Awake
©2016

.

.

One-shot / T / Romance, school-life, fluffy / typo(s)

.

Jungkook bangun dari tidurnya. Merasa begitu lega ketika ia masih jadi bocah SMA yang keras kepala. Kookmin/Jikook. Seme!Jeon Jungkook. uke!Park Jimin.

.


Story

Pagi ini Jungkook bangun dengan kepala yang berdenyut nyeri, lebih sakit dari biasanya. Ya, Jeon Jungkook atau dikenal banyak orang sebagai Jungkook adalah anak seorang pegawai Negara. Hidupnya sudah terjamin sejak kecil; selalu lebih dan tidak kekurangan.

Lagi-lagi kepalanya berdenyut lebih keras—apalagi ketika ia menemukan sepucuk surat undangan acara reuni SMA di atas meja nakasnya—menyebabkan Jungkook harus memukul kepalanya sendiri untuk meredakan rasa nyeri.

Oh, god. Tugas kuliahnya saja sudah menyebabkan Jungkook pusing tujuh keliling. Harusnya ia punya hak untuk tidak datang, mengingat pesta itu mengharuskan sang undangan untuk membawa pasangan. Harusnya begitu. Tetapi, sahabat karibnya, Kim Taehyung, bersikeras untuk mengajaknya datang bersama. Well, Taehyung sendiri tidak punya pasangan untung datang dan Taehyung sahabatnya. Jungkook tidak enak hati untuk menolak, bung.

Mari kita skip saja bagian Jungkook yang stres menghadapi Taehyung. Toh kini setelah berada di pesta, dan ia tidak benar-benar merasa kecewa.

Pesta diadakan para lulusan di sebuah hotel daerah Gangnam, kawasan para orang elite. Begitu mewah dan elegan dengan lampu-lampu kristal yang menggantung apik dilangit-lait hall hotel. Lain kali, Jungkook yang akan membiayai pesta macam ini.

Beberapa teman sekelasnya menyapanya dengan tatapan memuja, apalagi para wanita yang menatapnya dari kejauhan sambil berbisik-bisik. Sungguh, Jungkook sangat mempesona malam ini. Jas formal yang digunakannya tampak pas ditubuh proporsionalnya, wajahnya begitu tampan dengan jawline yang begitu seksi. Tapi matanya tidak pernah melirik wanita-wanita itu.

Omong-omong, Taehyung sudah meninggalkannya dari tadi dan berdansa dengan Soojung, mantan pacarnya waktu SMA. Shit, Jungkook jadi membayangkan jika ia berdansa dengan mantan pacarnya. Oh tidak, membayangkannya saja sudah membuat Jungkook merinding.

Namanya Park Jimin. Memakai kacamata. Penikmat buku-buku tebal, tapi mengikuti klub menari. Pipinya tembam. Pendiam. Tidak asyik. Dan, seorang laki-laki.

Jungkook sih tidak masalah pacaran dengan Jimin. Lagian, Jimin juga hanya minta jadi pacarnya walau kadang-kadang menuntut lebih sampai Jungkook kesal dan membentaknya. Bagi Jimin, status 'berpacaran' dengan Jungkook saja sudah bersyukur.

Sudahlah, lupakan saja. Mantan pacarnya waktu SMA itu tidak ada bagus-bagusnya. Lebih baik menemukan seorang yang menarik dan mengajaknya berdansa. Contohnya pemuda manis dengan rambut merah dan piercing di kedua telinganya yang berjarak sepuluh meter darinya. Oh, jangan lupakan matanya yang berbentuk sabit itu saat tertawa ataupun tersenyum.

Sejak sepuluh menit lalu, Jungkook tidak bisa mengalihkan pandang dari pemuda tak dikenal itu. Pemuda itu berhasil menghantarkan getaran kecil dalam dadanya. Ketika pemuda itu pergi menjauh dan keluar menuju balkon hotel. Jungkook meraih dua gelas wine dan mengikuti arah pemuda manis tersebut pergi.

:

"Hai." Sapa Jungkook

Pemuda manis tersebut berjengit kaget sebelum tersenyum kikuk,"Oh—Hai."

"Mau segelas wine?"

Pemuda tersebut mengangguk. Meraih segelas wine yang diacungkan Jungkook.

Jungkook bukan tipe yang terburu-buru ketika tertarik akan seseorang—biasanya, tapi pemuda ini berhasil membolak balikkan dunianya. Rasa penasaran Jungkook terus tumbuh lebih besar dan tidak dapat dibendung lagi.

"Aku Jungkook."

Pemuda itu mengangguk lagi sambil tersenyum tipis.

Jungkook mendengus lelah. Pemuda di hadapannya ini benar-benar pasif,"Kau tidak menyebutkan namamu, manis?"

Pemuda yang Jungkook klaim manis tersebut memang sangat manis. Jungkook rasa bisa kena diabetes kalau lama-lama didekatnya.

"Aku—

.

.

—Jimin, Kook."

Ada jeda selama sepuluh detik yang cukup bagi Jungkook untuk memutar seluruh kenangan masa SMAnya saat berpacaran bersama Jimin. Berkelebat begitu cepat dan abu-abu. Dan sebagian besar dari kenangan Jungkook bersama Jimin adalah kenangan buruk. Bukan buruk dalam arti yang menyeluruh dalam ceritanya, tapi perlakuan Jungkook pada Jimin yang tidak berperikemanusiaan.

Jungkook sering mendorong Jimin menjauh saat pemuda itu bersamanya, menolak kotak makan yang Jimin buatkan untuknya, membentak Jimin (walaupun Jimin tidak melakukan kesalahan apapun), dan masih banyak lagi. Jungkook tidak kuat untuk mengingatnya.

Jungkook sadar dari lamunannya ketika Jimin kembali bersuara.

"Kau bisa pergi jika merasa kecewa." Suaranya terdengar bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Ti-tidak. Aku hanya menyesal tentang berlaku tidak baik padamu. Kau pasti membenciku—"

Jimin menarik kedua sudut bibirnya naik, menciptakan sebuah senyum yang indah,"Harusnya begitu, tapi tidak bisa. Kau sudah baik sekali menerimaku jadi pacarmu. Yah, walaupun aku terlalu memaksa dan mengharapkan lebih. Tapi kupikir, itu sudah tidak berguna lagi sekarang."

"Kita sekarang sudah dewasa. Dan masa SMA hanyalah kenangan pahit yang menyenangkan. Aku mencoba untuk tidak melupakannya, walau kadang-kadang merasa bodoh sendiri."

"Aku membayangkan, bagaimana sikap kalian saat bertemu lagi denganku. Akankah kalian mendiamkanku seperti dulu, menganggapku tidak ada, atau mungkin membullyku lagi!? Tapi aku senang, kau berdiri disini, menyapaku dan mengajakku berkenalan seolah kita baru pertama bertemu. Senang mengenalmu kembali, Kook."

"—Jimin." Ingin sekali Jungkook mengutarakan rasa bersalahnya, tapi semua tertahan di kerongkongannya dan kata-kata bodohlah yang keluar,"Well, kau datang dengan siapa malam ini?"

Jimin mengerutkan keningnya, namun tetap menjawab,"Yoongi hyung. Min Yoongi. Kau pasti ingat sunbae yang menyiram air got padaku saat masih jadi anak baru di tengah lapangan."

Jungkook meringis kecil. Lucu saja mendengarnya. Min Yoongi yang dulunya koar-koar tentang ketidak sukaannya pada Jimin, sekarang malah datang ke pesta bersama Jimin. Lalu, apa jadinya Jungkook sekarang padahal dia pacaran dengan Jimin, dulu.

"Jadi apa hubungan kalian?" Tanya Jungkook lagi.

Jimin tersenyum lebih lebar, binary matanya menunjukkan kalau Jimin sangat bahagia sekarang,"Kami bertunangan." Jawabnya antusias.

Jungkook kosong seketika. Untuk pertama kalinya, Jungkook menyesal memutuskan Jimin yang sudah begitu baik padanya. Heol, kenapa Jungkook baru sadar sekarang? Jimin dulu hanya berusaha jadi pacar yang baik untuknya, tapi kenapa Jungkook melah menyia-nyiakan Jimin?

"Kau datang dengan siapa?" Tanya Jimin balik.

"Aku?"

Jimin mengangguk imut,"Hm."

"Sendirian."

Air muka Jimin berubah menyesal. Sungguh, Jimin tidak bermaksud untuk memojokkan Jungkook.

Jimin menepuk pundaknya pelan,"Kau pasti segera menemukannya. Kau tampan, kaya, dan baik. Tidak akan ada yang tidak tertarik denganmu—"

Semunya terjadi tiba-tiba; tanpa ancang-ancang ataupun kesadaran diri, Jungkook berujar,"Tapi yang kuinginkan hanya kau, Chim!"

Keduanya diam dalam waktu yang relatif lama. Menikmati kehadiran masing-masing untuk dikenang. Bohong jika Jimin tidak luluh mendengar kalimat spontan Jungkook. Apalagi ketika Jungkook menyebutkan nama yang Jungkook khususkan untuknya. Benteng yang Jimin bangun selama ini runtuh begitu saja.

Demi Tuhan, ia sudah menyiapkan diri untuk bertemu Jungkook, tapi persiapannya sudah tidak berguna.

"Jika aku bisa—" setitik air mata jatuh dari mata Jimin,"—aku juga menginginkanmu, kook."

Dan dalam gerakan cepat, Jimin mengecup sudut bibir Jungkook. Bertahan dalam posisi tersebut cukup lama dan melepasnya untuk menunjukkan senyum getirnya pada Jungkook,"Seminggu lagi, aku dan Yoongi hyung menikah. Datanglah. Aku akan mengirim undangan untukmu. Sampai jumpa."

Kemudian Jimin masuk kedalam, meninggalkan Jungkook. Dan semuanya gelap dimata Jungkook.

.

.

Jungkook mendengar seorang tengah menyerukan namanya lamat-lamat dan kegepalan disekitarnya berubah menjadi terang dengan cahaya putih yang menyilaukan.

"Kook!"

"Jungkook!"

"Jeon Jungkook!"

"Demi Tuhan, bangunlah!"

Dan Jungkook bangun. Disuguhi wajah seorang pemuda imut yang khawatir. Dalam posisinya, Jungkook mengamati sekitar. Semuanya masih sama. Gedung SMA dengan cat mengelupas, halaman sekolah yang sepi, langit siang beserta angin sepoi-sepoi dan Park Jimin lengkap dengan kacamata bundarnya.

"Maaf, aku hanya—"

"Diamlah," Dan Jungkook kembali memejamkan matanya,"Biarkan seperti sebentar."

Dalam diam, Jungkook menghela nafasnya lega. Menyadari bahwa semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi. Omong-omong, tidur di pangkuan Jimin bukanlah hal yang buruk.

Jimin berujar dengan pelan,"Aku melihatmu tertidur disini dan posisi tidurmu benar-benar tidak enak. Jadi aku berinisatif menggunakan pahaku untuk bantalmu."

"Ya." Jawab Jungkook singkat.

"K-kau tidak marah?"

Jungkook membuka matanya lebar-lebar, menatap datar Jimin yang ketakutan,"Untuk apa marah? Kau pacarku, kan?"

Jimin mengangguk kecil. Ada rona merah muda yang menjalar di pipi Jimin perlahan, menambah kesan imut Jimin. Sungguh, Jungkook menyesal untuk tidak menyadari seberapa imut Jimin jika malu dari dulu.

"Ya, aku pacarmu sampai kelulusan sekolah sebulan lagi."

Jungkook tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia bangkit cepat dari pangkuan Jimin dan mengulurkan tangannya dihadapan Jimin, mengajak yang lebih kecil untuk bangkit dari duduknya,"Ayo, kuantar ke kelas."

Jimin menolak uluran tangannya, lebih memilih untuk berdiri sendiri dengan kekuatannya,"Tidak perlu. Kembalilah ke kelasmu, aku bisa sendiri." Kemudian melangkah pelan kearah kelasnya.

Namun tidak berselang waktu yang lama, Jimin merasakan tangan asing menggenggam tangannya erat dan menariknya untuk berjalan lebih cepat dalam sekali sentakan. Jimin tidak bodoh untuk tahu siapa yang bersikap sok romantis seperti itu. Tentu saja dia Jeon Jungkook.

Jimin melepaskan genggaman tangan Jungkook paksa ketika sudah memasuki gedung sekolah. Jungkook pernah bilang untuk tidak dekat-dekat dengannya saat di sekolah. Jungkook memang akan sedikit menurut jika berada di rumah, mengingat mereka bertetanggaan jadi Jimin sering main. Yah, walaupun Jungkook memang selalu mendiamkannya.

Ada rasa sesak yang begitu kuat saat Jungkook melayangkan tatapan terluka padanya, seakan tidak ingin Jimin melepaskan genggaman tangannya secara paksa.

"J-jangan bersikap baik dan pukul aku sekarang, kalau itu maumu." Cicit Jimin.

Jimin merapatkan kedua kelopak matanya erat. Reaksi pertamanya ketika Jungkook mengangkat tangan kanannya. Karena setiap Jungkook mengangkat tangannya, akan selalu ada erangan kesakitan dari Jimin setelahnya. Selalu begitu.

Jimin terkesiap, semakin merapatkan matanya begitu benda basah dan kenyal menempel di sudut bibirnya lama. Kemudian saat benda itu pergi dari sudut bibirnya, suara Jungkook menginterupsi,"Aku tidak akan pernah memukulmu, lagi. Tidak akan mau membentakmu, lagi. Tidak akan membiarkanmu jauh-jauh dariku." Jimin membuka matanya perlahan,"Karena kini aku sadar, harusnya aku yang mendapatkan hal macam itu."

"Aku berlaku buruk padamu padahal yang kau inginkan adalah aku menjadi pacarmu. Aku begitu sering menyakitimu. Kau berhak marah, Chim. Kau harusnya meninggalkanku dan pergi dengan orang lain lebih baik dariku, tapi kenapa kau bertahan?"

Jungkook kembali meraih tangan Jimin yang bergetar, meletakkannya diatas dadanya,"Biarkan aku merasa bersalah setelah semua ini."

"—Kook."

"Kenapa kau terus bertahan, hah?"

"—Jungkook."

"Kenapa kau selalu memaafkanku—"

"JEON JUNGKOOK, BERHENTI!" Jimin menelan ludahnya,"Bukan salahmu, akulah yang bodoh. Aku terlalu mencintaimu dan berharap begitu besar akan balasan cintamu walaupun kau selalu diam. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri."

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring diantara pertengkaran keduanya. Sepertinya mereka melewatkan jam akhir kelas hanya untuk berduaan dalam kepura-puraan.

Jungkook menghela nafasnya,"Aku mengabulkan permohonanmu, Chim."

"Hah?"

"Aku menjawab cintamu."

"Bohong,"

Jungkook bergerak cepat, meraih tengkuk pemuda yang lebih pendek dan mendekatkan wajahnya hingga kedua belah bibir mereka bersentuhan. Jungkook memagut bibir semanis cherry itu hangat. Menyampaikan betapa besar cinta yang ia punya untuk si manis. Meraup bibir tersebut hingga nafas keduanya menipis. Tidak sadar akan orang-orang yang terdiam kaget karena keduanya berciuman didepan pintu masuk gedung.

Jungkook melepaskan pagutannya, menatap Jimin dengan mata sayu,"Aku mencintaimu apa adanya. Sama denganmu yang menerima Jeon Jungkook pemarah ini."

Kemudian menarik Jimin dalam pelukannya. Menyembunyikan wajah Jimin didada bidangnya dan menyuruh orang-orang yang tidak jadi keluar gedung pergi dengan intonasi garang.

END


A/N

Yuhuu, author menghadirkan fanfic absurd ini dengan sepenuh hati. Maaf kalo banyak typo /banyak banget, thor/ Author menerima segala saran dan kritik. Makasih untuk yang berniat review atau sudah review. Omong-omong author dapet ide cerita KookMin ini waktu lagi nyuci baju /ga tanya/ Pokoknya makasih yang udah meluangkan waktu buat baca fanfic ini.

Oh ya, follow twitter author ; trys_s /promosi/

mention aja yang pengen di follback.

Tryss


Omake

Jimin dan Jungkook duduk di sebuah ruangan sempit bersama seorang guru perempuan berwajah garang, Kwon saem. Sejak sepuluh menit lalu, ketiganya hanya saling menatap tanpa bicara. Dan Jimin yang merasa paling muak disini. Hey, dia tidak bersalah, kan? Yang bersalah itu Jungkook yang seenak jidat main cium saja.

"Jadi, kalian bolos jam terakhir untuk ciuman di depan pintu masuk?"

Demi Tuhan, Jimin ingin berteriak frustasi sekarang. Dibilang Jungkook yang main cium. Jimin itu hanya korban dari hormon Jungkook yang kelebihan.

"Ya."—Jungkook – "Tidak."—Jimin.

Jungkook melotot kearah Jimin,"Hey, manis, Ikuti rencanaku."

"Aku hanya menunggumu tidur, bukan untuk ciuman, kook."

"Tapi kau menikmatinya."

"Itu karena kau yang menciumku."

"Berarti kau menungguku untuk menciummu, kan?"

"STOP!" suara Kwon saem menginterupsi,"Jadi, siapa yang harus kupercaya?"

"Aku." Jungkook dan Jimin menyerukan suaranya bersamaan.

"Satu lagi," wanita lajang tersebut menulis sesuatu di bukunya, "kalian pacaran?"

"Ya." Kini hanya Jungkook yang menjawab dengan semangat. Jimin bahkan tidak yakin apa hubungannya dengan Jungkook selama ini. Dari awal, hanya Jimin saja yang mengoarkan perasaannya pada Jungkook, bukan sebaliknya. Tapi Jungkook bertingkah aneh siang ini. Jimin kan jadi takut sendiri.

Kemudian suatu hal yang diluar dugaan terjadi, Kwon saem tertawa renyah sembari menepuk pundak kedua muridnya dengan antusias. Sedangakan kedua muridnya hanya menatapnya was-was. Mereka pikir guru perempuannya ini gangguan jiwa.

"Semoga kalian saling mencintai dan hidup bersama. Selalu." Sang guru tersenyum lebar,"Keluarlah, aku punya banyak pekerjaan."

Keduanya buru-buru keluar. Takut jika sang guru ternyata memang gangguan kejiwaan. Tapi sebenarnya mereka tidak memikirkan sang guru, melainkan kekasih hati sendiri.

Jungkook meraih jemari kecil Jimin, menyatukannya dengan jemarinya sendiri. Dadanya menghangat ketika tahu jemari Jimin bisa terasa sangat pas dalam genggamannya,"Jangan pernah pergi dariku, apapun yang terjadi karena aku mencintaimu."

Jimin meletakkan kepalanya dibahu Jungkook,"Aku lebih mencintaimu."

END