Memories with Snow
.
Family, Hurt/Comport
Vocaloid by Yamaha Corporation, etc.
Orb by Matenrou Opera.
Tidak mengambil keuntungan apapun.
Note : Dah lama pen banget nyeritain lagu ini dan akhirnya kesampean.
Warn : If you unlike this pair, you can get out.
Tema : Because You're Here.
Interpretasi Tema : Harapan yang bertumpu pada seseorang, sementara bukti terwujud itu sendiri tidak terlihat meski merupakan ekspresi. Terkadang, harapan yang dibuat bisa mengekang pemiliknya.
Banyak kisah yang berkeliaran di sekelilingnya. Tidak dapat diulangi setelah masalah besar di antara mereka. #LibrettoNoUta.
.
.
Kapasitas dingin ditebali dengan pergantian hari, dan kebisuan di dalam naungan ini nyaris selalu terjadi.
"Selamat malam." Yohioloid tidak bosan membisikkan kalimat yang tidak berarti apa-apa, hanya pengantar tidur pada kemuraman perempuan itu.
Ia hanya ingin memastikan jika kedamaian itu tetap berada di sini, sekalipun masalah itu tetap menjadi tembok.
Yang menghilangkan senyuman perempuan itu sepanjang malam, ketika seharusnya salju sekalipun tidak melunturkan tawa mereka.
Tidak banyak yang bisa dilakukan Yohioloid yang menonton buliran salju meramaikan jendela yang dingin.
.
.
Matahari belum bisa menghangatkan sekitarnya, tapi ia selalu keluar dari rumah ketika justru langit belum pulih dari kelam—fajar yang masih menguar.
Sekitarnya hanyalah tentang putih, dan berbagai kenangan itu mulai berkeliaran.
Yohioloid melalui jalanan sesuai instingnya. Ketika dua rumah di arah kanannya hanya kerangka bangunan, mereka adalah penonton setia pada dua orang yang silih melempar cerita.
Ia dan Maika.
Tersenyum pada hari-hari yang monoton semacam itu, angin dingin menyebranginya. Ia ingin kembali hidup pada hari-hari itu, membentuk senyuman yang akan beresonansi dengan perempuan itu.
.
.
Lahan putih yang sama seperti salju di tahun kemarin.
Kecerahan pagi mulai tersingkap, potongan kenangan seperti ingin menghancurkan emosinya. Keceriaan mereka ditampilkan lagi; mereka yang bertingkah kekanakan dengan kepalan salju ala kadar yang menyatakan perselisihan. Yohioloid yang memulai ketika Maika lebih menegakkan harga dirinya—dengan bersikap dewasa—di depan orang-orang yang melewati tempat ini, lalu ketegasan yang dibuat-buat itu buyar menjadi setiap lemparan salju yang ditertawakan mereka, juga dengan kekonyolan yang ada.
Melangkah—membelah lahan yang hanya menjadi sejarah, dan senyuman dingin yang dibuatnya. Ia ingin melewatkan waktu dengan hamparan es lagi, tapi lagi-lagi itu hanyalah harapan yang berkembang biak. Gara-gara kenangan.
Sayangnya, kehidupan tidak memiliki fitur untuk mengedit suatu hari yang retak.
.
.
Beberapa pohon yang silih memisahkan diri, gundul dan menumpangkan salju di setiap rantingnya. Kelusaan yang dimiliki selimut salju ini landai dan beberapa orang memanfaatkannya untuk berselancar.
Ia menyukai salju dan apapun yang ditawarkannya, menyebrangi setiap embusan angin yang meragukan arahnya. Ia mengajari Maika—menggunakan papan ski, cara berdiri, dan mengayuh tongkat yang akan mendorong tubuhnya. Lalu, sebagai pemula yang baru mengetahui segalanya, gadis itu menantangnya untuk bersaing.
Sekarang, bayangan tentang dua orang yang diciptakan kepalanya sudah lama terkubur oleh orang-orang asing yang bergantian meramaikan tempat itu, tanah landai yang masih memiliki banyak cara untuk berlaku curang ketika bertanding.
Gadis itu agak payah meski tongkat bisa menjadi penahan ketika es terlalu licin. Dia tersungkur—dan anehnya—bersama tawanya, Yohioloid menyergap pergelangan tangannya untuk berdiri.
"Aku tahu—terjatuh berulang kali pasti rasanya sakit."
Dia mengulas senyuman yang menjadi karakternya. "Aku tidak bisa uring-uringan karena ada kau di sini."
Ia berharap bisa mendengar suara itu memanggil namanya, ketika pertolongannya hanya sebatas membuat gadis itu bisa berdiri kembali tanpa mengajaknya pada jalanan yang dilaluinya.
.
.
Kisah putih di sekellingnya memiliki luka yang tetap membendung masalah mereka.
Tebing longsor yang kasar dan bergumpalan dengan bebatuan yang terlapisi es adalah akar masalah mereka.
Ia memerhatikan kecuraman yang nyaris tidak pernah berubah. Kesalahan yang selalu hinggap di pundaknya dengan ingatan yang memburuk terhadap tempat ini, Yohioloid berbalik untuk menemui para penghuni di rumahnya.
Seperti kesedihan perempuan itu, salju tidak menjadi wahana favoritnya lagi. Sudah bertahun-tahun hari yang monoton selalu berulang, dan ia menjadi pengamat segala hal; membuang waktunya untuk berkeliaran sendiran di sini.
Seorang anak berseluncur melewatinya, menuju arah sebaliknya. Mulanya Yohioloid masih tenggelam dalam penyesalannya, tapi seorang anak perempuan bersusah payah mengejarnya—dengan alat peraga yang sama—dengan seruannya yang belum habis.
"Ibu melarang kita untuk pergi ke sana! Jangan mencoba-coba melakukannya!"
Tentu saja ujung di depan sana adalah tempat yang menjadi penyesalannya saat ini—dan seterusnya-, ia terkesiap dengan pembauran impulsif untuk mengejar anak itu.
.
.
Anak kecil—yang berusia lima tahun—itu seharusnya berterima kasih pada pohon dengan tinggi tiga kali lipat dari tubuhnya. Menubruknya berarti keselamatan sementara tebing itu hanya membutuhkan beberapa langkah lagi.
Ia tersenyum dalam konotasi positif, beruntung tidak ada yang mengamatinya karena kepolosan mereka berdua pasti akan menganggapnya sedang mengejek.
Dahi anak itu bermasalah dengan goresan kotor dan hidung mungil itu menjadi lecet.
"Kulaporkan kau pada Ibu." Anak perempuan—yang lebih tua darinya—itu mencengkeram tangan lawan bicaranya dengan paksa. Dia juga yang menghimpun dua pasang papan ski dan tongkatnya pada lengan kirinya.
Tidak banyak yang bisa dikatakan Yohioloid dari interaksi kosongnya hari ini.
Separuh jalan yang dimakan kaki-kaki mereka dari tadi, dan orang yang merekapanggil ibu—secara serempak—melebarkan lengannya dan menekuk lututnya—untuk menyamai tingginya—pada anak laki-laki yang mencairkan rasa sakitnya dengan mengadu dari dekapan itu.
"Dahimu terluka, dari mana saja kau?" Tangan yang tidak terbaluti sarung tangan itu merayapi wajah yang masih menyesali perilakunya.
"Tadi kami bermain ski, tapi dia melanggar garis akhir yang kamibuat. Nyaris saja dia melaju menuju jurang, meski hanya aku sendiri yang berusaha menolongnya—di tengah keramaian ini." Anak perempuan itu melipat lengan.
Keramaian ini terletak pada rentang yang tak begitu jauh dari sini—di depan sana.
"Tapi, aku ingin membuat Ibu terkesan." Kalimat itu terganggu oleh isakan. "Aku bosan dengan permainan yang sama."
Seperti ada yang salah dari pernyataan anaknya, dia memberi jarak pada bahu itu.
"Kau sudah menjadi hebat tanpa perlu melakukan itu. Jangan seperti Ayahmu."
"Ada apa dengannya?"
"Dia terjatuh dari tebing itu."
Ia benci dengan dirinya yang bertindak sebagai kamera pengintai, dan mereka yang mulai menceritakan hal itu lagi.
Perempuan itu adalah Maika dan mereka adalah bagian dari keluarga kecil yang dibuatnya.
Dan sekarang, perempuan yang menjadi pemurung sepanjang harinya itu mulai hancur dengan ketegaran yang selalu dibuatnya selama ini.
"Kalau begitu, berarti dia ada di sana."
"Bodoh, dia sudah tenang di alam sana. Kita sudah pernah mengunjungi makamnya, 'kan?" Anak perempuan itu tampak kesal.
Meski terkadang mereka mengatakannya, Yohioloid selalu melupakan kenyataan itu.
Bahwa ia sudah mati, dan tidak ada yang berubah dari itu.
Saat itu, ia hanya ingin Maika dan anak perempuannya—yang dulu seumuran sang adik—kagum dengan variasi keahlian ski yang dimilikinya, dan ia banyak menyimpang dari jalur es yang lebih sering digunakan orang-orang di sekitarnya.
Kecepatan yang dilakukannya menjadi tidak terkendali dan ketajaman tongkat itu kesulitan menancap, sementara es semakin membantu seluncurannya. Yohioloid mendobrak ujung yang tidak beralas itu, lalu ingatan terakhirnya hanyalah rasa sakit yang menindasnya oleh berbagai es abstrak yang mulai dicat oleh darahnya.
Itulah masalah yang terjadi di antara mereka.
Kekaguman—yang seharusnya terjadi—berganti dengan tangisan histeris. Ia sudah memberinya beban dua orang anak, dengan salah satunya yang belum bisa merangkak apalagi memiliki memori kuat yang mengingatkan pada sosok dirinya; bagian dari kehidupan yang hilang.
Maika meraih anak pertama itu dalam rangkulannya. "Kalian tidak boleh meninggalkanku, jangan bermain di tepian jurang itu. Kita harus tetap bersama." Kepalanya tenggelam di antara mereka yang membalas kehangatan itu. Sementara seseorang yang malah mengumpulkan banyak harapan, menjadi orang yang paling menyebalkan karena kepahitan itu selalu ada, tidak bisa merangkul mereka lagi.
Yohioloid sudah kebal dengan pemandangan di depannya.
Namun jawaban mengenai masalah yang tetap mengikatnya di sini, membiarkan dirinya yang tak dianggap bertindak mengawasi mereka. Ia pernah mendengar sesuatu tentang tugas yang belum selesai; itu berarti seseorang tidak akan bisa pergi dengan tenang.
Itu tidak lebih dari berbagai harapannya. Tapi ketika perempuan itu bangkit dan—secara tergesa—menyeka jejak air sambil berpaling ke arah lain, senyuman yang dirindukannya sudah sangat jarang ditampilkan, dan itu malah berganti dengan senyuman paksa yang mencoba meyakinkan sesuatu pada mereka.
Padahal, salah satu harapannya yang bertumpu pada Maika hanya agar dia merasakan kebahagiaan dari hatinya.
"Aku ingin dia berada di sini…"
"Begitu juga denganku." Dia mengecup dua kepala yang masih tertekuk itu. "Itu yang paling kuinginkan."
Yohioloid separuh mendecih, kemuraman yang juga dilaluinya mengalami pencerahan; jika harapannya yang begitu lama terproses mungkin karena kebahagiaan itu adalah tentang dirinya yang masih hidup.
Harapan itu mengekangnya.
Dan itu menjadi dalih—dengan kenyataan yang baru disadarinya—tentang Maika yang tidak memiliki pendamping lain meski ia yakin peluang itu lebih besar untuk dilakukan.
Bahkan dengan jiwanya yang hilang, ia tetap dicintai.
Sesak dalam dirinya dengan berbagai hal yang mulai dipikirkannya, senyuman yang dilampiaskannya menahan rasa sakit itu.
Buliran es yang kuat mengalur bersama angin, mereka terbangun—berdiri. Maika memungut peralatan ski yang terlantar, mengajak mereka untuk bernaung.
Buliran salju berhamburan semakin banyak, tak berguna baginya untuk bertindak seperti mereka. Ia hanya terlihat seperti bergabung bersama angin, dengan beban harapan yang belum berakhir.
.
END
Ini persepsi saya terhadap lagu itu. MV-nya simpel, dulu saya sering banget nonton video itu. Ini adalah pertama kalinya saya nyeritain sosok yang dah pergi dengan lagu yang seolah POV 1-nya mencerminkan hal itu juga.
Untuk anak-anak (?), saya menyesuaikan dengan lirik lagunya aja, di sana dikatakan, "merangkul mereka", jadi mungkin maksudnya itu, haha. Juga si Hio yang seharusnya mengawasi pake jendela—di luar rumah (kek di videonya), cuman menurut saya itu gampang ketebak deh.
Btw, saya dah translate lagunya, lho, tapi belom dipublish ke internet./kagaknanya.
