Luhan memiliki segalanya; cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal Luhan berusaha menghindarinya, karena pria itu adalah pencerminan sempurna untuk segala hal yang ia benci. Pria itu mengingatkannya pada sosok yang selalu menjadi mimpi buruk disepanjang hidupnya.

Sehun terbiasa membiarkan segala sesuatu berjalan disekitarnya. Diberkati bakat luar biasa untuk menjadi apapun yang diinginkannya tanpa harus berusaha keras. Panggilan hidupnya adalah menjadi seorang pianis. Tapi kemudian hidup membawanya pada kenyataan pahit; ayahnya meninggal dan ia harus mengambil alih perusahaan keluarganya demi adiknya. Saat itulah takdir mempertemukannya dengan seseorang yang begitu antipati pada dirinya.

Oh Sehun bukanlah pria yang mudah menyerah. Ketika takdir membawanya pada seorang wanita bernama Luhan, terbentuklah satu kisah manis diiringi gumpalan gairah murni dari keduanya. Mereka berbagi, lalu saling memiliki. Sesederhana itu.

Tapi rupanya hidup tidak pernah memberikan jalan yang sederhana. Semakin Sehun mengenal Luhan, semakin ia tahu bahwa Luhan menyimpan rahasia kelam.

Cinta sungguh tidak pernah mudah. Namun cinta tidak akan pernah menyerah. Karena cinta mampu melakukan segalanya, termasuk membangun kembali hati yang hancur didalamnya.

.

.

.

Odultmarch

Present

.

.

.

Song For Unbroken Soul

.

.

.

PROLOG

New York City.

Juli, 2007

Luhan menatap sekelilingnya dengan putus asa. Tubuh-tubuh bergoyang mengikuti irama musik bertempo cepat sementara gelak tawa juga bau menyengat yang berasal dari minuman yang entah apa namanya itu memenuhi udara. Luhan merasa tidak nyaman. Kini ia menyesali keputusannya untuk tetap tinggal setelah pesta dansa sekolah selesai. Karena pesta sesungguhnya sungguh diluar kemampuan Luhan yang menyandang predikat sebagai gadis baik.

Luhan mendesah. Bagaimana ia bisa melarikan diri dari semua kekacauan ini?

Lalu saat itulah Kris datang. Luhan melihat kakaknya itu berjalan diantara kerumunan orang-orang yang mungkin sudah lupa diri. Tak membutuhkan waktu lama hingga Kris berada dihadapannya. Ia tersenyum seraya mengulurkan tangannya. Dan Luhan menyambutnya dengan senang, lalu berjalan mengikuti langkah besar kakaknya dengan tenang. Karena ia percaya bahwa Kris adalah pelindungnya yang terbaik yang pernah ada.

Kris menghentikan langkahnya untuk menyapa salah satu temannya. Luhan pun ikut tersenyum ketika disapa lalu mengalihkan pandangannya ke segala arah. Sialnya, Luhan melihat sepasang kekasih yang sedang asik bercumbu. Dan lelaki yang mencium perempuan itu balas menatapnya. Mata hijaunya yang begitu terang seakan menembus langsung ke hatinya.

Tak lama kemudian ciuman itu berakhir. Luhan tidak tahu apa yang dikatakan lelaki itu ketika perempuan yang baru saja ia cium menamparnya dan berlalu pergi dengan kemarahan yang mengepul dikepalanya. Tapi lelaki itu nampak tidak peduli. Ia justru kembali menuangkan minuman berbau menyengat itu dengan tenang. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Luhan bergidik ngeri dan menunduk. Meskipun lelaki itu tampak amat sangat menawan dan mempesona diluar wajah dan penampilannya, tapi Luhan seperti melihat sedikit luka pada tatapannya. Begitu jelas dan mengganggu keindahan mata hijaunya. Luhan tidak mengenal siapa lelaki itu, tapi ia seperti merasakan sesuatu yang mendesaknya untuk membantu. Tapi kemudian Luhan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh pemikiran bodoh.

"Kau baik-baik saja, Lu?"

Luhan mengangguk, lalu kembali mengikuti langkah Kris sekali lagi.

"Apakah seseorang menciummu?" Tanya Kris setelah menjalankan mobilnya.

Luhan sama sekali tidak terganggu dengan pertanyaan itu. ia sudah berbagi nyaris dalam segala hal bersama Kris. Sehingga bukan sebuah rahasia bahwa Luhan belum pernah berciuman diusianya yang menginjak delapan belas tahun. Berbeda dengan Kris yang memiliki banyak pengalaman dan sepak terjang yang luas dalam dunia percintaan. Luhan masih sangat polos dan tidak berpengalaman.

"Tidak."

"Semua lelaki disekolahmu memang payah." Sahutnya.

"Untungnya begitu. Karena jika tidak, aku yakin mereka akan berakhir babak belur ditanganmu."

Dan Kris hanya tersenyum dan mengusak kepala Luhan sebagai balasannya.

Luhan mengerutkan kening. Ia menatap kakaknya dengan bingung. Biasanya Kris akan tertawa dan membalas ucapannya. Tapi kali ini berbeda. Luhan merasa ada sesuatu yang membebani pikiran kakaknya itu.

Luhan meraih tangan kanan kakaknya yang bebas. "Apa terjadi sesuatu? Ceritakanlah, aku siap mendengarkannya."

Kris menghela nafas lalu menepikan mobilnya.

"Ayolah. Aku tidak suka melihatmu tidak bahagia seperti itu. beritahu saja aku, agar aku bisa membantumu." Desak Luhan.

Mereka terdiam sesaat. Ketika Kris akhirnya membuka suara, Luhan menemukan sebuah rasa sakit yang nyata dalam suaranya.

"Zizi berselingkuh. Aku melihatnya bermesraan dengan seorang pria asing diapartemennya. Zizi bahkan tidak membela diri saat aku berteriak padanya. Ia mengakhiri hubungan kami. Aku tahu seharusnya aku merasa lega, tapi aku justru menemukan diriku menggila dengan rasa cinta yang aku miliki untuknya."

"Kapan kau melihatnya? Apa kau bertanya kenapa ia melakukannya dan mengkhianatimu?"

"Kemarin sore. Dan tidak. aku tidak menanyakannya." Jawab Kris lemah.

Luhan melepas sabuk pengamannya dan mengulurkan tangan untuk memeluk kakaknya. Meski bukan saudara kandung –ayah Kris dan ibunya menikah tujuh tahun yang lalu, Luhan dapat merasakan dengan jelas rasa sakit yang Kris derita. Selalu bersama dan tak terpisahkan sejak kanak-kanak membuat mereka mengerti pribadi masing-masing.

"Kau akan baik-baik saja. Semua ini akan berakhir. Kau akan menemukan kebahagiaanmu. Aku yakin itu, karena kau adalah kakakku. Aku menyayangimu."

Ya, saat itu Luhan meyakini ucapannya. Ia berdoa sepenuh hati untuk kebahagiaan Kris. Agar Kris kembali baik-baik saja dan menjadi seorang kakak yang menyayanginya.

Tapi satu minggu kemudian, Luhan mendapati doanya hanya sia-sia saja. Kondisi Kris semakin memburuk dan selalu terlihat murung. Bahkan kerap kali kakaknya itu tidak pulang ke rumah. Padahal kedua orang tua mereka sedang berlibur bulan madu yang kedua dan Luhan sendirian dirumah. Kris tidak pernah mengabaikan Luhan sebelumnya. Tapi sekali lagi, Luhan mencoba mengerti dan memahami kondisi kakaknya itu.

"Tidak apa-apa, Kyung. Aku bisa mengatasinya. Kita sedang membicarakan Kris Wu. Ia adalah kakakku, pria terhebat kedua setelah ayahku. Aku yakin semua akan baik-baik saja."

Diseberang telepon Kyungsoo menghela nafas. "Aku tahu. Tapi kau tidak harus sendirian didalam rumah sebesar itu. Menginaplah disini." Ucap Kyungsoo khawatir.

"Aku baik-baik saja, Kyung. Tenanglah. Lagipula aku harus menunggu Kris pulang. Tadi siang Jongdae mencarinya. Aku tahu mereka ada proyek penting untuk perlombaan film indie tahun depan. Dan aku tidak bisa membiarkan Kris merusak impiannya begitu saja."

"Hh.. Baiklah. Bagaimana persiapanmu untuk kuliah? Ibuku begitu sibuk menyuruhku membeli koleksi baju baru. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Demi Tuhan, kita akan kuliah dijurusan Teknik Sipil. Apa gunanya baju bagus? Aku yakin kita akan lebih nyaman memakai kaus kebesaran dan jeans belel. Apalagi Indonesia adalah Negara yang cukup konvensional. Oh ya, aku iri padamu yang memiliki darah Indonesia asli. Aku yakin kau akan tampak sangat cantik disana. Sedangkan aku pasti terlihat aneh dengan rambut pirang dan mata biruku ini."

Luhan tertawa mendengar serentetan kalimat yang diucapkan sahabatnya itu. mereka terus membicarakan tentang rencana kuliah di Negara tropis semacam Indonesia hingga satu jam kemudian. Mereka begitu antusias, karena seakan takdir mendukung persahabatan mereka; mereka diterima di Universitas yang sama dengan jurusan yang sama pula. Luhan sudah tidak sabar untuk kembali ke kampung halamannya.

Entah kenapa disaat teman-temannya berlomba untuk masuk ke Universitas ternama dunia, Luhan justru sangat inrgin kembali ke Indonesia. Luhan memang tumbuh besar di New York, hanya saja Luhan merasa berhak untuk tahu seperti apa Negara asal ayah kandungnya. Dengan begitu mungkin ia bisa mengenal ayahnya yang sudah meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Ibunya tidak pernah mau berbicara mengenai ayahnya, dan Luhan maklum untuk hal itu. ia hanya diberikan sebuah album foto berukuran besar berisi penuh perjalanan cinta mereka berdua.

"Sepertinya Kris pulang. Aku akan menghubungimu lagi besok. Selamat malam, Kyung."

Luhan merangkak turun dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju kamar Kris yang berada tetap diseberang kamarnya. Kamar itu gelap, tapi pintunya terbuka. Perhalan Luhan melangkah masuk dan menemukan Kris sedang duduk bersandar pada ranjang dengan kepala menunduk.

"Kris, kau baik-baik saja?" Tanya Luhan seraya berlutut dihadapan kakaknya.

Seketika Luhan mencium bau aneh dari nafasnya. "Apa kau mabuk?"

Kris tetap tidak menjawab. Ia justru mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Luhan begitu erat. Nafasnya memberat dan ia berguman. "Kenapa kau melakukan itu padaku, Zi? Aku mencintaimu. Tidak bisakah kau melihatnya? Aku sangat mencintaimu."

"Kris, lepaskan aku."

Tapi Kris yang sudah berada dibawah control alkohol tidak bisa memahaminya. Ia terus memeluk Luhan dan menganggapnya sebagai Zizi. Luhan berusaha memberontak dengan seluruh kekuatannya, tapi tubuh Kris bahkan dua kali lipat tubuhnya.

Luhan menjerit ketika Kris menariknya ketempat tidur dan menindihnya.

"Kau milikku, Zi. Kau tidak akan bisa pergi dariku. Aku mencintaimu."

Dan jeritan Luhan bertambah keras saat Kris mulai melumat bibirnya dengan kasar dan merobek gaun tidur yang dikenakannya hingga dadanya kini terekspos dengan jelas. Tidak ada yang mendengarnya. Rumah itu terlampau besar hingga hampir mustahil suaranya mampu mencapai bagian belakang lantai dasar rumahnya.

Luhan terus meronta, menendang, dan memukul sekenanya. Sementara Kris masih mencoba melepaskan sisa kain yang menempel ditubuh Luhan lalu membungkam jeritan itu dengan mulutnya.

Air mata mengalir tidak tertahankan. Semua ini tidak mungkin terjadi. Tapi rasa panik yang menyeruak didadanya terasa begitu nyata. Ini bukanlah sebuah mimpi. Kegelapan disekitarnya menenggelamkan Luhan, membungkusnya dalam terror sempurna sementara tubuhnya tak berdaya.

Rasa jijik Luhan semakin bertambah besar. Sebuah teriakan putus asa terus keluar dari bibirnya. Keperawanannya dibobol secara bajingan hingga melumpuhkan sarafnya, tenggelam dalam perihnya.

Luhan merasa waktu berjalan begitu lambat. Rasa sakit itu semakin menyesakkan dan Luhan tidak yakin akan sanggup menanggungnya. Ia merasa lebih baik mati saja. Gerakan sekasar binatang liar yang terus menerjang bagian bawahnya membuat kesadarannya inginn segera menghilang. Dan seakan semua belum cukup buruk, cairan hangat menyembur didalam tubuhnya. Membuat kesakitan abadi dalam hatinya.

Luhan menangis. Dengan tubuh membeku, ia berharap kegelapan akan benar-benar menenggelamkannya seutuhnya. Agar ia tidak bisa melihat mentari lagi bahkan hanya untuk secercah cahayanya.

.

Luhan memandang kosong dengan memeluk kedua lututnya. Sudah dua hari ia mengurung diri dikamar. Menolak makan, juga menolak berbicara. Raganya ada, tapi jiwanya tak terasa ada. Rasa sakit itu hampir melumpuhkan dirinya, hingga satu-satunya hal yang bisa Luhan lakukan hanyalah bernafas.

Ketukan dipintu kamarnya terdengar semakin keras. Seperti didua hari terakhir, dan disusul dengan sebuah permohonan maaf yang begitu menyayat. Tapi Luhan tetap membeku. Sepenuhnya bersembunyi dalam kelam.

Hari beranjak senja, seseorang kembali mengetuk pintu kamarnya. Kali ini suara lembut yang menyusul, membuat pertahanan Luhan hancur. Dengan tubuh yang kaku, Luhan bergerak membuka pintu dan mendapati sahabatnya, Kyungsoo, berdiri dengan kedua tangan memegang nampan berisi makanan.

"Luhan.." Kyungsoo tampak shock melihat keadaan sahabatnya itu.

Kondisi Luhan sungguh diluar perkiraan. Wajahnya begitu pucat, matanya bengkak dan terdapat lingkar hitam yang sangat jelas tercetak disekelilingnya, juga tubuhnya yang bergetar hebat. Kyungsoo segera masuk dan meletakkan nampan itu pada nakas. Tanpa kata, ia menarik Luhan duduk diatas karus dan memeluknya.

"Apa yang terjadi? Kau tidak tampak bai-baik saja, Lu."

Luhan tidak menjawab. Matanya masih menatap kosong. Kyungsoo yang terlalu khawatir pun tidak kuasa mendesak. Ia hanya harus mengurus Luhan dengan sabar. Menyuapinya makan, lalu menyelimutinya ketika ia tertidur. Dan kegiatan it uterus berlanjut hingga dua minggu kemudian. Orang tua Luhan yang baru saja pulang tidak mengerti dengan keadaan putrinya. Mereka sangat khawatir, tapi Luhan selalu berkata bahwa ia akan baik-baik saja dengan nada datar.

Diamnya Luhan berubah menjadi hysteria diminggu ketiga. Kyungsoo yang selalu menemaninya tanpa kenal lelah mulai memahami gejala yang dialamu Luhan. Meski enggan, Kyungsoo tahu ia harus membuktikannya. Luhan stress karena satu hal dan kini memasuki tahap depresi karena ada hal lainnya. Maka siang itu, ketika seluruh keluarganya pergi, Kyungsoo datang dengan sebungkus plastik dari apotik.

"Luhan, mau membuktikannya?" ucap Kyungsoo lembut.

Luhan meraih bungkusan plastik itu dan menangis ketika melihat isinya. Sebuah alat tes kehamilan. Tanpa kata, Luhan melangkah menuju kamar mandi dengan kondisi tubuh yang tidak menentu. Ia bukan gadis bodoh, begitu juga Kyungsoo. Dengan seluruh keanehan yang Luhan alami, juga rutinitas barunya mengunjungi toilet setiap pagi, siapapun bisa menebaknya.

Kyungsoo mendobrak pintu kamar mandi yang tidak dikunci itu saat mendengar tangisan memilukan dari dalamnya. Lalu menutup mulutnya ketika melihat alat tes kehamilan itu menunjukkan dua buah garis vertical. Air matanya meluruh bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh berlutut dilantai. Kyungsoo memeluk Luhan erat. Membiarkan isakan mereka memenuhi udara kamar mandi itu.

Tanpa diduga, seseorang yang lain ikut melihat semua yang terjadi. Ketika Luhan membuka mataya, ia segera bangkit berdiri dengan seluruh amarah yang selama ini dipendamnya. Luhan melayangkan tangannya; memukul, menampar, meninju, atau apapun yang bisa ia lakukan untuk seorang bajingan dihadapannya.

"Brengsek kau, Kris! Aku membencimu!"

Luhan berteriak histeris. "Kau menyakitiku! Aku membencimu! Pergi kau dari hidupku! Aku tidak ingin melihatmu lagi seumur hidupku!"

Dan Kris hanya mentap Luhan dengan air mata yang bahkan tidak layak keluar dari pelupuknya. Tuhan tahu betapa menyesalnya ia. Ribuan kali Kris meminta maaf, ribuan kali juga Luhan mengabaikannya. Kini semua semakin tak terselamatkan. Kris sudah memasrahkan segalanya. Ia tahu bahwa penjara saja tidak cukup buruk untuknya. Ia pantas mendapat hukuman terberat. Dan ketika Luhan mengucapkannya, ia tahu ia harus melakukannya. Perlahan Kris berbalik dan melangkah keluar. Meninggalkan Luhan yang masih menangis histeris dibelakangnya.

.

Luhan membiarkan angina meluruhkan setiap kelopak bunga ditangannya. Matanya tetap memandang kosong, sementara semua orang mengurai tangis yang menyayat. Makam itu bertaburan bunga, dengan tulisan Kris Wu pada nisannya.

Luhan tidak bisa lagi menangis. Persediaan air matanya sudah habis. Setelah pertengkaran terkutuk itu, Luhan menemukan Kris terbujur kaku tak bernyawa dikamarnya. Ada begitu banya obat tidur yang ditelannya hingga tanpa perlu diagnosis dokter pun ia tahu Kris telah meninggalkannya.

Luhan menyentuh perutnya perlahan. Kehidupan didalam tubuhnya adalah pengingat sejati atas segala rasa sakit ini. Luhan tidak bisa melakukannya dan Luhan tidak bisa membiarkannya.

"Kyungsoo, aku butuh bantuanmu." Bisik Luhan ditelinganya. Mereka meninggalkan pemakaman tanpa peduli pada tatapan cemas bercampur kesedihan semua orang. Luhan segera pulang dan mengemas barang-barangnya.

"Apa yang kau lakukan, Lu?"

"Aku ingin kau berbohong pada orang tuaku. Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Aku akan pergi untuk sementara waktu. Setelah semua selesai, aku akan menyusulmu ke Indonesia. Rencana kita tidak akan berubah." Jawab Luhan datar.

"Tapi kemana kau akan pergi?"

Luhan menari kopernya lalu menjawab, "Sampai jumpa, Kyung."

.

New York City

Agustus 2007

Sehun berseru seraya mengangkat botol anggur ditangannya. Suasana pesta itu semakin riuh dan ramai. DJ memainkan music-musik bertempo cepat sementara stok botol minuman keras yang tersedia disana mulai berpindah tangan. Kepulan asap rokok melilingkupi setiap tubuh-tubuh yang meliuk memalukan.

Beberapa gadis mencoba mendekatinya, tapi Sehun selalu mengabaikannya. Ia hanya sedang tidak ingin berhubungan rumit dengan perempuan manapun. Karena berdasarkan pengalamannya dipesta dansa sekolah yang ia datangi satu bulan yang lalu, perempuan dan alkohol bukanlah perpaduan yang bagus. Sehun memang berencana melakukan one night stand, tapi ia tidak ingin menyebarkan benihnya secara asal. Meski benci mengakuinya, Sehun masih menjunjung tinggi harga dirinya sebagai keturunan keluarga Oh.

Baginya, terlahir sebagai Oh Sehun adalah anugerah sekaligus kutukan. Anugerah karena ia bisa memiliki hidup yang jauh diatas kata layak, tapi juga kutukan karena begitu banyak aturan yang mengikatnya.

Sepanjang hidupnya Sehun hanya mencintai music. Cita-citanya adalah melakukan konser dan berkeliling dunia. Dan semua itu memang sangat mudah mengingat bakat yang ia miliki juga kekayaan yang mendukungnya. Sehun bahkan diterima di Julliard; sebuah universitas yang menaungi berbagai bidang seni yang sangat prestisius. Semua orang tahu, bisa masuk bahkan ke kelas terendah di Julliard pun adalah sebuah mukjizat.

Kecuali Oh Jisung, kakeknya.

Oh Jisung adalah pemimpin keluarga Oh. Ia menjadi hakim bagi seluruh anggota keluarga lainnya. Menjadi salah satu keluarga paling berpengaruh juga terkaya membuatnya menegakkan berbagai aturan demi mempertahankan kekokohan keluarga Oh. Segala yang penting baginya adalah kekuasaan dan kekayaan. Semua hasil kerja kerasnya telah terbukti dengan kesuksesannya merajai berbagai bidang dalam kehidupan ekonomi, sehingga menjadi suatu hal yang mutlak bagi keturunannya untuk meneruskan itu.

Sejak awal kelahirannya, Sehun tahu ia ditakdirkan untuk menjadi pewaris keluarga Oh dalam bidang pembangunan dan property lainnya. Ayahnya yang saat ini masih memegang kekuasaan itu, menjalankan sebuah perusahaan konstruksi terbesar di Asia yang berpusat di Indonesia. Tapi sekali lagi, Sehun tidak tertarik dengan semua itu. Ia hanya ingin menjadi seorang pianis dan menghabiskan sisa hidupnya dengan bergelut bersama nada-nada.

Dan kini, saat peraturan keluarga Oh menghadangnya, Sehun melakukan segala cara untuk mengubahnya. ia bertekad untuk bersekolah di Julliard. Ia tidak peduli jika tindakannya ini egois dan kekanakan. Ia akan melakukan apapun untuk cita-citanya. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa sukses dijalan yang berbeda.

"Sehun!" seru seorang gadis bereyeliner tebal dibelakangnya.

Sehun menoleh dan seketika itu juga senyumnya terkembang sempurna. Baekhyun, dengan segala kecantikan dan keanggunannya, adiknya. Tidak peduli pada seseorang lain dibelakang adiknya yang masih melayangkan tatapan penuh amarah padanya.

"Hai, ayah."

.

Sehun menyandarkan bahunya di sebuah sofa panjang sementara ayahnya berjalan bolak-balik tak menentu didepannya. Baekhyun yang duduk disampingnya terlihat kesal, tapi ia tetap diam. Lalu keheningan itu terpecah dengan sebuah pertanyaan.

"Bagaimana kabarmu, ayah?" Tanya Sehun.

Dan seperti yang diduga, ayahnya marah besar. ia bahkan menggebrak meja kerjanya hingga tangannya memerah.

"Beraninya kau menanyakan kabarku setelah parade pesta konyolmu itu? Bagaimana kau bisa menjelaskan semua itu pada kakekmu saat kau dipanggil menghadapnya?"

Sehun tampak acuh dan mengangkat bahu. "Aku akan menjelaskan bahwa pesta itu tidak melanggar aturan. Tertulis dengan jelas dalam peraturan nomor 41 tentang hak menyelenggarakan pesta, selama tidak terjadi tindak kriminal atau kericuhan yang dapat mencemarkan nama baik keluarga Oh, maka semua dianggap sah dan penyelenggaranya bebas dari hukuman."

"Tapi kau tidak bisa melakukannya dirumah ini! Adikmu bahkan belum berusia delapan belas tahun. Dimana akal sehatmu? Setidaknya jangan bawa adikmu dalam masalah!"

Kali ini Sehun diam. Ia mengunci mulutnya karena ia tahu yang dikatakan ayahnya benar. Lalu ia menatap Baekhyun dan mengucapkan permintaan maaf yang disambut oleh senyum tulus dan sebuah anggukkan dari Baekhyun.

Ayahnya selalu terlihat frustasi jika ia melakukan sesuatu. Ayahnya bahkan selalu mengucapkan bahwa ia adalah putra sulungnya yang luar biasa akan bertanggungjawab, tapi selalu melakukan hal-hal bodoh yang tidak bertanggungjawab dengan nada sinisnya. Dan sekarang adalah salah satunya. Ayahnya didera kepanikan saat mendengar Sehun mengadakan pesta dirumah. Hingga tanpa berpikir panjang, ayahnnya membatalkan seluruh acara pertemuan pentingnya di Kanada dan mengambil penerbangan paling cepat menuju New York. Ya, kali ini ayahnya harus mengambil resiko sebelum semua semakin tak terselamatkan.

"Apa yang kau inginkan, Sehun?" ucap ayahnya tegas.

Dan Sehun langsung menegakkan posisi duduknya dan menatap tanpa ragu. Ini adalah kesempatan. "Izinkan aku bersekolah di Julliard dan menjadi seorang pianis. Aku akan sukses dengan jalanku sendiri. Aku tidak akan mengecewakan ayah."

Lagi-lagi Sehun melihat ayahnya mengerang frustasi, lalu mengalihkan pandangannya pada Baekhyun. Ini sungguh pilihan yang sulit. Karena dengan membiarkan Sehun, itu artinya ia harus mengalihkan seluruh tanggungjawab perusahaan pada Baekhyun. Dan setelahnya hari-hari putrinya itu akan dipenuhi dengan pelatihan untuk menjadi pewaris selanjutnya.

"Baek, apa kau siap mengambil alih tanggungjawab Sehun, sayang?" tanyanya lembut.

Baekhyun ragu. Sama seperti kakaknya. Darah seni mengalir deras dalam nadinya. Tapi ini demi melihat harapan yang meletup-letup bagai bara dikedua mata hijau kakaknya. Dan pada akhirnya Baekhyun mengangguk.

"Aku akan berusaha, ayah. Aku akan memulai pelajaran dasarnya besok sepulang sekolah."

Lalaki paruh baya itu menatap Baekhyun lekat. Tahu bahwa ini akan sia-sia pada akhirnya. Kedua anaknya tidak akan bisa lari. Mereka akan tetap menjadi seorang pewaris, suka ataupun tidak. ia hanya berharap Tuhan tidak mengambil nyawanya sebelum kedua putra putrinya meraih impian mereka. Ia harus memastikan kedua anaknya itu bahagia.

Dengan sebuah helaan nafas, lelaki itu mengangguk. "Aku mengijinkanmu, Sehun."

Sebuah senyuman lebar tidak bisa Sehun sembunyikan dan Baekhyun bertepuk tangan senang. Mereka berdiri lalu menghampiri lelaki itu dan berucap terima kasih yang sarat akan kebahagiaan.

.

Juni, 2012

Sehun menatap pintu ganda berukiran rumit didepannya. Dibalik pintu itu adalah sebuah ruangan kerja Oh Jisung yang juga lebih dikenal sebagai ruang keadilan diantara anggota keluarga Oh. Setiap orang yang masuk kedalamnya, sudah dapat dipastikan melakukan hal-hal bersalah dan melanggar aturan. Dan kini ayahnya lah yang tengah duduk dikursi ruang keadilan itu.

"Maafkan aku, Sehun. Aku tdak bermaksud membawamu dan ayah dalam masalah ini."

Sehun menggenggam kedua tangan Baekhyun, berusaha menenangkan dan mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Aku tahu kau sudah berusaha. Bukan salahmu jika salah satu penari hebat dunia terpesona dan merekrutmu sebagai murid pribadinya juga mendaftarkanu ke Julliard. Kita akan memikirkan jalan keluarnya. Semua akan baik-baik saja. Tenanglah."

Lalu Baekhyun mengangguk bersamaan dengan terbukanya pintu ganda itu. Ayahnya menghampiri mereka dan langsung mengajak mereka pulang. Dan selama dalam perjalanan, hanya ada keheningan yang memenuhi ruang udara mobil itu. Hingga mereka sampai dirumah, dan Baekhyun tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.

"Apa yang dikatakan kakek, ayah?" tanyanya hati-hati.

"Ia meminta Sehun membatalkan konser keliling dunianya."

"Apa? Tidak!" seru Baekhyun. Ia ingin melayangkan protes, tapi kemudian ia merasakan tangan besar milik kakaknya itu tersampir dibahunya.

"Tidak apa-apa. Aku bisa melakukannya lain waktu. Lagi pula, aku baru saja selesai di Eropa. Tidak ada salahnya berlibur sebentar."

"Kakakmu benar, sayang. Karena selain itu, kau bisa meneruskan mimpimu. Kakek hanya meminta Sehun membatalkan konsernya, ia tidak mengatakan apapun tentangmu yang akan bersekolah di Julliard." Tambah ayahnya.

Baekhyun meragu dan ia tidak bisa menyembuyikan secercah nada berharap pada suaranya. "Benarkan? Aku boleh berhenti sekolah bisnis dan menjadi penari?"

Ayahnya hanya mengangguk, lalu Baekhyun menghambur menerjangnya dengan satu pelukan. Dan setelahnya, Baekhyun disibukkan dengan telepon-telepon pengurusan kepindahannya. Sementara Sehun menyadari ada perasaan ganjil, bahwa tatapan ayahnya terlalu sendu untuk kebahagiaan Baekhyun.

"Apa semua baik-baik saja, ayah?" Tanya Sehun memastikan.

"Ya. Semua baik-baik saja, Sehun."

Kemudian Sehun hanya mengangguk meskipun ia tahu jawaban itu adalah sebuah kebohongan.

.

Jakarta, Oktober 2013

Sehun mendapatkan pembuktian bahwa ucapan ayahnya saat itu adalah sebuah kebohongan. Sosok pria berhati bijak yang dengan bangga Sehun sebut sebagai ayahnya kini tertidur diatas ranjang rumah sakit dengan bantuan alat medis sebagai penopang hidupnya. Tidak pernah sekalipun Sehun berpikir bahwa penyakit jantung ayahnya berbahaya.

Sudah satu minggu ia berada di ibu kota Negara Indonesia itu. Menemani Baekhyun menunggui ayahnya. Sungguh, ia butuh udara segar selain suasana pengap rumah sakit. Ia tidak bisa membiarkan otaknya memikirkan kemungkinan scenario terburuk.

"Aku akan kembali, Baek." Ucap Sehun sebelum melangkah.

Sehun memutari bangunan rumah sakit hingga menemukan sebuah gerbang perumahan berwarna putih yang tak jauh dibelakangnya terdapat panti asuhan. Sehun ingat dikedatangannya yang pertama, ia sampai harus memanggil anak buah ayahnya untuk bisa masuk ke sana. Keterbatasannya dalam berbahasa menjadi penghalang. Tapi segera setelah ia menemukan sebuah standing piano, tembok pembatas itu hilang. Seluruh penghuni panti asuhan menyambutnya dengan hangat.

Sama seperti hari ini. Begitu membuka gerbang, Sehun disambut ceria oleh anak-anak yang sedang bermain dihalamannya. Mereka mengucapkan serangkaian kata yang tidak mempu dimengerti Sehun. Dan saat mereka menarik tangannya, Sehun mengerti apa yang mereka inginkan. Dengan langkah senang, ia pun menghampiri piano yang terletak dibagian kanan bangunan tersebut, lalu membuka pelindung tutsnya.

Tawa sehun terus berderai, hingga seorang gadis kecil berambut kuncir kuda menggerakkan tangannya seolah meminta teman-temannya untuk mundur dan duduk degan tertib.

Nada-nada ceria yang mengalun membuai Sehun menuju dunianya yang sebenarnya. Sehun menekan nada terakhir dengan sentuhan ringan, meresapi kepuasan mendalam atas apa yang selama ini ingin dilakukannya. Begitu ia menegakkan kepalanya, tepuk tangan juga pekikan gembira anak-anak langsung menyambutnya; membuat Sehun kembali tersenyum bersamaan dengan datangnya seorang gadis bergaun putih kedalam ruangan.

Sehun tersenyum menyapa gadis itu, lalu memperhatikan anak-anak yang kini berlarian menghampirinya dan berceloteh dengan nada polos. Sementara gadis itu tersenyum dan memberikan banyak bingkisan yang dibawanya, lalu kembali melambaikan tangannya dan pergi.

Sehun mengamati sosok itu hingga menghilang dibalik pintu. Memuji dalam hati atas kecantikan yang dimilikinya. Dengan senyum sendu tapi juga tatapan yang teguh. Gadis itu bagaikan salju yang meretas bersama angina. Lembut sekaligus rapuh. Meski hanya sekilas, gadis itu cukup mempesona hati Sehun. Dan untuk alasan yang tidak ia mengerti, Sehun ingin melihat gadis itu lagi.

Tapi lamunan itu tidak berlangsung lama. Setelah menerima panggilan dari Baekhyun dan mendengar suaranya yang bergetar hebat, binar ceria diwajahnya menghilang tak tersisa. Sehun segera pergi menuju rumah sakit dengan perasaan sesak dihatinya.

.

.

.

TBC

.

.

.

Lanjut?