Terima kasih karena telah mereview KNG 1, 2 dan sequel-sequelnya :D

Selamat membaca KNG 3 ch 1


Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: KNG 1 dan KNG 2

KISAH NEXT GENERATION 3: DI BALIK TOPENG

Chapter 1

Perhatian!

Diary ini adalah milik

Nama: Dominique Fleur Weasley

Tempat Tanggal Lahir: London, 4 Januari 2003

Jenis Kelamin: Perempuan.

Status Darah: seperdelapan Veela.

Warna rambut: Pirang

Warna mata: biru

Warna kulit: terang

Tinggi: 165 cm

Berat: 48 kg

Alamat: Shell Cottage (pinggiran Tinworth, Cornwall)

Tongkat sihir: Cherrywood, 25 cm, bulu ekor unicorn.

Anggota Keluarga: Bill dan Fleur Weasley (Orangtua), Victoire (kakak) dan Louis (adik)

Catatan: Punya banyak paman, bibi dan sepupu.


Dear Diary,

Aku benci hidupku, aku benci memikili rambut pirang, mata biru, seperdelapan Veela, dan benci menjadi Dominique Weasley. Aku benci menjadi diriku sendiri. Dari dulu aku selalu mengkhayalkan bahwa akan bagus sekali kalau aku menjadi orang lain. Misalnya cewek dengan rambut cokelat atau hitam, dan bernama belakang Smith, Steward atau apa saja, asal jangan Weasley.

Jangan salah memahamiku, aku tidak membenci orangtua, kakakku, adikku, kakek-nenekku, para paman-bibi, atau pun sepupu-sepupuku. Malah sebaliknya, aku sangat dan selalu menyayangi mereka. Yang kubenci adalah bahwa mereka semua punya anak, cucu dan keponakan kebanggaan, yaitu Victoire.

"Victoire, mendapatkan lencana Prefek tahun ini!" (Dad)

"Victoire benar-benar berbakat dalam Transfigurasi, kau harus melihatnya mengubah boneka Louis menjadi kursi, Audrey." (Mom)

"Victiore sangat pandai memasak dan mengurus rumah. Lihat itu! Bunga di sana itu, dialah yang merangkainya dan makanan yang kita makan ini adalah masakannya." (Mom)

"Victoire sudah bisa terbang dengan sapu mainannya saat dia berumur 2 tahun, menakjubkan bukan?" (Dad)

"Coba anda memperhatikan sepupu kami Victoire, pak Mentri, dia sangat cocok jika bekerja di Kementrian Sihir."(Uncle Percy)

"Victoire semakin cantik saja dari hari ke hari, Fleur." (Grandma)

Yeah, semuanya Victoire. Semua orang dalam keluarga menganggap Victoire adalah permata yang indah, sedangkan aku adalah permata kasar yang harus segera diasah menjadi permata yang harus sangat mirip dengan Victoire. Mereka tak pernah bosan membanding-bandingkan Victoire dan aku, berharap suatu saat nanti aku bisa menorehkan record seperti Victoire.

"Dom, kau tidak boleh memakan cokelat dengan cara itu, Victoire tidak begitu." (Mom)

"Dom, apa yang kau lakukan dengan novel itu? Kau harus banyak belajar dan carilah bacaan yang bermutu. Bacaan Victoire bukanlah bacaan picisan seperti itu." (Dad)

"Ayo berusahalah untuk mendapatkan lencana Prefek tahun ini, Dom... Victoire sudah melakukannya dan kau bisa membanggakan keluarga kalau kau bisa melakukannya juga." (Grandma)

No way!

AKU SANGAT TIDAK SUKA DIBANDINGKAN DENGAN KAKAKKU

Tidak ada satu pun dari keluargaku yang mengatakan hal yang ingin kudengar, seperti:

"Dom berhasil mengubah korek api menjadi jarum pada pelajaran pertama Transfigurasi, dia pintar, kan?"

"Dom telah membantu Profesor Longbottom mengangkat sebuah sekop. Dom anak yang baik!"

Tidak ada!

Mereka tidak pernah mengatakan hal itu. Mereka selalu mengatakan Victoire ini, Victoire itu. Lalu aku apa dong? Anak tetangga? Cucu tetangga? Keponakan tetangga?

Bahkan cowok-cowok cakep Hogwarts pun hanya mengenal aku sebagai adik Victoire. Si cantik-ceria-dan-supel Victoire-lah yang selalu dilirik cowok-cowok cakep, bukan si suram-tak-banyak-bicara-Dominique. Bukannya, tidak ada cowok yang mendekatiku, banyak sekali cowok yang mendekatiku, namun mereka mendekati aku hanya untuk mendapatkan akses ke Victoire.

"Dom, kudengar kakakmu sedang tidak berkencan dengan siapa pun sekarang ini. Bisakah kau membantuku untuk dekat dengannya?" (cowok 1)

"Oh, lihat itu adik si cantik, Victioire. Ayo kita dekati dia!" (cowok 2)

"Kalau kita dekati adiknya, pasti kita juga akan bisa mendapatkan kakaknya yang cantik." (cowok 3)

Nah, begitulah diary, aku bukan apa-apa selain bayang-bayang Victoire, aku bukan apa-apa selain adik Victoire. Karena itulah, aku merasa bahwa apa pun yang kulakukan tidak akan menjadi kejutan lagi karena Victoire sudah melakukannya. Jadi, aku tidak akan melakukan apa-apa, aku akan diam saja atau pergi ke suatu tempat di mana orang-orang tidak mengenalku. Tinggal di balik topeng dan berakting menjadi orang lain, selain Dominique Weasley.

Sincerely,

Dominique Weasley

Cewek di balik topeng


Tanggal: Jumat, 19 Desember 2018

Lokasi: Hog's Head

Waktu: 11.20 pm – 12.46 am

Hog's Head adalah sebuah bar, dengan penginapan murah di lantai atas. Di sana banyak sekali orang berkumpul dari seluruh negeri untuk minum-minum, judi, berdansa dan melakukan transaksi gelap ramuan, telur naga dan barang-barang ilmu hitam lainnya. Kita tidak akan saling mengenal kalau kita masuk ke sini karena semua orang mengenakan penutup kepala; cadar, topeng, atau apapun asalkan wajah kita tidak terlihat.

Sebenarnya banyak juga murid Hogwarts yang datang ke Hog's Head, tapi bukan pada malam hari. Mereka datang pada siang hari, tanpa penutup kepala, dan saat ada kunjungan ke Hogsmeade. Meskipun para profesor telah mengingatkan bahwa pelayan bar itu tidak pernah mencuci gelasnya, tapi tetap saja para pelajar pergi ke sana untuk mencuri-curi minum Wiski api, karena pelayan bar itu melayani siapa saja tanpa melihat apakah dia murid Hogwarts dan belum cukup umur.

Lucy dan aku selalu menyusup ke sana pada malam hari, dan pada hari-hari tertentu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Lucy, dengan topeng hijaunya, langsung menghilang dalam cahaya remang-remang bar saat kami tiba di sana. Dia tidak pernah bilang padaku apa yang dilakukannya, dan aku juga tidak akan memaksanya untuk memberitahuku karena aku tidak ingin tahu. Biarlah ini menjadi rahasia kami.

Setelah Lucy menghilang, aku dengan topeng merahku, akan menunggunya di bar sambil menyesap Wiski api. Tidak banyak yang aku lakukan, selain melayani orang-orang bertopeng atau bercadar yang mengajakku bicara dan minum-minum. Dan saat itulah, aku bisa berakting menjadi wanita 25 tahun yang bebas, yang sedang mengelilingi dunia dan mampir untuk minum-minum di Hog's Head.

Tidak mudah menjadi wanita 25 tahun bernama Lovey karena para pria bertopeng atau bercadar berpikir bahwa aku bisa dipakai, atau di bawa ke penginapan atas kapan saja mereka mau. Namun, aku bukanlah wanita panggilan, aku adalah Lovey, wanita baik-baik, yang siap melayani para pengunjung ngobrol, tapi bukan untuk diajak tidur. Memang ada beberapa pengunjung yang memaksa, namun aku selalu bisa mengatasinya. Dan, kalau aku tidak bisa mengatasinya, Lucy akan muncul entah dari mana dan meninju atau menyihir siapa saja yang berani mengganggu aku.

Lalu saat aku berbicara dengan para tamu, aku bisa mengenal berbagai karakter dan berbagai kisah menyedihkan, kehidupan orang-orang dewasa yang sangat aneh. Pernah ada seorang bercadar yang bercerita padaku bahwa dia dan istrinya bercerai, tapi dia masih sangat mencintai istrinya itu. Dia menangis di depanku dan bercerita bagaimana dia bertemu dengan istrinya dan bagaimana mereka jatuh cinta dan menikah. Aku lalu menangis bersamanya dan menghiburnya bahwa kehidupan akan baik-baik saja, dan aku mungkin tidak akan pergi dari sana kalau Lucy tidak menyeretku untuk pulang.

Ada juga seorang bertopeng, yang mengatakan bahwa dia baru saja membunuh orang. Dia tidak ingin tertangkap Auror dan minta pendapatku negara mana saja yang tidak bisa dijangkau oleh Auror Inggris. Dan aku setengah takut, setengah tidak percaya, menyuruhnya untuk pergi ke Afrika. Afrika-kan luas dan jarang ada Auror Inggris yang pergi ke sana. Dia menyalamiku dan berterima kasih, kemudian cepat-cepat keluar meninggalkan aku yang terpana dan bertanya-tanya apakah dia serius.

Dan malam ini, Hog's Head masih tampak seperti malam-malam sebelumnya. Asap cerutu di mana-mana, suara musik sumbang yang diputar di sebuah stereo tua, bau minuman yang menyengat, suara orang-orang yang tidak jelas apakah laki-laki atau perempuan dan banyak gerakan dari orang-orang yang sedang berjudi di pojok ruangan.

Aku duduk di bar memandang Stanley Kings, si pelayan bar, satu-satunya yang tidak pakai penutup muka di tempat ini. Dia tampak sibuk melayani pelanggan dan sesekali tersenyum padaku, aku sudah menjadi pelanggan bar ini selama hampir dua tahun, tentu saja dia mengenalku.

"Seperti biasa wiski dengan campuran gin dan tonic," katanya, meletakkan gelasku di meja bar.

"Thanks," kataku tersenyum.

"Dan gratis, kau sudah membuat rumah minuman ini banyak pengunjung, Lovey," katanya.

Aku tertawa, sudah sekitar setahun ini aku selalu mendapat minuman gratis dan tentu saja aku senang, jadi aku tidak perlu menghambur-hamburkan Galleon-ku.

"Nah, itu ada pendatang baru yang sendirian, aku menyerahkannya padamu," kata Stanley, lalu membawa gelas dan botol wiski yang sudah ditata di atas nampan kepada pengunjung yang sedang berjudi di pojok ruangan.

Si pendatang baru ini duduk di kursi bar yang agak jauh dariku. Dia mengenakan jubah panjang hitam, mirip jubah Hogwarts, dan topeng hitam yang menutupi mata dan hidungnya sama seperti yang kukenakan, hanya saja topengku berwarna merah. Aku, bertindak selayaknya tuan rumah yang baik, membawa gelasku, berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya.

"Hai, sendirian?" tanyaku, meletakkan gelas di meja.

Dia memandangku.

"Yeah, kau siapa?" dia bertanya.

"Aku Lovey, pelanggan tetap bar ini," kataku tersenyum.

"Er, aku―aku, yeah, aku Spikey―yeah..." katanya.

"Lovey dan Spikey," kataku tersenyum, tahu sekali bahwa kedua nama itu jelas-jelas nama samaran.

"Dan Spikey, mau minum apa?" tanyaku.

"Er, entahlah―aku belum pernah minum apapun selain Butterbeer, jus dan air putih," katanya.

Ya ampun, pria ini sangat polos! Ataukah dia masih cowok remaja, ya?

Aku memandangnya dan mengamati bentuk mulut dan dagunya, tampaknya memang masih sangat muda, mungkin sekitar awal dua puluhan.

"Kau boleh memesan sesuatu untukku dan untukmu juga dan―biar aku yang membayarnya," katanya, memandangku penuh harap dengan mata gelapnya, yang tampak bercahaya dalam ruangan remang-remang.

"Oke," aku tidak bisa menolak, jika diberi tatapan seperti itu.

Aku melirik Stanley yang baru saja kembali mengantar minuman para penjudi dan melambai padanya.

"Stan, pesanan biasa dua," kataku.

"Oke," kata Stanley, mengedip padaku.

Aku tertawa.

"Berapa umurmu?" dia bertanya, mengamatiku dengan seksama.

"25 tahun," kataku percaya diri.

"Kau tampak lebih muda," katanya, mengamatiku lagi.

"Penampilan bisa menipu," kataku santai. "Berapa umurmu?"

"Aku juga 25 tahun," jawabnya.

Aku memandangnya, dia memandangku dan kami menyadari bahwa masing-masing telah berbohong, kemudian dia tertawa.

"Lupakan!" katanya.

"Minuman tiba," kata Stanley tiba-tiba, meletakkan minuman di meja, mengedip padaku lagi dan pergi.

"Dia menyukaimu," kata Spikey, mengangguk pada Stanley.

"Tampaknya memang begitu," kataku, meneguk minumanku.

Dia melakukan hal yang sama, kemudian tersedak.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku, menepuk pundaknya.

"Ya, aku―aku belum pernah minum yang seperti ini," katanya, kemudian tersedak lagi.

"Itu Wiski api," kataku.

"Sepertinya aku tidak suka Wiski api," katanya, mendorong gelasnya.

"Tenang... kau akan terbiasa juga akhirnya," kataku.

Aku mengamatinya lagi dan berpikir dengan yakin sekali bahwa cowok bertopeng ini mungkin seumuran denganku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.

Cowok-cowok, yang tampaknya elit, seperti dia ini tidak mungkin datang ke tempat seperti Hog's Head. Mereka paling banyak ditemukan di Tree Broomstick atau Sky Night di London.

"Aku kabur dari tempat penelitian," katanya.

"Tempat penelitian?" tanyaku.

"Maksudku tempatku bekerja..." jawabnya cepat. "Aku merasakan otakku tidak mampu berpikir lagi, aku ingin menjernihkan kepalaku dan―"

"Kau datang ke tempat ini," sambungku.

"Benar," katanya. "Victoi―er, maksudku, temanku pernah mengatakan bahwa orang-orang yang datang ke bar ini memakai penutup muka. Jadi, aku merasa sangat aman datang ke tempat ini karena tidak ada yang akan mengenalku."

"Yeah, dan kau bisa menjadi orang lain, tanpa ada yang menyadari bahwa itu adalah dirimu," kataku, menerawang. "Berakting menjadi orang lain."

Aku seperti itu, berakting menjadi orang lain.

"Tetapi aku tidak sedang berakting," katanya. "Maksudku, aku, ya aku. Hanya mungkin namaku adalah nama samaran karena aku tidak ingin orang lain mengetahui siapa diriku sebenarnya."

"Itu kan namanya berakting," kataku.

"Tidak," katanya tegas dan seperti seorang ahli bahasa dia menjelaskan. "Akting, berasal dari kata act, dalam bahasa Inggris, yang artinya melakukan sesuatu atau menampilkan sesuatu. Dan jika diartikan secara sederhana adalah kau menampilkan sesuatu untuk dinikmati oleh seseorang, kau menjadi orang lain dalam sikap, perilaku, cara bicara, penampilan, dan kata-kata yang kau ucapkan juga sudah ditentukan dan direncanakan. Begitulah akting, sedangkan aku, aku tidak sedang berpura-pura menjadi orang lain. Aku adalah diriku sendiri, sikapku adalah sikapku sendiri, kata-kata yang aku ucapkan juga adalah kata-kataku sendiri. Aku hanya memakai nama samaran, tapi pribadi ini adalah pribadiku sendiri."

Dia mengakhiri pidatonya dengan mengerakkan tangan seperti seorang profesor yang sedang mengajar.

Aku memandangnya tidak tahu harus berkata apa. Bertanya-tanya dalam hati apakah cowok ini mungkin adalah seorang ahli yang kesasar di tempat ini.

"Maafkan aku," katanya tiba-tiba, tampak menyesal.

"Mengapa kau minta maaf?"

"Itu kebiasaanku... maksudku, aku selalu ingin membenarkan jika ada yang salah, dan aku tidak tahan jika seseorang tetap tinggal dalam kesalahpahaman dan kesalahpengertian. Karena itu―karena itulah aku tidak punya teman, orang-orang selalu menjauhiku karena tidak tahan dengan sikapku yang menganggap semua hal bisa dijadikan bahan pertimbangan atau bahan eksperimen. Waktu masih sekolah, anak-anak lain sering memanggilku profesor gila, karena aku selalu berkata-kata dengan bahasa tinggi dan kadang mengajari mereka menggantikan para pengajar. Mereka menjauhiku dan menganggap aku sebagai penyakit menular, karenanya, aku tinggal dalam duniaku sendiri..." dia kemudian berhenti. "Kau merasa bosan?"

"Tidak..." kataku tersenyum sabar, aku sudah biasa mendengarkan cerita segala macam orang.

"Yeah, begitulah," lanjutnya. "Jadi, sepanjang hidupku sampai sekarang ini, aku tidak punya teman, hanya punya beberapa kenalan yang sangat baik hati. Sebenarnya, aku sangat kesepian..."

"Kau tidak akan kesepian lagi, aku akan menemanimu," kataku, seperti yang biasa aku katakan pada beberapa pelanggan yang kesepian.

Dia menatapku, memberiku pandangan yang penuh terima kasih dan tulus. Yeah, aku sudah sering menerima pandangan seperti ini.

"Di tempat kerjaku, tidak ada yang terlalu saling peduli," lanjutnya. "Kami semua sibuk; melakukan banyak hal sesuai dengan tugas kami masing-masing. Kami jarang sekali bicara, kecuali kalau disuruh untuk menerangkan sesuatu yang bersifat ilmiah, yang berhubungan dengan pekerjaan, atau karena aku paling muda, mereka menyuruhku untuk melakukan hal-hal kecil. Kami tidak saling mengenal secara pribadi, maksudku seperti, apakah Mr A punya anak, apakah Mr B suka menonton Quidditch. Kami hanya saling tahu nama dan tempat tugas. Lagi pula, teman kerjaku adalah orang-orang tua yang tidak peduli dengan urusan-urusan anak muda."

"Tetapi kau senang kerja di tempat itu?"

Dia tersenyum sangat bahagia, dan aku langsung tahu bahwa dia mencintai pekerjaannya.

"Aku sangat menyukai pekerjaanku," katanya. "Di sana aku bisa melakukan apa saja, berekspresi, bereksperimen, melakukan apa saja yang ingin kulakukan. Meskipun, yeah―" dia berhenti sebentar memandangku.

Aku tersenyum memberi semangat.

"Kami sering kekurangan dana," kataku, tampak muram. "Banyak yang menganggap proyek terakhir kami adalah hal bodoh, sehingga beberapa donator menghentikan dana."

"Tapi kalian tidak menyerah," kataku, meskipun tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan proyek terakhir ini.

"Tentu saja kami tidak menyerah," katanya bersemangat. "Kami tetap akan berusaha mengerjakan proyek ini sampai selesai, meskipun dananya hanya sedikit."

"Nah, bagus, berarti kalian adalah orang yang tidak mudah menyerah."

Dia tersenyum.

"Ceritakan tentang dirimu," katanya.

"Tidak ada yang patut diceritakan, pekerjaanku sangat membosankan," kataku mengelak.

"Ayolah, aku senang akhirnya aku bisa bicara dengan seseorang selain dengan orang-orang di tempat kerjaku," katanya. "Aku ingin tahu tentang dirimu."

"Baiklah, aku bekerja sebagai penjaga anak-anak," kataku, tidak sepenuhnya salah. Aku kan punya banyak sepupu yang masih muda jadi aku menjaga mereka.

"Apakah mereka sangat merepotkan," tanya Spikey, dia pasti sedang membayangkan anak-anak prasekolah yang hiperaktif.

"Benar-benar sangat merepotkan," kataku, teringat Fred, James dan Louis. "Tapi ada juga yang manis," teringat Rose dan Al.

"Kau tampaknya sangat menyayangi mereka," katanya.

"Benar, aku sangat menyayangi mereka semua," kataku tersenyum.

Seseorang menyentuh pundakku, aku berbalik dan melihat Lucy mengisyaratkan bahwa kami harus pulang sekarang.

"Oh, aku harus segera pergi," kataku, lalu berdiri.

Spikey tampak kaget.

"Kau mau pergi?" dia bertanya tampak sangat sedih. "Nanti aku sama siapa?"

Helo! Memangnya aku ini ibunya, jadi harus menemaninya sepanjang malam?

Aku sudah ingin menjawab dengan tajam, ketika dia berkata,

"Maaf, maafkan aku..." katanya. "Aku sangat senang punya teman ngobrol dan aku belum pernah punya teman yang mau mendengarkan aku seumur hidupku dan aku―"

"Tidak apa-apa," kataku, tersenyum otomatis. "Aku datang ke sini setiap Kamis, Jumat dan Sabtu... kau bisa menemuiku di hari-hari itu."

"Oh, kau tidak marah padaku, terima kasih..." katanya, meraih tanganku dan menggenggamnya. "Terima kasih..."

"Oke, oke," kataku, menepuk punggungnya dengan gaya sahabat lama.

Dia kemudian melepaskan tanganku dan aku mengucapkan selamat tinggal.


Tanggal: Sama

Lokasi: Shrieking Shack

Waktu: 1.09 – 1.15 am

"Siapa laki-laki tadi?" tanya Lucy, saat kami sudah melepaskan penyamaran kami dan minum ramuan anti-hangover sambil duduk di sofa butut.

"Entah siapa, namanya Spikey," jawabku.

Lucy meneguk ramuannya sekejap, kemudian memandangku,

"Ingat, Dom," katanya. "Jangan terlibat dengan siapa pun karena yang akan sedih pada akhirnya adalah kau sendiri. Saat-saat di sana―di Hog's Head, hanyalah sebuah mimpi. Semua orang tinggal di balik topeng dan semua berakting. Tidak ada yang nyata, semua adalah imitasi, kau mengertikan?"

"Aku mengerti," jawabku singkat.

Kami terdiam sangat lama, menyesap ramuan.

"Omong-omong, apa yang kau lakukan, Lucy, apakah kau sudah ingin memberitahuku sekarang?"

"Aku kan sudah pernah mengatakan padamu bahwa aku tidak akan memberitahumu," kata Lucy, keras kepala.

"Oke, aku tidak akan bertanya lagi," jawabku, meneguk habis ramuanku dan memasukkan barang-barangku dalam tas.

Lucy juga melakukan hal yang sama, dan kami kembali ke Hogwarts.


Dear Diary,

Sampai sekarang, aku tidak tahu apa yang Lucy lakukan. Dia selalu menghilang setiap kali kami tiba di Hog's Head. Dan, aku tidak berniat menguntitnya, karena aku tahu Lucy akan marah-marah, dan tidak akan berteman denganku lagi selamanya kalau dia tahu aku menguntitnya.

Spikey selalu ada saat aku tiba ke Hog's Head. Sejak ada dia, aku tidak pernah lagi berbicara dengan pengunjung-pengunjung lain, selain dia. Dia bercerita tentang apa saja yang dilakukannya, ayahnya yang terkenal, ibunya yang sangat menyayanginya dan dua orang adik laki-lakinya yang selalu bersemangat. Dia merindukan mereka semua karena mereka berada di negera yang jauh. Dia tidak pernah mengatakan padaku negera aku, jadi aku menyimpulkan bahwa dia mungkin bukan orang Inggris. Meskipun dia sangat pandai menirukan logat orang Inggris.

Dia juga bercerita tentang proyeknya yang terhambat karena kekurangan dana, pertengkaran dengan teman-teman sekerjanya dan banyak hal yang membuatnya merasa sangat bosan dengan kehidupannya.

"Tapi aku tidak bosan datang ke sini karena aku selalu ingin bertemu denganmu. Kau juga ingin bertemu denganku, kan?" katanya, selalu dengan tatapan mata anak anjing yang penuh harap, sehingga aku tidak bisa menolaknya.

Oke, dan aku juga senang bersamanya.

Meskipun aku tidak tahu nama aslinya, aku tidak tahu proyek yang dilakukannya, aku tidak mengenal teman-teman sekerjanya, namun aku tidak keberatan; aku tidak keberatan dengan gaya bicaranya yang seperti profesor, aku tidak keberatan dengan ceritanya tentang rumus Arithmancy dan Alkimia, aku juga tidak keberatan jika dia memperbaiki apa pun kesalahanku dalam berbahasa. Aku selalu senang mendengar ceritanya, aku selalu senang saat dia menatapku dengan mata anak anjing-nya, aku selalu senang menepuk punggungnya dan memberinya kata-kata penghiburan saat dia sedang frustrasi dengan pekerjaannya.

Aku, Lovey, 25 tahun, tidak keberatan dengan apa pun yang dikatakan atau dilakukan Spikey. Aku tidak tahu di mana Dominique Weasley saat itu, tapi Lovey merasa sangat bahagia.

Sincerely,

Lovey

Wanita 25 tahun, yang berbahagia


Tanggal: Sabtu, 3 Maret 2019

Lokasi: Hog's Head

Waktu: 11 pm – 1 am

"Lovey!" dia setengah berlari menghampiriku dan tampak sangat bahagia.

Aku turun dari kursi bar dan berdiri untuk menyambutnya, tampaknya dia mengharapkan pelukan karena sedang bahagia akan sesuatu. Begitulah yang selalu terjadi di dalam keluargaku, kami selalu berpelukan kalau sedang bahagia atau pun sedang sedih.

Tetapi dia tidak hanya memeluk, dia menciumku di depan semua orang. Ciuman yang panjang dan lama. Ciuman pertama-ku, dan aku tidak bisa menolak karena tampaknya dia sangat bahagia dan ingin membagikan kebahagiannya denganku. Setelah beberapa lama, dia melepaskanku.

"Kami berhasil?!" Dia menjerit masih dengan ekspresi yang sangat bahagia.

Aku ingin bertanya apa yang berhasil, tapi tidak jadi karena sebuah tinju tiba-tiba melayang dan menghantamnya, mungkin telah mematahkan giginya karena darah mengalir dari sudut bibirnya. Dia terjatuh di lantai seperti karung kentang, dan Lucy dengan gayanya yang seperti James kalau sedang marah, mendekatinya dan meninjunya lagi.

Orang-orang di sekitar kami mulai berteriak untuk menyemangati Lucy, sementara Stanley membuang muka dan melanjutkan kegiatannya, menuang minuman di dalam gelas. Dia tampaknya tidak peduli, meskipun ada penyihir hitam yang sedang menodongkan tongkat sihir padanya.

"HENTIKAN!" jeritku, mengatasi teriakan 'Pukul dia!' dan 'Ayo... ayo, bangun!'

Aku menyambar lengan Lucy, menariknya menjauh dari Spikey dan membawanya ke ruang belakang. Sebuah ruangan―campuran antara ruang keluarga dan gudang―yang suram, yang mungkin tidak pernah dipakai sejak bangunan ini dibangun. Langit-langit yang rendah penuh dengan sarang laba-laba, lantai berdebu dan kotor, tidak pernah disapu. Sebuah meja kuno dengan pernis terkelupas dan sofa kotor robek-robek terletak di tengah ruangan. Di belakangnya, tampak dos-dos berjamur dan usang bertumpuk tinggi sampai ke langit-langit ruangan dan dari sudut-sudut gelap di pojok ruangan terdengar bunyi tikus.

Aku mendorong Lucy masuk dan membanting pintu menutup, meninggalkan kami dalam keadaan remang-remang.

"Apa yang kau lakukan?" gertakku pada Lucy.

Lucy yang masih tampak marah; wajah memerah sampai ke lehernya, menatapku dengan tidak percaya.

"Kau tanya apa yang aku lakukan?" tanya Lucy. "Aku membela sepupuku."

"Kau membuat masalah, tahu," kataku sebal.

"Dom, si brengsek itu menciummu... dia menciummu di depan semua orang, dan kau bertanya apa yang aku lakukan?"

"Aku senang dia menciumku, oke?"

"Kau senang dia menciummu?" ulang Lucy tak percaya. "Kau sudah gila? Kau bahkan tidak tahu siapa dia."

"Benar," kataku. "Aku memang tidak tahu siapa dia, dan dia tidak tahu siapa aku, tapi dia tetap ingin menciumku."

"Itu karena dia cowok," gertak Lucy. "Semua cowok akan mencari kesempatan untuk mencium seorang gadis, walaupun gadis itu tidak dikenalnya."

"Dia tidak begitu," kataku membela Spikey. "Dia menciumku karena diriku."

"Karena dirimu?" tanya Lucy, alisnya terangkat tinggi. "Karena dirimu yang mana? Dominique Weasley, 16 tahun atau Lovey, 25 tahun?"

Aku berbalik membelakanginya, menatap sofa butut yang rasanya semakin butut dalam setiap detik.

Kami terdiam selama beberapa saat.

"Maafkan aku," kata Lucy, berjalan ke sofa itu dan mengenyakkan diri di atasnya.

"Kau memang seharusnya tidak meninjunya," kataku, duduk di sampingnya.

"Aku bukan minta maaf karena itu," kata Lucy tampak jengkel. "Aku senang meninjunya dan aku akan meninjunya lagi kalau kau tidak menghalangiku... aku minta maaf untuk kata-kataku yang terakhir tadi."

"Sudahlah," kataku.

"Tidak, aku memang harus minta maaf, aku tidak seharusnya mengatakan hal itu padamu dan―"

"Lucy, aku tidak apa-apa," kataku tegas. "Aku tidak apa-apa."

Kami terdiam.

"Kau menyukainya?" tanya Lucy.

"Aku menyukainya, aku senang mendengar semua ceritanya dan aku suka menemaninya," jawabku jujur.

"Yeah, kalau sudah begitu aku tidak bisa berbuat apa-apa, kan?" kata Lucy, berdiri, lalu menghadapiku. "Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak terlibat dengan satu orang tertentu karena akan berbahaya bagi perasaanmu sendiri."

"Aku tahu..." kataku, tapi aku tidak bisa mundur lagi, aku menyukai ciuman itu.

Benar, ciuman itu adalah ciuman yang sempurna. Ciuman pertama dengan seorang yang tidak kukenal, apa yang bisa kuceritakan pada anak-anakku nanti?

Lucy masih memandangiku dengan tidak puas.

"Kau tidak boleh jatuh cinta padanya, Dom―aku tidak ingin kau sedih," kata Lucy.

"Aku harus pergi," kataku teringat Spikey. "Aku harus melihat apakah Spikey baik-baik saja."

Tanpa menghiraukan Lucy yang masih ingin bicara, aku segera kembali ke bar dan melihat Spikey sedang mencoba menyembuhkan dirinya sendiri dengan tongkat sihirnya, tapi tidak berhasil. Darah masih saja mengalir di sudut bibirnya.

Aku segera duduk di sampingnya.

"Jangan pedulikan aku!" katanya, mengalihkan pandangannya dariku.

Tanpa berkata apa-apa, aku meraih lenganya dan memaksanya menghadapiku. Aku bisa melihat topengnya yang miring, wajahnya yang kebiruan dan darah yang menetes di sudut bibirnya.

Aku mengulurkan tangan untuk melepaskan topengnya, namun dia menghentikanku.

"Tidak boleh," katanya, menghentikanku, tangannya di lenganku.

"Oke," kataku, melepaskan lenganku dari tangannya untuk mengambil tongkat sihir.

Asap kebiruan keluar saat aku menutulkan tongkat sihir di wajahnya, sehingga memarnya hilang dalam beberapa detik.

"Episkey!" gumamku di mulutnya dan berharap, giginya bisa menyatu kembali.

"Coba buka mulutmu!" perintahku.

Dia membuka mulutnya dan aku memeriksa giginya.

"Sudah normal lagi," kataku, menepuk pipinya dan tersenyum

"Kau seharusnya tidak usah melakukan itu," katanya, melepaskan tanganku dari pipinya.

"Jadi, kau ingin sepanjang malam berwajah kebiruan dan berdarah?" tanyaku, menyimpan tongkat sihir dalam tas.

"Tidak..." katanya, tampak marah. "Kau tidak perlu baik padaku kalau kau sudah punya pacar."

Aku tertawa.

"Aku pernah dipukul seseorang karena dikira merebut pacar orang," katanya, masih tampak marah.

"Dia itu perempuan... dia sepupuku," kataku, menerangkan.

"Apa?" dia memandangku sekarang. "Dia―dia perempuan? Apakah kau tidak sedang menipuku?"

"Buat apa aku menipumu? Dia memang perempuan," kataku. "Yeah, kami―keluarga kami memang seperti itu, saling melindungi satu sama lain."

"Oh... tinjunya keras juga," katanya, menyentuh rahangnya lagi.

"Apakah kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir, meraih dagunya untuk memeriksa wajahnya di bawah lampu.

"Aku baik-baik saja," katanya, menyingkirkan tanganku, kemudian memandang botol-botol Wiski di lemari rak di depannya.

"Oh ya, tadi kau mengatakan bahwa kalian berhasil," kataku ceria. "Kau bisa bercerita padaku apa yang terjadi?"

"Tidak perlu, terima kasih," katanya, masih memandang rak minuman.

Lho, kok jadi dia yang ngambek! Harusnya aku dong, itu kan ciuman pertamaku dan dengan orang yang tak dikenal!

"Baiklah, kalau kau ingin sendiri, aku akan pergi," kataku, hendak meninggalkannya.

Dia menahanku tetap di tempat, dengan mencengkram lenganku.

"Jangan pergi," katanya, tidak memandangku, tapi memandang rak minuman.

"Oke," kataku, tetap di tempat.

Cukup lama tidak tidak ada yang bicara. Hanya terdengar suara-suara orang yang bicara di pojok ruangan dan suara musik sumbang di stereo, yang tampaknya adalah lagu Sekuali Penuh Cinta yang Panas dan Pekat.

Aku tertawa, dia memandangku.

"Maaf, tapi lagu itu―" aku tertawa lagi. "Mom tidak suka mendengar lagu itu, tapi dia selalu menyanyikan lagu itu dengan keras di kamar mandi, membuat kami―"

Aku tidak jadi melanjutkan kata-kataku karena sekarang dia sedang menciumku lagi. Kami berciuman lagi, tapi ciuman kali ini bukan karena dia ingin berbagi kebahagian denganku, tapi karena dia memang ingin menciumku.

Setelah waktu yang cukup lama atau malah beberapa hari yang indah, dia melepaskanku, kemudian memandang berkeliling.

"Ada apa?" tanyaku heran.

"Tidak ada yang memukulku lagi, kan?" dia bertanya.

"Tidak ada," kataku, tersenyum. "Aku sudah bicara dengan Lu―maksudku, aku sudah bicara dengan sepupuku dan dia mengerti."

"Baguslah," dia tersenyum.

"Nah, sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi? Apa yang membuatmu sangat bahagia?"

"Kami― tempat penelitian―er, maksudku proyek kami yang terbaru ini mendapat bantuan dari Draco Malfoy―kau tahu dia, pemilik The Malfoys Corporation?"

"Ya," kataku, berusaha untuk ceria dan tidak akan bilang padanya bahwa Uncle Ron sangat membenci Draco Malfoy, dan hal yang sama juga terjadi pada Grandpa terhadap Lucius Malfoy. Aku sudah sering sekali mendengar tentang pertengkaran Grandpa dan Lucius Malfoy di Flourish and Blott tahun 1992. Juga tentang Draco Malfoy yang selalu memanggil Uncle Ron dengan Weasel King dan memanggil Aunt Hermione dengan Darah-Lumpur, sepanjang tahun mereka di Hogwarts.

"Er, Lovey, kau mendengarku?" tanya Spikey, memandangku dengan tanya.

"Yeah, tentu saja," kataku tersenyum. "Kau sedang bercerita tentang The Malfoys Corporation."

"Yeah, jadi Mr Malfoy membeli semua saham di tempat peneli―er, di tempat kerjaku dan berniat menjadi donator tetap. Kau tahu artinya?" dia bertanya.

"Tidak..." kataku, berusaha untuk terlihat tertarik.

"Kami akan bisa melajutkan proyek RRHE 1 dan aku bisa mengajakmu ke bulan," katanya dengan kebahagian yang tidak disembunyikan.

"Oh bagus sekali!" kataku berusaha tampak bahagia, meskipun aku tidak tahu dengan pasti apakah ini adalah khayalannya dan dia sedang berimajinasi atau memang proyek RRSH 1 ini bisa membawaku ke bulan.

"Kau mau menemaniku ke bulan, kan?" tanya Spikey tak yakin.

"Aku mau menemanimu ke mana saja," kataku, kalau dia memang ingin aku membantunya berkhayal, aku bersedia. Daya imaginasiku juga tinggi, malahan daya imaginasiku bisa sampai ke Uranus tanpa melalui proyek RRSH 1.

"Kau tidak percaya padaku," katanya, setelah melihat ekspresi wajahku.

"Tentu saja aku percaya padamu," kataku, menampilkan ekspresi meyakinkan. "Aku berharap proyek RRSH 1 ini―"

"RRHE 1."

"Yeah itu, proyek RRHE 1 ini bisa berhasil baik dan kita bisa ke bulan," kataku ceria.

Dia lalu tersenyum ceria dan melanjutkan cerita tentang proyek RRHE 1, sedangkan aku bertanya dalam hati apa yang terjadi kalau suatu saat nanti dia menyadari bahwa semua yang dikatakannya padaku hanyalah imaginasi.

Benar yang dikatakan Lucy, kunjungan ke Hog's Head setiap Kamis, Jumat dan Sabtu ini tidak nyata. Semua ini hanyalah mimpi, imitasi, tiruan, panggung sandiwara dan imaginasi, seperti imaginasi Spikey tentang proyek RRHE yang bisa ke bulan. Juga topeng, topeng untuk menutupi realita yang sebenarnya. Aku tidak tahu ada apa saja yang terjadi di balik topeng itu. Namun, dari semua hal yang tidak nyata itu, aku menyadari bahwa ciuman itu nyata. Itu adalah satu-satunya hal nyata yang kualami di tempat ini. Baik, Dominique Weasley, maupun Lovey, sangat menyukai ciuman itu.


Dear Diary,

Setelah ciuman yang menyenangkan itu. Kami berciuman lagi, dan terus berciuman setiap kali bertemu, dan akhirnya aku tidur dengannya di suatu malam yang menyedihkan saat dia tidak bisa kembali ke negaranya untuk pemakaman kakeknya.

Kantornya tidak mengijinkannya pergi karena proyek RRHE 1, yang penting itu sedang membutuhkan dirinya. Aku tidak tahu apakah imaginasinya telah semakin parah, namun aku menemaninya juga malam itu. Aku pulang subuh, dan Lucy tidak bicara denganku selama seminggu sejak kejadian itu.

"Jadi, kau sudah tahu siapa dia?" tanya Lucy waktu itu.

"Aku sudah mengenalnya," kataku.

"Kau tidak mengerti maksudku," kata Lucy. "Aku bertanya tentang wajahnya, rupanya, Dom... kau sudah melihat wajah, jadi tentunya, dia sudah memberitahumu nama aslinya?"

"Er"

"KAU BELUM TAHU, SIAPA DIA? Kau tidur dengannya, tapi kau tidak bertanya dia siapa?"

"Er― dia tidak membuka topengnya dan aku juga tidak."

Lucy memandangku seakan ingin mengguncangku karena kebodohanku.

"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Aku tetap akan menemuinya," kataku.

"Terserah, dan jangan panggil aku kalau kau menangis nantinya," kata Lucy, menjauh pergi dan mendiamkan aku selama seminggu.

Diary, kau pasti berpikir bahwa aku adalah gadis bodoh dan bisa jadi memang seperti itu, tapi malam itu aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.

Aku mencintainya dan tidak peduli pada imaginasinya tentang proyek RRHE 1 yang tidak nyata itu, tidak peduli apakah kakeknya benar-benar meninggal atau cuma kebohongannya saja untuk mendapatkanku, dan aku juga tidak peduli bahwa kalau ternyata dia adalah penyihir hitam yang dicari-cari kantor Auror atau bahkan pembunuh bayaran yang sedang menyamar.

Aku tidak peduli karena Dominique Weasley, maupun Lovey, jatuh cinta padanya.

Sincerely

Dominique Weasley/Lovey

Gadis yang sedang jatuh cinta.


Review Please, see you in KNG 3: DI Balik Topeng ch 2

Riwa Rambu :D