Senja di Ujung Ilalang
Angin bertiup perlahan. Membelai dedaunan yang menguning untuk sejenak sebelum kemudian menjatuhkannya perlahan. Cicit burung terdengar samar seiring lazuardi yang tampak menjingga. Menyeret sang penguasa siang untuk segera menenggelamkan dirinya diufuk barat. Hening dan senyap. Begitulah suasana senja yang tergambar di atas sebuah bukit padang ilalang. Indah, saat kaki-kaki langit itu menampakkan keangkuhannya. Ya cakrawala membentang luas dibingkai pesona senja. Sepasang mata sayu itu tampak menerawang dalam hening. Menikmati saat-saat sang mentari pulang ke peraduannya. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya, tapi dari sorot matanya tampak jelas jika dia menikmati pemandangan senja itu.
Memejamkan mata sejenak, pemuda itu menghela nafas perlahan. Memutar hazelnya bosan ia jengah berfikir. Merutuk dalam hati kenapa ia bisa terdampar di bukit ini. Tempat yang bahkan tak pernah terfikir akan dikunjunginya lagi. Tempat yang membuatnya mau tak mau harus memutar memori demi memori yang telah usang. Ingatan tentang masa lalu yang menyakitkan sekaligus membahagiakan. Saat-saat dimana dia tenggelam dalam pesona manik lavender pengagum lazuardi senja.
Ia menghela nafas lelah, pikirannya kembali bergelut pada masa-masa di mana dia dan si gadis beriris lavender saling berkejar-kejaran dan bersenda gurau di antara ilalang-ilalang liar di bawah mega yang membiru. Nampak sang mentari mulai condong ke arah barat di cakrawala sana.
"Sasori-kun, ayo kejar aku…" ujar gadis itu sembari menoleh ke belakang sesaat setelah berhenti sebentar lalu melanjutkan kembali langkahnya untuk berlari.
"Oh ayolah Shion, kita bukan anak kecil lagi." balas pemuda beriris hazel di belakangnya sembari memutar bola matanya dengan malas.
"Oh ya?!,, Sasori-kun, yang terakhir sampai di bukit itu harus menggendong yang sampai duluan. Ayo Sasori-kun." Ucap Shion sembari menunjuk bukit di depannya.
"Hm…"
" Ayo semangat Sasori-kun… atau ..,,,, kau memang sengaja mengalah karena ingin menggendongku ?" ledek Shion pada Sasori sembari memalingkan wajah agar semburat merah tipis di pipinya tak terlihat.
"Ck" dia berdecak pelan, "terserah kau saja lah" ujarnya ketus, namun tak dapat ia pungkiri jika pipinya sedikit terasa memanas mendengar godaan sahabat sejak kecilnya itu. Mau tak mau Sasori mengikuti langkah Shion yang mulai menjauh darinya. Dan tak butuh waktu lama untuk mereka sampai ke atas bukit.
"Hore aku sampai duluan…" teriak Shion dengan bangga. "sesuai dengan kesepakatan kita tadi kau harus menggendongku pulang nanti !"
"Hey ! yang membuat kesepakatan itu hanya kau, aku tidak berkata jika aku menyetujuinya" protes Sasori sembari terengah-engah karena lelah.
"Aku tidak peduli, pokoknya nanti kau harus menggendongku. Jelas-jelas kau sudah kalah" sanggah Shion sambil menjulurkan lidahnya.
"Hah, baiklah. Aku tidak peduli"
"Pokoknya nanti kau harus menggendongku !"
"Hm…"
"Hey Sasori-kun…!"
" Ck. Diamlah, kau berisik sekali. Lihat itu, sebentar lagi matahari akan tenggelam. Duduk dan lihatlah !" ucap Sasori sembari menepuk rumput kosong di sebelahnya.
"Tsk, kau menyebalkan sekali !" gerutu Shion. Tapi tetap menuruti perintah Sasori.
"Damai sekali" gumam Sasori lirih.
"Iya, kau benar Sasori-kun. Itulah alasan kenapa aku mengagumi senja. Langit jingga yang mempesona dibingkai ilalang-ilalang bukit ini. Semilir angin sore yang menenangkan. Nyaman dan indah tentunya" jelas Shion panjang lebar pada Sasori. Sasori hanya tersenyum sembari mengangguk mengiyakan perkataan Shion. Senja memang mempesona, siapapun pasti setuju akan hal itu, tak terkecuali sepasang sahabat itu. Mereka adalah para pengagum senja yang senantiasa mengantar matahari menju singgasananya.
Selintas kenangan itu begitu nyata. Ia menengadahkan kepalanya, memandang lazuardi yang semakin jingga kemerahan. Angin berhembus pelan, menerpa rambut merahnya yang semakin terlihat berantakan. Ilalang semakin giat melambai, menerbangkan pucuk-pucuk bunganya untuk hanyut bersama sang bayu. Sepasang mata hazel itu berkedip pelan, menghirup dalam-dalam aroma ilalang senja. Menggumam lirih "kau benar Shion, senja memang selalu menenangkan. Andai saja kau masih ada di sini" ia tersenyum kecut. Dadanya terasa sesak, seperti ada bagian lain hatinya yang hilang. Seperti potongan puzzle yang tercecer entah dimana. Dan kini, pikirannya pun kembali lagi menerawang ke masa lalu.
" Hey Saso-kun ?" panggil Shion.
"Hm ?"
"Menurutmu apa kita bisa selalu menghabiskan waktu untuk menikmati senja seperti ini ? Sampai nanti, maksudku selamanya begitu. Apa kita akan tetap bersama-sama ?" Shion memandang Sasori, entah kenapa tatapan lavender itu berubah menjadi sendu saat mengucapakan pertanyaan tadi.
"Aku tidak tahu, jika kita masih bersahabat aku rasa itu mungkin saja. Yah kecuali ada sesuatu yang membuat kita berpisah nantinya" Sasori menjawab sembari mengendikkan bahu. Ia sendiri bingung harus menjawab apa pada sahabat sejak kecilnya itu. Hazelnya intens menatap lavender Shion.
"Saso-kun, ada yang ingin ku katakana padamu." Ujar Shion sembari menatap sasori dengan tatapan yang serius.
"Hm? Apa? Katakana saja." Ucapnya balas menatap iris lavender gadis bersurai pirang itu.
"Saso-kun . . . . . aku pamit" ucap Shion sambil menundukkan wajahnya.
"Pamit? Kau mau kemana?" Tanya Sasori sembil mengangkat sebelah alisnya.
"Aku bersama orang tuaku akan pindah ke Rusia. Ayahku dipindah tugaskan kesana." Terang Shion lirih namun masih dapat didengar dengan jelas oleh Sasori.
Sejenak tubuh Sasori menegang, "Rusia . . ."
"Gomenasai, Saso-kun" kata Shion lirih dan menundukkan kepalanya.
Hanya hembusan angin lewat yang memecah suasana diantara mereka yang saat itu mendadak menjadi hening. Semilir angin membelai poni pirang Shion, nampak Shion makin menundukkan wajahnya. Tak terasa cairan bening merembes dari netra lavendernya. Sasori tampak tak tega melihat Shion menangis. Hatinya serasa tercubit saat melihat air mata Shion yang mengalir deras di pipinya yang sehalus porselen. Membuat manik lavender gadis itu kian meredup menyembunyikan pancaran sinarnya yang selalu nampak hangat Tangannya pun terulur mengusap pipi gadis bersurai pirang itu lembut. Shion mulai mengangkat wajahnya perlahan. Dia memandang Sasori yang juga tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Entah apa yang dipikirkan pemuda bersurai merah itu, yang jelas ia tau ada luka tak terlihat yang tengah menderanya, hanya saja ia bisa menyembunyikannya dengan wajah pokerfacenya itu. Tapi sebagai orang yang selalu bersamanya sejak kecil, Shion tau dengan jelas emosi apa yang tersembunyi di balik wajah datarnya. Sasori tersenyum kecut, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan yang saat ini menderanya. Ia tak ingin gadis di depannya merasa terbebani dengan keadaan ini.
"Kapan kau berangkat ?" Sasori memecah keheningan yang cukup lama bertengger di antara mereka..
"Besok pagi kami akan berangkat." Sejenak suasana diantara mereka kembali menjadi hening.
"Gomen, Saso-kun, aku baru memberitahumu sekarang"
"Hm"
"Saso-kun,"
…
"Sasori,"
…
"Sasori-san"
...
"SASO-KOI . . . . . "
"Ada apa?" Sasori menoleh dengan innocentnya setelah beberapa kali tidak menjawab panggilan Shion.
"Kau marah?" tanyanya pada pemuda di sebelahnya.
"Tidak. Kenapa?"
"Habisnya… kau begitu sih.," serunya sambil mengerucutkan bibir sebal.
Sasori mendekatkan wajahnya ke wajah shion. Shion yang menyadari hal tersebut pun wajahnya merona.
"Saso-kun! Kau mau apa?!" pekik shion semakin salah tingkah.
Melihat shion yang nampak salah tingkah itu membuat Sasori menyeringai jail. Ia pun semakin mendekatkan wajahnya kearah Shion. Semakinh dekat… semakin dekat… Shion pun dapat merasakan hembusan nafas Sasori diwajahnya. Ia merasa dadanya bergemuruh dan seakan siap meledak kapan saja. Sebenarnya Sasori juga merasa kan hal yang demikian. Namun, rasa ingin mengerjai gadis dihadapannya ini tak tertahankan lagi. Nampak gadis dihadapannya mulai menutup matanya. Wajahnya juga nampak semakin memerah. Setelah wajah mereka hanya berjarak beberapa centi …
"Jangan berpikir aku akan menciummu." Bisik sasori tepat di telangga shion, hingga membuat gadis itu merinding. Pemuda itu menggerakkan tangannya menuju rambut pirang sang gadis. Shion merasakan sentuhan pemuda itu pada rambutnya. Seperti membelainya. Ia memejamkan iris lavender itu untuk merasakan sentuhan sasori di rambutnya.
"kenapa kau menutup matamu? Apa kau menyukai sentuhanku tadi?" ucap sasori dengan suara baritonnya, masih mencoba menggoda shion. Merasa sadar akan kebodohannya, akhirnya gadis itu mendorong tubuh pemuda itu menjauh. Nampak wajahnya memerah semerah rambut sasori.
"a apa katamu?! Tidak se seperti itu tau.." dengan tergagap shion coba mengelak dan itu membuat sasori terkekeh geli melihatnya salah tingkah.
"oh ya, lalu kenapa kau merona? Kau malu mengakuinya?"
"hah… sudahlah sasori-kun. Jangan 'modus." Ucap shion penuh penekkanan pada kata modus. "berhenti menggodaku!"
"ya ya ya, diamlah dan coba nikmati pemandangan dihadapan kita. Jangan berisik! Mengerti?"
"hm. Aku mengerti." Jawabnya sembari menganggukkan kepala.
Hening kembali merayap diantara mereka. Hanya desau angin yang giat berbisik menelisik anak rambut Shion, membelai ilalang dan daun di sekitar bukit. Sedangkan ke dua pasang mata berbeda warna iris itu terus diam, terpaku menatap lazuardi yang semakin jingga. Meresapi setiap detik jatuhnya matahari menuju singgasananya. Pucuk-pucuk ilalang pun turut ambil bagian, menari anggun di bingkai temaram. Menambah takjim suasana di anatara mereka. Berdeham lirih, Shion memecah hening..
"hmm, sasori-kun… maukah kau berjanji 1 hal padaku?" Tanya shion malu-malu dengan semburat merah dikedua pipinya.
"kau ingin aku berjanji apa?" Tanya sasori balik sembari menoleh, menatap shion.
"aku mau kau berjanji, untuk menungguku kembali hanya untukmu, karena…"
"karena?" beo sasori sembari menaikkan sebelah alisnya.
"karena.. a aku mencintaimu." Ucapnya lirih, namun masih dapat didengar pemuda disebelahnnya. Sasori pun sedikit tersentak.
"bisa kau ucapkan dengan lebih jelas?" Tanya sasori untuk meyakinkan dirinya jika ia tak salah dengar.
"AKU MENCINTAIMU SASORIIIIII" seru shion lantang kemudian menunduk dan mulai terdengar isakan kecil dari gadis bersurai pirang tersebut.
Sasori tersenyum kecil, mengingat kenangan beberapa tahun lalu. Meski tak dapat dipungkiri sebagian hatinya terasa sesak. Apalagi setiap menatap wajah senja, sama saja dia menggali setiap cerita usang antara dirinya dan sahabat masa kecilnya itu.
Angin lembut menerpa rambut sasori, membelai pucuk-pucuk rambutnya yg sewarna darah. Seperti tak terpengaruh ia terus terpaku menghadap cakrawala dimana sang mentari mulai menenggelamkan diri di buaian senja, diantarkan ribuan pucuk ilalang yang menari anggun mengikuti irama sang bayu.
TBC
