©LitteAzaela

.

Mark L. Jaemin N.

.

Friendship. Romance. Family. Hurt-Comfort

.

Teen | GS | Marriage!AU | Typo

.

Jaemin dan Mark secara kompak berpikir bahwa ini adalah berkah. Sedangkan bagi Taeyong dan Yuta semua ini musibah. Namun untuk pasangan Johnny dan Hansol, mereka tidak berpikir ini berkah ataupun musibah.

Saat upaca pernikahan dilangsungkan, Yuta menangis tersedu-sedu. Dia membuat sapu tangan biru itu benar-benar basah dengan air mata dan ingusnya. Jaehyun asalnya tidak menotis, dia terpesona pada membelai perempuan yang cantiknya tidak kira-kira yang dengan khidmat menguntai kalimat sakral.

Tapi Doyoung memintanya berbalik kearah kiri dan menemukan ibu dari mempelai perempuan menangis sesegukan. Jaehyun hanya tersenyum kaku, bingung harus melakukan apa. Akan tetapi mata Doyoung seakan menyiratkan bahwa dia meminta suaminya untuk bertanya. Setidaknya mereka cukup berbasa-basi sejenak.

"Eung, Ny. Lee, anda baik-baik saja?"

Yuta menjawab, namun suara lirihnya tertutupi tepukan riuh tamun undangan saat Mark mencium tangan kanan Jaemin yang tersenyum malu-malu diatas altar. Mereka kemudian saling bergenggaman tangan, para penonton seperti menunggu pertunjukan yang lebih menghebohkan, namun sayangnya tidak terjadi.

"Ngg, Yuta?" kali ini Doyoung yang bertanya karena Jaehyun sudah hilang. Tujuan suaminya sudah tentu untuk bertemu dengan Taeyong. Dan Jeno yang tadi disebelahnya sudah pergi menuju Mark dan Jaemin. Begitupula dengan para tamu undangan. Hanya tersisa Doyoung dan Yuta saja yang duduk dibangku.

"Hiksss… Doyoung-chawn, Jaem sudah menikah…. Hiksss."

Doyoung tidak begitu paham bagaimana perasaan Yuta saat ini. Anaknya masih remaja akhir—begitupun anak Yuta sebenarnya. Dan karenanya anaknya laki-laki, jalannya masih jauh untuk menempuh kehidupan pernikahan. Maka dari itu dia diam saja sambil mengelus pundak Yuta yang bergetar.

"Sudahlah, Yuu."

"Tapi Jaem kecilku sudah menikah. Huhuhu."

Doyoung tidak mengerti, itu tangisan haru atau sarat kehilangan.

"Jaem kan tidak kemana-mana," Doyoung pikir Taeyong yang super protektif pasti akan membuat pasangan muda itu tinggal dikediaman keluarga Lee. Dengan segala aturan otoriter yang merekat erat disetiap bangunan rumah mereka. Yang tentu saja wajar dilakukan orang tua terhadap anaknya yang menikah muda.

"Bukan itu!"

Doyoung berjengit kaget saat Yuta memekik keras. Memandang Doyoung lekat-lekat dengan mata yang masih memburam basah. Untungnya make up Yuta tidak luntur, akan jadi seperti apa perempuan itu dihari pernikahan anak satu-satunya mereka, "Lalu apa masalahnya?"

"Aku masih terlalu cantik untukk disebut nenek!"

Kali ini Doyoung benar-benar gagal paham.

"Huhuhuhu."

….

"Taeyong-hyung, selamat yah. Mungkin beberapa tahun kedepan kau mungkin sudah punya cucu."

Taeyong tidak berkata apapun. Dia mendelik sekilas pada Jaehyun lalu meminum segelas anggur miliknya. Yang terasa hambar, tidak seperti biasanya.

"Kau terlihat tidak senang sama sekali. Untung saat ke altar, Jaemin cantik sekali hingga orang-orang hanya terfokus padanya saja. Bukan kau yang seperti ingin membunuh orang dibanding dengan mengantar anak ke altar."

"Memang apa urusanmu?" Taeyong menjawab sinis. Jaehyun menimpali dengan menceritakan respon Yuta. Disebelahnya si ayah Jaemin ini hanya memutar kedua bola matanya saat mendengar betapa teatrikalnya istrinya tersebut. Kemudian Taeyong mengalihkan pandangan pada besannya. Mereka adalah pasangan impor dari US yang kini tengah berbincang dengan tamu asing.

"Kau terlihat tidak senang dengan keluarga Seo."

"Ya, tentu saja."

Jaehyun mengernyit, "Mereka terlihat seperti keluarga baik-baik."

"Cih, baik dari mana. Aku tak suka mereka setengah mati."

"Kenapa?'

"Kau tidak akan mengerti."

Taeyong melempar pandangan saat Hansol memberikan senyum pada mereka. Tetangganya itu, Jaehyun mengeluh sejenak. Dan Jaehyun lah orang yang membalas senyum perempuan cantik besannya Taeyong tersebut. Yang untungnnya seperti telah memaklumi perangai Lee Taeyong.

"Yah, aku memang tak mengerti." Jaehyun bergumam.

Mata Taeyong seakan menerawang, Jaemin itu masih kecil—sampai kapapun akan selalu menjadi si kecil milik Lee Taeyong. Dialah malaikat polos Taeyong yang dirusak oleh pergaulan bebas budaya barat milik Mark Seo. Seo Minhyun. Apapun nama menantunya, Taeyong tidak peduli. Dia bahkan tak sudi menyebut nama itu. Dia membenti anak itu. Titik.

"Jaemin tidak seharusnya menikah semua ini."

Nah, kalau yang itu Jaehyun mengerti. Jaemin baru lulus sekolah, rasanya baru seperti kemaren anak itu bersama Jeno dan teman satu sekolahnya arak-arakan kejalan sambil mencoreti seragam mereka. Dan berakhir dimarahi habis-habisan oleh Taeyong.

Dan kalaupun Jaehyun berada di posisi yang sama dengan Taeyong, maka dia akan berskipa lebih defensif. Sayangnya Jaehyun tak punya anak perempuan. Dan Jeno pasti memiliki waktu yang sangat panjang agar bisa mencapai tahap pernikahan.

"Dia itu belum bisa bersih-bersih. Dia bahkan tidak becus memegang sapu. Bagaimana bisa dia nanti mengurus rumahnya?"

"Huh?"

"Menyalakan kompor listrik saja dia tak mengerti, apalagi yang melalui tabung gas? Atau bahkan lewat tungku?"

"Jaemin tidak pernah mencuci pakaiannya sendiri, dia bahkan tidak mampu menghilangkan darah bekas menstruasinya sendiri saat menempel di seprainya kamarnya. Jaemin juga jarang mandi. Saat libur dia bahkan hanya mandi dua hari sekali. Bahkan pernah tak mandi selama seminggu."

"Bagaimana bisa anak itu merengek meminta dinikahi sedangkan dia sendiri bahkan tak pernah becus mengurus dirinya sendiri?"

Kali ini Jaehyun gagal paham; sebenarnya apa yang di khawatirkan Taeyong? Masa depan anaknya atau ketidak becusan anaknya dalam hal-hal rumah tangga?

...

"Kaliannnn! Aku tidak menyangka kalian akan menikah secepat ini. Huhuhuhu!"

Heechan menangis palsu sambil mengusap hidungnya di jas Mark—yang mana langsung mendorong Heechan darinya. Perempuan itu lalu mencubit kedua pipi Jaemin dan memukul pelan kepala Mark. Dia juga meringis saat sebuket bunga lili putih itu ternyata sampai padanya saat pelemparan buket bunga.

"Hahaha, kau cemburu ya Chanie," Jaemin menggoda, Mark langsung kikuk.

"Tentu saja tidak," Heechan merenggut, dia lalu meniti figur tubuh Jaemin yang langsing tersebut, "Kenapa kau memandangku seperti itu?"

Mata Heechan langsung berkedip cepat, "Apa? Hahah, aku hanya merasa bahwa kau sangat cantik Jaem. Terus-teruslah berdandan, maka kau akan selalu terlihat seperti malaikat kahyangan, bukan begitu Mark?"

"Oh, tentu." Mark menyahut cepat.

Mendengarnya Jaemin langsung cemberut, "Lalu kaupikir sebelumnya aku seperti apa, hah?"

"Seperti itik buruk rupa sebenarnya!"

"Hahahahhahhaha..."

"Sialan kau Heechan!" Jaemin merutuk, namun seketika raut wajah Heechan menjadi serius. Dia menarik tangan Jaemin untuk menjauh sedikit dari Mark. Memandangi mempelai pria itu sekarang sudah sibuk berbincang dengan Koeun dan Jeno.

"Kau mau membicarakan apa sih? Lihat, Mark sedang berbicara dengan Koeun-sunbae, astaga. Aku tidak bisa hanya diam saja melihat mereka!"

"Sttt... Diamlah cantik. Aku hanya ingin bertanya," wajah Heechan mendekat pada telinga Jaemin. Mereka berdempetan rapat sekali seolah-olah akan ada orang yang menguping pembicaraan tidak berfaedah milik mereka.

"Kau—" membuat orang penasaran adalah keahlian Heechan, dia memiliki koneksi hebat di berbagai kalangan hingga gossip yang dia kemukakan hampir semuanya benar meskipun sebenarnya banyak yang di lebih-lebihkan. Dan tentu saja, Jaemin adalah pendengar yang gampang di pancing rasa penasaran.

Jadi Jaemin pikir Heechan mungkin saja akan menceritakan gosip-gosip terpanas seperti Koeun-sunbae yang belum move on dari Mark, atau si Jeno yang secara klise diperebutan banyak wanita atau bahkan Soonyoung-sunbaenim yang sudah buka-bukaan pada publik soal hubungannya dengan Yerim-eonnie. Atau berita tentang pernikahan Irene-eonnie dengan Seulgi-eonnie? Mungkin saja. Siapa yang menduga. Mereka adalah pasangan terpanas tahun 2016 lalu.

Bukan pertanyaan seperti:

"Kau sudah hamil berapa bulan?'

"EEHHH!"

...

"Ummm... Jaem?" Mark berbisik.

"Ya oppa?" sedang Jaemin hampir memekik.

"Ummm... Jaem?" bisik Mark kembali.

"Oppaaaa...?" Jaemin merajuk kesal.

"Jaeminnnn..."

"Oppaaa..."

"Jaem..."

Mark menyahut menyahut putus asa, "Aku tidak bisa bersih-bersih Jaem," maka disebrang sana, dengan wajah paling nelangsa Jaemin menimpal.

"Begitupula aku oppa..."

"Lalu bagaimana?"

"Oppa, kau kan laki-laki. Masa kau tega membuatku membersihkan rumah sebesar ini?'

Wajah Mark semakin nelangsa, celemek merah muda dan kemoceng ditangannya semakin membuatnya lesu. Jaemin diujung sana berpenampilan serupa meski lebih memukau. "Jadi kapan kalian akan membersihkan rumah jika terus syuting drama India?"

Disofa sana, Taeyong sibuk membolak-balikan koran sambil meminum teh hijaunya. Yuta juga duduk disebelahnya sambil melambai sedikit pada Jaemin yang wajahnya sudah mengerut sebal.

"Uhuk!" lalu Mark tersedak udara. Dia lupa eksistensi mertua.

"Tapi ayah, kita kan lelah."

"Lelah habis melakukan apa?" Taeyong mendelik was-was. Dia menatap tajam Mark yang kelabakan menjawab, antara ingin menjawab atau diam saja.

"Kami lelah seusai resepsi kemarin. Setidaknya ayah dan ibu membiarkan kami tidur seharian tahu!" seperti tahu tekanan macam apa yang dihadapi Mark, Jaemin lah yang menjawab dengan segala kelancangannya memekik pada sang ayah.

"Masa hari pertama setelah menikah malah di suruh beres-beres rumah." Jaemin mendengus.

"Memang kau pikir hari pertama orang lain setelah menikah apa, huh?" Taeyong membalas sinis.

"Tapi ayah, setidaknya kau memberikan kami istirahat yang cukup!" Jaemin menjawab keras kepala.

"Kau sudah tidur setidaknya delapan jam, Jaem. Itu istirahat namanya. Dan kalau kau meminta lebih, itu pemalasan namanya," ayahnya kalem menjawab.

"Ayah tahu delapan jam itu tidak cukup."

"Jaem," ayahnya memperingatkan.

"Ibuuuuuu..."

Tak menyahut, Yuta masih saja diam disebelah Taeyong. Dia sudah berpakaian rapih. Begitupula Taeyong—entah hendak kemana-meskipun Taeyong memang selalu rapih dalam kondisi apapaun. Dan kalaupun mau melakukan bulan madu kedua, maka Jaemin akan jingkrak kegirangan.

"Ibuuuu... Kau tau aku tak bisa melakukan hal seperti ini."

"Jaem, cepat lakukan atau ayah suruh kau mencuci baju seluruh orang dirumah ini," disana Jaemin semakin cemberut, andai dia lupa eksistensi Mark, mungkin dia akan menangis dan merajuk sambil membanting sapu yang ditangannya itu. Sampai kolaps bahkan.

"Ibuuuuuuu..."

"Ibuuuu..."

"Ibuuu..." cicit Jaemin semakin mengecil.

"Apa? Kau ingin tantrum seperti bocah autis?" Taeyong mendelik, ucapannya sadis.

Kemudian Taeyong berbicara cukup keras pada Yuta, "Kau harus berhenti mengolah makanan dari terigu. Lihat bagaimana anakmu sekarang." Dan Yuta hanya tersenyum lucu menanggapi candaan Taeyong yang tak seperti candaan.

Mata Jaemin memerah menahan tangis, "Ibu," panggil Jaemin tanpa suara. Yuta menghela nafas, dia menaruh cangkir tehnya lalu mendekati Jaemin. Sejumput rambut coklat milik anaknya ditata kembali oleh Yuta. Lalu ibu itu tersenyum dengan lembut.

"Uhhhh... Anak ibu sudah besar. Jangan merajuk seperti itu dong. Jaem kan sudah menikah dan menjadi istri orang."

Setelah mencubit kedua pipi Jaemin, Yuta lalu menciumnya. Terkekeh mendapati reaksi Jaemin yang merajuk-yang akan cemberut sambil memalingkan wajah, "Ibu tahu aku tak mampu melakukan ini."

"Semua orang mampu melakukan ini sayang."

"Tapi tidak denganku!"

"Kau kan belum mencoba!"

"Ibuu..." memelas adalah cara terakhir Jaemin.

"Kau hanya belum terbiasa."

Untuk beberapa waktu, Jaemin merasa bahwa ibunya tak lagi bisa berpihak padanya. Semua hanya berotasi pada ke absolutan Lee Taeyong dan Jaemin sukses dibuat kesal karenanya. Karena Lee Taeyong adalah ayah paling menyebalkan sedunia.

"Bagaimana bisa ibu melakukan ini padaku?"

Terdengar tawa menyeruak pelan hingga menyusup pada koklea Taeyong. Yuta merespon seperti itu mirip guyonan tapi pada akhirnya meluluh karenanya, "Kau ini, pergilah mandi dahulu."

Mata Jaemin membesar, "Benarkah ibu?"

Yuta mengangguk, "Iya, pergi mandi saja dulu ya sayang."

"Iya, aku akan mandi-"

"Dan sayang, ibu tunggu kau diruang depan ya."

Tanpa ragu Jaemin mengiyakan, sudah berlari menuju lantai dua tanpa menengok Mark yang masih terdiam diujung ruangan. Yuta terkikik geli, wajah lugu Mark itu selalu membuatnya ingin memperlakukannya sama dengan Jaemin—sama-sama persis seperti anak kecil.

"Oh dan Mark-eu, tunggulah sampai Jaemin selesai mandi. Kau juga harus mandi setelahnya. Sudah jam sembilan, kau tahu," Mark tertegun.

"Ya—ya, terimakasih i-ibu, aku akan menunggunya diatas."

Disana Yuta terkikik lagi, Mark juga mengucapkan salam pada Taeyong yang tidak berbicara apa-apa lalu pergi kelantai dua. Taeyong masih berkutat pada koran pagi yang setahu Yuta sudah di khatamkan beberapa waktu lalu.

"Hei," Yuta menyentuh pipi Taeyong dan mencubitnya persis seperti apa yang dilakukannya pada Jaemin.

"Ajaklah Mark melakukan apa saja yang sering kau lakukan. Dia mungkin bukan menantu idaman, tapi aku yakin dia berusaha yang terbaik sayang."

"Hn."

"Hihihi," Yuta terkikik, "Kau pasti senang karena bisa mengerjainya."

...

"Ibu tidak mengatakan akan mengajaku ke pasar!" Jaemin menekankan kata pasar pada Yuta. Dia menghentakan kaki sejenak sambil memegangi tangan ibunya.

Kalau tahu akan di ajak kepasar tradisional, maka mana sudi Jaemin memakai dress indah tersebut. Dengan sepasang sepatu loafers putih dan juga jepit rambut berbentuk kupu-kupu yang cantik.

"Kalau tahu seperti itu, aku pasti tidak akan memakai rok hari ini."

Jaemin masih menggerutu. Dia mengangkat kakinya saat melewati bagian yang becek dan menjauh dengan ekspresi jijik saat berhadapan dengan lapak-lapak ikan ataupun daging yang banyak genangan air.

Kalau sudah begitu, Yuta yakin darimana sifat Jaemin tersebut. Ringisan jijik serta tatapan muak yang ditampilkan Jaemin persis seperti milik Taeyong. Hanya saja Jaemin hanya tahu bahwa tempat tinggalnya harus bersih tanpa tahu bagaimana cara membersihkan sesuatu.

"Lagipula kenapa kita harus ke pasar tradisional? Bukankah kita bisa membelinya di super market?"

Yuta tertawa, Jaemin tidak mengerti kenapa ibunya memberi respon seperti itu, "Kau harus membiasakan diri dengan pasar, percayalah, mungkin butuh beberapa waktu lagi bagimu untuk terbiasa dengan kehidupan rumah tangga. Tapi bukan berarti kau tidak bisa belajar dari sekarang."

Jaemin diam saja, ibunya bukan orang yang bisa diajak berdebat. Beliau adalah pemberi saran terbaik sepengatahuan Jaemin yang berotak kecil.

"Nah, kalau begitu kita mulai dengan bumbu dasar dapur!"

Mungkin Jaemin telah lupa kapan dia benar-benar menghabiskan waktu dengan Yuta. Tapi dia ingat setiap sentuhan tangan penuh kelembutan milik Yuta. Memori itu mungkin telah hilang, tapi tubuhnya jelas ingat semua itu.

Mungkin sepuluh tahun. Mungkin juga lebih. Sentuhan tangan itu familiar meski tak ada satupun memori kenangan yang terekam jelas bersama ibunya. Tapi Jaemin suka, dia suka bagaimana cara Yuta menggenggam tangan Jaemin protektif. Suka bagaimana cara Yuta mengusap rambutnya saat Jaemin bisa menjawab setiap hal yang ibunya tanyakan disitu.

Meskipun rasa protektif itu memang selalu hadir disetiap nada suara ibu maupun ayahnya. Sentuhan selalu memberikan efek terbaik untuk menyampaikan perasaan. Ayahnya tak bisa benar-benar melakukan sentuhan fisik yang lebih intim dari sekedar mengusap kepalanya atau pelukan karena mereka tahu batasan atas sentuhan fisik gadis remaja dan lawan jenis.

Maka dari itu, perasaan Yuta lebih tersampaikan dibanding Taeyong.

Ibunya bukan sosok yang ambisius, bukan pula ibu yang pemaksa pada setiap kehendaknya. Ibunya hanyalah ibu biasa yang menghabiskan sebagian waktunya di pusat rehabilitasi sebagai psikolog.

Jaemin terbiasa hidup bersama neneknya. Mengingat betapa protektifnya Taeyong, mustahil ayahnya akan membiarkan Jaemin sampai pada tangan-tangan orang asing macam baby sitter. Tapi tetap saja, kedua orangtuanya terlalu sibuk membantu orang lain sebagai petugas kemanusiaan, hingga kadang Jaemin tersisihkan dari jadwal orangtuanya dan merasa asing.

"Nah, apa kau bisa tebak yang mana merica, black paper, dan ketumbar?"

Dahi Jaemin mengerut, baginya tidak penting untuk tahu seperti apa itu kunyit bubuk, black paper, bubuk saffron yang ternyata mahal, atau serbuk-serbuk lainya. Baginya sudah cukup tahu garam ataupun micin. Sayangnya yang cukup bagi Jaemin tidak selalu cukup bagi ibunya.

"Ummmmm..."

Nah, sepertinya mereka akan melewati waktu yang cukup panjang.

...

"A—ayah," Mark menyahut ragu.

"Apa?"

"Bagaimana ca-cara melakukan ini?" Matanya tak berani bersinggungan dengan milik Taeyong. Dia biarkan sklera coklatnya melompat kekanan dan kekiri sekehendak hati tanpa mau berpusat pada muara kesialannya.

"Bicara yang jelas bocah."

"I—ini, maksudku bagaimana cara memotong dahan yang benar, karena—" segan menyebutkan alasan, Mark masih menghidari tatapan maut milik ayah mertuanya.

"Tatap mataku jika sedang berbicara Seo."

Meneguk ludah secara kasar, Mark mengedip belasan kali saat harus berpandangan dengan mata Taeyong yang dingin tersebut. Tanpa mau membantah sedikitpun.

"Kau cacingan?"

Lalu hening. Mark menyesal kenapa dia harus tinggal bersama ayah mertua yang satu ini.

Mark itu anak sosialis. Dia anak lelaki atraktif yang hampir menghabiskan 75% kehidupan remajanya di luar rumah. Sayangnya sekarang dia terjebak dalam kukungan tatapan tajam Lee Taeyong di halaman belakang rumah sambil mencoba men-stek tanaman.

Mark boleh jadi menekankan bahwa dia tidak berbakat tentang ketelatenan. Dia bisa saja mengatakan bahwa dia punya masalah khusus tentang menjaga kebersihan. Dia mendapat nilai buruk tentang presisi, dan itu adalah hal yang merugikan dalam urusan ini.

Tapi Lee Taeyong tak pernah perduli.

"Bagaimana kau bisa tidak mengerti? Apakah kau sebegitu bodohnya?"

Karena ayah mertuanya bermulut pedas, dari jauh-jauh hari Jaemin sudah mengatakan untuk tidak sakit hati. Dan ya, hal sekecil itu bukanlah pendorong utama Mark untuk merasa sedih dan memutuskan mundur. Hanya saja, melihat sosok Lee Taeyong membuat Mark ingin menggigit jari.

Apalagi jika Taeyoung memperlihatkan bagaimana mahirnya beliau dalam segala hal-setara dengan kehebatannya membedah manusia sebagaimana profesinya; dokter bedah.

Sambil menggunting beberapa batang tanaman, Taeyong kembali berbicara saat Mark malah disuruh berjongkok disisinya—untuk melihat bagaimana dia bekerja. Mark cukup berbeda dengan Jaemin yang harus belajar secara kinestetik. Karena Mark berkemampuan belajar secara visual—sejujurnya itu cukup merepotkan bagi Taeyong.

"Kau tahu, dulu. Para ilmuan mengatakan bahwa kecerdasan mewakili dua kemampuan, yaitu berbahasa dan pengetahuan."

Mark sesungguhnya tidak mengerti, kenapa di siang hari yang amat terik Taeyong malah memberikan petuah macam materi kuliah. Tapi karena ini Lee Taeyong, ayah mertua, salah satu dokter elit bertangan dingin, maka Mark diam saja sambil mendengarkan. Apalagi sekarang Taeyong memegang gunting.

Bisa-bisa dia mengimitasi adegan salah satu anime shounen versi realita. Ughhh, Mark tidak mau.

"Tapi sekarang para ilmuwan mengatakan bahwa kecerdasan mewakili lima kemampuan—" apapun kelanjutan kalimat itu, Mark pikir hari ini akan berakhir sangat lama.

...

"Ha-ah, melelahkan sekali."

Melihat Jaemin terlentang di kasur, Mark terdiam di sisi sofa. Mereka tidak mengatakan apapun dan Jaemin hanya terlalu lelah untuk sekedar bertukar sapaan.

Kemudian Mark memutuskan untuk beranjak keluar kamar saat melihat Jaemin menutup matanya dan segera pergi kedapur, "Selamat sore bu," Mark menyahut, lidahnya pahit karena canggung tak terbiasa menyapa.

"Sore juga Mark."

Untuk beberapa saat Mark terpana pada keanggunan Yuta. Ibu mertuanya yang berpenampilan sederhana itu tengah mengaduk teh dan memberikan segelas untuk Mark. Parasnya lembut, auranya meneduhkan. Jaemin cukup berbeda dengan kedua orang tuanya. Dan itulah yang tidak Mark mengerti.

Kedua orang tua Jaemin itu kalem. Mereka anggun. Kalau mereka hidup di era Joseon, Mark yakin bahwa Taeyong dan Yuta akan cocok mengambil posisi sebagai bangsawan kelas atas.

Mereka sederhana—sesederhana cara Mark mencintai Jaemin. Mark telah memperhatikan itu beberapa waktu saat bertandang kerumah sewaktu pacaran dan saat mempersiapkan acara pernikahan dulu. Dan saat mereka sekarang satu rumah—sekalipun Mark baru sehari tinggal dirumah ini, dia seakan-akan telah memahami betul bagaimana kedua mertuanya itu.

"I-ibu?"

"Untukmu. Kau pasti lelah sudah berkebun dengan ayah di halaman belakang."

Berkedip sebentar, Mark lalu membungkuk, dan dia mendengar suara tawa Yuta yang mendayu bagiakan alunan harpa. Usapan halus di kepala Mark membuat pemuda itu untuk beberapa waktu sulit bernafas.

Mark mungkin saja bisa menjawab, jika dia ditanya mengapa Lee Taeyong yang dingin itu bisa menyukai ibu mertuanya yang berasal dari Jepang tersebut.

"Ohya, suruhlah Jaemin mandi kembali. Jadi tolong ya, Mark-eu."

Sesudahnya Mark membawa secangkir teh itu kekamar. Menyimpannya tepat di meja nakas disebelah kasur kemudian memegang tangan Jaemin lalu menggoyangkannya.

"Jaem."

"Hn." Jaemin masih memejamkan mata.

"Bangunlah dulu." Saat sadar itu Mark yang meminta, dia mata secepat kilat. Jaemin seakan terlonjak dari aksi tidurannya. Keberadaan Mark dengan status yang lebih mengikat belum membuat Jaemin terbiasa atas kehadirannya.

Jaemin lupa bahwa dia sudah bersuami. Kebiasaan-kebiasaan jelek seperti tidak mandi seharian atau memakai kaos oblong dengan wajah kusam untuk bepergian ke supermarket masih melekat darinya. Dan Jaemin tidak pernah berpikir untuk merubah kebiasaannya. Tapi mungkin itu dulu. Dan Jaemin sekarang harus berusaha keras untuk tampil sebaik mungkin setelahnya.

Karena, tentu saja dia selalu berpenampilan rapih jika berhadapan dengan Mark semasa pacaran dahulu. Dan akan memalukan jika Mark tahu betapa joroknya dia sebenarnya. Nanti dia dianggap sebagai perempuan yang hipokrit. Tidak jujur menunjukan dirinya yang asli. Padahal Jaemin hanya ingin menunjukan yang terbaik.

"Kau lelah kan? Minumlah ini."

Meskipun Mark memberikannya tanpa maksud apapun, tapi Jaemin malah mendengus malu. Bukan begini perlakuan suami sesungguhnya. Harusnya dia lah yang berbuat seperti itu. Jika saja Jaemin lebih kreatif untuk melakukan duluan. Jika Jaemin lebih perhatian.

"Kenapa melamun?"

"Huh?"

"Ini, ibu tadi membuat teh dan memberikannya padaku. Tapi sepertinya kau lebih butuh itu. Kau kan belum sarapan."

"Ya, terimakasih."

Mark tersenyum kecil, dia lalu menyentuh rambut cokelat Jaemin secara perlahan sambil memandang lekat-lekat mata hitam yang bulat tersebut dan berkata, "Mandilah dahulu, kau kotor tahu."

Sambil mendengus, Jaemin berdiri, "Hah, ku pikir kau akan berkata sesuatu yang romantis."

"Eh?"

...

"Hei, bocah, kenapa makanmu pilih-pilih sekali?"

Mark berjengit. Dia lalu tersenyum kaku sambil memaksakan diri memakan sayuran oranye kedalam mulutnya. Taeyong tersenyum puas dan Yuta tersenyum senang. Sedangkan Jaemin meringis kasihan.

Mark tidak menyukai sayuran, Jaemin tahu. Kedua orang tua Mark tahu. Taeyong dan Yuta juga tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Maka mereka memaksanya memakan sayuran tersebut.

"Kau juga, Jaem," Jaemin langsung cemberut. Dia tepaksa ikut memakan brokoli dan wortel. Bertemu pandang dengan Mark yang kemudian melempar senyum. Perpaduan antara rasa sedih; dan seolah menyuarakan bahwa mereka senasib.

Melihat Mark, Jaemin merasa jantungnya terpompa dengan detakan yang tak wajar. Dia berusaha untuk memalingkan wajah tapi Mark terlalu indah di lewatkan. Mark dengan wajah tampannya selalu menyejukan mata. Dan Jaemin tidak akan pernah berhenti memuja, betapa Mark adalah kesempurnaan yang sekarang mutlak dia miliki.

"Ada brokoli di sudut bibirmu."

"Benarkah?"

Mark terkekeh kecil. Dia lalu menujuk sudut bibirnya sendiri dan Jaemin hanya mengikuti arahan Mark. Mereka tertawa seperti dunia milik berdua. Seakan-akan hujan bisa berubah menjadi guyuran cinta. Seakan-akan saling menatap bisa menunjukan semua hal di dunia.

"Kau lucu sekali, seperti anak kecil."

"Apa? Oppa meledekku? Aku bukan anak kecil. Aku sudah lulus SMA."

Saat itu, Mark dan Jaemin tak jemu saling pandang. Sangat enggan untuk memalingkan. Saling melempar tatapan lembut dan senyuman secerah matahari pagi dan selembut cahaya bulan. Seakan objek pandangan mereka bisa hilang jika berkedip sedetik.

"Ehem. Ibu, apakah kita sedang berada di bioskop?"

"Hahah, mungkin. Tapi Ibu pikir kita sedang menonton opera sabun di televisi, yah."

Meskipun tak berpandangan dengan kedua mertuanya karena malu. Dan sekalipun tak memiliki kemampuan indera keenam sama sekali. Mark yakin betul bahwa Yuta sedang bertopang dagu dengan mata yang menyayu malas. Dan Taeyong yang sedang bersandar di senderan kursi dengan mata menyipit dan tangan kanan yang memegang garpu erat-erat.

"Oh.. Ayah benci opera sabun, bu."

"Sebenarnya Ibu juga tidak suka romantisme picisan, yah."

Disebrang sana, Jaemin menunduk. Entah kenapa dia selalu lupa eksistensi orang tua. Mereka seperti menggunakan jubah milik Harry Potter hingga bisa tak terlihat dimatanya saat bersama dengan Mark.

"Ibuu, aku ingin supnya lagi. Tapi perbanyak daging ayamnya yaaa..."

Seperti memiliki kekuatan magis, Jaemin berhasil mengalihkan seluruh perhatian orang tuanya. Dia memakan sayuran dengan lahap. Dan Mark seperti terinfeksi oleh virus Jaemin hingga ikut-ikutan memakan sayuran.

Mark pikir, memiliki keluarga seperti ini menyenangkan. Mungkin akan lebih menyenangkan jika ada kedua orang tuanya juga, tapi flashback pada respon Taeyong terhadap orangtuanya, jadi Mark pikir seperti ini lebih baik.

Ya—seperti ini lebih baik.

Mungkin. Siapa yang tahu.

TBC

Ps: Karena saya jatuh cinta pada MarkMin—rasanya saya ga tahan untuk membuatkan mereka cerita. Oh ya ini cuman prolog. Belum kecerita atau bahkan sampe pada konflik. Hari pertama nikah gitu ^^, review juseeyooo?