Summary: Gempa itu terlalu memanjakan Daun dan selalu memperhatikannya, membuat kelima saudara yang lain iri. Maka Halilintar, Taufan, Blaze, Ice dan Solar mencari cara agar Gempa memperhatikan mereka juga. Gempa appreciation fic. Elemental siblings, hint KaiFang. Family Fluff. Untuk event BBBMonthlyChallenge:Bromance.

.

.

Boboiboy milik Animonsta Studios

.

.

Pagi yang cerah di hari Sabtu...

"Daun, ayo dihabiskan susunya," kata Gempa sambil mengelap piring basah yang sedang dicuci Halilintar.

"Tapi sudah kenyang..." kata Daun sambil tersengih.

"Habiskan, biar kau tak lemas," kata Gempa. "Nanti aku belikan es krim di kedai dekat taman," bujuk Gempa. Seketika itu juga Daun segera meneguk habis susunya dan memberikan gelas bekas minum ke Gempa agar dicuci. Gempa hanya menepuk kepala Daun sambil tersenyum, Daun memberikan cengiran lebar seraya menggelayut lengan Gempa.

Melihat pemandangan itu, kelima saudara yang lain menanggapinya dengan berbeda-beda. Blaze cemberut dan Taufan memangku dagunya. Halilintar yang tengah menyabuni piring hanya memutar bola matanya. Ice memandang datar sementara Solar menghela nafas. Mereka semua sudah sering sekali melihat pemandangan ini. Tak bisa dipungkiri kalau Gempa adalah yang paling suka mengurusi saudara-saudaranya, tapi ia paling mencurahkan perhatian 'keibuan' pada Daun saja. Kalau ditanya apakah Halilintar, Taufan, Blaze, Ice dan Solar iri dengan semua perhatian Gempa berikan pada Daun, mereka semua pasti menyangkal, kecuali Blaze dan Taufan karena mereka itu bukan tsundere, mereka akan terus-terang ingin diperhatikan Gempa juga.

Kenapa sih mereka iri? Toh itu cuma perhatian Gempa saja. Tidak sesederhana itu masalahnya.

Alasan pertama, kalau Gempa perhatian dia pasti mudah sekali meluluskan permintaan, asalkan masih dalam batasan. Contohnya Daun meminta cokelat setelah menemani Gempa pergi ke pasar pagi. Saat Blaze atau Ice meminta cokelat juga, Gempa menolak dan berkata kalau sebentar lagi waktu makan.

Alasan kedua, kalau Gempa perhatian dia akan sangat protektif. Contohnya saat Daun pilek dan batuk-batuk, Gempa segera membuat madu bercampur lemon dan menyiapkan suplemen zinc agar cepat sembuh. Gempa juga menemani Daun tidur di kamarnya, takut kalau Daun terbangun di malam hari dan memerlukan perawatannya. Bahkan Gempa membuatkan masakan kesukaan Daun, yaitu sup jamur kancing. Saat Halilintar pilek karena kehujanan, Gempa hanya menyodorkan teh madu dan obat serta menyuruhnya langsung tidur saja.

Alasan ketiga kalau Gempa perhatian, dia akan senang hati memasakkan masakan apa saja yang diminta. Contohnya saat hari libur, Gempa melakukan pungutan suara mau makan siang apa. Blaze dan Ice sama-sama ingin ayam goreng. Taufan ingin ikan bakar. Solar meminta pasta jamur-keju, sementara Halilintar bilang ia sudah lama tak makan sambal kerang. Saat Daun bilang ia ingin gado-gado, sontak Gempa langsung memutuskan akan memasak gado-gado karena lebih sehat dan penuh serat. Ketika Blaze, Taufan dan Solar protes, Gempa hanya tersenyum kalem sambil berkata.

"Kalau mau merubah keputusanku, silahkan masak sendiri."

Keenam saudara Boboiboy itu tak ada satupun yang bisa memasak seenak Gempa. Halilintar bisa memasak tapi tak ada yang suka masakannya karena terlalu pedas atau terlalu asin. Taufan dan Blaze hanya akan membuat dapur berantakan. Ice dan Solar sama sekali tak pernah belajar masak karena tak tertarik, sementara Daun sudah sering membantu Gempa di dapur tapi tetap saja belum bisa diandalkan karena agak ceroboh dan senang 'eksperimen' aneh-aneh. Jadi kalau disuruh masak sendiri, mereka berenam takkan bisa membuat masakan selezat masakan Gempa.

Sementara alasan keempat... mereka semua sayang dengan Gempa dan jika kita sayang seseorang kita pasti ingin perhatiannya bukan?

Pagi itu di hari Sabtu, Halilintar yang selesai mencuci piring diajak Daun bermain ular tangga―sebenarnya Halilintar benci permainan itu, tapi ia turuti saja demi adiknya. Solar sedang mengisi teka-teki matematika. Blaze dan Taufan bermain video game di ruangan yang sama pula. Ice sedang mendengarkan musik sambil membaca buku misteri. Sementara Gempa baru saja keluar dari kamarnya sambil memakai jaket cokelatnya.

"Kakak! Mau kemana?" tanya Daun saat melihat Gempa sedang bersiap-siap.

"Mau ke pasar, beli ikan," jawabnya. Wajah Daun sontak berbinar.

"Daun mau ikuuut!"

"Ya sudah, kakak tunggu di depan ya," ujar Gempa sambil tersenyum tipis. Daun bersorak dan langsung naik ke lantai dua tempat kamarnya berada, hendak bersalin baju. Halilintar lega ia tak main ular tangga lagi.

"Kalian berbaik-baik di rumah ya, aku dan Daun hendak ke pasar sebentar," ujar Gempa.

"Siplah tak ada masalah!" seru Blaze dan Taufan berbarengan sambil main game.

"Hati-hati," kata Ice tak melepaskan matanya dari buku.

Halilintar hanya menggumam mengiyakan. Solar tak menjawab apapun, terlalu asyik memecahkan teka-teki.

Ketika Gempa dan Daun sudah keluar rumah, serempak kelima elemen bersaudara itu langsung menghentikan kegiatan mereka dan duduk melingkar. Mereka mengadakan rapat situasi darurat.

"Kau lihat tadi pagi saat sarapan? Daun dijanjikan es krim dan kita tidak!" seru Blaze, berapi-api. Taufan mengangguk.

"Hmm, kenapa Daun begitu dimanjakan ya?" tanya Taufan. Solar mendecakkan lidah.

"Coba perhatikan baik-baik, Daun itu selalu lengket dengan Gempa. Kalau Gempa sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, dia pasti menawarkan diri untuk membantu, makanya Gempa senang dengannya," terang Solar.

"Kalian bertiga malas," timpal Halilintar sambil menyeringai. Blaze hanya melemparkan cengiran jahil ke arah Halilintar.

"Yalah, Kak Halilintar tidak malas, tapi tetap saja tidak diperhatikan Kak Gempa," balas Blaze. Halilintar menggeram jengkel.

"Setidaknya aku tak suka mengacak-acak rumah dan tak pernah rapi membereskan seperti kau dan Taufan."

"Ish, aku sudah berusahalah," sangkal Taufan.

"Usahamu tak sungguh-sungguh," balas Halilintar lagi.

"Aku tak mau ikutan kekonyolan ini," ujar Solar tiba-tiba berubah pikiran.

"Aku juga," sambung Ice.

"Ingat, pasta jamur nikmat~? Kau akan mendapatkannya sesukamu tanpa larangan Kak Gempa!" balas Taufan, mengompor-kompori Solar, membuat Solar ikutan terpancing. Benar juga, bagaimana bisa ia lupa pasta jamur-keju itu?

"Dan Ice! Kak Gempa bisa beri kau Ice Chocolate tanpa larangan!" timpal Blaze, berusaha membujuk Ice biar ikut. Ice langsung setuju saat membayangkan bergalon-galon es cokelat yang bisa ia minum sepuasnya.

Taufan dan Blaze memang provokator sejati.

"Aku sih ada rencana. Nanti pasti aku yang diperhatikan Gempa!" kata Taufan, sambil tertawa jumawa. Blaze dan Halilintar jadi tersulut juga.

"Hah! Aku yang akan diperhatikan Kak Gempa, terus Kak Gempa nanti masak ayam goreng sedap setiap hari!" seru Blaze, air liurnya hendak menetes membayangkan ayam goreng super mantap buatan Gempa. Ice yang juga senang ayam goreng jadi meneguk ludahnya membayangkan panganan nikmat itu.

"Aku dekat dengan Gempa, aku bisa membuatnya memasak sambal kerang," balas Halilintar sambil melipat tangannya ke dada. Senyum mengejek terbingkai di wajahnya.

"Aku juga tak mau kalah," kata Ice, kalem. Demi es cokelat dan ayam goreng.

"Sebagai yang termuda, aku menolak juga untuk kalah," ujar Solar. Ia bisa membayangkan pasta jamur dan keju yang bisa ia makan terus.

"Baiklah, dengan ini... perang telah dideklarasikan!" seru Halilintar.

.

.

- Rencana Taufan & Blaze: Membantu Gempa di Dapur -

Pukul 10.25 a.m. Gempa dan Daun sudah pulang dari pasar pagi.

"Daun, taruh belanjaan sayur dan ikan di dapur ya. Buah apel taruh saja di dekat keran," kata Gempa. "Aku mau taruh karung beras dan tepung ini di sepen."

"Oke, tiada masalah!" seru Daun sambil berlari ke arah dapur. Gempa hanya tersenyum kecil melihat semangat adiknya. Ia menuju dapur, di dekat dapur terletak bilik kecil berisi berbagai bahan makanan kering yang tak bisa dimasukkan ke kulkas. Kamar kecil seperti ini disebut sepen.

Gempa membuka sepen untuk menaruh beras dan tepung sementara Daun menaruh belanjaan. Karena Daun ingin membantu Gempa, maka ia langsung mencuci apel agar bisa dirapikan ke rak untuk membuat kue apel nanti.

Selagi Daun asyik menggosok apel, Taufan menghampiri Daun.

"Hei, Daun, kau istrahat saja," ujar Taufan sambil merebut keranjang apel dari tangan Daun. "Kau capek habis ke pasar bukan?" tambah Taufan lagi sambil tersenyum lebar. Daun menatap kakaknya dengan bingung.

"Eh, enggak juga," kata Daun. "Umm... Kak Taufan sedang apa disini?"

"Mengkhawatirkan kau lah! Kau istirahat saja ya, biar aku urus sisanya," ujar Taufan sambil setengah mendorong Daun ke pintu halaman belakang. "Kau urus tanamanmu, mereka merindukanmu."

"Oh... baiklah," kata Daun. Pintu halaman belakang langsung ditutup Taufan dengan lega, membiarkan Daun sendirian di luar dengan tanamannya.

"Baiklah, sekarang tinggal cuci apel-apel ini dan bantu GemGem masak! Habis itu, dia akan puji aku dan akan membakar ikan yang lezat untukku setiap hari!" kata Taufan pada dirinya sambil tersenyum-senyum. Ia hendak meneruskan pekerjaan Daun membersihkan apel, tapi ia mendengar suara Blaze dan Gempa dari arah sepen.

"Blaze, tak usah biar aku saja," ujar Gempa sambil mempertahankan karung tepung 10 kg dilengannya.

"Tak apa Kak Gempa, biar aku yang urus!"

"Blaze, aku sudah berkali-kali bilang, tak usah," kata Gempa dengan nada letih. Tapi yang namanya Blaze itu takkan menerima kata 'tidak' jika ia sudah bertekad. Maka si anak pertengahan itu langsung menarik karung tepung itu. Karena ditarik-tarik, ikatan karungnya menjadi longgar dan akhirnya karung tepungnya jatuh dan tumpah sebagian. Debu putih beterbangan menciptakan kabut, Gempa dan Blaze terbatuk-batuk sambil keluar dari awan tepung itu.

Melihat kekacauan yang sudah ia buat, Blaze merasa sedih dan kecewa pada dirinya.

"Maaf Kak, aku hanya ingin membantu," ujar Blaze, menyesal. Gempa hanya tersenyum sambil menepuk kepala Blaze yang sudah dipenuhi serbuk tepung.

"Tak apa, kau bersihkan diri saja, biar aku yang bereskan tumpahannya," ujar Gempa. Meski sedih, Blaze menurut saja daripada dia mengacau lagi. Ia lalu pergi dari sana, membiarkan Gempa membereskan (lagi) hasil kekacauannya.

Ketika Blaze melewati dapur, ia melihat Taufan cengengesan, menertawai kegagalan Blaze. Blaze jadi tersulut emosinya.

"Sini kau!" raung Blaze sambil menerjang Taufan.

"Ergh! Jangaan!"

Keranjang berisi apel yang dipegang Taufan itu jadi tumpah dan berhamburan kemana-mana. Blaze dan Taufan bergumul berkelahi di lantai dapur dengan sengit―Blaze berusaha memberi kakaknya pelajaran sementara Taufan berusaha mempertahankan diri. Mereka berdua menabrak meja kecil berisi teko teh milik Gempa dan teko itu jatuh ke lantai dengan sangat ribut.

"Praaang!"

Blaze dan Taufan langsung berhenti berkelahi dan menatap pecahan teko itu dengan horor. Gempa yang sedang membereskan tumpahan tepung langsung kaget.

"Hah? Apa yang pecah?" gumam Gempa sambil berdiri menuju dapur... dan melihat kondisi dapur berantakan dengan apel berhamburan kemana-mana, serpihan pecahan teko, dan air teh menggenangi lantai. Tapi tak ada siapapun di dapur―Gempa pikir siapapun pelakunya, pasti sudah lari lewat pintu belakang. Anak berumur 16 tahun itu hanya menghela nafas melihat kerjaan tambahan membersihkan dapur, padahal ia harus memasak makan siang.

"Bukannya tadi Daun ada di dapur? Dia kemana ya, padahal aku tak marah kalau dia memecahkan teko tehku."

Ketika semua berkumpul di meja makan untuk menyantap makan siang berupa ikan bakar kesukaan Taufan, Gempa berkata pada Daun kalau ia tak marah jika Daun memecahkan teko tehnya, tetapi Gempa menasehati kalau tidak baik jika Daun lari sehabis melakukan kesalahan. Daun agak bingung apa yang dibicarakan Gempa, tapi ia mengiyakan saja.

Taufan dan Blaze tak bersuara sepanjang makan siang. Halilintar curiga.

Rencana Taufan & Blaze: GAGAL

Bonus Point (+50): Semangat

.

.

- Rencana Ice: Laundri -

Pukul 01.02 p.m

Ice itu malas.

Tapi ia mau ayam goreng setiap hari dan Ice Chocolate.

Akhirnya Ice menghela nafas dan pergi ke kamar laundri. Sebenarnya ketujuh bersaudara itu mencuci dan menyetrika sendiri pakaian mereka, tapi jika ada waktu senggang―seperti hari libur Sabtu dan Minggu―Gempa dengan ikhlas mencucikan pakaian mereka yang malas mencuci, seperti Blaze, Ice dan Taufan. Ice hendak berubah― demi Ice Chocolate nikmat buatan Gempa― maka biar Ice saja yang mengurus laundri hari Sabtu itu.

Ice mengambil keranjang berisi pakaian Halilintar, keranjang pakaian Solar, serta keranjang pakaian Blaze dan Taufan lalu mencampur semuanya ke dalam mesin cuci. Ia lalu menuangkan detergen bubuk, menyalakan air dan segera menyetel ke pencucian normal. Setelah itu, Ice duduk di kursi pojokan dan malah tertidur disana.

Ice terbangun ketika ia merasakan ada guncangan di pundaknya. Ia membuka mata dan melihat Gempa membangunkannya dengan ekspresi bingung. Ice menguap dan membenarkan posisi duduknya.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Gempa, heran melihat Ice yang malas tiba-tiba ada di kamar laundri.

"Aku mencucikan baju untuk Kak Gempa," jawab Ice. "Sudah jam berapa ini?"

"Sudah jam 2 siang. Wah, kau mencucikan baju? Terimakasih ya!"

"Sama-sama," balas Ice sambil menggeliatkan tubuhnya. Gempa kemudian menuju keranjang pakaian milik Halilintar dan melihat keranjang itu kosong. Gempa menggaruk kepalanya.

"Ice... dimana jaket Kak Hali? Jaket Kak Hali harus dipisahkan saat mencuci, sebab Kak Hali baru saja mewarnai jaketnya gara-gara kena pemutih tempo hari."

Ice lalu menampilkan ekspresi agak bersalah. Gempa langsung panik dan segera membuka penutup mesin cuci. Mesin cuci itu sudah selesai mencuci saat ditinggal tidur Ice tadi. Gempa menatapi isi mesin itu yang sudah kelunturan warna hitam dari jaket Halilintar, terutama baju Solar yamg dominan berwarna putih.

Tak hanya baju Halilintar dan Solar, baju-baju milik Taufan dan Blaze juga kena imbasnya. Untungnya celana jins Taufan dan Blaze tak terlihat noda kelunturannya karena berwarna hitam juga. Kaus biru Taufan kena bercak hitam tapi Taufan tak ambil pusing. Belum lagi detergen bubuk yang dipakai Ice terlalu banyak, sampai hampir habis sekantong besar detergen itu―akibatnya semua pakaian masih bersabun.

Gempa tidak memberitahu yang lainnya kalau yang mencuci adalah Ice, ia hanya minta maaf dan berjanji akan memperbaiki baju-baju mereka.

"Alah tak apalah Gempa! Aku dan Blaze bisa urus sendiri kok!" kata Taufan sambil nyengir, meraup bajunya yang kelunturan dan masih penuh detergen. Blaze mengangguk.

"Iya Kak Gem, biar kami saja, Kakak istirahat saja dulu," ujar Blaze. Gempa hanya meminta maaf lagi, sebelum Taufan dan Blaze pergi ke kamar laundri hendak membilas baju mereka yang masih bersabun itu.

Tapi ketika Gempa mengabarkan kabar naas laundri itu pada Halilintar dan Solar, reaksi mereka tidak seringan Taufan dan Blaze. Halilintar agak jengah ia harus mewarnai lagi jaketnya, sementara Solar menahan rasa gemas melihat baju-baju putihnya terkena bercakan hitam pewarna pakaian.

"Sudahlah, tak apa. Biar aku saja nanti yang memutihkan lagi pakaianku," gerutu Solar.

"Baiklah, maaf ya Solar," ujar Gempa. "Kak Hali, nanti biar aku saja yang mewarnai jaketnya."

"Tak usah, aku saja. Keburu masih hari libur," tolak Halilintar sambil berlalu ke ruang laundri, diikuti Solar. Selepas kepergian mereka, Ice kemudian mendekati Gempa dengan rasa bersalah.

"Maafkan aku ya Kak, aku sudah membuat kekacauan tapi malah Kak Gempa yang disalahkan," ujar Ice, pelan.

"Tak apa, Kak Hali dan Solar sudah memaafkan," kata Gempa sambil tersenyum manis. "Yang penting, niatmu baik ingin membantuku."

Ice merasa semakin bersalah. Ia melakukan semua itu untuk tujuan lain. Ice yang melihat kebaikan Gempa menjadi berpikir―semanis apapun Ice Chocolate yang dijanjikan, takkan semanis apa yang sudah Gempa lakukan selama ini untuknya. Ice pikir sudah saatnya ia lebih berkontribusi untuk orang lain tanpa pamrih, serta mulai berani melawan rasa malas dan tidak pedulinya.

Rencana Ice: GAGAL

Bonus Point (+140): Ice menjadi dewasa

.

.

- Rencana Solar: Tutor -

Setelah merendam pakaiannya yang kelunturan dengan pemutih, Solar menjalankan rencananya. Sekarang pukul 07.40 p.m. Gempa, Halilintar dan Daun tengah membereskan dapur usai makan malam.

Solar tahu biasanya habis makan malam dan shalat Isya, Gempa akan belajar. Gempa sebenarnya pandai, tapi ia tak sepandai Solar dalam ilmu eksak. Nah, disinilah Solar akan merebut perhatian Gempa dan pasta jamur-keju super lezat itu, ia berniat menjadi tutor Gempa.

Solar menunggu Gempa di ruang tengah. Tak lama berselang, Gempa menaiki tangga ke atas menuju kamarnya. Halilintar dan Daun memilih duduk di ruang tengah sambil membawa buku pelajaran, Halilintar hendak mengajari Daun kimia. Ice tengah duduk mengerjakan PR fisika-nya. Blaze dan Taufan pergi ke pasar malam bersama Gopal―Gempa bilang jangan pulang lewat jam 9, yang diamini Halilintar dengan tatapan tajam.

Gempa pergi ke tingkat dua, diikuti Solar. Sesampainya Gempa di kamarnya, ia baru sadar kalau Solar mengikutinya. Gempa menatap adik bungsunya itu dengan penuh tanya.

"Ada apa, Solar?" tanya Gempa, merasa aneh.

"Aku hanya ingin membantu kau mengerjakan tugas sekolah. Apa ada kesulitan?" tanya Solar. Gempa tiba-tiba teringat.

"Oh ya! Aku belum paham tugas matematika! Ajari aku ya?"

"Tak masalah."

Selama 30 menit Solar menerangkan rumus matematika pada Gempa, tapi Gempa masih belum mengerti. Cara Solar menerangkan itu seperti profesor matematika murni―terlalu berbelit-belit dan terlalu banyak detil rumus yang melampaui pelajaran untuk murid kelas 1 SMA. Gempa jadi sakit kepala melihat banyaknya perhitungan ruwet itu. Solar memang sangat pandai, tapi ia tak pandai menerangkan pelajaran.

"...jadi, begitulah cara menemukan rumusnya," tutup Solar. Gempa menggaruk kepalanya.

"Solar... aku hanya minta dijelaskan bagaimana menggunakan rumus, bukan bagaimana perhitungan menemukan rumusnya," keluh Gempa. Alih-alih paham, dia malah tambah pusing.

"Kupikir kau harus tahu, Gempa. Kau jadi lebih mudah mengotak-atik rumus ini dalam berbagai soal," bantah Solar. Gempa mengusap tengkuknya.

"Maaf ya kau sudah letih-letih menjelaskan, malah tak ada yang aku mengerti," kata Gempa sambil tersenyum tidak enak. Solar menjadi salah tingkah.

"Aku hanya ingin agar kau mendapatkan penjelasan yang terbaik," kata Solar, ikutan tak enak. Gempa tersenyum lebar.

"Itu bukan salahmu," ujarnya. "Yang terpenting, kau memiliki niatan baik untuk membantuku. Aku senang kita menghabiskan waktu bersama. Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama bukan? Kau selalu memisahkan diri dari kami."

Solar merasa bersalah saat Gempa berprasangka kalau Solar bermaksud baik tanpa pamrih. Di tambah lagi Gempa berkata seolah-olah dia merindukan kebersamaan dengan Solar, tapi tak berani meminta waktunya karena Solar terlalu menjauhkan diri dari kakak-kakaknya, terlalu asyik dengan pikiran dan kegiatannya.

Solar membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, namun sayangnya ia diinterupsi.

"KAKAK!" jerit Blaze lagi sambil mendobrak pintu kamar Gempa saking bersemangatnya. Engsel pintu itu hampir putus, daun pintu terbanting keras ke dinding. Blaze masuk ke dalam kamar sambil menenteng bungkusan plastik, wajahnya terlihat gembira sekali. Melihat antusiasme Blaze membuat Gempa tertawa kecil dan segera mendatangi adiknya.

"Sabar-sabar," kata Gempa. Blaze langsung menyorokkan bungkusan ke Gempa.

"Aku menang tembak-tembakan di pasar malam! Terus aku dapat sepatu! Pas buat Kak Gempa!" kata Blaze dengan nafas naik-turun akibat terlalu berapi-api. Gempa membuka bungkusan itu, Solar ikutan melihat karena penasaran.

"Erm... Blaze, ini sepatu balet untuk perempuan," kata Gempa, membuat Solar menahan tawa.

"Tapi kata penjaga stand-nya itu untuk laki-laki! Berarti aku dibohongi!" seru Blaze, tampak murung sekali. Gempa jadi kasihan.

"Ya sudahlah, tak apa. Bisa untuk Ibu saja kalau pulang nanti," kata Gempa. "Jangan bersedih. Aku ada buat kue apel tadi sore, kau mau? Kita bisa potong bersama-sama," hibur Gempa. Seketika itu pula wajah Blaze langsung berbinar-binar.

"Wuah! Aku mau! Beri aku potongan paling besar ya!"

"Ah, kita 'kan bertujuh, harus dibagi adil ya? Tapi kalau kau mau, kau bisa minta bagianku," kata Gempa. Blaze melonjak gembira dan berlari keluar kamar, hendak mengabari yang lain kalau Gempa akan memotong kue apel―kekecewaannya akibat insiden sepatu itu terlupakan. Gempa hanya menggelengkan kepala.

"Ayo Solar, kita turun ke bawah," ajak Gempa. Solar hanya tersenyum kecut.

"Ah, aku ingin membereskan barangku sebentar, aku akan turun sebentar lagi," kilah Solar. Gempa hanya tersenyum dan pergi dari sana meninggalkan Solar sendirian.

Solar kembali memikirkan kata-kata Gempa sebelum Blaze masuk. Apa benar ia menjauhkan diri? Kalau ia pikir betul juga... ia sering tidak tahu kabar saudara-saudaranya karena ia pikir tak ada yang lebih penting daripada urusannya sendiri. Ia bahkan tak mau memanggil kakak-kakaknya dengan sebutan 'kakak' karena ia pikir ia lebih baik daripada saudara-saudaranya. Kata-kata halus Gempa membuat Solar merenung―mungkin sudah saatnya Solar berhenti merasa lebih baik daripada saudaranya dan mulai lebih membuka diri.

"Aku juga senang bisa menghabiskan waktu dengan Kak Gempa," gumam Solar, dalam kesunyian.

Rencana Solar: GAGAL

Bonus Point (+140): Sadar diri.

.

.

- Rencana Halilintar: Mengantar belanja -

Keesokan harinya, Minggu pukul 07.30 a.m

Pagi itu Gempa harus pergi supermarket membeli tepung. Kemarin tepung yang dibeli Gempa sudah ditumpahkan oleh Blaze dan hanya sedikit saja yang bisa diselamatkan. Gempa berencana pergi sendirian saja, tak ingin Daun ikut. Daun tidur terlalu malam akibat menonton film horor bersama Taufan, maka Gempa biarkan adiknya itu tidur selepas Subuh.

Dengan langkah cepat, Gempa menuju pintu depan, siap berangkat. Tepat sebelum Gempa membuka pintu depan, ia dikejutkan oleh sebuah suara.

"Mau kemana kau pagi-pagi hari Minggu begini?" tanya Halilintar, ia tengah duduk di ruang tamu.

"Aku mau beli tepung."

"Kemarin kau sudah beli satu karung."

"Tumpah kemarin, dan kebanyakan tak bisa dipakai lagi. Aku harus beli yang baru untuk bahan biskuit amal minggu depan," ujar Gempa. Halilintar bangkit dari duduknya.

"Ayo, aku temani."

"Eh tak usah Kak Hali, aku bisa pergi sendiri kok," kilah Gempa. Halilintar tak menjawab, ia hanya membuka pintu depan dan menunggu Gempa keluar. Gempa menghela nafas―kalau Halilintar sudah membuat keputusan, hanya Tuhan saja yang bisa merubahnya.

"Baiklah, terimakasih ya Kak Hali," ujar Gempa sambil tersenyum. Halilintar balas tersenyum tipis.

"Sama-sama."

Sesampainya di supermarket, Gempa langsung mengambil keranjang dan mencari tepung. Halilintar mengikutinya dari belakang sambil melihat-lihat sekeliling. Ia melihat di ujung lorong disana ada daerah seafood―kerang mentah tampak bertumpuk rapi di antara es. Halilintar langsung terbakar semangatnya. Demi sambal kerang super pedas.

"Gempa, apa kau sekalian belanja untuk makan siang?" tanya Halilintar berusaha tenang, bukan modus.

"Iya, tapi aku tak tahu mau masak apa. Aku ada kepikiran mau masak ayam goreng..." gumam Gempa sambil berpikir. Halilintar meremas bahu adiknya, ia menatap Gempa dalam-dalam.

"Gempa, kau tak mau masak ayam. Tapi kerang."

"Eh?"

"Kerang, Gempa. Kerang."

"Tapi..."

"Kerang."

Hening sesaat. Gempa berpikir.

"...hmm, sudah lama kita tak makan itu ya? Baiklah, kalau kerangnya bagus, kita makan kerang," putus Gempa. Halilintar bersorak-sorai dalam hati, tapi wajahnya masih datar saja.

"Kak Hali tolong cari bumbu di rak sana ya? Aku mau pilih kerang dan sayuran dulu, separuh mau kubuat sambal kerang," ujar Gempa. Hati Halilintar semakin melonjak, sekarang menebar bunga dan glitter. Tapi wajahnya masih datar.

"Baiklah. Jumpa lagi di tempat sayuran," ujar Halilintar dan ia langsung melesat ke rak bumbu. Gempa agak takjub kakaknya bisa berlari secepat itu.

Sesampainya di rak bumbu, Halilintar mulai mencari bahan yang diperlukan untuk memasak sambal kerang. Saat sedang asyik memilah-milih, pinggangnya tiba-tiba menabrak sebuah troli belanjaan. Halilintar menoleh ke belakang dan melihat wajah menyebalkan yang sangat-tidak ingin Halilintar lihat.

"Sedang apa kau disini, Fang?" geram Halilintar. Fang melipat tangannya ke dada.

"Sedang apa? Tentu saja sedang belanja. Ini supermarket bukan?" ujar Fang, sarkatis. Halilintar mendecakkan lidahnya, ia kemudian melihat isi troli Fang.

"Memangnya kau tak makan yang lain selain wortel? Makanan tak enak seperti itu, kelinci kah kau?" tanya Halilintar, meremehkan. Bagi Halilintar,tak ada makanan lain seenak sambal kerang Gempa. Fang berkacak pinggang saat makanan kesukaannya dikritik sang rival.

"Kau siapa, ibuku? Terserah aku mau makan apa," balas Fang. Halilintar tersenyum mengejek.

"Aku bukan ibumu, tapi orang yang lebih populer daripada kau," ujar Halilintar. Sebenarnya Halilintar tak peduli dengan popularitas, tapi ia hanya ingin membuat Fang kesal saja. Dan benar, Fang jadi tersulut emosinya.

"Ish! Kau ini memang―"

"Fang."

Suara bariton memotong perkelahian mereka. Halilintar menoleh ke belakang dan melihat seorang pria muda berdarah Jepang berdiri tak jauh dari mereka. Fang yang tadi berwajah sok dingin dan jutek pada Halilintar langsung berubah air mukanya.

"Abang Kaizo!" kata Fang sambil menghampiri lelaki muda rupawan tersebut, tiba-tiba ceria sekali. "Abang sudah dapatkan krimnya?"

"Sudah," jawab Kaizo. Fang hanya tersenyum lebar sambil menggelayut lengan lelaki tinggi itu. Halilintar hendak muntah melihat anak tengil menyebalkan tersebut bermanja-manja dengan abangnya. Cih, padahal di sekolah kelakuannya itu menyebalkan sekali.

"Kau siapa? Teman Fang?" tanya Kaizo sambil mengamati Halilintar. Halilintar agak berjengit ditatap dengan mata setajam itu.

"Saya Halilintar. Dan saya bukan teman Fang," gerutu Halilintar. Kaizo menyeringai.

"Cubit saja pipi bakpao-nya ini kalau dia berbuat onar," katanya. Wajah Fang memerah.

"Abang! Pipiku tak bulat lah!"

"Dengan senang hati saya akan melakukannya," ujar Halilintar, tiba-tiba senang bertemu Kaizo. Ia jadi mendapat bahan untuk mengejek Fang. Hah, makan tuh Pipi Bakpao!

"Ayo, Fang, kita pulang," ajak Kaizo sambil berjalan pergi dari sana. Fang langsung meraih troli wortelnya dan mendorongnya menuju kasir. Sebelum pergi, Fang menoleh ke arah Halilintar.

"Awas saja di sekolah kalau kau menyebutku pipi bakpao."

"Kau mau apa? Mau mengadu pada abangmu?" tantang Halilintar. Fang hanya tersenyum jahil sambil mengeluarkan sesuatu dari troli belanjaannya... dan itu sekantong besar balon yang belum ditiup. Fang cepat-cepat pergi dari sana sebelum Halilintar menampar wajahnnya.

"Awas kau, Ah Meng!" raung Halilintar, marah.

"Kak Hali," panggil Gempa, tiba-tiba muncul sebelum Halilintar menghajar Fang. "Kenapa Kak?"

"Si Ah Meng Pipi Bakpao itu membeli balon untuk mengerjaiku," ujar Halilintar, marah. Gempa menggaruk kepalanya.

"Ah Meng Pipi Bakpao?"

"Itu dia orangnya," tunjuk Halilintar. Gempa melihat Fang tengah berbincang dengan Kaizo di dekat meja kasir, wajah Fang berseri-seri sekali. Gempa melihat meski ekspresi Kaizo dingin, sorot matanya lembut seperti sorot mata Halilintar saat menanggapi celotehan Daun. Mereka tak jauh berbeda rupanya. Gempa tersenyum simpul.

"Kak Kaizo itu mirip dengan Kak Hali," komentar Gempa. Halilintar mendecih.

"Mana ada, dia itu lebih psiko daripada Fang," tepis Halilintar. "Sudahlah, kau selesai ambil kerang?"

"Eh mengenai itu... kerangnya harus ditarik lagi karena sudah bau, Kak Hali," ujar Gempa dengan wajah bersalah. Halilintar semakin buruk suasana hatinya. Ini pasti akibat bertemu Ah Meng Pipi Bakpao itu makanya ia jadi sial tak bisa makan sambal kerang super pedas! Halilintar bersungut-sungut.

Melihat kakaknya tampak semakin kesal dan semakin muram, Gempa langsung menenangkan.

"Sabar Kak Hali, kita memang tak jadi makan sambal kerang, tapi aku beli cumi-cumi tadi, jadi kita bisa masak sambal cumi-cumi," ujar Gempa, berusaha menghibur. Halilintar pikir tak apalah, sambal cumi juga sangat enak. Apalagi buatan Gempa.

Jadi lapar, keluh Halilintar dalam hati.

Rencana Halilintar: GAGAL

Bonus Point (+50): Sambal cumi Gempa

.

.

.

Pulang dari supermarket, Gempa dan Halilintar langsung disambut oleh Daun, Taufan dan Blaze di ruang depan.

"Kak Gem! Kok tak bangunkan Daun kalau mau ke supermarket!" seru Daun, kecewa. Matanya membulat sedih, seperti anak kucing. Gempa jadi meleleh.

"Kak Hali menikung saja! Pasti Kak Hali memperdayai Gempa buat memasak sambal kerang!" tuduh Taufan.

"Iya nih, Kak Hali licik," timpal Blaze. Halilintar menoyor kepala Taufan dan Blaze.

"Tak ada sambal kerang, tahu!"

"Kak Gempa kok tak ajak Daun," ujar Daun lagi, hendak menangis. "Kak Gempa marah ya sama Daun sudah memecahkan teko Kak Gempa kemarin? Bukan Daun yang pecahkan, tapi Kak Taufan sama Kak Blaze!"

Daun langsung menangis terisak-isak di tempat. Gempa langsung gelagapan melihat Daun menangis, ia segera memeluk dan mengusap-usap kepala Daun. Halilintar menatap tajam Blaze dan Taufan yang perlahan mundur ketakutan.

"Jadi kalian yang memecahkan teko dan menyalahkan Daun?" tuding Halilintar.

"Kami tak sengaja!"

"Betul!" tambah Taufan. "Kami tak menyalahkan Daun kok, hanya kabur dari sana, ehehehe," ujar Taufan sambil cengengesan. Halilintar semakin geregetan.

"Dan kemarin kalian tak mengoreksi Gempa yang mengira Daun pecahkan teko! Sama saja itu menimpakan kesalahan!" amuk Halilintar, insting protektifnya mulai keluar.

"Hiii! Maafkan kami!"

"Minta maaf pada Gempa dan Daun, bukan padaku!"

"Sudah-sudah," lerai Gempa sebelum Halilintar mempraktikkan ilmu bela dirinya pada Taufan dan Blaze. "Tak usah meributkan hal sepele seperti teko pecah."

"Iya, benar," kata Taufan, mengamini. Halilintar menahan diri untuk tidak membantingnya ke lantai.

"Omong-omong, sedang apa Kak Taufan dan Blaze di dapur sampai memecahkan teko? Kalian tak terluka bukan?" tanya Gempa, khawatir.

"Aku hanya mau membantu Kak Gempa di dapur supaya Kak Gempa mau masakkan ayam goreng... biar tak kalah sama yang lain yang mau dimasakkan Kak Gempa juga," kata Blaze, polos. Taufan dan Halilintar kaget Blaze tiba-tiba membocorkan rencana mereka.

Gempa menoleh pada Taufan.

"Jadi ini alasan kalian berlaku aneh dari kemarin?"

"Kak Hali, Solar dan Ice juga ikutan!" ujar Taufan, semakin membongkar rahasia. Kebetulan saat itu, Solar dan Ice menuruni tangga. Blaze dengan semangat seorang pengkhianat menunjuk keduanya.

"Nah, itu Solar dan Ice! Kak Gempa tanyakan saja pada mereka!"

"Apanya yang harus ditanyakan?" tanya Solar, bingung. Ice hanya berkedip perlahan.

"Kalau kau juga ingin diperhatikan Gempa. Supaya bisa makan enak setiap hari," kata Taufan sambil tersenyum jahil. "Sudahlah, mengaku saja. Sudah terbongkar."

Gempa menghela nafas. Ia mengamati satu-persatu kelima saudaranya. Blaze dan Taufan hanya nyengir lebar menutupi rasa tak enak. Halilintar melipat tangannya ke dada. Solar hanya memasang senyum tipis, sementara Ice tampak merasa bersalah.

"Aku 'kan selalu memasak makanan kesukaan kalian, tapi bergantian," ujar Gempa.

"Beda, Kak Gempa. Kak Gempa lebih sayang Daun. Kalau Daun minta apapun pasti diberi," protes Blaze. Taufan mengamini.

"Kak Hali, memangnya aku begitu?" tanya Gempa, pada Halilintar yang ia anggap objektif.

"Iya, tapi bukannya aku mau diperhatikan kau ya," kata Halilintar, mulai kumat tsundere-nya. Yang lain hanya mahfum melihat tabiat lamanya itu.

"Kak Gempa selalu memanjakan Daun," kata Solar sambil tersenyum. "Yah tak apa sih, aku maklum saja," tambah Solar, mulai pengertian.

"Aku juga tak keberatan Kak Gempa memanjakan Daun," kata Ice. "Wajar saja sih."

"Aku tidak sadar kalau memanjakan Daun," gumam Gempa, tampak berpikir. Daun jadi salah tingkah, ia hanya diam saja sambil menempel pada Gempa.

"Kalau begitu, aku minta maaf ya, aku tak adil," ujar Gempa, merasa bersalah. "Aku akan lebih hati-hati lagi."

"Gempa, sudahlah," ujar Halilintar. "Kau sudah berlaku baik selama ini. Mengurus segalanya dan menjadi panutan disini. Mereka saja yang tak pandai berterimakasih."

"Ih, Kak Hali 'kan ikutan marah Gempa manjain Daun," protes Taufan.

"Aku tak marah. Aku hanya ingin Gempa memasakkan sambal kerang, tak seperti kalian ya," dusta Halilintar, si raja tsundere.

"Yang penting," lerai Ice. "Tak masalah Kak Gempa manjakan Daun. Daun 'kan paling senang menolong Kak Gempa, jadi wajar saja Kak Gempa lebih dekat dengan Daun. Harusnya kita lebih peka terhadap kesulitan Kak Gempa dan lebih aktif menolong, seperti Daun."

Wajah Daun memerah malu saat mendengar perkataan Ice.

"Kalian ini sudah malas-malasan, masih mau mendapat perlakuan istimewa dari Kak Gempa," timpal Solar. Blaze dan Taufan tampak merasa bersalah, mereka langsung memeluk Gempa erat-erat.

"Ma-maafkan kami Gempa. Kami akan lebih berusaha lagi agar kau tak merasa berat tinggal bersama kami!" seru Taufan sambil tersedu.

"Benar tu. Huhuhuhu..." isak Blaze. Halilintar dan Solar mengerinyit jijik melihat ingus Blaze dan Taufan di jaket Gempa.

"Aku juga," kata Ice sambil tersenyum malu. "Aku akan lebih berusaha lagi untuk Kak Gempa."

"Ice..." kata Gempa, takjub. Ice lalu ikut memeluk Gempa. Gempa jadi terharu.

"Yeay! Pelukan bersama!" seru Daun, ia ikut memeluk Gempa juga. "Daun sayang Kak Gempa. Kak Gempa yang terbaik."

"Eh..." Gempa tertawa kecil, terharu dengan perlakuan saudaranya. Gempa terkejut ketika Halilintar ikutan memeluk Gempa sambil menggumam kalau ia tak peduli apakah Gempa perhatian dengannya atau tidak, yang langsung dikatai tsundere oleh Taufan.

Kekagetan Gempa semakin menjadi saat melihat Solar―yang benci kontak fisik dengan manusia―ikutan memeluk Gempa. Wajah Solar agak memerah malu karena tak biasa menunjukkan kasih sayang.

"Terimakasih sudah bersabar denganku selama ini," gumam Solar.

Gempa langsung menangis tersedu-sedu disana, membuat Halilintar dan Solar tertawa geli. Daun, Taufan dan Blaze malah ikutan nangis. Ice hanya tersenyum simpul.

"Akhir yang tak begitu buruk," gumam Ice pada dirinya sendiri.

Memang akhir yang tak buruk, kok!

.

.

Tamat

.

A/N

Saya sengaja gak sebut Daun sebagai 'Thorn' karena nama 'Thorn' (duri) itu rada emo. Jujur, manisan versi Daun daripada Thorn. Mungkin karena warna hitam itu terkesan serius. Harusnya bajunya gak item-ijo gitu... kayak Taufan sama Ice gak ada itemnya :'(

Ada tanggapan? Uneg-uneg? Feedback? Silahkan review!

.

.

Cerita Ekstra

"Siapa anak berandalan yang berbicara dengan kau di supermarket?" tanya Kaizo ketika Fang asyik memotong sayuran di dapur.

"Berandalan? Maksud Abang, Halilintar?"

"Ya, dia. Apa hubungan dia dengan kau? Apa kalian dekat?" cecar Kaizo, menginterogasi. Fang mengangkat bahu seraya memasukkan potongan wortel ke panci, untuk sup wortel kesukaan Kaizo nanti.

"Ah, kami hanya teman di sekolah."

"Jangan dekat-dekat dengannya," perintah Kaizo dengan nada tak mau dibantah. Fang menghela nafas.

"Baiklah Abang..." ujar Fang, mengalah. Kakaknya itu terlalu protektif, sampai-sampai ia terus mengecek isi ponsel Fang, mengantar-jemputnya ke sekolah dengan supir, ditanyai siapa saja temannya, menguntit akun media sosial Fang, menguntit teman-teman Fang, mengintimidasi teman-teman Fang... masih banyak lagi kelakuan Kaizo yang bisa disebut bro-com.

Fang kembali menghela nafas sambil menatap potret ibu dan ayahnya di dinding.

"Kalian tak usah cemas di surga sana, Abang menjaga Pang dengan "terlalu baik" disini," ujar Fang sambil tersenyum kecil.

.

Fin.