Normal POV

Ketika bel berdering nyaring, entah kenapa dirinya sudah berniat untuk datang kesini—area taman sekolah. Surai merah muda yang begitu menawan, melambai perlahan karena tiupan angin yang nakal. Iris magenta itu menyapu pemandangan yang ada di sekelilingnya—mencoba untuk mencari tahu apa ada sosok lain kecuali gadis itu. Momoi Satsuki menghela nafas pelan, dan akhirnya dirinya memutuskan untuk duduk di bangku taman yang terletak jelas di pertengahan area taman belakang.

Tidak peduli dengan beberapa siswa yang lewat, Momoi mengeluarkan buku gambar kecil dan sebuah pensil. Disana, terdapat kertas putih yang sudah dihiasi oleh sebuah gambar yang dibuat sedemikian rupa agar menjadi sesuatu yang manis. Gadis itu suka dengan berbagai hal seperti seni maupun sastra. Jika bisa dibilang, ia jago dalam bidang tersebut, namun kalau dalam masak-memasak… sepertinya nol besar.

Pensil tersebut bergulir perlahan, menggambarkan suatu sosok yang semakin jelas. Momoi menggambar sebuah stasiun sebagai latar belakang, disusul dengan rupa seorang pria yang tampak menawan. Rambut jabrik dan tubuh tinggi, wajah tampan dengan fisik atletik—tipe Momoi sekali.

Gadis itu tersenyum sendiri, pikirannya mulai berpikir mengenai hal-hal yang tidak pasti. Ia suka menggambar seorang pria sesuai dengan tipe idamannya. Gadis itu menyukai seorang pria dengan sifat yang sopan terhadap wanita, dan juga sangat mengerti keadaan. Bukannya seorang pemuda dengan tampang sangar dan urak-urakan—ewh, Momoi sebaiknya harus menjauhi orang seperti itu.

Angin musim semi berdesir dan kali ini menerbangkan rok serta rambut gadis itu, membuatnya kewalahan dalam satu gerakan. Momoi sibuk merapikan alat-alatnya yang tampak bercecer karena tiupan angin yang menggila, namun hal tersebut berhenti ketika dirinya menemukan sosok lain yang kebetulan terlihat di penglihatannya.

Tak jauh dari lokasinya duduk, ia dapat melihat seorang pria dengan tubuh yang cukup besar sedang berbaring dengan gaya bebas di kursi lain yang ada di taman belakang. Momoi mengerjap pelan, matanya tak lepas dari sosok yang kala itu masih menutup matanya, menikmati angin semilir yang kebetulan lewat.

Seorang pria, berambut kelabu, dengan seragam yang kelewat tak teratur, sedang mengupil sembari menguap lebar. Sepertinya orang itu sama sekali tidak menyadari—atau tak mau peduli—dengan Momoi yang masih tak melepaskan pandangan. Sepasang mata yang bulat itu tak bosan untuk terus menatap Haizaki Shougo yang terus tertidur dengan gaya yang tidak sopan.

Hanya saja, entah di detik keberapa, Momoi tersentak hebat.

Tidak sempat Momoi menghindar, Haizaki sudah menangkap basah perbuatannya.

.

.

.

Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi

A second crack-pair project by stillewolfie

[Haizaki Shougo & Momoi Satsuki]

OOC, AU, Bahasa Non-Baku, minim-dialog, etc.

.

.

Haizaki berbicara, Momoi jatuh cinta.

.

.

CRACK PAIRING CELEBRATION #1

( surat, hujan, dan cinta )

.

.

Momoi hanya terdiam. Entah kenapa mood-nya untuk menggambar tiba-tiba menghilang. Fokusnya sekarang hanyalah pemuda itu, seorang pria yang kini juga sedang memperhatikannya. Dengan iris abu-abu yang kebingungan seperti itu, membuat mukanya sedikit lucu. Hanya saja, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menertawakan hal itu—karena Momoi sedang dilanda ketakutan yang cukup membuatnya tak bisa bergerak sedikitpun.

Haizaki pun sama, ia menatap gadis yang duduk di seberangnya dengan sebelah alis terangkat. Sebenarnya sejak pria itu memutuskan untuk malas-malasan disini, ia menyadari kalau dirinya telah diperhatikan oleh seseorang, dimana orang itu adalah gadis dengan rambut norak yang muncul setelah dirinya di taman ini. Haizaki pun memutuskan untuk beranjak duduk dan berdiri, merapikan seragamnya yang memang sudah tak teratur, dan melemparkan tatapan kesal sebagai pertemuan mereka di siang itu.

Pria itu berjalan, Momoi pun mengiringinya. Gadis itu dengan wajah sedikit gemetar menatap kepergian Haizaki dengan ekspresi ketakutan. Sebelumnya, ia tak pernah bertemu dengan sosok besar yang mengerikan seperti itu. Dalam sekali lihat, Momoi tahu kalau Haizaki bukanlah teman seangkatannya, melainkan sang kakak kelas yang sudah terkenal seantero sekolah.

Momoi bukanlah orang yang suka menggosip, namun gosip itulah yang datang bagaikan pesan burung di telinga gadis itu sendiri. Ia tahu pria itu. Haizaki Shougo, menempati kelas 3-B. Sosok yang terkenal dengan wajahnya yang mengerikan serta hebat dalam sebuah perkelahian. Namun herannya, entah kenapa sampai sekarang Haizaki masih bertahan, apalagi sampai di kelas tiga. Karena itulah, Momoi tak mau berprasangka buruk mengenai pemuda itu. Ia mengambil sketch book-nya lagi dan melanjutkan gambarnya yang sempat tertunda.

.

.

~ speak ~

.

.

Beberapa minggu setelah pertemuan tak terduga itu, Momoi belum pernah bertemu dengan Haizaki untuk yang kedua kali. Gadis itu terlalu sibuk dengan kegiatan klub yang ia pilih, sedangkan Haizaki sendiri, Momoi tak terlalu yakin apa yang pria itu lakukan bila ada waktu senggang sepulang sekolah. Mungkin keluyuran keluar dan mencari masalah? Momoi pun tak tahu dan tidak mau tahu.

Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul enam. Sepertinya gadis itu pulang telat karena memutuskan untuk menyelesaikan mading sekolah sendirian. Dari pulang sekolah tadi, ia sudah memiliki tekad bulat untuk mengerjakan kewajibannya saat ini. Namun, karena teman-temannya sudah terlihat lelah dan ingin beristirahat di rumah—apalagi hari sudah mau beranjak malam—akhirnya disinilah gadis itu, membereskan berbagai poster dan surat yang akan dipajang di mading depan kawasan sekolah keesokan harinya.

Ruangan klub mading berada di lantai dua, dan hal itu membuat sinar mentari yang mulai berubah kejinggaan dapat terlihat dengan jelas dalam jarak seperti sekarang. Selagi membereskan peralatan, Momoi menatap matahari yang akan terjun ke ufuk barat, bersiap untuk bertukar dengan dewi malam. Ia tersenyum lebar, dan segera menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat.

Setelah memasukkan buku serta peralatan gambar di dalam tas, barulah ia mulai beranjak. Ponsel yang ada di genggamannya berisikan tentang sebuah pesan dari teman semasa kecilnya, Aomine Daiki, yang menyuruhnya untuk membeli makanan di majiba. Sembari mengetik sebuah balasan, gadis itu berjalan melewati koridor lantai dua yang menghubungkan kelas dengan tangga.

"Yo, selamat siang semua."

Tap.

Momoi berhenti.

Ia yakin, sangat yakin, kalau ada suara lain yang menghampiri selain langkah kakinya yang melangkah nyaring. Manik magenta itu menyipit dan mendelik kearah lain, dimana satu objek yang ia yakini sebagai sumber suara adalah ruangan yang berdiri tepat disampingnya—ruangan siaran sekolah.

"Kembali dengan gue, Haizaki Shougo."

Momoi melotot.

Segera, tanpa berpikir panjang, gadis itu segera berdiri disamping pintu ruangan siaran tersebut. Gadis itu tahu kalau tindakannya ini memang nekat, hanya saja ketika mendengar nama serta suaranya yang berat, mau tak mau membuat batin Momoi sedikit penasaran.

Haizaki Shougo… katanya?

Meski jarang bertemu, dan tidak pernah berbicara, tentu Momoi sangat mengingat nama tersebut.

"Kali ini, buat sekolah gue yang tercinta, gue ngucapin banyak terimakasih buat kalian semua. Terutama buat Eiji-sensei, Kage-sensei, dan terutama sensei cewek gue yang paling cantik, Masako-sensei. Meski kalian sering bikin kesal gue karena tindakan kalian yang sok ngatur hidup gue, tapi gue sadar kalau kalian mengatakan itu demi masa depan gue. Ya, gak?"

Suara beratnya terus mengalun di telinga Momoi. Gadis itu sama sekali tidak peduli dengan langit yang mulai menggelap, serta ponselnya yang terus berkedip tanda memanggil, namun ia terus terpaku dengan suara Haizaki yang begitu mengalir dan terdengar menyenangkan. Bahasanya memang absurd, tapi entah kenapa Momoi tidak memikirkan hal itu.

"Buat temen-temen semua, baik yang cinta sama gue maupun yang muak sama gue—" Momoi berjengit, ah suaranya terdengar lagi. "I love you guys—" dan tanpa gadis itu sadari, di dalam sana—seorang Haizaki Shougo telah tersenyum lebar. "Gue berdoa semoga lo semua sukses, lebih sukses daripada gue. Semoga cita-cita kalian dan gue sendiri tercapai, dan pas kita bertemu lagi suatu saat nanti, kita semua bisa memperkenalkan diri sekali lagi sebagai orang hebat—" Momoi terpana. Ia sama sekali tidak menyangka kalau tuturan kata seorang Haizaki bisa semanis ini. "—dan buat adik-adik kelas gue—" Momoi mengerjap, terlihat penasaran. "—gue harap kalian semua bisa jauh lebih baik dari senpai kalian yang songong ini, walaupun kalian enggak akan bisa ngalahin kerennya kita—" Suara tawa gaduh terdengar di ruangan siaran, membuat Momoi terkikik pelan. "—gue yakin, dengan adanya kalian, sekolah ini bakal lebih maju lagi setelah kami bakal lulus nanti." Beberapa detik terlewat, keheningan melanda, namun Momoi tetap bersabar. "Karena kami yakin, kalian bisa, lebih bisa sukseskan sekolah daripada gue maupun teman seangkatan gue."

Sepasang magenta itu terpaku. Momoi terus menatap lantai koridor, dan membiarkan otaknya kembali mengingat-ngingat apa yang dibilang oleh si kakak kelas, Haizaki Shougo. Dalam sekejap, pemikirannya mengenai lelaki itu telah hancur ketika mendengar suara Haizaki. Dan satu fakta yang tak pernah ia sadari; setiap ada suara yang keluar dari speaker sekolah untuk memberikan informasi maupun hiburan melalui fasilitas yang dibuat, gadis itu sama sekali tidak menyangka kalau Haizaki-lah yang menyuarakan itu semua.

Sederhana, tapi indah.

Momoi mengerjap. Entah kenapa, wajahnya yang manis mulai merona tipis. Pria tipikal Haizaki mampu menguasai otaknya dalam beberapa detik. Tubuhnya mulai terasa panas, degup jantungnya mulai berdetak kencang, dan gadis itu langsung terkejut saat menyadari apa yang telah dirinya rasakan.

Apa-apaan ini?

Bibir Momoi bergetar, rasanya ia ingin menangis sekarang juga.

Sebagai seorang gadis, ia sangat menyadarinya.

K-Kenapa?

Ia jatuh cinta—

"Ini… bohong, 'kan?"

—pada orang seperti dia?

.

.

~ speak ~

.

.

Keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi, dan seterusnya, Momoi terus melanjutkan kegiatan sekolah diiringi dengan suara berat Haizaki yang menghiasi speaker sekolah. Setiap jam istirahat maupun waktu pulangan telah diadakan, suara Haizaki-lah yang berhasil terus menjadi objek penasarannya. Gadis itu tak bisa menahan senyum kalau suara pemuda itu terus terdengar saat kegiatan klub berlangsung, dan bila ada waktu, mungkin Momoi akan membuntuti Haizaki mengenai apa yang ia lakukan bila tidak ada di ruangan siaran.

Setahunya, Haizaki Shougo adalah pria terbandel dan tersongong di angkatan pria itu. Ia adalah murid yang sulit diatur, suka menggoda Masako-sensei, suka tidur di taman belakang sambil mengupil, dan sering bolos pelajaran matematika. Ah, ia dengar juga dari Aomine, kalau Haizaki itu senior-nya di klub basket. Momoi terus mengumpulkan informasi mengenai pria itu dalam waktu beberapa hari, dan tanpa sepengetahuan Haizaki tentunya.

Namun, selain hobinya yang aneh itu, tentu ada sikap Haizaki yang membuat Momoi sering tersipu malu.

Haizaki Shougo, kakak kelasnya yang bandel. Yang sering disebelin oleh para sensei serta teman-temannya (apalagi adik kelas) dengan kelakuannya yang dianggap sok jagoan. Tapi bagi beberapa orang—termasuk Momoi—Haizaki bukan sosok yang kerjanya hanya menjadi pembuat onar dan sok jagoan. Ia adalah teman yang baik dan peduli. Haizaki akan melawan hal yang menurutnya patut untuk dilawan. Aturan yang tidak masuk akal, senior yang semena-mena, dan orang-orang yang menganggap dia tidak lebih dari sekedar cowok tengil dengan otak kosong yang suka cari perhatian.

Intinya, semua yang ada di dalam Haizaki, Momoi suka—

—dan pria itu semakin membuatnya jatuh cinta.

Jujur saja, di antara semua sikap unik yang dimiliki Haizaki, Momoi paling menyukai saat-saat dimana Haizaki berbicara. Meski dari luar dia tampak seperti tidak memiliki kemampuan apa-apa ataupun potensi yang kuat, tapi begitu pria itu mulai berbicara, rasanya semua indera yang ada di dalam diri Momoi menolak untuk tidak peduli. Sebenarnya, gadis itu sempat heran mengapa dirinya bisa jatuh sedalam ini dalam sosok Haizaki yang biasa itu? bukankah… tipe yang paling dihindari oleh Momoi adalah sosok seperti Haizaki?

Tapi, sekarang itu tidak terpikirkan lagi.

Momoi jatuh cinta pada Haizaki, dan itu tidak bisa diganggu gugat—sekuat apapun tekad gadis itu untuk berusaha.

Haizaki pasti menjatuhkan dirinya hingga dasar terdalam—pada pesonanya.

Saat ini, Momoi tidak makan diluar. Ia lebih memilih untuk berdiam di kelas dan mendengar suara Haizaki yang mengalun di speaker kelasnya. Gadis itu tersenyum manis dan merona kala suara itu mulai terdengar lagi.

Semuanya terjadi begitu saja. Haizaki berbicara, Momoi mendengar. Suaranya begitu indah. Kalimatnya begitu sederhana tapi memikat. Ceplas-ceplos tapi cerdas. Apa adanya tapi jujur. Haizaki selalu bisa membuat semua orang yang ada di sekitarnya berdecak kagum akibat pemikirannya yang luar biasa.

Gadis itu menghela nafas. Selagi terus mendengar cerita Haizaki yang terekam di speaker sekolah, gadis itu tersenyum dan menutup mata, menyesap suara ceria yang disertai dengan canda tawa.

.

.

.

.

Tak terasa, waktu telah berlalu. Ujian kelulusan untuk kelas tiga sudah semakin dekat. Membuat siswa kelas dua dan kelas satu bersorak ketika mendengar kalau liburan mereka akan diperpanjang, dalam rangka ujian kelulusan yang akan diadakan minggu depan. Namun, di kelas 1-A, Momoi Satsuki hanya diam terpaku sembari memperhatikan wali kelasnya yang mengumumkan berita tersebut.

Ujian kelulusan? Kelas tiga?

Sungguh, Momoi tak percaya.

Secepat itukah waktu mereka?

.

.

~ speak ~

.

.

Haizaki POV

Mungkin—entahlah, gue juga nggak tahu—gue terlalu cinta sama sekolah ini. Bukan sekolahnya sih, tapi orang-orang yang ada di dalamnya. Gue nggak peduli apa yang orang omongin. Mau gue dibilang bandel kek, tukang bikin onar kek, perusuh kek, dan panggilan-panggilan jelek lainnya, gue bakal nutup mulut mereka dengan tinju gue.

Tapi, di antara semua lautan hinaan itu, gue bersyukur dan merasa beruntung karena gue memiliki beberapa teman yang benar-benar mengerti 'siapa' gue. Dan karena mereka juga, gue nggak melewatkan sedikitpun momen-momen berharga gue sebagai anak SMA di tempat ini.

Intinya, gue bahagia.

Setelah ujian berakhir, iseng-iseng gue sengaja keliling-keliling untuk menikmati suasana sekolah yang bikin gue senang selama tiga tahun ini. Lapangan basket, atap sekolah, taman belakang, merupakan tiga tempat yang harus gue kunjungi di saat-saat terakhir seperti ini. Dan selagi berjalan, gue mengingat masa-masa gue ketika masih labil. Pertama kali masuk sekolah, disiksa waktu ospek, dilabrak terus dimarahi, kelahi dengan kakak kelas menyebalkan, menggoda sensei cantik (hehe), terus disuruh berlari dan hormat bendera selama ospek berlangsung karena tingkah gue. Tapi, semua itu jadi enggak berarti karena gue selalu punya temen-temen yang bisa bikin gue lupa dengan semua itu.

Karena itulah, gue bakal keluar dari sekolah ini tanpa penyesalan.

.

.

~ speak ~

.

.

Normal POV

Seperti biasa, setelah kegiatan klub, Momoi adalah satu-satunya anggota yang tersisa pada sore itu. Ia segera membereskan barang-barangnya dan beranjak pulang, memutari lorong seperti biasa dan berhenti di tempat yang sama. Untuk sesaat, Momoi terdiam sejenak. Magenta itu tak lepas pada pintu besi yang menuliskan 'ruang siaran' kepunyaan sekolah. Seketika, mata Momoi meredup seketika. Karena setelah ujian selesai, akan diadakan upacara perpisahan untuk kelas tiga yang biasanya diadakan setahun sekali.

Dan itu memiliki arti kalau Momoi harus berpisah dengan Haizaki—sebentar lagi.

Karena itulah, disinilah ia berada. Sekarang Momoi telah berhadapan dengan loker kecil kepunyaan seseorang. Di tangannya terdapat sepucuk surat kecil berwarna putih biasa. Matanya kosong, tidak menyiratkan apapun. Fakta bahwa sebentar lagi Haizaki akan meninggalkannya terus menghantui pikirannya yang berkecamuk.

Hanya inikah?

Momoi membuka loker tersebut dengan pelan.

Apa hanya seperti ini?

Dengan tangan bergetar, gadis itu memasukkan surat tersebut.

Yang bisa kulakukan… hanya sebatas ini?

Pintu loker tertutup.

Momoi diam membisu.

Sungguh, ini klise sekali. Ia tahu kalau dirinya telah dilanda sebuah hal bernama jatuh cinta. Momoi tak tahan dengan jantung berdegup serta ekspresi gelisah yang gadis itu keluarkan. Mendengar suaranya saja sudah panik seperti itu, apalagi kalau bertatapan muka?

Momoi Satsuki menghela nafas.

Segera, dengan cepat ia mengeratkan tas yang ada di pelukan dan melangkah pergi darisana. Tak menyadari beberapa detik setelah dirinya meninggalkan sekolah, seorang pria tinggi mulai menunjukkan eksistensinya.

.

.

~ speak ~

.

.

Haizaki Shougo menguap lebar. Lebar sekali, bahkan ia yakin lalat pun bisa masuk ke dalam mulut baunya itu. Setelah keluar dari ruang siaran, Haizaki berniat untuk mengambil barang-barangnya yang tersisa di ruang loker. Langkahnya begitu ringan ketika menuruni tangga, serta keberadaannya yang sendirian tak menjadi penghalang bagi dirinya untuk terus melangkah ke lantai pertama.

Sambil membetulkan tasnya yang sempat melorot dari lengan, Haizaki membuka pintu loker dengan ogah-ogahan. Ia mengambil semua bukunya dan meletakkannya asal di dalam tas. Namun saat ia ingin mengeluarkan buku paket fisika, entah kenapa sebuah benda yang terjatuh menjadi sumber objeknya sekarang.

Sebuah surat, berwarna putih, dan ditulis untuknya.

Haizaki Shougo-kun.

Itu yang tertulis disana.

Iris kelabunya melebar, mengerjap, mengerjap lagi, dan mulutnya terbuka sedikit. Lantas, ia segera membereskan semuanya dan mengambil surat tersebut. Haizaki bukanlah orang yang sabar, ia gampang penasaran. Karena itulah, pria itu tanpa berpikir panjang langsung duduk di lantai ruang loker dan merobek surat itu dengan semangat.

Ah, pikirannya mulai melantur.

Kertas bergaris berwarna hitam itu telah berisikan dengan rangkaian kata. Sederet kalimat yang tak pernah disangka telah muncul seketika, membuat si kelabu terdiam sesaat.

.

.

~ speak ~

.

.

Momoi POV

Entah kenapa setelah menyerahkan surat itu, hati ini merasa lega. Menyimpan perasaan ternyata sesesak ini, ya? Ah, meski dari surat dan dikirim tanpa nama, setidaknya itu lebih baik daripada diam. Aku benar-benar tidak peduli kalau Haizaki-kun memperlakukan surat itu biasa saja, ataupun dibuang… itu tak masalah. Asal Haizaki-kun membacanya, asal dia tahu ada seseorang yang punya perasaan seperti itu padanya, rasanya sudah cukup.

Uh, hanya saja, sepertinya aku harus membutuhkan waktu lebih banyak untuk menunjukkan wajahku di depannya dan mengatakan hal yang sama.

Saat ini, aku sedang berjalan menuju perpustakaan. Berniat mengembalikan buku yang kupinjam seminggu yang lalu. Hanya saja, aku tak sengaja menatap Dai-chan yang sedang melambaikan tangan kepadaku. Aku memiringkan kepala bingung; kenapa dia sesemangat itu, sih?

"Oi, Satsuki!"

Ia memanggil, berlari kecil, dan menatapku dengan wajah dekilnya itu.

"Uh, ada apa, Dai-chan?"

Kenapa Dai-chan senang sekali hari ini? Apa dia mendapatkan majalan pornonya itu secara gratis? Ataukah pria itu telah keracunan makanan di pagi hari?

"Seseorang memanggilmu," Ia tahu (aku pun tahu) kalau aku menaikkan kedua alisku. "Di atap." Lanjutnya.

"Eh? Siapa?"

Dai-chan langsung cengar-cengir tidak jelas. "Ah sudahlah, cepat kesana!" Ia mendorongku pelan, menyuruhku untuk cepat-cepat ke atap. "Semangat ya, Satsuki!"

Apa maksudnya ini?

Setelah menatap kepergian Dai-chan, aku langsung melesat ke perpustakaan dan menyelesaikan urusanku dengan cepat. Lalu aku tidak langsung ke kelas, aku memutar arah dan berlari menyongsong koridor yang menghubungi sekolah dengan atap. Setengah takut dan bingung aku langsung pergi kesana. Entah kenapa, aku merasa tidak ingin pergi ke atap. Hal itu membuatku gelisah dan berniat untuk memutar balik keadaan. Hanya saja, rasa penasaran ini tak bisa dihentikan, membuatku makin kesal saja.

Kreek

Pintu atap terbuka lebar.

Dan aku hanya bisa terkesiap di tempat.

blam.

Secara otomatis, pintu itu tertutup rapat.

Entahlah, bibir ini sulit untuk berbicara.

.

.

~ speak ~

.

.

Normal POV

Momoi tergagap. Refleks dirinya menunduk dan meremas rok seragamnya. Bertemu pandang dengan Haizaki Shougo di tengah hari seperti ini tentu bukanlah sebuah impian. Mimpi apa semalam hingga gadis itu mengalami peristiwa seperti ini?

"Kau… Momoi Satsuki?"

Momoi termangu. Ia tahu kalau pria itu telah dilanda oleh kebingungan besar. Haizaki menyeringai jahil, Momoi terdiam panik. Sekilas, ia tahu kalau Haizaki telah menatap lembut kepadanya, namun karena keterkejutan dan ketakutan yang berlebihan, gadis itu tak bisa menatap wajah Haizaki yang kini telah berjalan ke arahnya.

Sedangkan Haizaki sendiri bingung. Tentu, ia sangat mengingat perempuan ini. Dengan rambut aneh berwarna pink serta iris magenta yang begitu unik. Sesosok wanita yang ia temui di area taman belakang, yang ia dapati tengah membututinya dibalik buku menggambar. Haizaki tahu, kalau Momoi terlihat takut ketika melihat wajahnya. Tapi entah ini karena sikapnya atau apa, tanpa berpikir panjang Haizaki langsung mendekati sang gadis dan menepuk puncak kepalanya.

"Makasih, ya?"

Haizaki menggoyangkan surat putih bersih tepat di hadapan Momoi. Ia dapat melihat gadis itu menggumam takut dan semakin menundukkan wajah, dan hal tersebut mampu membuat si kelabu tampak menahan tawa. Rona merah muda tampak cocok di kedua pipi bulatnya, well… setidaknya itulah yang Haizaki pikirkan.

"Ini… yang menulisnya kau, 'kan?" Haizaki bertanya, dan Momoi yang tersentak tidak lepas dari penglihatan pria itu. Ia tersenyum bodoh dan mengacak rambut merah muda itu dengan semangat, membuat Momoi mengaduh pelan.

"B-Bukan," Momoi bersikeras, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, Haizaki menyeringai dibuatnya. "Itu bukan aku s-senpai, rasanya—"

"Aaah jangan bohong deh, aku tahu kok ini tulisanmu," Haizaki tertawa, wajah Momoi memerah sempurna. Pria itu mengulum senyum lebar dan membungkukkan tubuh, sekedar melihat wajah Momoi yang terlindungi oleh poninya yang panjang. Pria itu menampakkan senyum lebar, begitu lembut, dan sekaligus sangat mempesona. Membuat sang gadis langsung terpana. "Temanmu si biru itu sudah meyakinkanku, kau tahu?"

Sekarang tidak ada alasan untuk mengelak lagi.

.

.

~ speak ~

.

.

Haizaki POV

Gue cuma bisa senyum ngeliatin cewe yang berdiri canggung di depan gue dan surat dengan amplop putih yang ada di tangan gue. Selama ini belum pernah ada orang, terlebih cewek, yang mengucapkan hal-hal indah seperti yang dia bilang ke gue, walau dari tulisan sekalipun. Ah, tapi gue tetep seneng kok.

Melihat ekspresinya ini, gue tahu dia butuh waktu lama untuk mengumpulkan semua keberaniannya untuk nulis surat ke gue.

Ah, kenapa cewek ini manis banget, sih?

aku selalu suka mendengarmu bicara. Caramu bercerita selalu bisa membuatku tertawa dan kagum di saat yang sama. Hei, apa kau tahu? Aku belum pernah merasakan ini, jadi aku tak tahu apa yang harus kutulis. Hanya saja, aku ingin mengatakan satu hal; kalau kau memang berbeda.

Kau bukanlah seseorang yang dikatakan banyak orang. Kau adalah pria terbaik yang pernah kutemui. Aku merasa kau tidak hanya lucu, tapi juga pintar, penuh percaya diri, unik, berani, apa adanya, dan juga… manis.

Dua paragraf favorit gue dalam tulisan gadis ini. Gue membayangkan bagaimana wajah polos itu akan berekspresi ketika dia mengucapkan kata-kata itu dengan mulutnya sendiri di depan gue.

"Hei, tak usah malu." Gue menunduk sambil menyentuh bahunya yang gemetar. Hanya saja, dia tetap nggak nunjukin wajahnya ke gue, tapi tatapan gue nggak pernah lepas dari matanya. Begitu juga senyuman di bibir gue. "Siapa sih, yang tidak senang diberikan surat seindah ini?"

Dan untuk pertama kali; gue melihat matanya.

Berbanding terbalik dengan mata gue yang gelap.

Miliknya lebih terang dan berwarna magenta.

.

.

~ speak ~

.

.

Momoi POV

Disinilah kami berada sekarang.

Setelah peristiwa memalukan itu, entah kenapa Haizaki-kun menungguku setelah kegiatan klub. Aku pun tak tahu dan bingung kenapa dia bisa tahu aktivitasku setelah pulang sekolah. Senyum tengilnya tak lepas dari wajah tampannya; membuatku merona dan menundukkan kepala.

Sejak awal, mendung memang sudah melanda. Aku tak heran ketika tetesan air dan petir menyambar mulai muncul di langit saat itu. Belum sempat aku bicara apapun, rintikan hujan mulai turun dan langsung berubah deras dan menyiram tubuh kami. Sama tiba-tibanya seperti datangnya hujan ini, Haizaki-kun langsung menarik tanganku. Kami berlari kalang kabut dan berhenti di teras sekolah bagian depan.

Uh, kalian pasti sering melihat adegan seperti ini di film-film, 'kan? Sepasang pria dan wanita berteduh berdua sambil menunggu hujan. Sebenarnya menggelikan, tapi kalau dialami sendiri… rasanya berbeda.

Rasanya berdiri disamping seseorang yang kalian kagumi, tanpa ada orang lain. Hanya kalian berdua. Kalian bisa melihat wajahnya yang basah karena hujan yang membasahi tubuhnya. Dengan tampang lucu ia mengomel pada hujan yang sudah membuatnya basah. Penampilannya memang kacau, tapi entah kenapa di mata kalian dia justru terlihat manis dan tampan—dan u-uh… membuat kalian tak tahan untuk menciumnya, b-benar begitu 'kan?

Seperti Haizaki-kun, misalnya?

"Jadi—" Jangan lihat aku seperti itu dong, Haizaki-kun! A-Aku 'kan malu. "Sebentar lagi, Haizaki-senpai lulus, ya?"

Ia terkekeh. Eh, kenapa wajahmu seperti itu? "Iya, memangnya kenapa?"

"Uh, t-tidak… tidak apa-apa."

"Oh, takutnya kau nanti rindu padaku, ya?"

Aku terdiam, wajahku terasa panas. "Uh, kalau begitu… nanti kuliah dimana?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, meski terdengar gagal.

Haizaki-kun tersenyum lagi. Ia tidak menjawabku pertanyaanku yang ini. Aku hanya bisa terdiam dan menatap langit yang meneteskan air hujan. Entah kenapa, pemandangan ini terasa lebih indah. rintiknya, hembusan anginnya, wangi tanahnya, langitnya—semuanya…

Dan seketika, aku merasa jauh lebih hangat. Aku juga bisa mendengar tawa kecil Haizaki-kun. Ia tersenyum bodoh dan mengusap kepalaku pelan, dan aku pun beringsut mendekatinya—menandainya kalau aku nyaman di dekatnya.

"Aku tidak pergi kemanapun," Ia berbisik. "Aku disini, bersamamu." Senyum tengilnya mulai terlihat, dipamerkan kepadaku. Tangan Haizaki-kun yang memegang surat memalukan itu mulai mengerat, sedangkan tangannya yang lain menyelimuti jaketnya di tubuhku yang mulai menggigil, disusul dengan pelukan yang melingkar di pinggangku, dan entah kenapa bibir itu telah mencium keningku pelan—tanda kalau besok akan menjadi hari yang menyenangkan.

.

.

End

.

.

Notes!

maafkan kalo ini nggak sesuai dengan selera teman-teman semua. uh, mungkin kesalahan fatal ff ini adalah OOC yang sangat kental sekali. iya, aku ngerubah sikap Haizaki agak 'lebih baik' disini, toh dia ganteng, 'kan? badass pula, ihihiihi #nak

buat Momoi, gatau lagi deh. rasanya dia semacam cewek labil yang rasanya baru pertama kalinya suka sama orang. tapi yah begitu deh, disini 'kan dia baru kelas satu, jadi ngasih sikap polos dikit gapapa 'kan? ;)

dan yang ketiga, bahasanya labil. oke, ini memang sengaja. karena chara mc-nya adalah bang Jaki, jadi nistain dia itu adalah hiburan tersendiri buatku. ah, dan juga, sekalian buat belajar. ff-ku yang lain nggak pernah make bahasa 'gue-lo'. jadi, karena ini adalah Haizaki, aku bikin versi dia pake 'gue-lo' aja. toh, itu 'kan cuma berlaku di Haizaki pov aja, ya gak?

dan kisahnya klise banget yak, soal remaja di tengah hujan... *pundung*

.

.

tebarkan virus crack-pair! *tebar bunga*

ff ini buat event Crack Pair Celebration yang diadakan di grup ffn, ditanggungjawabi oleh Geesha (Hime Hoshina). jadi ikut yuk di event ini, keluarkan imajinasi crack pair kalian yaaa, biar nanti kubacaaa ihihihi #geplaked

.

.

if anyone wants to color the gray heavens in the morning, you can color it pink in the sky
—stillewolfie (haimomo)

.

.

Terima kasih sudah membaca!

Mind to Review? :)