Felice Anno Nuovo, Papà!

By: Ietsuna G. Ventisette

G27

Cast: Giotto (Ieyasu Sawada); Tsunayoshi Sawada

Rated: T

Genre: Drama, Family

Katekyo Hitman Reborn!

©Akira Amano


[!]

OOC

•••


"Umh."

Sepasang mata bulat besar baru saja terbuka. Menunjukkan iris cokelat yang masih belum mengenal dunia. Sawada Tsunayoshi mengucek matanya. Ia menatap jam dinding yang masih terlihat kabur di penglihatannya.

"Umh..." Ia terus memerhatikan jarum jam yang terus bergerak. Di usianya yang sudah menginjak umur 5 tahun ini, Tsuna masih belajar untuk membaca jam. Jarum panjang itu berada di angka 6, sedang jaruk pendeknya berada di antara angka 11 dan 12.

Tsuna mengerjapkan matanya. "Ah!" Ia segera turun dari ranjang besar yang ia tempati sendiri. Tsuna tahu jam berapa sekarang. Pukul 11.30 malam. Dan ia tahu apa yang ingin ia lakukan sekarang.

Langkah kaki kecilnya terhenti ketika ia sudah berada di depan pintu. Ia berjinjit dan mencoba meraih gagang pintu. Tangannya terus bekerja agar bisa membuka pintu kamar itu. Gagang pintu berhasil ia raih. Ia menariknya dan derit pintu terbuka terdengar samar.

Tsuna kembali melangkah dengan perlahan. Berjalan menelusuri lorong rumah yang temaram. Ia mengedarkan pandangannya. Di kiri dan kanannya terpajang lukisan berbagai ukuran yang antik. Dari mulai memampang wajah hingga pemandangan.

Lorong yang sedang ia lewati terhubung langsung dengan kamar seseorang yang telah menjaganya selama ini. Pahlawannya.

Kembali Tsuna berjinjit untuk membuka pintu kamar. Pintu kamar terbuka. Tsuna mengintip dan ternyata lampu kamar masih menyala.

"Tsunayoshi?"

Suara lembut itu membuat Tsuna menampakkan diri. "Papà." Tsuna segera menghampiri orang yang ia panggil "Papà" itu. Sebenarnya orang itu masih belasan tahun. Ia berumur 15 tahun. Memiliki rambut pirang dengan iris mata berwarna jingga terang. Tinggi dan berkulit pucat. Terlihat seperti pria muda yang berumur 20 tahun. Pria itu bernama Giotto.

"Kau tidak bisa tidur, Tsunayoshi?" Giotto beranjak dari atas tempat tidurnya. Ia segera menggendong Tsuna yang menghampirinya.

"Aku terbangun," kata Tsuna dengan senyuman. Ia menatap Giotto yang selalu menunjukkan kehangatan padanya. "Aku ingin bersama Papà." Tanpa ragu Tsuna menyamankan diri dalam pelukan Giotto.

"Aku?" Giotto mendudukkan diri di tepi ranjang dengan Tsuna yang berada dalam pangkuannya. "Tidur bersama?" tawarnya ramah.

"Iya, boleh?" Tsuna menatap dengan penuh harap.

Giotto tersenyum lembut. "Tentu, Tsunayoshi." Ia mengecup kening Tsuna. "Kalau begitu kita tidur sekarang."

"Um," Tsuna mengangguk pelan.

Giotto membaringkan Tsuna dan ia ikut berbaring di sampingnya. Menarik selimut dan mendekap tubuh mungil Tsuna dalam balutan hangatnya. "Selamat tidur," gumamnya.

Tsuna diam tak menjawabnya. Ia hanya menatap polos. "Papà, tidak boleh tidur sekarang."

Giotto mengerjapkan matanya. "Kenapa?" tanyanya dengan dahi berkerut samar.

"Karena..." Tsuna tidak menyelasaikan kata-katanya. Ia beranjak dan duduk di atas perut Giotto.

Giotto menahan napas. "Uh, karena?"

"Ayo ke balkon," ajak Tsuna dengan riangnya.

"Balkon? Tapi ini sudah malam, Tsunayoshi." Kenapa harus malam-malam begini pikir Giotto.

"Tapi aku ingin ke sana, ya?" Tsuna merajuk.

Giotto beranjak dan memeluk tubuh mungil Tsuna. "Baiklah, baiklah." Giotto mengikuti keinginan Tsuna. Ia beranjak seraya menggendong tubuh kecil Tsuna. Ia membuka pintu kaca yang merupakan jalan akses ke balkon kamarnya.

Angin dingin malam berembus menerpa keduanya. Namun rasa hangat tetap mereka rasakan karena keduanya tengah berada dalam balutan hangatnya selimut.

"Wah!" wajah Tsuna berseri. Matanya berbinar. Takjub akan langit malam yang bertabur bintang. "Indahnya..." katanya takjub.

Giotto pun merasakan hal yang sama. Terlihat sangat terang. Semua terlihat jelas karena di tempat itu hanya berdiri satu bangunan yang dikelilingi oleh hutan kecil. Jauh dari hiruk-pikuk kota.

"Papà, kenapa belum tidur?" tanya Tsuna penasaran.

"Eh?" Giotto tertawa pelan. "Karena aku belum ingin, Tsunayoshi."

"Papà tahu malam apa ini?" tanya Tsuna lagi penuh teka-teki.

"Malam ini?" Giotto menengadah menatap langit. Tersenyum kecil. "Aku tahu."

Tsuna mengikuti arah pandangan Giotto. "Lalu kenapa sepi?"

"Aku rasa sekali-kali tak mengapa seperti ini." Giotto tersenyum tipis.

Tsuna tak bertanya lagi. Ia beralih menatap Giotto yang tampak menyembunyikan sesuatu darinya. "Papà."

"Ya, Tsunayoshi?" Giotto menoleh.

"Kalau sudah besar nanti..." Mata Tsuna menatap langsung mata Giotto. "Aku ingin seperti Papà."

Ingin menjadi sepertinya? Giotto terkejut. Kemudian mata itu kembali melembut. "Kenapa kau ingin menjadi sepertiku?"

"Papà pahlawanku. Aku ingin menjadi pahlawan seperti Papà," terang Tsuna dengan tersenyum lebar.

"Tsunayoshi..." Giotto membelai lembut wajah Tsuna. "Jadilah pahlawan untuk orang yang kau sayangi," katanya pelan.

Tsuna terlihat sangat bersemangat. "Um. Aku akan berusaha!"

Giotto tertawa dengan renyahnya melihat Tsuna yang lugu. "Itu baru Tsunayoshi."

"Papà."

"Ya?"

Tsuna mengecup pipi Giotto cepat. "Felice Anno Nuovo, Papà!"

"Eh?" Giotto mengerjap dan bersemu tipis. "Tsunayoshi..." Ia tak tahu harus berkata apa. Ada rasa bahagia yang menggelitiknya saat ini.

Tsuna tersenyum lebar. "Ah! Kembang api!" seru Tsuna pada sebuah kilatan yang mengembang di atas langit. Bukan hanya satu. Semakin lama semakin banyak. Meskipun jauh, dari balkon ini, semua tetap terlihat. Saat itu waktu tepat pukul 00:00.

Giotto menatap cahaya dari kilatan kembang api yang memenuhi langit. Ada perasaan bahagia di dalamnya. Namun ada satu kesedihan kecil yang muncul. Tubuh kecil Tsuna semakin ia peluk erat. "Aku... Tsunayoshi..." Suara Giotto tersamarkan oleh satu letusan kembang api yang cukup besar.

"Papà?" Tsuna tak mendengarnya dengan jelas.

"Arigatou, Tsunayoshi."

"Papà..." Kenapa dia berterima kasih? Tsuna merasa bingung.

Tsuna memeluk leher Giotto cukup erat. Aroma tubuh Giotto yang khas tercium olehnya. Nyaman dan menenangkan.

•••

Samar-samar terdengar suara isakan tangis dari seorang anak kecil. Suara itu terus terdengar dari arah sebuah gedung yang tak terpakai. Gedung itu dulunya adalah sebuah kantor kecil. Puluhan tahun sudah tak ditempati lagi.

Dalam ruangan gelap yang lembab, tubuh tak berdaya seorang anak kecil terbaring di lantai dingin. Kedua tangan dan kakinya terikat. Mulutnya ditutupi sebuah saputangan yang melekat erat padanya.

Air matanya terus menetes. Ia sangat ketakutan. Ia tak bisa pergi ke mana pun. Tiba-tiba, saat terbangun, ia berada di tempat ini.

Derit pintu terdengar. Pintu terbuka lebar. Menampakkan sosok asing di hadapannya. Jelas terlihat orang itu berambut pirang dan memiliki gaya rambut yang sama dengannya. Air mukanya sangat terkejut saat melihatnya. Kenapa?

"Kau tidak apa-apa?" Suara yang mengalun lembut itu diselubungi kecemasan. Orang itu dengan sigap melepas ikatan di tubuhnya.

"Tidak apa-apa. Aku akan melindungimu." Tubuh dengan surai cokelat itu ia peluk erat.

Orang ini telah menyelamatkannya. Surai cokelat itu membalas pelukan erat dari pria bersurai pirang. Tubuhnya bergetar hebat. Ia syok berat. Namun usapan tangan orang itu mampu menenangkannya.

"Namamu?" tanya sang pria setengah berbisik.

"Tsu, Tsunayoshi."

"Tsunayoshi? Namamu bagus sekali. Sekarang kau sudah aman."

Aman? Matanya menatap polos dengan sedikit genangan di sana. "Anda?"

"Ah, aku Giotto," katanya lembut.

"Giotto..."

•••

"Kita sampai di sini saja, Tsunayoshi."

"Papà..." Tsuna menatap bingung. Ada apa ini?

"Jangan cemas. Di mana pun kau berada, aku akan selalu melindungimu."

"Kita akan bertemu lagi?" tanya Tsuna agak cemas.

"Pasti, Tsunayoshi... Pasti..." gumam Giotto.

"Papà!" Dengan segenap hati, dengan perasaan tak tentu, Tsuna memeluk Giotto dengan sangat erat. Tak ingin melepasnya.

"Jangan menangis. Kita pasti akan bertemu lagi," bisik Giotto lembut.

Pelukan hangat yang takkan pernah ia lupakan. Tsuna menatap Giotto seolah tak ingin berpisah.

"Kembalilah, mereka pasti mencemaskanmu, Tsunayoshi." Giotto tersenyum tipis. Sebenarnya hatinya menolak hal ini.

Tsuna bungkam. Ia hanya ingin menangis.

Giotto menutup bibir Tsuna dengan satu jarinya. "Panggil namaku, Tsunayoshi." Untuk yang terakhir kalinya.

"Papà..." mata Tsuna mulai berkaca-kaca.

"Aku mohon." Giotto tersenyum tipis. Ia memelas.

"Giotto... -san..." kata Tsuna sangat pelan.

"Saatnya kau pergi." Kecupan terakhir di kening Tsuna mendarat. Giotto segera meninggalkan Tsuna tepat di depan rumahnya.

Tsuna tetap tak bisa membendung air matanya. Ia berlari memasuki rumah dengan tangisannya, setelah sosok itu menghilang dari pandangan. Orangtuanya sangat terkejut karena putra semata wayangnya kembali dalam keadaan selamat.

•••

•Fin•


Selamat tahun baru!

Thanks for reading minna-san!

Ciao!

[Ietsuna G. Ventisette]