Somewhere I Belong

.

.

Pairings are still secret~ :3

.

.

Disclaimer pt. 1: The original story belongs to my friend, Sky_Vanillasky on Wattpad, under the title 'Somewhere I Belong'. It's a straight story. I have her permission to remake her story, make slight changes here and there (turn it to yaoi at that *inserts smug face here lol*), but the story will be quite different since I add my own preferences in the plot too~

So it's not a plagiarism or so.

Disclaimer pt. 2: All the casts in the story belong to God, themselves, their parents and me *gets slapped* But I called dibs on Taetae! *gets slapped pt.2* XD

.

.

Happy reading~

.

.

Sosok kecil itu meringkuk ketakutan dibawah sebuah meja kayu besar yang menaunginya. Pintu yang terbuka lebar mengantarkan hawa dingin malam dan angin meliuk memainkan tirai jendela. Persis seperti adegan di film horror yang pernah ditontonnya. Hanya saja, kali ini nyata. Bukan film maupun cerita fiksi yang pernah dibacakan sebagai dongeng pengantar tidurnya.

Tubuh mungilnya menggigil. Dua tangan kecilnya menyumbat lubang telinga yang mengantarkan gelombang suara di sekitarnya.

Suara gemuruh.

Derasnya hujan.

Dan yang paling dia takuti... suara bariton itu.

"Dasar pelacur sialan! Berikan uang itu cepat!"

Prang!

Suara hempasan jatuh benda-benda yang terbuat dari aluminium itu membuatnya melonjak terkejut. Disusul oleh benda-benda lainnya, sepertinya barang pecah belah. Namja kecil itu menarik dirinya semakin dalam di bawah meja.

Suara teriakan kesakitan menggema. Gedebuk jatuh sebuah tubuh dan tamparan yang menyayat hati menyebabkan namja kecil itu memejamkan matanya rapat, berharap kejadian itu cepat berlalu seperti mimpi semalam.

"Tidak ada katamu! Heh, aku butuh uang. Tidakkah pelangganmu itu memberimu uang lebih? Jangan coba kau sembunyikan dariku!"

Prang!

Kali ini suara botol pecah mengagetkannya.

"Bunuh! Bunuh saja aku dari pada kau perlakukan aku seperti ini! Aku bukan pelacur!"

"Heh, kau pikir aku bodoh ha? Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri kau main-main dengannya! Tidak usah berpura-pura suci! Sekarang mana uangnya. MANA?!"

Prang! Prang! Plak!

"Dasar pelacur sialan!"

Dapat ia dengar wanita yang dipanggilnya ibu itu menangis, merintih kesakitan. Dan ia hanya bisa meringkuk disana ketakutan sendirian. Bukan, bukan pengecut. Dia hanya terlalu kecil dan takut untuk menggerakkan badannya untuk menolong ibunya. Saat tak ada lagi suara, dia masih juga takut untuk keluar. Biasanya ibunyalah yang akan menariknya keluar dari kolong itu, memeluknya dan berkata semuanya sudah baik-baik saja.

Meski tubuh ibunya penuh luka dan wajahnya ada banyak lebam, dia akan tetap percaya semuanya baik-baik saja.

Tapi kali ini tidak. Saat pagi datang dan ia terbangun, ia mendapati dirinya masih berada di balik meja, masih dengan posisi seperti janin. Perlahan ia menggerakkan badannya yang terasa kaku dan sedikit dingin karena berbaring di lantai semalaman, terlebih dengan derasnya hujan yang menambah dinginnya udara tadi malam.

Dia bergerak keluar dan mencari ibunya. Memanggil-manggil pelan seraya berpaling kesana-sini ke seluruh ruangan yang kacau balau dengan pecahan kaca dan barang yang berserakan disana-sini, hingga atensinya tertuju pada satu sosok yang terbaring di lantai. Dengan cepat dia meringkuk di samping sosok itu, menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu sembari memanggil-manggil namanya pelan.

Dingin.

Tubuh itu terlalu dingin.

Entah berapa lama ibunya tertidur di lantai. Apa lebih lama darinya?

.

Mereka bilang ibunya mati karna dibunuh.

Dia terduduk dengan tatapan kosong di depan meja seorang polisi yang sedang mengetik dengan mesin tik, memberi kesaksian. Tak banyak yang bisa dia katakan. Ia pun tak ingat wajah pria itu –orang yang dinikahi ibunya tiga tahun lalu.

Awalnya pria itu baik. Lalu suatu hari ia kehilangan pekerjaannya dan menjadi pecandu alkohol. Dia bilang ibunyalah penyebab nasib malang yang menimpanya karna setiap kesialan datang sejak dia menikah dengannya. Dengan alasan itu, pria itu seenaknya saja menyalahkan ibunya dan memaksa ibunya untuk memberinya uang setiap kali ia pulang.

Uang itu dia hambur-hamburkan untuk berjudi, minum-minum, dan main perempuan. Sementara itu ibunya bekerja siang malam –hingga menelantarkannya –agar mereka bisa tetap hidup.

Namja kecil itu duduk meringkuk di kursi tunggu polisi dengan raut wajah sayu, tak punya semangat hidup. Memangnya apa yang bisa diharapkan? Ibunya sudah tidak ada. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Dia sendirian.

"Oh anak itu," seorang polisi yang bertubuh subur menjelaskan pada wanita di hadapannya. "Sudah tiga hari dia disini tapi tidak ada saudaranya yang menjemput. Ibunya baru saja meninggal karna dibunuh ayah tirinya. Mungkin besok jika masih tidak ada juga saudaranya yang datang, kami akan mengantarkan anak itu ke panti asuhan."

Wanita itu memandanginya. Matanya yang lembut bertemu dengan manik sayu miliknya. Dengan perlahan wanita berwajah keibuan itu bangkit, lalu tangan hangatnya menyentuh puncak kepalanya dan ia tersenyum.

"Siapa namamu?"

Netra yang saling bertubrukan seolah memberi sedikit kekuatan dan rasa…percaya. Hingga mulutnya entah kenapa bergerak lirih.

"Ta... Taehyung."

.

.

Seoul, 10 tahun kemudian

Namja bersurai hitam kelam itu berderap turun menuruni tangga dengan tergesa. Ketukan sol sepatunya terdengar cukup keras menggema di dalam ruangan. Tak berapa lama kakinya mencapai ruang makan dengan langkah ragu. Kemudian pergerakan tubuhnya berubah kikuk, apalagi saat kedua netra berwarna gelap miliknya bertemu dengan pemilik netra berwarna coklat gelap itu.

"Maaf aku terlambat lagi," sesalnya sambil sedikit membungkukkan kepalanya. Ini sudah pagi kesekian ia menjadi orang terakhir muncul di ruang makan.

"Tidak apa-apa. Ayo cepat makan, nanti terlambat ke sekolah." Seperti biasanya, sang ibu tidak pernah mempermasalahkan keterlambatannya.

"Kau harus belajar lebih disiplin lagi, Taehyung. Appa tidak suka kau seperti ini. Disiplin itu sangat penting dalam kehidupan, apalagi saat kau sudah bekerja nanti. Kau bisa mendapat masalah jika terus lalai seperti ini."

"Ne, aku minta maaf, Appa."

Tidak ada lagi percakapan. Semua anggota keluarga Min fokus menyantap sarapannya masing-masing. Hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Taehyung bergerak untuk duduk di tempat duduknya, tepat di sebelah seorang namja.

Taehyung melirik namja di sebelahnya yang menyuap makanan dengan gerakan anggun. Namja itu balas melirik sesaat dengan tatapan dingin, lalu tak berselang lama dia membuang pandang, memutuskan dia tidak layak mendapatkan perhatiannya; mengabaikannya.

Dia adalah Yoongi, anak kedua keluarga Min.

Dalam benaknya, Taehyung mulai menilai dirinya sendiri; membanding-bandingkan dirinya dengan Yoongi. Keputusan yang salah sebenarnya karna hal itu tentu saja semakin mengikis rasa percaya dirinya. Bila dibandingkan dengan Yoongi, Taehyung tidak ada apa-apanya.

Ya, lihatlah sikap Yoongi yang tenang dan sangat terjaga. Untaian rambutnya terawat dan terlihat halus. Wajahnya tanpa cela dan otaknya cerdas. Yoongi adalah cerminan makhluk yang sempurna. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, malah terkesan kecil dan mungil—walaupun Taehyung juga sama saja kecilnya, hanya sedikit lebih tinggi— tetapi bahkan seragam pun terlihat sangat bagus melekat di tubuh itu dibandingkan seragam yang dikenakan Taehyung saat ini. Semua hal yang dimiliki Yoongi mampu membuat semua orang merasa iri dan merasa rendah diri seketika.

Lalu matanya menatap ke sosok di hadapannya. Min Namjoon. Anak tertua di keluarga Min. Namja tampan dengan tatapan dingin tak jauh beda dengan Yoongi. Hanya saja, lesung pipinya saat tertawa membuatnya terlihat jauh lebih menyenangkan dibandingkan Yoongi yang tak pernah memberikan senyum padanya sekalipun.

Taehyung menggigit roti selai cokelatnya dengan pelan, sembari memperhatikan satu per satu anggota keluarganya itu. Jihoon, anak bungsu keluarga Min, merupakan duplikat dari Yoongi. Mini Yoongi, begitu Taehyung selalu mengatakannya. Tentu saja hanya dalam hati. Namja cilik itu juga tidak menyukainya, entahlah, pengaruh dari kedua kakaknya, mungkin?

Sedangkan Mr. Min, sosok yang telah menjadi appa nya selama beberapa tahun silam merupakan sosok yang sangat tegas, namun penyayang. Walaupun sangat jarang diperlihatkannya. Juga Mrs. Min, sosok yeoja lembut yang sangat Taehyung syukuri kehadirannya dalam kehidupannya. Sosok yang mungkin akan sangat ia harapkan jika dia memiliki kesempatan di kehidupan selanjutnya.

Mrs. Min melihat tatapan Taehyung padanya dan tersenyum lembut, membuat kedua sudut bibir Taehyung tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman balasan.

"Ayo cepat makannya nanti kalian terlambat."

Yah, inilah keluarganya.

.

.

Rutinitas Mrs. Min sebelum meninjau toko-toko pakaian miliknya adalah mengantar Taehyung dan si bungsu Jihoon ke sekolah.

"Jaaa, kita sampaaai." Mrs. Min mematikan mesin mobilnya. Sementara itu Jihoon membuka seatbelt yang membelit tubuhnya. Ia terlihat kesulitan hingga ia mengerucutkan bibirnya lucu. Mrs. Min mengulurkan tangannya untuk membantu.

"Gomawo, Umma." Katanya sambil merengut lucu.

"Hm, anak umma lupa sesuatu," kata Mrs. Min pada putranya saat Jihoon sudah mau turun untuk menghampiri teman-temannya.

"Waeyo, Umma?" Jihoon bertanya polos.

Mrs. Min menunjuk pipi kirinya, hingga Jihoon mengembang senyum; menonjolkan lesung yang ada di pipi kanannya. "Muah."

"Dah sayang," Mrs. Min melambai. "Belajar yang rajin."

"Dah Umma."

Taehyung menatap pemandangan yang menghangatkan hati itu dengan senyuman.

"Jaa, sekarang waktunya mengantar putraku yang manis ini." Sang ibu menghidupkan kembali mesin mobilnya, lalu menolehkan pandangan untuk tersenyum padanya sebelum berangkat.

Senyum itu, tatapan itu, masih sama saja seperti dulu. Menghangatkan.

Taehyung balas tersenyum dengan hangat.

.

"Dah Umma. Hati-hati di jalan." Taehyung melambaikan tangannya mengantarkan kepergian sang ibu, yang balas melambai dan tersenyum dari dalam mobil.

"Ah." Ia meringis saat seseorang menyenggolnya dengan kasar, lalu mereka –si penyenggol dan teman-temannya –berlalu begitu saja sambil tertawa tanpa rasa bersalah.

Taehyung meloloskan satu helaan napas berat. Satu lagi hari yang penuh drama akan dimulai. Hah.

Bohong jika dia mengatakan kalau hidupnya sempurna dan bahagia setelah keluarga itu mengadopsinya. Tidak. Meski dia tinggal di rumah yang mewah, serba berkecukupan, hangat dengan kedua orang tua yang sempurna seperti itu, tetap saja dia merasa hidupnya menyedihkan.

Seperti,

"Hei Tae, pinjam tugas matematikamu."

Taehyung membuka tasnya tanpa suara, mengeluarkan buku tulisnya lalu menyerahkannya pada 'si peminta' tersebut.

"Thanks"

Taehyung hanya tersenyum kecut. Sementara siswa tersebut menghampiri teman-temannya, lalu menyalin tugas yang ia kerjakan dengan susah payah semalaman. Yang membuatnya bangun lebih lama dari biasanya dan terlambat berkumpul saat sarapan pagi.

Tetapi, yah, itu hanya tugas kan?

Itu tidak seperti dia pelit tidak ingin meminjamkan tugasnya atau apapun itu. Sekali lagi, dia hanya terbiasa melakukan sesuatu seperti apa yang orang-orang disekitarnya harapkan. Dia juga selalu memberikan apa yang mereka minta, karna dia selalu takut mengecewakan siapa pun. Dia takut ditinggalkan sendirian. Dia tahu rasanya sendiri... dan terabaikan. Itu sangat menyakitkan.

Tetapi manusia bukanlah makhluk suci yang selalu membalas kebaikan sebanyak yang diberikan kepadanya bukan? Tidak, kebanyakan manusia tidak seperti itu, anehnya. Saat kau memberikan apa yang mereka butuhkan terus menerus mereka akan mulai meremehkan kehadiranmu. Kau jadi tidak ada artinya lagi bagi mereka. Atau mungkin, mereka malah membencimu.

.

.

"Taehyung itu bodoh. Terlalu mudah dibohongi. Aku meminjam ponselnya dan langsung diberi tanpa ditanya buat apa. Padahal aku hanya ingin menghabiskan pulsanya saja."

"Dia memang sok baik. Apa-apa barangnya selalu diberi. Apa sebenarnya dia hanya ingin pamer karena orang tuanya kaya?"

"Dia juga selalu bersikap manis di hadapan guru. Hanya ingin ambil muka saja mungkin."

"Ah, benar. Dia memang selalu begitu. Suka ambil muka sama siapa saja. Keterlaluan. Pantas saja saudaranya tidak ada yang ingin satu sekolah dengannya."

"Eh, aku dengar dia punya saudara laki-laki seumurannya. Anaknya tampan, pintar, dan tentu saja terkenal. Tetapi dia tidak sekolah disini."

"Tentu saja. Mana mau dia satu sekolah dengan saudaranya yang nerd begitu. Mau diletakkan dimana mukanya"

Taehyung meringkuk di depan meja belajarnya, menghapus air matanya yang berlinang. Terkadang ingin rasanya mengabaikan suara-suara yang mengejeknya seperti itu. Tetapi, jiwanya yang lemah dan rapuh juga butuh pelampiasan. Menangis dalam diam hanya satu-satunya cara yang dia tahu.

Dia bersyukur Tuhan mengantarkannya ke rumah ini, ke keluarga Min yang memberinya perlindungan dari dunia yang kejam. Tetapi entah bagaimana semua itu terasa tak cukup. Bukannya ingin merutuk atau tak mensyukuri nasib, tetapi, ketika melihat anak-anak lain di sekitarnya, dia merasa iri. Kadang ia suka berandai. Seandainya saja dia dilahirkan dari rahim yang berbeda, mungkinkah nasibnya takkan berakhir seperti ini?

Dia ingin tumbuh di keluarganya sendiri. Disayangi oleh ayah ibu kandungnya sendiri. Bukan ayah ibu orang lain.

Ya, orang lain.

Sepuluh tahun sudah dia tinggal dirumah ini dan dia masih merasa... terasingkan.

Mr. dan Mrs. Min memang memperlakukannya dengan baik; menganggapnya anak sendiri. Tapi tidak begitu dengan saudara-saudara tirinya.

Mereka... membencinya.

Mereka tidak mengatakannya secara langsung. Mereka hanya menunjukkannya. Dan manusia, tidak perlu kata-kata untuk merasakan bukan?

Ia merasa tersiksa. Sebesar apa pun dia berusaha tetap saja dia dibenci. Entah apa lagi yang harus dia lakukan agar mereka menyukainya. Apa pun yang dia lakukan tak ada gunanya. Mungkin dia dilahirkan untuk jadi seperti ini. Atau, sebaiknya dia tidak usah saja dilahirkan?

Tok tok tok

Taehyung mengangkat kepalanya dari meja belajarnya. Setelah memastikan tidak ada bercak air mata di wajahnya, ia pun bangkit untuk membuka pintu. Mungkin itu ibunya, karena hanya yeoja baik hati itu saja yang sering menghampirinya ke kamar selain pembantu.

Sedetik kemudian ia tertegun mendapati seorang namja berdiri di hadapannya. Bukan ibunya, tentu saja.

"Y-Yoongi?"

Ini pertama kalinya Yoongi menginjakkan kaki di kamarnya. Masuk langsung ke kamar dan sedikit menyenggol Taehyung yang berdiri di bingkai pintu. Taehyung benar-benar terkejut sekaligus gugup. Ada apa Yoongi menghampirinya? Apa dia berbuat kesalahan?

Yoongi berbalik. Tubuhnya membelakangi jendela yang memasok cahaya matahari ke kamar itu. Sosoknya terlihat seperti malaikat yang jatuh dari langit.

"Aku butuh bantuan," cetusnya, membuat Taehyung meneguk liurnya.

"A-apa yang bisa aku lakukan untukmu?"

Apa pun. Apa pun yang Yoongi perintahkan akan dia lakukan. Karena ini pertama kalinya Yoongi benar-benar bicara padanya. Pertama kalinya Yoongi memintanya. Gelombang kebahagiaan menghampirinya. Bukankah itu sebuah keajaiban? Yoongi akhirnya menganggap keberadaannya.

Yoongi menyeringai jahat, ekspresi yang sangat bertolak belakang dengan wajah malaikatnya. Dibenaknya sudah tersusun sebuah rencana licik. Dan Taehyung yang akan melakukannya untuknya.

Tentu saja.

.

.

To be continued.

.

.

Bisa dibilang ini semacam, prolog? :')

Oh right, a little warning: Bottom!Taehyung and Bottom!Yoongi of course~

#TeamBottomTae #TeamBottomYoongi haha : D

So, if you guys don't like uke Taehyung and Yoongi, you can leave this story and leave no harsh comments mmkay~?

Lastly, mind giving some review upon this? Hehe~