e
.
Fake Love, Fate Love
.
jimin x yoongi
.
bts member , ellin , others
.
Jimin menelisik Ellin dari ujung rambut sampai ujung sepatu yang gadis itu kenakan. Dia memang cantik, tapi tentu saja; Jimin tidak tertarik dengan gadis. Hanya ada Yoongi di hatinya.
.
Chapter 1
"Yoongi-hyung~"
Jimin berlari-lari kecil di koridor kampus begitu dia melihat Yoongi sedang berjalan sendirian di sana. Dan dengan tiba-tiba langsung merangkulnya, membuat Yoongi tersentak. "Jangan mengagetiku, Park. Kau ini—"
Sebelum Yoongi menyelesaikan kalimatnya, Jimin sudah memotongnya dengan sebuah ciuman di pipi yang langsung saja membuat pipi sekaligus telinga Yoongi perlahan memerah. Jimin nyengir lebar, membuat matanya terlihat seperti bulan sabit. Sementara Yoongi mendengus sebal, dia berkata. "Kau selalu saja menciumku saat aku akan mengomelimu."
"Karena aku sayang padamu."
Kemudian, Jimin meringis ketika Yoongi memberikan sebuah pukulan telak di kepalanya. "A-aduh, hyung."
"Itu sebuah pukulan cinta dariku~" Yoongi berkata setengah jijik, kemudian mendengus dan berlari menjauh dari Jimin yang masih meringis kesakitan karena pukulan yang Yoongi berikan padanya. Jimin menatap punggung Yoongi sampai pemuda yang lebih tua dua tahun darinya itu menghilang dari pandangannya. Jimin menggelengkan kepalanya gemas, kekasihnya itu memang selalu saja membuatnya tergila-gila.
Jimin melangkahkan kakinya menuju loker yang berwarna merah panjang di koridor. Tetapi, sebelum dia sempat mencapai lokernya, seorang gadis berambut pirang menabraknya, dan saat itu juga buku yang sedari tadi digenggaman gadis berambut pirang itu berserakan di lantai.
"M-maafkan aku." Gadis itu membungkuk beberapa kali di hadapan Jimin, dan Jimin hanya tersenyum menanggapinya. Lalu berjongkok untuk membantu membereskan buku-buku milik gadis itu. Sambil membereskan buku milik gadis itu, Jimin sesekali meliriknya—hanya untuk mencari tahu nama gadis itu dari nametag yang ia pakai—kemudian menatap wajah gadis itu secara seksama.
"Kim Minyoung-ssi? Baru kali ini aku melihatmu," Jimin memberikan buku yang telah ia bereskan ke tangan gadis di hadapannya. "Apa kau mahasiswi pindahan?" Jimin melanjutkan.
"Ellin, p-panggil saja aku Ellin,"—kemudian dia menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga—"Ya, aku baru saja pindah dari Busan."
Jimin menelisik Ellin dari ujung rambut sampai ujung sepatu yang gadis itu kenakan. Dia memang cantik, tapi tentu saja; Jimin tidak tertarik dengan gadis. Tapi, karena berteman itu hal baik, Jimin mengangkat tangan kanannya, berniat untuk berjabat tangan. "Perkenalkan, namaku Jimin, Park Jimin."
Ellin menyambut tangan Jimin dengan sedikit ragu, namun akhirnya dia tersenyum. "Kim Minyoung, Ellin. Senang berkenalan denganmu, Jimin-ssi."
Jimin tersenyum lebar, dan matanya kembali membentuk bulan sabit. Membuat Ellin terpana selama beberapa detik. "Tidak perlu seformal itu, berapa umurmu?"
"25 tahun,"—Ellin mengulum senyum tipis—"Dan, kau?"
Jimin melongo, "Kau lebih tua dari pada yang kusangka, aku pikir kau lebih muda dariku. Aku baru berumur 20 tahun, dan aku akan memanggilmu noona." Jimin kembali tersenyum, dan kali ini benar-benar membuat Ellin tertarik.
"Aku harus pergi, noona. Selamat tinggal."
Kemudian Jimin melambaikan tangannya dan berbalik meninggalkan Ellin sendirian di koridor. Ellin tiba-tiba menunduk, dan saat itu juga, dia mempunyai sebuah ambisi gila.
.
.
.
Taehyung menggigit-gigit sumpit sambil menatap Jimin penasaran, "Tadi, siapa gadis yang kau temui di koridor? Dia kelihatan asing,"—kemudian pemuda berambut orange itu tersentak dan menatap Jimin yang sedang melahap makan siangnya dengan curiga—"Atau jangan-jangan, kau mengencani dia, ya?!"
Jimin mendongak hanya untuk menatap Taehyung dengan malas, makan siangnya jadi tertunda karena pemuda alay itu. "Dia menabrakku, lalu aku membantunya merapikan buku-buku miliknya yang berserakan di lantai. Apakah itu terlihat seperti, aku mengencani dia?"
"Aku pikir, kau mengencaninya." Taehyung mengusap tengkuknya dan mengeluarkan cengiran epik miliknya yang khas.
Jimin memutar bola matanya malas, "Aku tidak akan mengencani wanita. Yang ada di otakku sekarang dan selamanya hanyalah Min Yoongi." Dan kali ini, Taehyung yang memutar bola matanya malas, "Dasar, penggila Yoongi-hyung."
Pemuda bermata sipit itu terkekeh dan memilih untuk kembali melanjutkan makan siangnya yang sempat tertunda.
"Eh, Jimin. Lihat, dia datang."
Jimin kembali mendongak dan menatap Taehyung bingung, "Siapa—"
"Selamat siang," Ellin melambaikan sebelah tangannya, dan tersenyum ramah. Dan lagi, dia menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Aku belum kenal siapa pun di sini, boleh aku duduk dengan kalian?"
Bukannya Jimin, melainkan Taehyung yang menjawab. "Oh, tentu saja."
Ellin membungkukkan tubuhnya sedikit dan tersenyum senang, lalu duduk di samping Jimin. Dia meletakkan bubble tea yang sedari tadi ia bawa ke atas meja dan menatap dua pria yang ada di meja yang sama secara bergantian. Pandangannya jatuh ke Taehyung, "Siapa namamu?"
Taehyung menjawab sambil nyengir, "Kim Taehyung,"
Jimin menatap Taehyung sambil menggigit sumpit, "Dia seorang noona."
Ellin tersenyum tipis. Taehyung sempat mengangkat sebelah alisnya, dan kembali menatap Ellin yang masih tersenyum. "Aku sempat berpikir kita seumuran, habis, noona kelihatan muda sekali."
Ellin hanya terkekeh pelan sebagai jawaban dari pujian yang Taehyung berikan.
Jimin mengelap mulutnya dengan tisu, tanda bahwa dia sudah selesai makan. Kemudian pemuda itu berdiri dari duduknya, dan menatap dua orang yang masih duduk. "Aku akan pergi duluan, sampai jumpa." Dia tersenyum tipis, lalu berlalu sambil menenteng tas ransel warna hitam miliknya.
Setelah pemuda itu tak tampak lagi, Ellin mengalihkan pandangannya dan beralih untuk menatap Taehyung yang sedang meminum jus jeruk. "Maaf jika aku menanyakan ini, tapi—"—Ellin mengedarkan pandangannya ke sekeliling sebelum melanjutkan—"dia sudah punya pacar?"
Taehyung menaikkan sebelah alisnya, dan menopang dagu. "Aku tidak bisa memberitahu yang itu," kemudian dia meniup poni yang sedikit menutup pandangannya. "Lebih baik, noona mencari tahu sendiri."
Ellin menganggukkan kepalanya mengerti, di dalam hatinya, ambisi yang ingin diraihnya bertambah gila.
"Dan, noona, yang benar saja. Kau minum bubble tea saat musim dingin?"
.
.
Jimin berjalan sendirian di kawasan distrik Gangnam-gu, Seoul.
Pemuda itu menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya. Jimin menghela napas, dan uap hangat menghambur keluar dari mulutnya. Dia berjalan dengan pelan, banyak orang yang berjalan dengan terburu-buru di sekitarnya, dan beberapa dari mereka menabraknya tanpa meminta maaf. Jimin menatap langit-langit yang mendung, dan salju turun.
Memang tidak lebat, tapi orang-orang mulai menggunakan payung untuk menghindari diri agar tidak tertimbun oleh salju.
Jimin tidak terlalu peduli, dia masih berjalan pelan seperti biasa. Membiarkan salju berjatuhan dan mengotori surai coklatnya. Matanya menangkap sesosok pemuda mungil sedang kedinginan di depan sebuah gedung apartemen, beberapa kali pemuda itu mengusap tangannya dan menghembuskan napas untuk sekedar menghangatkan diri dari hawa dingin kota Seoul yang menusuk tulang.
Kemudian Jimin mempercepat langkahnya dan menubruk pemuda itu dengan sebuah pelukan hangat. "Kedinginan, hyung?" Jimin bertanya sambil mengusap surai coklat gelap pemuda yang ia peluk.
Yoongi tersenyum, dan balas memeluk Jimin dengan erat. "Tentu saja, dasar bodoh."
Jimin terkekeh dan sedikit melonggarkan pelukannya, "Kenapa tidak masuk ke dalam, Yoongi-hyung? Kau akan mati kedinginan kalau terus berdiri di depan gedung apartemen seperti ini." Jimin mengusap pipi Yoongi dan tersenyum. Yoongi terus saja menatapnya dan akhirnya menjawab. "Tidak tahu, tiba-tiba, aku hanya ingin melihatmu terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam."
Jimin tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Kekasih juteknya itu ternyata bisa mengeluarkan kata-kata yang seperti itu.
"Kau sudah bertemu denganku 'kan, hyung? Sekarang, masuklah, aku akan menghubungimu."
Yoongi menganggukkan kepalanya pelan, dia terdiam sesaat. Lalu dengan ragu, memberikan ciuman singkat di bibir Jimin sebelum dia berbalik dan masuk ke dalam.
Jimin terkekeh dan melambaikan tangannya ke Yoongi yang sudah menghilang. Pemuda itu kembali memasukkan kedua tangannya yang dingin ke dalam saku mantel tebal yang ia kenakan. Lalu berjalan meninggalkan gedung apartemen itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi masih banyak orang yang berlalu lalang. Salju masih turun, dan kali ini lebih deras, jadi Jimin mempercepat langkahnya untuk sampai ke rumah dan bergelung dengan selimut tebal nan hangat kesayangannya.
Ia sudah sampai di halaman rumahnya yang bisa dibilang luas.
Jimin termasuk keluarga yang 'dipandang', tapi dia tidak berniat sama sekali untuk memamerkan kekayaannya. Dia tidak menggunakan mobil saat ke kampus, walaupun beberapa kali menggunakannya saat dia terlambat bangun pagi. Berjalan kaki dan naik bus lebih menyenangkan baginya.
Dia berjalan menuju teras rumah, dan menemukan sesuatu yang asing di sana.
Sebuah kantung kertas berwarna coklat, dan tepat di depan pintu.
.
.
Jimin membawa kantung kertas itu ke kamarnya di lantai dua setelah memberikan salam kepada kedua orang tuanya yang tengah berbincang di ruang keluarga.
Pemuda itu menekan gagang pintu dan membukanya, masuk kemudian menutup pintu di belakangnya menggunakan kaki. Dia meletakkan ranselnya sembarangan tanpa melepaskan mantel yang ia kenakan. Jimin memperhatikan kantung kertas yang sedari tadi ia genggam, lalu membawanya ke meja belajar. Setelah duduk di kursi, dia mulai mengeluarkan isi dari kantung itu.
Ada coklat, snapback, beanie, dan beberapa photocard.
Jimin mengambil snapback terlebih dahulu, snapback itu berwarna merah dan hitam. Jimin menaikkan salah satu alisnya, tidak buruk—menurutnya. Kemudian dia mengambil beanie berwarna hitam dan bertuliskan 'dope', dia mengusap beanie itu, lalu meletakkannya di meja. Yang terakhir, ia mengambil photocard yang berjumlah empat.
Photocard yang pertama, sebatang pohon tinggi, Jimin tidak bisa melihat daun-daun dan dahan dari pohon itu, hanya batangnya saja.
Photocard yang kedua, gambar dua ekor burung flamingo yang sedang menyatukan kepala mereka, seperti angsa, membuatnya menyerupai bentuk hati.
Photocard yang ketiga, menurut Jimin, ini paling aneh. Gambar sebatang magnet berbentuk huruf U.
Tapi Jimin dengan cepat bisa menyimpulkan maksud dari tiga photocard yang dilihatnya, orang yang memberikan ini menyampaikan kalau dia menyukai Jimin. Menurutnya, gambar-gambar ini terlalu mudah untuk ditebak.
Hanya satu photocard lagi yang belum ia lihat.
Gambar seorang perempuan, tapi, dia tidak menunjukkan wajahnya. Orang yang dipotret itu hanya menampakkan bagian belakang tubuhnya. Rambutnya pirang, dan panjang sepunggung. Dia mengenakan sweater berwarna biru langit dan celana jins dongker. Jimin memiringkan kepalanya, dia merasa tidak asing dengan rambut perempuan di photocard itu.
Tapi, tidak mungkin hanya ada satu perempuan yang mempunyai warna rambut seperti ini, bukan?
.
.
Jimin menyandang ranselnya, dan tanpa sengaja pandangannya jatuh ke arah kalender yang letaknya tidak terlalu jauh darinya.
Jimin melangkahkan tungkainya dan berdiri tepat di depan tembok—kalender—itu, satu tanggal sudah dilingkari oleh spidol berwarna merah dan diberi sticker hati kecil di sana. Tanggal enam belas, hanya berjarak sekitar satu minggu lagi, hari jadi mereka—Jimin dan Yoongi, yang kesepuluh. Jimin sudah memikirkan sebuah hadiah untuk kekasih manisnya itu, dan dia tidak bisa untuk tidak tersenyum ketika memikirkan itu. Selang beberapa lama, Jimin mengangkat lengannya dan menatap jam di pergelangan tangannya lalu buru-buru pergi meninggalkan kamar.
Sambil menuruni tangga, Ia dapat melihat kedua orangtuanya sedang duduk di ruang makan. Ibunya yang sedang mengoleskan selai strawberry di atas roti, merasakan kehadiran putranya. "Selamat pagi, Jimin." Sapanya sambil tersenyum manis.
Yoochun—ayahnya Jimin—membalikkan tubuhnya dan mendapati putranya sedang berjalan menuruni tangga.
Jimin melangkahkan kakinya ke meja makan, menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Kemudian ibunya—Junsu memberikan selembar roti yang sudah diolesi oleh selai strawberry, yang langsung di terima oleh Jimin, kemudian pemuda itu menggigit bagian ujung dari rotinya.
Yoochun berbicara, "Kau bangun agak cepat hari ini, tumben?"
Kemudian Jimin menoleh untuk menatap ayahnya yang sedang duduk di sampingnya. "Tiba-tiba saja aku bangun lebih cepat tadi, aku pun tidak tahu kenapa." Setelah menjawab, dia kembali melahap rotinya.
"Seharusnya kau begini setiap hari, Jim." Kali ini Junsu yang berkomentar, membuat Jimin mendengus sebal. Pemuda yang matanya selalu dipoles oleh eyeliner itu menjawab, "Eomma, tidak selamanya aku bisa bangun pagi."
Junsu terkekeh. "Ah, ya. Cuaca hari ini lebih dingin daripada kemarin, kenakan sweater, muffler, dan mantel mu."
Setelah menghabiskan bagian terakhir dari rotinya, Jimin mengangguk dan segera bangkit untuk mengambil barang-barang yang disebutkan oleh ibunya.
Sebelum berangkat, Jimin berpamitan dengan kedua orangtuanya. Dia sudah berada di luar dan sedang berjalan di trotoar dengan lambat. Masih ada cukup banyak waktu baginya untuk bersantai di pagi hari yang dingin itu, dan dia berniat untuk menjemput kekasihnya. Jimin mengeluarkan ponsel dari saku mantelnya dan mengetik pesan di sana.
From: Jimin
To: Yoongi-hyung
Hyung, bangun dan bersiaplah, kita akan berangkat ke kampus bersama.
Setelah pesan itu terkirim, Jimin menonaktifkan layar ponselnya dan kembali memasukkan ponsel itu ke dalam sakunya. Dia sudah keluar dari kawasan kompleks perumahannya, dan menemukan sebuah jalan ke kereta bawah tanah.
.
.
Jimin menekan tombol password apartemen Yoongi dengan ragu.
Seingatnya, Yoongi pernah memberitahu password apartemennya, tapi mungkin saja Yoongi sudah menggantinya. Namun, Jimin tetap menekan tombol angka di sana. Dia menekan tanggal lahirnya dan, berhasil. Jimin segera meraih gagang pintu, menekan dan mendorongnya agar pintu itu terbuka. Tepat saat dia membuka pintu apartemen Yoongi, Jimin bisa melihat kekasihnya itu sedang tertidur di sofa, sudah berpakaian rapi, dan rambutnya sedikit berantakan.
Jimin masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya, kemudian berjalan ke arah Yoongi dan duduk di sampingnya. Jimin jadi tidak rela untuk membangunkan kekasihnya, karena, demi Tuhan, kekasihnya sangatlah lucu saat sedang tertidur.
Tapi karena hari itu mereka berdua harus pergi ke kampus, Jimin terpaksa harus membangunkan Yoongi dengan menepuk pelan pipi pucatnya. "Yoongi-hyung, bangun."
Yoongi menggeliat pelan, tepukan Jimin di pipinya cukup membuatnya terusik. Matanya yang sedari terpejam erat, dengan perlahan terbuka, dan dia menemukan seorang pemuda dengan coat berwarna coklat muda sedang menatapnya sambil tersenyum manis. Dan pemuda itu mengatakan, "Yoongi-hyung, bangunlah, kita akan berangkat bersama."
Yoongi menatap Jimin agak lama, kemudian dia meregangkan kedua lengannya dan menggaruk pipinya. Jimin yang sedari tadi menatap Yoongi, jadi gemas.
Kemudian Jimin bangkit dan mengulurkan lengannya. Yoongi menatap lengan Jimin yang terulur kepadanya, dan meraihnya. Jimin menarik Yoongi untuk berdiri, tapi berakhir dengan Yoongi yang menubruk Jimin dengan pelukannya.
"Aku mengantuk," Yoongi bergumam di dada Jimin.
Jimin menarik bibirnya menjadi sebuah senyuman. Pemuda itu mengusap surai kekasihnya yang terasa begitu lembut ketika jarinya memainkan surainya. "Kau bisa tidur nanti, hyung. Sekarang, berangkat, ya?"
Dan dengan enggan Yoongi melepas pelukannya lalu menganggukkan kepalanya. Jimin mengusap pipi pucat kekasihnya dan mempersempit jarak di antara mereka, dan memberikan sebuah ciuman kilat di bibir kekasihnya. Wajah Yoongi sempat memerah sampai ke telinga, dan pemuda yang lebih tua dua tahun dari Jimin itu langsung memalingkan wajahnya.
"Ayo." Jimin meraih tangan Yoongi untuk ia genggam. Tangan itu terasa hangat, seperti biasa. Yoongi balas menggenggam erat tangan Jimin, kemudian keduanya berjalan keluar dari apartemen.
.
.
"Yo, Jimin!"
Taehyung yang saat itu baru saja sampai di kampus, melihat Jimin dan Yoongi yang juga baru saja datang, berdua.
Jimin yang menyadari kehadiran Taehyung, melambaikan tangannya untuk sekedar menyapa. Taehyung berjalan mendekati kedua orang itu dan tersenyum tipis ketika melihat Yoongi. "Tidak biasanya kau datang lebih cepat?" Taehyung bertanya sambil menatap pasangan itu bergantian.
Jimin menjawab, "Tiba-tiba saja aku terbangun lebih awal."
Taehyung menganggukkan kepalanya mengerti, lalu mengeluarkan sebuah benda persegi dari kantung mantelnya, dan memberikannya kepada Yoongi. "Kau pasti kedinginan, hyung."
Yoongi langsung menerima benda pemberian Taehyung—hotpack dan menggumamkan terima kasih pada pemuda itu. Jimin yang melihat itu, memutar bola matanya malas. Setelahnya Jimin langsung menarik Yoongi menjauh dari Taehyung dan masuk ke gedung, meninggalkan Taehyung yang masih berdiri di halaman dan memperhatikan dari jauh sambil menggelengkan kepalanya.
Ketika Jimin dan Yoongi sudah berada di dalam gedung kampus, seorang gadis berambut pirang tiba-tiba muncul. Jimin mendongak ketika merasakan sebuah kehadiran dan harum parfum wanita di dekatnya. Ketika dia melihat ke tangga, dia bisa melihat Ellin sedang berdiri di sana, tersenyum ke arahnya. Ellin berjalan menuruni tangga, dan ketika dia sampai di hadapan Jimin dan Yoongi, gadis itu menelisik Yoongi dari ujung rambutnya sampai ke ujung sepatu converse merah yang Yoongi kenakan.
Ellin menatap Jimin, "Dia siapa mu, Jimin?"
Jimin melirik Yoongi, dan melingkarkan sebelah lengannya di sepanjang bahu Yoongi. Sambil tersenyum bangga, Jimin menjawab. "Dia kekasih manisku,"—dan Yoongi menyikut perutnya—"Namanya Min Yoongi, dia kekasihku."
"Ah," Ellin menganggukkan kepalanya mengerti, lalu mengulum sebuah senyuman manis. Gadis itu mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Yoongi. "Namaku Kim Minyoung," Yoongi mendongak untuk menatap gadis bersurai pirang itu, dan tersenyum. Yoongi menjabat tangan Ellin dan menjawab, "Min Yoongi. Senang berkenalan denganmu, Minyoung—"
Ellin buru-buru memotong, "Panggil saja aku Ellin,"
Jimin memperhatikan interaksi kedua orang di dekatnya, kemudian dia berbicara. "Ngomong-ngomong, Yoongi-hyung berbeda dua tahun dariku."
"Berarti aku adalah seorang noona," Ellin terkekeh, "Kalau begitu, aku pamit dulu. Ada seseorang yang harus aku temui, selamat tinggal." Ellin melambaikan tangannya dan berbalik meninggalkan kedua orang yang masih berdiri sambil memperhatikan punggungnya yang lama kelamaan lenyap.
Ellin pergi ke ujung lorong dan dia bisa melihat sebuah tangga di sana, jadi gadis itu segera berlari menaiki tangga sampai ke lantai dua. Suasana kampus saat itu masih sepi, tidak banyak mahasiswa yang berlalu lalang.
Saat dia yakin tidak ada siapapun yang ada di dekatnya, gadis itu mengeluarkan ponsel dan melakukan dial dengan terburu-buru.
Ketika dia bisa mendengar suara dari seberang sana, Ellin buru-buru mengatakan.
"Kim Seokjin, bantu aku."
TBC
.
hai
ga tau mau ngomong apa
yang jelas; alur cerita berasal dari kakak kelas saya dan semoga yang baca bakal suka
terima kasih
[ bootae ]
