Desember.
Salju turun dengan teratur. Semesta kelam sewarna jelaga berbanding terbalik dengan hamparan putih yang terlihat rapuh. Menutupi setiap sisi kehidupan sejauh mata mengedarkan pandangan.
Bola lampu yang terletak secara beraturan, memberikan pencahayaan dengan sinar remang. Menegaskan bahwa masih ada kehidupan walau benda putih yang terlihat lembut seolah ingin menutupi dunia yang sepi.
Pohon rindang yang bertahun lalu di tanami, hanya menyisakan ranting dan batang yang diselimuti salju di penghujung desember ini.
Bangku panjang, di bawah pohon pinus yang telah merelakan daunnya pergi. Seseorang duduk dengan posisi memeluk lutut. Jujur saja, berlindungpun tidak ada gunanya. Kala itu, salju terlalu meramaikan malam yang semakin larut. Hanya tudung yang menyatu dari sebuah jaket wol berwarna marun yang ia kenakan sebagai perlindungan atas serbuan es yang jatuh menimpa tubuhnya yang mungil.
Bibirnya bergetar kala hembusan nafas mengepulkan asap tebal atas perbedaan suhu tubuh dan sekitar yang begitu kontras.
"Sruk sruk sruk."
Langkah kasar membuat ia mengangkat kepalanya yang tertunduk semenjak ia memutuskan untuk duduk di kursi besi pada sebuah taman yang catnya sedikit mengelupas.
Kini helaian biru hitam terlihat semakin jelas. Matanya berkedip inosen dengan poni yang membingkai wajahnya yang terlihat merona karena udara di sekitarnya. Matanya menatap dengan teliti setiap gerakan yang dilakukan sang lelaki. Ia terus berspekulasi, mengapa di taman yang sepi orang itu menginjakkan kaki? Hanya sekedar lewat pun tidak masuk akal, mengingat taman bukanlah alternatif yang baik yang diambil sebagai jalan pintas. Pikirannya sederhana, mengapa ada orang di saat rumah adalah tempat yang paling indah?
Seseorang berperawakan sedang dengan coat hitam legam yang seolah ingin menyaingi malam yang kelam melewatinya dengan langkah kasar yang di paksakan. Menapaki alas putih yang cukup dalam, meninggalkan bekas yang cukup meyakinkan bahwa ia tidak akan mampu berjalan lebih cepat.
Gadis itu meyakini, orang yang lewat di hadapannya adalah seorang lelaki. Postur tubuhnya membuktikan itu, ditambah gayanya yang terlihat sangat maskulin semakin menegaskan persepsi.
Orang itu menepi. Tangannya aman di saku coat yang terlihat sangat hangat. Tudungnya yang terlalu besar menyamarkan wajahnya, ditambah cahaya temaram tidak terlalu membantu apalagi posisi pemuda itu memunggungi seorang gadis yang masih dalam posisinya.
"Tatapanmu mengganggu."
Suaranya. Persis seperti cuaca di penghujung tahun ini. Dingin dan menusuk. Membuat gadis itu menggigil karena dua hal yang membuatnya benar-benar tidak nyaman.
Pemuda itu melihat melalui bahunya yang tegap. Tudung itu, terlalu tertutup.
"Tundukkan kepalamu!"
Bibirnya membuat lengkungan searah gravitasi bumi. Tubuhnya ikut menggigil, matanya berair. Lalu gadis itu menangis.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Hyuuga Hinata & Uchiha Sasuke
Viola Del Pensiero
OOC, Typos
.
.
.
.
.
Chapter 1 : Kesan Pertama
"Buka jendelanya jika kau memutuskan untuk merorok di dalam kamarmu."
Pandangannya lurus, langkahnya santai menuju teralis besi yang terkunci.
"Siapa yang mengijinkanmu masuk?"
Tatapannya penuh selidik, nada bicaranya penuh intimidasi. Seseorang yang diajak bicara dengan santainya membuka jendela besar dengan tralis besi otomatis. Ia menghirup udara segar menggantikan asap rokok yang memenuhi pernapasannya semenjak ia memasuki kamar yang didominasi warna gelap ini.
"Itachi!" Pandangannya semakin menajam. Menuntut penjelasan.
"Tidak ada."
Pemuda yang lebih muda membuang nikotin yang masih menyala seraya mendecih sebal. "Keluar!" Ia memerintah.
"Tinggalkanlah hal-hal yang akan membuatmu mati muda, Sasuke." Suara beratnya terdengar sangat berwibawa.
Ia menatap taman yang di penuhi beberapa kumpulan tanaman bunga beraneka warna. Ada tukang kebun yang terlihat tengah menatanya di sana.
"Bukan urusanmu."
"Itu menjadi urusanku selama kau berada dalam pengawasanku," Ia sedikit meninggikan nada suaranya di sertai dengan penekanan pada tiap katanya. "Baka otouto." Di akhiri senyuman yang terpatri di wajah dewasanya yang membuat wanita rela mengantri untuk diperistri. Namun sayang, adik kecilnya lebih berarti.
"Aku bukan bayi yang butuh pengasuh." Ia berujar seraya beranjak dari ranjangnya yang sangat-sangat berantakkan.
Itachi perlahan melangkah santai menghampiri Sasuke yang bersiap untuk pergi.
"Aku sudah melaporkanmu kepada Otou-sama."
Gerakan pemuda yang lebih tinggi satu inci itu terhenti, pemuda berambut kuncir menyeringai penuh arti. Setidaknya, perkataannya barusan cukup ditanggapi ya walaupun dengan respon sedikit saja sudah membuat rasa kesal Itachi terobati.
"Ya silakan." Jawabnya asal.
Sasuke membuka kaosnya, menampilkan otot-otot yang terbentuk di tubuh kekarnya. Ia seorang berandal, bertarung adalah bagian dari hidupnya, dan olahraga merupak rutinitasnya. Jadi tidak perlu alasan lagi mengapa Sasuke mendapat tubuh sebagus itu. Lantas menggantinya dengan kaos lain yang lebih bersih dari lemari yang kini terkunci.
"Pergi lagi?"
Itachi bersandar pada lemari yang dilewati Sasuke dengan pasti. Ia terlihat santai memperhatikan adiknya yang sebentar lagi akan beranjak.
Melangkah lagi ke seberang. Disana terletak meja yang sama kacaunya dengan isi kamar yang lain. Kamus-kamus dan rentetan buku tebal sedikit berdebu, maid rumah ini jarang membersihkannya. Mungkin debunya masih sangat tipis, bukan hal yang penting lagi. Tetapi alasan lainnya adalah buku itu jarang sekali tersentuh jari-jemari manusia.
Jari lentik Itachi, menelusur membuat garis tipis ketika debu berpindah ke tangannya yang pucat. Ia tersenyum getir, kapan terakhir adiknya sudi berkutat dengan buku-buku terlantar ini?
Merasa diabaikan, Itachi kembali membuka suara untuk menyambung pembicaraan yang Sasuke anggap 'sangat tidak penting.'
"Kapan terakhir kau pergi ke sekolah?"
Sasuke berhenti, Ia menoleh melalui bahunya, mengarahkan mata sewarna jelaga dengan tatapan penuh keangkuhan. "Aku lupa."
Lantas pergi.
Membanting pintu kamarnya. Meninggalkan Itachi yang harus segera memanggil asisten rumah tangga untuk mengurusi kekacauan di kamar adik tercintanya ini.
.
.
.
.
.
.
.
"Kapan kau akan membayar?"
"Diam Naruto!"
Sahabat pirangnya merengut sebal. Sudah meminjam uang membentak pula. Kalau bukan si tuan superior Uchiha Sasuke yang merupakan sahabat kecil sekaligus anak dari teman ayah tercintanya, Naruto bisa saja menonjoknya di tempat. Saat pemuda itu keluar dari bar langganan yang tentu saja sangat 'oh mahal' tanpa membayar dengan alasan berupa gumaman tidak jelas seraya pergi memasuki mobil mewahnya yang belakangan diketahui ia beli dari uang untuk keperluan sekolahnya.
"Itachi sialan!" Pemuda itu terus saja mengumpat. Berkali ia meminum minuman berkadar alkohol sangat tinggi sambil memainkan alat komunikasi.
"Turuti saja apa kata Itachi-nii, percayalah kau tidak akan rugi." Pemuda itu berkata seraya menengadah menatap langit-langit kamar apartemennya yang sering kali di singgahi Sasuke setiap harinya.
"Silakan bermimpi."
Lalu hening.
Naruto dengan lelahnya dan Sasuke dengan ketidak peduliannya.
.
.
.
.
.
.
.
"Aku tidak mengerti."
Sensei berambut nila bermata coklat itu terus mengulang perkataan sama secara berkala. Gadis di belakangnya hanya tersenyum paksa.
"Kenapa bisa Tsunade-sama memasukkan seorang murid ke dalam kelas eksekutif itu."
"Sudahlah Anko-sensei, jangan membuat gadis itu merasa buruk di hari pertamanya."
Yang berambut hitam sebahu lebih pandai membaca situasi. Ia tersenyum kepada gadis di sampingnya seraya mengucapkan permohonan maaf berkali-kali.
"Aku melihat kemampuan akademisnya cukup tinggi." Sembari mendekap map berisi absensi juga beberapa lembar materi yang akan menjadi pembahasannya hari ini, Shizune-sensei menahan ucapannya, "Kurasa itu masuk akal."
"Hanya saja..." Anko berujar dengan ragu, ia menahan ucapannya seakan tahu bahwa kejanggalan ini sangat jarang terjadi. Sembari berhenti melangkahkan kaki, Anko berpikir lagi berusaha mencari spekulasi pasti.
"Jaa, Hyuuga-san," Shizune merasa bosan dengan celotehan sang rekan, beruntung pintu bertuliskan XII 1 telah sampai di hadapannya. "Kau masuk di jam ketiga saat pelajaranku." Sensei ramah itu tersenyum sampai kedua matanya terpejam.
"Kau siap?" Tawarnya penuh antusias.
"Umm." Responnya cepat. Membuat Shizune merasa simpatik pada gadis ayu ini.
"Baiklah, sepertinya aku harus pergi."
Seakan mengerti, Anko melenggang pergi dengan lambaian tangan acuh seraya berbalik dan hilang di telan sunyi lorong sepi saat pelajaran berlangsung kini.
Pintu terbuka. Menampilkan seluruh sorot mata seisi kelas mengarah padanya. Siswanya memang sedikit, namun tingkah polah mereka yang unik membuat warga baru disana mengeryit. Kelas eksekutif? Pasti karena mereka dari kalangan elit.
Shizune menarik napas, nampaknya sensei berambut perak yang selalu identik dengan telat itu gagal mengajar hari ini sehingga kelas kosong dari awal bel berbunyi tadi pagi.
"Jaa minna, kalian kedatangan teman baru."
Tatapan langsung mengarah pada gadis berambut sepunggung yang menunduk canggung berdiri di depan podium.
"Silahkan perkenalkan dirimu."
"Hyuuga Hinata. M..mohon bantuannya." Gadis itu membungkuk hormat.
Pandangan Shizune menjelajah seisi kelas yang kosong. Seharusnya ada bangku yang selalu kosong di kelas ini semenjak empat minggu belakangan.
"Yatta!" Shizune berseru dalam hati. Ingatannya memang baik, persepsinya tidak salah lagi kini.
Ia tersenyum tulus sebelum berujar,"Nah, Hyuuga-san silahkan duduk di belakang Naruto-kun."
Seisi kelas menatap pemuda pirang yang sedari tadi enggan untuk diam, "C..chotto matte sensei! Ini 'kan kursi Sasuke, b-bagaimana kalau-"
"Ah kau benar." Sensei itu menyetujui pembelaan muridnya yang paling hiperaktif ini.
"Tapi..." Ia membuka file berisi absensi yang tersusun rapi dalam map berwarna coklat, "Ia tidak masuk selama delapan pertemuanku belakangan ini."
"Hyuuga-san silahkan duduk," Shizune kembali berbicara bermaksud menyela pemuda pirang berparas tampan yang hendak melayangkan pembelaan. "Naruto-kun silahkan angkat tanganmu." Masih dengan bersungut-sungut Naruto mengangkat tangan kanannya dengan malas.
Hinata merasa enggan. Ia merasa untuk duduk saja ia telah mendapat penolakan. Kehadirannya pun seperti sangat tidak dibutuhkan, malah ia diabaikan setelah duduk dengan tenang tanpa ada satupun yang mengajak berkenalan. Sebelum...
"Hyuuga, salam kenal. Namaku Uzumaki Naruto. Kau tahu? Aku suka sekali ramen." Hinata terpana. Takjub dengan sikap pemuda ini yang seolah memiliki kepribadian ganda.
Hinata menggeleng cepat, bagaimana bisa seseorang yang terlihat sangat menyebalkan yang seolah sangat tidak rela bangku seseorang bernama Sasuke di duduki olehnya kini menjadi satu-satunya orang yang benar-benar menghargai keberadaannya. Hinata merasa diakui.
"Hyuuga Hinata, salam kenal Uzumaki-san."
.
.
.
.
.
.
.
"Apakah aku sedang bermimpi?"
Pemuda pirang di hadapannya mengucek-ngucek matanya dengan gaya seolah berada dalam keterkejutan yang luar biasa besar.
Sedangkan lawan bicaranya mendelik sebentar sebelum kembali terfokus pada sebuah buku berisi teori-teori klasik yang tengah ia telisik. Angin berhembus cukup kencang dari jendela yang terbuka penuh. Musim semi selalu berbeda, angin sekencang apapun tetap terselip kehangatan di dalamnya. Mengingat itu, ingin rasanya ia melempar orang yang mengaku sahabatnya keluar jendela agar ia biasa berhenti menghujaninya dengan pertanyaan berbeda bermakna sama, berisi ketidak percayaan.
So? Bagaimana tidak. Baru dua hari kebelakang ia meminta Sasuke untuk menuruti Itachi. Menuruti artinya mematuhi segala kehendak Itachi, sekolah adalah bagian kecil dari ini, dan Sasuke dengan entengnya mengatakan "Silakan bermimpi". Lalu dua hari berselang, meja yang selalu kosong di setiap harinya selama sebulan belakangan ini terisi oleh seorang pemuda penggila gel rambut dengan sebuah buku menjadi fokusnya. Ia hampir terlonjak ketika pemuda itu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hell pintar sekali rupanya.
'Mungkin Itachi berhasil melakukan brainwash pada Sasuke.' Naruto membatin.
.
.
.
.
.
Hari kedua. Hinata melangkah dengan tenang walau raut wajahnya dipenuhi beban. Ia berusaha menutupi dengan menundukkan kepala menghadap lantai marmer berwarna kusam.
Entah mengapa, perjalanan menuju kelasnya terasa sangat singkat ketika ia melangkahi anak tangga serasa membawa beban di kakinya ketika mentalnya belum terasah untuk menjadi bagian dari anak-anak kalangan borjuis, ya walaupun ia merasa kehadirannya belum di terima melihat latar belakangnya yang tidak setenar mereka.
Hinata menahan langkahnya. Sekali lagi ia melirik jam klasik yang ia dapat di awal masuk SMA, sebagai hadiah, katanya. Masih setengah jam lagi sebelum bel berbunyi, itu artinya kelasnya bisa di pastikan masih sepi. Ia lebih suka melangkah dengan pasti ke bangku paling ujung di banding melangkah dengan lambat ketika semua bola mata seisi kelas seolah mengawasi.
Ya. Hinata siap, ia membuka pintu geser kelasnya dengan pasti. Segera menunduk memperhatikan uwabaki ketika disadari ada orang lain di kelasnya kini. Pertengkaran kecil dapat ia dengar, bukan bermaksud menguping atau ikut campur, tapi sayangnya si perusuh ada di tempat duduknya. Sosok pemuda berperawakan tegap berwajah datar dengan sorot mata dingin menatap buku yang tampaknya lebih menarik dari sahabat pirangnya yang terus berceloteh.
T..tunggu,
Jangan-jangan...
"A-ano..."
Dua orang pemuda yang memiliki warna rambut berbeda sontak menatapnya yang membuka suara setelah keheningan ketika si pirang lelah dengan celotehannya yang terus saja diabaikan.
"Siapa dia?" Benar. Suaranya sedatar wajahnya.
"Ahaha aku lupa, " Pemuda pirang tergelak dalam tawanya yang singkat, "Dia murid pindahan yang baru masuk kemarin."
"Aku tidak punya waktu."
Kedua manusia dengan tatanan rambut berbeda juga gender yang tidak sama mengeryit dalam kebersamaan yang memuakkan bagi si pantat ayam.
"Kau ingin berkenalan 'kan? Aku tidak punya waktu." Ia membalik lembar kertas lusuh itu dengan santai. Suaranya terdengar jelas kala atmosfer berubah menjadi sepi senyap seolah tanpa kehidupan.
Si pirang masih terdiam, wanita yang pada dasarnya adalah makhluk yang paling peka merasakan kedutan di alisnya. Apa-apaan pemuda di hadapannya ini.
Tampan iya, tapi sikapnya berbanding terbalik dengan parasnya yang enak di pandang.
"S..sombong sekali." Suara lembutnya terasa dingin, gadis itu menunduk menyebarkan aura yang tidak mengenakkan bagi si pirang tapi diabaikan si raven.
"M..maaf aku tidak bermaksud begitu."
"Lalu?"
"Anda duduk di kursi saya."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga det-
Apa katanya?
"Kau bermimpi Nona, " Pemuda raven itu menutup buku yang semula ia baca, terlihat ia sudah mulai bosan dengan isinya. Lantas berdiri, "Ini kursiku, mungkin kepalamu terbentur sesuatu."
"T..tapi kemarin a..aku duduk disini."
Alis Sasuke berkedut. Ia memijit pelipisnya.
Apa ini? Hadiah di hari pertamanya? Sungguh Sasuke merasa kesal. Apa katanya? Sasuke berani bertaruh selama ia tidak masuk sekolah tidak akan ada yang berani menyentuh kursinya apalagi sampai duduk disana, tidak akan ada yang betah. Terlebih di depan kursi itu adalah singgahsana si pirang yang merepotkan.
Pirang.
Naruto.
"Naruto. Jelaskan ini padaku." Suaranya tajam seperti tatapannya tadi, Hinata bergidik ngeri.
"Apa?" Aura ceria pemuda itu, membuat Hinata menarik napas lega. Setidaknya ada seseorang yang bisa ia harapkan.
"Pergi!"
"Ta..tapi, "
"Kubilang pergi!"
Sasuke tidak mau hari pertamanya terkontaminasi dengan hal-hal merepotkan yang bersumber dari gadis malang yang tengah ketakutan.
"O..oi berhenti." Naruto menjadi penengah, Hinata bersyukur karenanya. "Biar aku meminta kursi lain," Naruto berdiri, bersiap untuk pergi.
"T..tapi, "
Ada cengiran lebar yang membuat Hinata terpana, "Kau duduklah di tempatku, aku tidak akan lama kok, Hyuuga." Hinata menatap kepergiannya dengan suka cita, merasa berhutang budi pada tuan baik hati yang beranjak pergi.
"Gadis merepotkan."
Sasuke bergumam tajam, Hinata menoleh dengan refleks.
"Apa?" Tanyanya dingin.
Kelopak mata besar yang menyimpan sebuah bola mata berwarna ungu lembut itu sangat tidak berdosa. Kilauannya menyimpan luka. Terlebih ada genangan air yang berusaha gadis itu tutupi dengan membuang pandangan dari seorang Uchiha yang tertegun di posisinya.
Dè javù.
Sasuke mendecih.
"Cengeng!"
.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
aZhuraaaa, 14 Juni 2016
