"Komandan, apa anda ingin sedikit krim untuk kopi anda?"
"Jangan terlalu banyak, Petra! Aku bukan bayi,"
Kopral Kepala Levi kembali menggunakan waktunya untuk menyelesaikan beberapa laporan. Tumpukan portofolio berdiri kokoh bagaikan ketiga dinding pertahanan umat manusia; dia bukanlah tipe pria yang cocok bekerja dibalik meja. Ia adalah 'orang lapangan.' Biasanya Petra yang menggantikannya. Pekerjaan terkutuk seperti ini terlalu membosankan.
Lalu mengapa kini ia mengerjakannya seorang diri?
Pertanyaan tersebut belum terpikirkan sebelumnya oleh sang komandan. Perhatiannya terlalu dibuat sibuk oleh laporan yang memiliki tenggat deadline ini. Kecuali tentang kebersihan, ia tak pernah menggerutu. Oh, tidak pernah; selain di dalam hatinya sendiri tentu saja.
"Mana kopiku, Petra?" Ia meninggikan suaranya. Bibirnya terasa hambar, dan ia tak diperbolehkan menghisap rokok ataupun cerutu selama berada di lokasi kerja, terutama kantor. Scouting Legion memiliki peraturan mutlak dan ketat untuk menjaga fisik prajurit agar tetap fit. Berbeda dengan Gendarmerie pemalas diatas sana. "Kau membuatku menunggu, Petra...! Dan mengapa kini komandanmu yang harus menyelesaikan semua ini?!"
Levi menghentikan tarian penanya. Ia menoleh kearah daun gerbang menuju lorong dapur. "Petra?"
...
Sial, bodohnya. Ia membatin, setelah terdiam untuk beberapa detik. Tatapannya berubah tenang dan dingin. Dungu sekali...?
Sang komandan melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak suka membiarkan anggota dari divisi lain melihat keterlambatan Divisi Levi dalam mengumpulkan laporan. Presentase 100% selalu diraih timnya dalam masalah ketepatan waktu, baik praktik maupun tertulis.
Dia tidak bisa melanjutkan ini semua. Matanya berkunang-kunang, tarian cahaya berputar dihadapannya dan membuatnya pusing. Belum dihitung rasa kantuknya, sang komandan sungguh membutuhkan secangkir kopi pahit. Ekstra pahit, hanya untuk membuat mata malasnya terus memelek.
Ia berdiri, mulai melangkah kearah dapur. Meraih coffee maker dari dalam almari, ia mulai menuangkan air kedalam ceret mungil tersebut. Levi kemudian memasukkan tiga sendok bubung kopi hitam. Tanpa gula... Tanpa gula sama sekali. Dia harus tetap terjaga.
Dia hanya harus tetap terjaga.
Ia tak bisa tertidur. Ia tak ingin tertidur untuk saat ini.
Levi menuangkan kopi hitam pekatnya pada secangkir mug berwarna jingga. Dia selalu menyukai warna jingga. Itu adalah warna petualangan. Dicampur dengan merahnya keberanian, jingga juga warna putih. Ia tak bisa tidak dibius cantiknya warna tersebut.
Tanpa ekspresi, ia mengaduk kopinya sebelum mengarahkan ujung bibir guna mencicipinya. "...Brengsek," Levi mengutuk dari balik napasnya. Walau begitu ia tetap menenteng mugnya kearah meja kerja, tak hilang sedikitpun ekspresi dan postur malas tersebut. "Kenapa ia selalu bisa membuatkanku kopi pahit dengan rasa yang enak?"
Dan dengan sedikit krim, rasa kopi buatannya bagaikan mencicipi makanan surga.
...Dasar,
Ia menatap lurus meja kerjanya. "Aku tidak mengerti," Menyentuh sampul dari salah satu buku yang berada diatas mejanya, Levi mulai menyapu dan melempar-lemparkan buku-buku itu satu persatu ke berbagai sudut ruangan.."Aku hanya tidak pernah bisa mengerti."
Mejanya kini telah kosong melompong. Tak ada lagi portofolio tetek bengek dan tak ada lagi kertas-mengertas serta buku-buku. Ketika melihatnya, dengan membandingkan dari yang sebelumnya, perasaan sang komandan sedikit lega. Ia kekanakan seperti itu
Levi meletakkan cangkir tersebut tepat di tengah meja. Ia memperhatikan tiap tekstur mug jingga itu. Melakukan pekerjaan yang tidak penting seperti ini membuat pikirannya kosong. Fase yang selalu disukai Levi tiap kali memasuki mode perenungan.
"Yah...bukankah kalau begitu kopinya jadi dingin, komandan?"
Ini tak semudah yang ia pikirkan. Merundukkan kepalanya diatas meja, Levi mengarahkan kedua lengan ke balik kapalanya. Diluar terlalu terang. Hari ini terlalu cerah. Mengapa tidak hujan saja? Mengapa suasana selalu tidak mendukung ketika kita memintanya? Levi hanya penasaran pada awalnya, namun ia tahu benar jawaban dari itu semua.
Nampak jelas bagaikan terik di siang bolong. ini bukan dunia dalam buku. Ini kenyataan. Ini adalah hidup; dunia yang kejam.
Dunia dimana yang kuat memakan yang lemah. Dunia dimana derita dan kemarahan menjadi satu, menjebak manusia di dalamnya.
Ia tak biasa berduka. Kewajiban serta tugas hanya meninggalkannya sedikit waktu untuk berkabung atas kepergian rekan-rekannya. Dia hanya harus menjadi lebih kuat. Tidak, mereka sisanya harus menjadi lebih kuat.
Kematian selalu menodai sayap-sayap kebebasan. Mereka meneteskan darah dan air mata yang orang lain tak pernah bayangkan sebelumnya. Mereka adalah para prajurit pemberani yang rela mengorbankan segalanya. Namun semakin lama, orang-orang (yang hendak mereka bawakan harapan) malah menatap mereka dengan tatapan rendahan dan mengatai mereka 'murni sinting.'
Ia kembali menengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang pribadinya. Sial, ini mengesalkan.
Dadanya seolah menyekap paru-parunya untuk mensirkulasikan udara. Sesak; dia kehabisan napas. Dia harus bergerak; ini semua membuatnya naik pitam. Menggertakkan kedua rahangnya, ia berdiri, meraih karung tinju dan mulai melancarkan jab demi jab yang disusul dengan hook berat berisikan amarah dan kekesalan.
Pandangan busuk macam apa itu?
Manusia busuk tak tahu diuntung!
Sial, sekarang aku merasa ingin mencungkil mata mereka.
Apa mereka mengerti dengan arti kata determinasi? Apa mereka tak sadar untuk apa kami semua berkorban nyawa?
Manusia,
Apa manusia masih pantas untuk diselamatkan?
Pendosa.
Tak tahu berterima kasih.
Egois.
Menjijikkan; keparat-keparat yang pantas disantap monster.
"Jangan katakan hal seperti itu, komandan,"
"...Lalu, untuk apa kau bertarung, Petra?"
Levi masih dapat mengingat senyuman polos itu. Begitu kekanakan seperti senyuman anak-anak. Begitu cerah bagaikan matahari. "Apa? Aku tidak menyuruhmu tersenyum, sepertinya."
"Ehehe...maaf kapten. Aku pikir terkadang anda bisa juga memberikan pertanyaan bodoh,"
"Apa, jadi kau memang melindungi kotoran seperti mereka?" Levi mengangkat sebelah alis matanya, menatap bawahannya dengan tatapan tak percaya. "Berikan aku satu alasan."
"Aku bertarung demi anak-anak." Mendengar itu, Levi membuang ekspresi sebelum ini. Ia merasa berminat dengan penjelasan lebih lanjut wanita dihadapannya ini. "Mereka adalah satu-satunya yang pantas diselamatkan di negeri ini."
Itulah yang membuatnya kagum terhadap wanita berambut jingga tersebut.
Ia lain daripada yang lain. Petra bukanlah malaikat; malaikat kematian, baru mungkin. Dia adalah wanita yang lain daripada yang lain. Dia kuat, tak berbelas kasih, namun juga memiliki pesona kewanitaan unik tersendiri. Ia pembunuh. Ia telah melihat ribuan liter darah yang para titan muncratkan. Itu membuat dirinya berbeda dari wanita lain yang pernah dijumpai Levi.
Tidak begitu banyak yang ia lindungi. Untuk permulaan, Levi bertarung untuk melindungi dirinya sendiri. Lalu dia sadar bahwa ia ternyata juga ingin membawa manusia keluar dari dalam dinding pembatas. Dan setelahnya, mungkin ia mendapatkan satu hal konkrit yang ingin ia lindungi,
Levi membalas tatapan cerah Petra, menyaksikan sepasang bola mata polosnya.
"Sekarang giliranku...bagaimana denganmu, komandan?"
"Pertanyaan yang sama?"
Ia mengangguk. "Pertanyaan yang sama."
"...Aku merasa tak ingin menjawabnya."
"Tap-tapi, itu curang~"
...
Sekarang apa tujuanku bertarung?
Seolah berniat menghancurkan karung tinjunya, ia belum akan menghentikan luapan emosinya ini. Ia membutuhkan sesuatu untuk dihancurkan. Katakan padaku, untuk apa aku bertarung sekarang, "Untuk apa aku bertarung kini, Petra!"
Suara ledakan terakhir pada permukaan karung menghentikan Levi di tengah-tengah kuda-kudanya. "...Berikan aku...satu saja alasan,"
Ia beralih ke kasur, duduk di atasnya. Levi membenamkan kedua telapaknya ke matanya. Napasnya tersengal-sengal, kepalanya terasa panas, dan uap tipis dapat dirasakan keluar dari setiap pori-pori tubuhnya. "...Mengapa?" Levi bergumam. Dia tak biasa mempertanyakan haknya. "Mengapa secepat ini, Petra?"
Petra Rall sudah tak ada lagi dalam hidupnya. Dan kini ia membutuhkan alasan baru untuk bertarung, untuk berjuang. Ia telah kehilangan Taman Firdaus-nya, turun bebas menghantam bumi.
Mengeluarkan cincin emas berbalut darah kering dari dalam kotak usang, ia menatapnya dengan wajah sendu. Tragis.
Hanya ini yang tersisa dari tunangannya.
