyung harusnya tetap menungguku!"
Jaehyun menggeleng, berusaha melakukan yang terbaik untuk membiarkan dirinya tetap waras. Tapi ia tak bisa bertahan lebih lama lagi.
"Aku menunggumu di sini. Dengan Pama―" Sehun berbalik, dan mendapati tempat itu kosong, hanya ada dedaunan kering yang perlahan jatuh di tempat yang seharusnya paman itu duduk. "Huh?" Alisnya mengerut. Ia yakin jika sosok itu masih ada di sana beberapa detik lalu.
.
Hari-hari berikutnya Jaehyun habiskan dengan memandangi dua anak kecil yang bermain di taman. Menatapi mereka dari kejauhan, jarak yang aman untuk Jaehyun.
Hari ini tepat seminggu sejak pertemuan pertama Jaehyun dengan dua anak itu. Dan ia menyerhit heran saat tak mendapati mereka bermain bersama di taman seperti biasanya.
Ada rasa kecewa saat ia tahu tak bisa melihat senyuman Taeyong-nya hari ini.
"Sudahlah," gumam Jaehyun. Menuju tempat biasanya untuk membaca.
Tapi rupanya hari ini hari sialnya (atau keberuntungannya?). Karena sosok kecil Taeyong berjalan melewatinya sambil membawa sepeda, berhenti tepat di depannya. Mata bulat besar dan berbinar itu menatapnya lama.
Jaehyun sudah hampir melemparkan bukunya saat itu dan kabur. Tapi tentu, tidak. Anak itu akan heran atau bahkan menangis jejeritan saat melihatnya tiba-tiba menghilang, karena mengira Jaehyun adalah hantu. Yang harus Jaehyun lakukan saat ini adalah menahan diri.
"A-apa?" Jaehyun bertanya.
Taeyong kecil menaruh sepedanya dan berjalan mendekat. "Apa paman tidak panas memakai pakaian seperti itu?" tanyanya sambil menunjuk pakaian yang dikenakan Jaehyun, dengan jari-jarinya yang tertutupi lengan panjang kaos orange miliknya.
Hari ini bocah itu memang memakai sebuah kaos berwarna orange cerah yang kebesaran, ditambah overall, dan ikat kepala. Tampilannya mengingatkan Jaehyun akan salah satu kartun jepang yang pernah Yuta perlihatkan. Kartun tentang ninja. Apa judulnya? Naruko?
"Aku tidak boleh terkena sinar matahari. Karena―" Jaehyun berfikir untuk menemukan kata-kata yang cocok untuk menjelaskan. Karena menjawab 'aku vampir' sangat tidak mungkin. "―aku bisa sakit," lanjut Jaehyun tak yakin. Tapi berharap kata-katanya akan mampu dimengerti.
"Apakah Paman seorang albino?!" Tanya si anak dengan penuh semangat saat ia malah duduk di samping Jaehyun, yang tersentak dan menjauh. Aromanya semakin kuat, membuat Jaehyun harus bersusah payah dengan mengepalkan tangannya.
"Bukan."
"Setengah albino?"
"Bukan."
"Alien?"
Mata Jaehyun melebar. "Dengar, Nak―"
"Taeyong." Katanya riang.
Jaehyun mengusap pelipisnya. "Baik, Taeyong. Aku tidak bisa terkena sinar matahari. Bukan karena aku sakit, apalagi karena aku alien. Karena tidak bisa saja―"
Dia melihat Taeyong bergeser lebih dekat padanya.
"Apa yang kau lakukan?" kaget Jaehyun. Menggeser badannya menjauh.
Anak kecil itu tersenyum. "Kenapa Paman terus menjauh? Taeyong tidak akan menggigit."
Apakah vampir bisa meraasa sakit kepala? Jaehyun bertanya-tanya.
"Mana anak lain yang selalu bermain denganmu?"
Taeyong memeluk kakinya yang terlipat ke dada, cemberut. "Sehun-hyung kena cacar. Aku bosan." Sebelum kembali tersenyum dan menarik-narik lengan Jaehyun. "Paman ayo bermain denganku~"
"Tidak―" Jaehyun merasa bersalah saat melihat ekspresi kecewa itu, " Berapa umurmu? Kau seharusnya main dengan teman sebayamu." Karena aku terlalu berbahaya, tambah Jaehyun dalam hati.
"Tujuh." Jawabnya polos.
Tak lama Taeyong kembali cemberut.
Jaehyun tidak pernah menyangka akan datang saat dimana ia ingin sekali mencubit pipi seorang anak kecil seperti ini dalam hidupnya. Jung Jaehyun sadarlah.
Jaehyun tersentak saat ada tangan mungil yang mengelus pipinya. "Wah, kulit paman putih sekali―" Ia bahkan tak sadar kapan anak kecil itu bergerak mendekat padanya. Jaehyun berdiri secepat kilat, berusaha untuk tidak membenamkan taringnya ke leher Taeyong saat itu juga.
"Aku harus pergi."
Taeyong terlihat tak senang. Tapi tersenyum kemudian. "Baiklah. Sampai jumpa lagi, Pam―" Ia menghentikan kalimatnya saat tersadar oleh sesuatu. "Oh, iya. Nama Paman siapa?"
Jaehyun tiba-tiba berhenti, ia berbalik. "Jaehyun. Jung Jaehyun."
Senyuman Taeyong semakin lebar. Ia melambai, dengan semangat. "Sampai jumpa lagi, Paman Jaehyun."
Jaehyun membalas lambaian asal dan cepat-cepat pergi.
Tangannya menyentuh pipinya sendiri, yang tadi sempat dielus Taeyong. Merasakan masih ada sensasi hangat yang didapatnya dari tangan mungil itu.
"Jung Jaehyun. Sepertinya kau sudah gila…"
-To be Continued-
Annyeonghaseyo~ Kembali dengan fanfic yang lain, minna-san. Karena OTP-ku ini manis sekali. Hihi.
Kali ini temanya tentang vampire ala-ala. Semoga suka. =))
Kritik dan saran sangat dinanti. Jadi jangan sungkan untuk mengisi kotak review.
See ya =D
(Oh iya, apakah alurnya terlalu cepat?)
