Author : Yuri Masochist or Han Youngra
Title : SAW (New Version) (Sebenernya di blog aku ada yang original version, maksud aku itu versi lama, jadi bahasanya masih berantakan, kalau yang ini aku udah perbaiki bahasanya *walaupun tetep jelek)
Cast : Miss A
Genre : Horror
Rated : T maybe? Salah ya?
Type : Hehe FF-nya kali ini genre-nya gak yuri! TAPI KAGAK STRAIGHT! Genrenya netral, gak ada romancenya
Length : One Shot
Summary : Suzy pulang ke rumah bersama dengan jiwa lain (?)
Disclaimer : Semua cast milik Tuhan! Kecuali cerita punya saya
Warning : TYPO! ABAL! ALUR KECEPETAN! OOC! Ada pembunuhan (dikit sih, kagak sadis)
A/n : Ini FF SAW yang Miss A tapi New Version. Aku buat ini soalnya di SAW yang Original Version (?) bahasanya berantakan (walaupun yang ini juga gak jauh beda berantakannya)
Thank's untuk yang menyempatkan dirinya untuk membaca FF ini *blowkiss
.
.
.
"Ini kembaliannya." ucap pegawai kasir di dalam mini market—yang aku datangi—seraya memberikan beberapa jumlah uang dan secarik kertas bon kepadaku. Aku bergegas meraih kantung belanjaanku dan keluar dari minimarket itu. Aku tak peduli kepada pegawai kasir yang melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin karena mimikku—yang tak biasanya—dingin seperti ini.
Namaku Bae Sujie. Tetapi aku lebih senang jika di panggil Suzy. Aku hanyalah seorang siswi kelas 2 SMU biasa. Aku tinggal di rumah susun kecil bersama ketiga sahabatku; Fei, Jia dan Min. Aku bukan kalangan orang popular di sekolah. Mungkin gara-gara sifat dinginku yang enggan untuk bersosialisasi dengan yang lain. Hanya mereka bertiga yang menganggapku sebagai teman. Yang menganggapku ada. Aku menyayangi mereka seperti menyanyangi saudara sendiri. Mereka bertiga sudah kuanggap sebagai kakakku. Dan aku tak ingin untuk kehilangan mereka.
Tetapi, di malam itu, aku mendapatkan sesuatu yang mengubah hidupku secara singkat.
Aku berjalan dalam kegiatan pulang ke tempat tinggalku. Sebenarnya aku memiliki perasaan tak enak sejak tadi pagi. Namun kuacuhkan saja. Bukankah hidupku memang sudah tak enak? Cih, hidupku memang membosankan.
Ckitt!
BRAAKK!
Mataku membulat segera. Antara rasa kaget dan tak percaya. Hampir kujatuhkan semua kantung belanjaan yang ada dalam genggamanku. Di jalanan yang lumayan sepi itu, seorang gadis tertabrak sebuah truk yang melaju dengan sangat kencang di tengah jalan. Dan tubuhnya melayang ke udara dalam beberapa detik, kemudian tubuh itu terlempar ke trotoar, tepatnya jatuh tepat di hadapanku. Ia memuncratkan darah dari dalam mulutnya, menodai kakiku—yang tak terhalang apapun karena memakain rok pendek. Matanya melotot—serasa ingin keluar—dan tubuhku menegang kaget bahkan takut. Dia menatap tajam kearahku—di tengah tubuhnya yang sudah luka di beberapa bagian—bahkan dengan kepala yang bocor—dia melotot. Tubuhnya hanya berjarak sekitar lima senti dari ujung sepatuku. Bahkan jarinya bersentuhan dengan sepatuku. Aku menahan napasku.
Waktu seakan akan berhenti. Aku tak dapat mendengarkan teriakan orang panik di sekitarku. Kubiarkan matanya menatap masuk ke dalam mataku. Dan sesuatu seakan merasuki tubuhku. Kepalaku terasa sangat berat secara tiba-tiba. Tubuhku melemas. Kemudian kurasakan tubuhku jatuh terduduk di hadapannya. Bersamaan dengan seluruh kantung belanjaanku—membuatnya berserakan di sekitar kakiku.
Dan waktu kembali berjalan.
Kudengar suara teriakan panik dari orang-orang di sekitar tempat itu. Beberapa dari mereka mulai menelpon ambulans dan polisi. Ada yang berteriak takut, kaget bahkan ada yang menatap mayat gadis itu dengan iba.
Aku mengerjapkan mataku, merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diriku.
Kemudian kurasakan tepukan lembut di pundakku. Aku berbalik dan melihat seorang namja muda bertanya padaku. "Kau tidak apa-apa noona?"
Aku hanya menggeleng lemah. Kuraih kantong belanjaanku—memasukkan beberapa makanan yang jatuh berserakan—kemudian dengan lemah aku berdiri. Namja itu berniat untuk membantuku namun aku mengibaskan tanganku pelan. Memberi tanda kepadanya bahwa aku tak apa, aku bisa sendiri. Segera setelah itu aku berjalan masuk ke dalam daerah rumah susunku—yang berada tepat di depan lokasi kecelakaan itu. Aku tidak mau menjadi saksi mata pada kasus tabrak lari.
Tempat tinggalku bersama ketiga sahabatku berada di lantai tujuh—dari duabelas lantai. Dan untuk mencapai kesana aku harus menaiki tangga yang tidak dapat dihitung sedikit. Aku berjalan pelan—dengan langkah lemah—menaiki tangga satu-per-satu. Dan semuanya berjalan seperti biasa sampai tepat di lantai tiga sekumpulan remaja yang kutahu sedang mabuk menahan langkahku. Dengan terpaksa aku berhenti disana.
"Mau kemana noona?" tanya salah seorang remaja—dari jumlah empat orang.
Dia menarik pergelangan tanganku dan mencengkramnya keras. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku berusaha untuk melepaskan cengkraman tangannya. Namun tenaga seorang gadis memang tak pernah sebanding—atau lebih kuat—dari tenaga laki-laki. Dia dengan mudahnya mendorong tubuhku terhadap dinding.
Dia melepaskan cengkramannya pada lenganku. Kedua temannya segera menahan masing-masing dari kedua tanganku—dan hal itu membuat seluruh kantung belanjaanku jatuh ke lantai. Salah seorang lainnya hanya tertawa melihatku seraya meneguk minuman keras dalam genggamannya. Sedangkan namja yang semula mencengkram lenganku tersenyum sinis, berdiri dihadapan wajahku. Tangannya mulai bergerak, mengelus pahaku dengan gerakan yang kuanggap menjijikan. Dan kemudian tangan nista itu masuk ke dalam rok-ku. Tubuhku segera meronta, berusaha untuk melepas kedua cengkraman di tanganku. Tapi apa daya, sudah kubilang tenaga gadis tak akan bisa melawan tenaga empat orang laki-laki—mabuk. Mengikuti insting, kubuang ludahku tepat di wajahnya.
"Cuih!"
Dia menatapku tajam—marah. Tangannya mengusap ludahku yang mengotori sebagian wajahnya. Dia mendorong leherku keras terhadap dinding.
"Gadis ini mau main kasar rupanya." Namja yang mencengkram tangan kiriku tertawa. Disusul dengan tawa namja yang memegang botol minuman keras.
Dan aku tahu apa yang akan aku dapatkan setelah ini.
BUAGH!
Aku mendapatkan satu pukulan keras di rahangku. Rasanya sangat perih—panas. Membuat kepalaku terbentur dinding dan menghasilkan denyutan di titiknya. Sakit. Dapat kurasakan darah mulai mengalir dari ujung bibirku—yang aku yakin sobek akibat pukulan itu.
Namja yang memukulku tertawa puas. Dia mencengkram rahangku agar menatapnya. Rasanya sangat sakit ketika kulit tangannya menyentuh bekas pukulan darinya. Mau tak mau aku menatapnya. Tapi sesuatu tiba-tiba merebut pandanganku. Sesuatu mengambil alih pengelihatanku. Bukan aku yang ingin menatapnya tajam sekarang, ada sesuatu yang lain.
Ia tertawa puas bersama ketiga temannya. Tawa yang merendahkanku. Seolah-olah aku hanya mainan yang sama sekali tak boleh untuk berkutik atau melawan ketika digunakan. Bukan aku, tetapi mataku segera teralih kearah namja yang memegang tanganku di sebelah kiri. Mataku mengambil alih tatapan matanya. Dan dia terperangkap. Dia menatapku.
Dan waktu berhenti selama beberapa saat.
Setelah itu kualihkan pandanganku kearah namja yang memegang tangan kananku. Kutatap matanya tajam—seolah dapat menembus sesuatu disana.
Dan waktu kembali terdiam lagi.
Namja yang berdiri di hadapanku mendorong bahu namja yang memegang tangan kiriku. Dia merasakan perubahan pada namja itu. Karena dengan perlahan, mereka berdua—yang menahan tangan kanan dan kiriku—mulai melepaskan cengkramannya.
"YA! Pegang dia!" bentaknya. Tetapi sesuatu yang telah mengambil alih diriku telah berhasil mengendalikan kedua namja itu. Yang sudah terperangkap oleh pandanganku. Oleh mata yang aku yakin bukan mataku.
Aku mengalihkan pandanganku kearah namja yang memegang botol minuman keras. Dia benar-benar tak bisa berkutik ketika kutatap matanya dan sesuatu menembus masuk ke dalam dirinya.
Waktu kembali berhenti untuk beberapa detik.
Dan untuk yang terakhir, untuk namja yang dengan mudahnya menonjok rahangku. Kualihkan pandanganku kepadanya. Dia tergagap sebelumnya namun setelah itu dia terdiam. Seperti terbius. Dan dia mulai melepaskan tangannya dari rok-ku.
Perlahan darah berwarna hitam kental mulai mengalir dari lubang hidung mereka. Semua dari mereka. Aku menarik sudut bibirku—dan itu sama sekali bukan aku yang melakukannya.
Dan dengan gerakan cepat, sebuah guratan meran kasar mulai tampak di leher mereka. Seperti saat kau diikat oleh tali tambang. Mereka berempat berteriak keras—bahkan menjerit. Tangan mereka berusaha menggapai sesuatu—yang tak ada—di leher mereka. Yang menjerat mereka. Dan teriakan mereka sangat kesakitan. Aku yakin mereka mulai kesulitan untuk bernapas.
Aku meraih kembali kantung belanjaanku yang terjatuh di lantai—namun tak tercecer seperti sebelumnya. Segera kunaiki tangga menuju lantai berikutnya. Membiarkan mereka merintih dan menjerit kesakitan dan hingga pada detik kesekian, mereka berempat tewas di tempat.
Dan tak ada sedikitpun rasa bersalah ataupun takut pada diriku. Karena aku yakin bukan aku yang mengendalikan tubuhku sekarang. Terutama pada mataku. Yang dapat kupastikan bahwa ada jiwa lain yang menghuni tubuhku.
Kini aku sudah sampai di lantai tujuh. Tepat di depan pintu rumahku. Belum sempat kutekan kenop pintu, sudah kudengar suara gaduh dari dalam rumah. Aku menajamkan pendengaranku.
"Kenapa kau membiarkannya keluar sendirian?" dan aku sudah hapal betul bahwa itu suara Jia.
"Mana aku tahu ia pergi keluar dari rumah!" kini kudengar suara Fei yang membalasnya.
"Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi kepadanya? Ya ampun! Kau tahu 'kan bagaimana Suzy? Kau tahu sendiri 'kan penghuni rumah di lantai bawah? Kau tahu sendiri 'kan kalau sekarang sudah malam?" tanya Jia lagi dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Memang, saat aku pergi keluar tadi Jia sedang berada di atas ranjang—tertidur saat membaca majalah sepertinya. Begitu pula dengan Fei, dia tertidur dengan wajah yang beralaskan buku di meja belajar ketika sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dan yang kutahu Min sedang mandi pada saat itu. Dan mungkin saja dia masih mandi sekarang. Karena dia tak bisa menghabiskan waktu di kamar mandi secara singkat.
Dan, apakah mereka tidak mengetahui tentang kecelakaan gadis tadi? Tentang tewasnya gadis yang tertabrak dan akhirnya terlempar ke hadapan tubuhku? Bukankah kejadian itu berlangsung tepat di depan rumah susun ini? Oh mungkin gara-gara mereka tertidur. Lagipula suara televisi yang menyala begitu keras ketika aku meninggalkan rumah. Wajar saja jika mereka tak mendengar suara panik di luar sana. Mereka lebih panik karena aku keluar rumah sendiri, bukan?
"Aku akan mencari Suzy sekarang!" suara Jia lagi.
Kutekan kenop pintu—ke bawah—dan segera membuka pintu. Kedua pasang mata itu segera menatap kearahku. Mereka menatapku khawatir.
"Aku pulang." kataku kemudian.
Jia segera menghampiriku dan kemudian memelukku.
"Suzy! Astaga! Sudah kukatakan jangan keluar rumah sendiri di malam hari! Ya ampun! Kami khawatir!" dia benar-benar khawatir kepadaku. Lalu dapat kurasakan pelukannya lepas dan dia segera memegang bahuku—menatapku. "Kau tidak—y-ya ampun! Kenapa rahangmu?"
Aku hanya menggeleng pelan seraya mengusap darah di sudut bibirku.
"Ya Tuhan! Kenapa ada darah juga dikakimu?" kali ini Fei yang bertanya padaku.
Aku hanya membalas ucapan mereka dengan gelengan pelan.
Dan kali ini dia datang lagi. Bukan aku. Bukan aku yang sekarang menatap Fei dan Jia tajam. Bukan aku. Tapi 'sesuatu' itu. Dia sepertinya tak suka kepada Jia dan Fei. Dan aku sama sekali tak dapat mengendalikan tubuhku.
Aku benar-benar tak bisa menghentikannya. Aku tidak dapat mengendalikan diriku kembali. Dan mata yang bukan milikku itu menatap Jia dan Fei tajam. Menembus pandangan mereka.
Dan waktu lagi-lagi berhenti kembali. Dapat kupastikan dari jam dinding di dekat rak buku yang berhenti berjalan. Dan mereka diam. Membatu. Seolah-olah 'mataku' berhasil untuk mengambil alih mereka.
Aku—bukan aku—menyeringai. Dapat kulihat darah hitam kental mulai mengalir dari kedua lubang hidung mereka.
Kuedarkan pandanganku kearah pisau yang terletak di meja—di depan televisi—yang tertancap pada sebuah apel di piring. Lalu pandanganku beralih kearah penggaris alumunium di meja belajar. Dan bukan aku yang menginginkan semuanya.
Dengan gerakan kaku, Jia menarik pisau yang tertancap pada apel itu—hingga terlepas—dan kemudian menggenggamnya. Dan Fei mulai berjalan, meraih penggaris alumunium 20 senti di atas meja itu. Dan dengan perintah dari tatapan mataku, mereka mulai melakukan hal yang tak mau aku lihat.
Jia menjulurkan lidahnya keluar, memegangnya dan kemudian mendekatkan sisi tajam pisau itu kearahnya. Dengan sekali gerakan, dia memotong lidahnya sendiri. Dapat kudengar suara menjijikan dari terbelahnya lidah yang kini terjatuh di lantai bersama dengan darah yang mengalir deras. Jia sama sekali tak menjerit kesakitan. Dia benar-benar telah di kendalikan. Dan dengan sekali dorongan, dia memasukan pisau itu ke dalam mulutnya—hingga menembus dan keluar dari tengkuknya. Bibirnya sobek akibat pisau itu. Dan Jia segera terjatuh di lantai. Dapat kulihat, sebelum Jia jatuh, setetes cairan bening turun dari sudut matanya.
Dan kutatap Fei kemudian. Dia mendekatkan ujung penggaris alumunium itu ke mata kirinya. Dan aku benar-benar tak ingin melihat semuanya. Bukan aku yang menginginkannya. Bukan aku. Fei menusukkan penggaris itu ke dalam matanya, berusaha mencongkel—memotong semua urat, dan bolamata itu jatuh pada akhirnya di lantai. Menggelinding hingga ke dekat kakiku. Dengan gerakan yang sama sekali bukan kehendakku, kuinjak bolamata itu hingga menghasilkan suara menjijikan yang sama sekali tak ingin kudengar.
Kutinggalkan Fei yang mulai kehabisan darah secara perlahan. Dengan langkah yang benar-benar tak bisa kutahan, aku berjalan kearah kamar mandi. Aku tahu, jiwa lain yang berada di tubuhku mengingikan Min sekarang. Menginginkan jiwa Min sekarang.
Kuraih kenop pintu kamar mandi dengan perlahan. Dan pintu terbuka. Dapan kulihat dia sedang merendam tubuhnya di dalam bathtub—bersama dengan air sabun yang penuh dengan busa. Dia segera berusaha untuk menutupi bagian privacy tubuhnya, tepat ketika aku menghampirinya.
"Ya! Suzy! Bisakah kau ketuk pintu dahulu? Aku sedang mandi!" teriaknya.
Aku mendekatinya—kearah bathtub. Dan mata jiwa itu menatap Min. Mengambil alih sesuatu pada diri Min. Merebutnya. Menembus dirinya.
Dan lagi-lagi waktu berhenti.
Min menatapku pada akhirnya—dengan tatapan kosong. Kedua lubang hidungnya mulai mengeluarkan cairan kental. Dia sudah tak bisa mengendalikan miliknya, dia sudah direbut oleh jiwa itu. Dengan gerakan perlahan, Min menarik shower yang berada di belakang tubuhnya—yang tergantung di atas bathtub. Masih dengan mata yang menatapku, dia melilitkan tali shower—yang terbuat dari alumunium—tersebut ke lehernya. Dengan gerakan memutar. Semakin memutar lilitan yang itu semakin mengencang. Dia mengeluarkan air mata, tetapi tak bisa berteriak, menjerit ataupun meminta pertolongan. Dia ada di bawah kendali jiwa lain di tubuhku. Dan beberapa detik setelah itu, dia mati tercekik di dalam bathtub. Kehilangan napasnya.
Aku tertawa. Merasakan kepuasan di dalam jiwaku.
Aku berjalan keluar dari kamar mandi. Melewati ruang tengah dimana tubuh Jia dan Fei sudah tewas mengenaskan di lantai. Kulangkahkan kakiku kearah jendela—disamping rak buku. Kubuka jendela dari kayu itu dan dapat kulihat para polisi dan ambulans sudah datang di bawah sana. Mereka mulai untuk mengevakuasi korban dan bertanya pada saksi mata. Kulihat mayat gadis itu belum di pindahkan dari tempatnya terlempar, hanya dikelilingi oleh garis polisi.
Srett
Entah hanya halusinasi atau aku memang benar, gadis itu melirik keatas—tepat ke dalam mataku. Dari kejauhan aku bisa melihatnya dengan jelas. Dia benar-benar menatapku tajam dan menembus sesuatu.
Otakku tak dapat mencerna semua yang kulihat. Bukankah gadis itu sudah mati? Bukankah dia sudah mati ketika tubuhnya terlempar tepat di hadapanku? Namun aku benar-benar tak salah lihat, dia memang menatapku tajam.
Dan jam dinding kembali berhenti berdetak. Waktu berhenti kembali.
Tiba-tiba kurasakan darah mengalir keluar dari dalam hidungku. Cairan kental berwarna hitam itu. Darah ini... berwarna hitam. Dan dapat kulihat dia tersenyum sinis kearahku. Dia benar-benar mengerikan.
Tanpa bisa kukendalikan, aku mulai naik ke atas jendela. Aku membalas senyuman itu. Benar. Bukan aku yang mengendalikan tubuhku. Bukan aku yang menginginkan tubuhku jatuh keluar—ke arah trotoar—dan menghempas semen dengan sangat keras.
Mianhae untuk semuanya, bukan aku yang menginginkan jiwa kalian.
.::.
Mind to RnR? :3
Maaf ya kalau alurnya kecepetan~
Tunggu kehadiran (?) SAW II
