Semangat juangku melindungi Naruto masih tinggi, meski cakraku sudah hampir habis. Kulihat Neji sudah kehabisan tenaga. Aku langsung memposisikan diri menggantikannya. Argh.. aku rasakan lukaku terbuka di saat-saat seperti ini. Sasuke terlihat akan menyerang Naruto disana. Sejak kapan Naruto berada jauh dariku? Tanpa pertimbangan matang aku langsung memeluk Naruto dan menyatakan perasaanku padanya saat itu juga. Aku pikir, ini waktu yang tepat untukku menyatakan perasaanku. Aku sudah kehabisan cakra, dan melindungi Naruto dengan mengorbankan nyawaku. Terdengar suara ledakan yang membuat telingaku berngiang sebentar. Pandangan mataku meredup. Mungkin sebentar lagi, hembusan nafas terakhirku akan tiba.

Aku membuka kelopak mataku, apakah kematian itu sesingkat ini? Aku mencoba mendudukkan tubuhku, tapi tak bisa. Aku hanya bisa menggerakkan kepalaku. Apakah aku sudah berada di surga? Jawabannya tidak, tanganku masih tersambung dengan infus. Aku masih hidup.

"Hinata, kau sudah sadar?"ucap ayahku

"Hm" aku menganggukkan kepala

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kau ceroboh sekali Hinata. Lain kali, aku tak mengijinkanmu bertarung jarak dekat" ucapnya menasehatiku habis-habisan

Aku sangat mencintai Naruto, meski tak terbalas olehnya. Dia yang membuatku bertahan di keadaan seperti ini. Dia yang menjadi semangatku. Ayahku hanya memikirkan keturunan Hyuuga yang pantas, adikku Hanabi. Aku sebagai seorang kakak sebenarnya merasa terasingkan karena ayahku selalu melebih-lebihkan keberadaan Hanabi. Belum lagi Neji yang selalu bersikap dingin padaku. Semenjak kematian ayahnya, yang juga saudara kembar ayahku, dia menghindariku. Ibuku sudah lama pergi meninggalkanku bersama orang-orang egois ini. Meski begitu, aku selalu mencoba sabar dan tetap menyayangi mereka, mengingat pesan terakhir ibuku. Dan bagaimanapun juga, aku pantas diperlakukan seperti ini karena aku ini lemah. Aku belum pernah membunuh meski itu seorang musuh yang sangat ku benci, rasa tak tega ini membendung kemampuanku yang selalu dipuji-puji oleh guru dan teman-temanku.

"One-chan" Hanabi datang menjengukku

"Hanabi" aku membalas pelukannya

"Hanabi, aku beri waktu 15 menit. Kita harus latihan lagi" ucap ayahku seraya meninggalkan kami berdua di ruangan ini

"One-chan, maafkan ayah. Ayah tak bermaksud jahat. Ia hanya disiplin yang berlebihan saja" ucap Hanabi

"Memangnya Ayah salah apa? Justru aku akan marah jika kamu bolos latihan" balasku dengan memaksakan senyum

"One-chan. Sikapmu sama persis dengan ibu kita. Sangat lembut. Bila One-chan merasa kesepian. Tulis saja surat untukku, pasti nanti akan ku baca" ucapnya

"Iya adikku"

"Ne.. Ne-chan."

"Nani?"

"Apakah kau sangat mencintai Naruto?"

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Tidak apa-apa, hanya ingin memberitahumu saja. Sebenarnya para tetua melarangmu dekat-dekat dengan Naruto"

"Apa alasannya?" ucapku dengan isakan tangis

"Aku tak tahu. Maaf Ne-chan. Aku harus pergi sekarang. Selamat tinggal One-chan"

Hidupku benar-benar kelam. Haruskah aku memotong nadiku dengan pisau buah itu? Bukan, bukan itu jalan yang terbaik. Ibuku pasti kecewa bila aku melakukan hal semacam itu. Kami-sama, apakah aku hanya perlu mempertegar diri saja? Memang aku sudah terbiasa dengan suasana sepi ini. Tapi bukan ini yang membuatku menangis, larangan mendekati Naruto itu yang membuatku ingin menangis. Padahal, darinya aku bisa mengerti arti kata semangat. Aku merasa bahagia karena motivasi yang tak pernah habis darinya.

Aku berdiri digurun ini. Kulihat seorang laki-laki berdiri di depanku membelakangiku. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas hingga sinar sang surya mereobos gumpalan awan di ufuk terbangun dari mimpiku, lagi-lagi mimpi yang sama. Aku membuka korden kamarku. Dapat kulihat ladang bunga lavender yang terhampar luas di dekat kamarku. Aku langsung keluar dari kamarku. Tanpa alas kaki, aku berlari menuju hamparan lavender yang sewarna dengan rambutku. Wangi ini, mengingatkanku tentang almarhum ibuku. "kaa-san, apakah kau baik-baik disana?" senandungku lirih.

"Sangat baik"

"Ehh? Te-ternyata kkau Naru.. Naruto-kun" ucapku dengan gugup

"Sudah baikan?"

"Hm" aku mengangguk

"Maaf baru bisa kesini, kemarin aku juga masih dirawat di rumah sakit"

"Maaf, aku tak menengokmu"

"Sudahlah, aku datang kemari ingin mengucapkan terimakasih"

"Sama-sama"

"Hey, tentang kata-katamu di hari itu..."

"..." aku hanya menunduk

"Maaf Hinata, kurasa kau bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku" ucapnya meremuk hatiku

"Maaf Naruto, aku mengungkapkan perasaanku karna aku fikir itu saat-saat terakhirku hidup"

"Bicara apa kamu?"

"Saat itu bekas lukaku saat bertarung dengan Neji terbuka. Maaf, aku mengungkapkan perasaanku karena keadaan yang mendesakku"

"Apa? Jadi kau mengorbankan nyawamu demi melindungiku? Sadarlah Hinata, peran kita terbalik. Harusnya aku yang melindungimu. Kau jangan memaksakan dirimu untukku. Hinata, mulai sekarang kau harus menjauh dariku!"

Ucapannya sangat menyayat hati. Kemana Naruto yang periang? Tiba-tiba, ia bisa berubah menjadi sosok yang mengerikan seperti ini. Aku hanya bisa menunduk dan mendengarkan kata-kata menyakitkan darinya. Aku sudah tak kuasa menahan air mata ini.

"Hinata, kau menangis?" ucapnya dengan nada kebingungan

"..."

"Maaf, aku berkata kasar padamu. Tapi Hinata, kau harus memikirkan kebahagiaanmu sendiri. Hinata, kau sudah berterimakasih pada Gaara?"

"Gaara? Sabaku No Gaara?"

"Iya, dia yang menolong kita"

"Apa maksudmu?"

"Jadi waktu itu, dia membuat pertahanan menggunakan pasir seadanya. Dia memang salah satu ninja dengan pertahanan terkuat. Tapi, cakra dan pasir yang ada saat itu hanya sedikit. Jadi pelindung itu tak mampu menahan seluruh serangan Sasuke. Akhirnya , gelombang kejutnya tetap mengenai kita. Tapi, kau yang terluka sangat parah. Sedangkan aku baik-baik saja, itulah mengapa aku bilang peran kita terbalik. Harusnya aku yang melindungimu"

Naruto berkata demikian sambil berjalan meninggalkanku. Kenapa semuanya memperlakukan aku seperti ini? Bahkan Naruto? Kami-sama, haruskah aku memotong nadiku? Aku berjalan sempoyongan menuju rumah. Neji langsung menangkap tubuhku. Dia mendudukkanku di meja ruang tamu. Ia langsung mengambilkan minum untukku.

"Hinata, apa yang terjadi. Kau pucat sekali?" ucapnya

"Apa yang terjadi?"

"Apa maksudmu?"

"Lihat, diriku terluka karenamu"

"Karenaku? Kau terluka karena melindungi Naruto sialan itu!"

"Hey, kau tak pantas berkata demikian. Jangan berlagak lupa kalau kau dulu pernah menyerangku. Kau menyisakan bekas luka pada tubuhku. Andai saja hari itu kau tak menyerangku. Aku bisa melindungi Naruto tanpa terluka sedikitpun"

'Plak', Hyuuga Neji menampar pipi kiriku. Ia pergi begitu saja setelahnya. Aku memegangi pipiku yang lebam. Oh, darah ini. Kami-sama, kenapa semuanya menjadi seperti ini. Dulu Neji sangat menyayangiku, tapi karena kecerobohan ayahku... argh aku ingin menjerit rasanya. Tapi, bukan Hinata Hyuuga kalau aku sampai menjerit. Aku telah dibesarkan di kalangan ningrat. Aku telah dididik untuk memiliki harga diri yang tinggi. Tapi, harga diriku sudah kucoreng karena pengakuan cintaku pada Naruto di hari itu. Kenapa Gaara harus menyelamatkanku? Harusnya biarkan saja serangan Sasuke mengenaiku dan sekarang aku sudah menyusul ibuku di alam -sama, berapa lama lagi aku harus merasakan kelamnya dunia ini?

Aku mendengar suara ketukan pintu. Dengan langkah terseok-seok, aku berusaha mencapai ganggang pintu itu. Ternyata Gaara, apa tujuannya kemari? Belum sempat kupersilahkan masuk, tubuhku sudah roboh. Gaara dengan cekatan menangkap tubuhku. Ini, kedua kalinya Gaara mencoba menyelamatkanku. Memangnya apa yang kau pikirkan Gaara? Kehadiranmu membuat diriku geram. Bila kau tak hadir disaat-saat seperti ini, aku sudah bisa menyusul ibuku disana. Dia menggeletakkanku di sofa ruang tamu. Karena sakit bekas luka yang membuka ini tak tertahankan, aku pingsan.

Aku terbangun di kamarku. Sudah petang ternyata. Aku dapat mendengar obrolan ayahku dengan seseorang di ruang tamu. Aku melangkahkan kakiku menuju ruang tamu. Aku hanya ingin mengecek, siapa tamu yang sedang ditemani ngobrol oleh ayahku. Ternyata Gaara, dia belum pulang.

"Hinata, kau sudah bangun nak?" ucap ayahku

"Iya,"

"Kau mau kemana?" ucap ayahku mencegahku pergi

"Aku akan membuatkan minum" ucapku

"Iya, ayah lupa. Sudah, kau temani pemuda ini duduk dulu. Ayah saja yang membuatkan minuman" ucap ayahku

"Maaf Hyuuga-sama, maksud kedatangan saya kemari memang merepotkan. Saya mohon, jangan sampai saya merepotkan anda lebih dari ini" ucap Gaara

Aku masih mematung berdiri disini. Apa yang barusan aku dengar? Tampang dan perilakunya tak sebanding. Tampangnya seperti tokoh antagonis. Mata pandanya sangat khas menambah ketakutanku akan dirinya. Ayahku menyuruhku duduk di dekatnya menghadap Sabaku No Gaara.

"Jadi maksud kedatangan saya kemari, ingin meminta bantuan putri anda untuk mengobati kakak saya yang tengah koma. Saya dengar, putri anda adalah ninja terhebat dalam masalah medis"

"Iya, Sabaku No Gaara. Saya bersedia membantu anda" ucapku memotong ayahku yang hendak angkat bicara

Setelah Gaara berpamitan, aku langsung melangkah meninggalkan ayahku. Tentu saja ayahku menahan lengan bawahku. Aku takut bila ayah menyadari ada yang aneh di pipi kiriku. Aku menoleh keayahku sambil menutupi pipi kiriku.

"Mengapa kau menyetujui permintaannya tanpa mempertimbangkannya denganku dulu?" ucap ayahku

"Karena Gaara yang sudah menyelamatkanku. Aku ingin membalasnya"

"Apa? Darimana kau tahu?"

"Dari Naruto..."

"Sudah kubilang jauhi naruto"

Aku hanya menunduk dibentak ayahku seperti itu. Rasanya sakit sekali mendapat perlakuan kasar secara bertubi-tubi disaat fisikku sedang sakit parah. Ayahku menarikku kedalam pelukannya. Ayah, sudah lama aku tak merasakan pelukan yang seperti ini. Aku membalas pelukan ayahku dengan erat. Aku bisa merasakan tangis ayahku yang ditahan.

"Hinata, maaf aku selalu mengasarimu" ucap ayahku

"Tidak ayah, justru aku sangat bersyukur karena ayahku sangat menyayangiku"

"Hinata, aku takut kau pergi meninggalkanku. Aku melarangmu dekat dengan Naruto karena kau ini ceroboh. Hatimu terlalu lembut, seperti milik ibumu."

"Tou-san, jangan sedih seperti ini. Kaa-san akan sedih karna ini"

"Maafkan ayah nak. Bila ayah tak ceroboh waktu itu, mungkin kau tak akan mendapat tamparan dari Neji"

"Ayah mengetahuinya?"

"Siapa lagi yang berani melakukan itu?"

"Sudahlah, suatu hari nanti. Pasti Neji akan memaafkan kita"

"Memaafkanku lebih tepatnya"

"Kau mengijinkanku untuk membantu Gaara kan?"

"Iya, kau hampir dewasa Hinata. Aku tak bisa mengekang apa yang menjadi maumu. Kecuali Naruto"

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku saja dalam diam. Aku diijinkan pergi oleh ayahku bila aku sudah benar-benar pulih. Aku merasa bosan karena tak diijinkan pergi keluar gerbang selama aku sakit. Jadi, aku berjalan-jalan sendirian di pagi itu. Aku berjalan menyusuri jalan setapak belakang rumahku. Memang, keluarga Hyuuga itu rata-rata memiliki halaman rumah yang luas. Rumah juga besar. Harta benda berlimpah. Tapi itu semua tak bisa menjamin kebahagiaan. Aku duduk di tepi danau. Aku menatap kelangit yang biru bersih tanpa awan. Ku hirup udara yang kaya akan oksigen di pagi itu.

"Hyuuga-sama?" panggil seseorang

"Sabaku?"

"Kau sendiri disini?"

"Iya, aku bosan di rumah terus" aku berdiri dan menatap air yang terbendung di danau.

Tapi, lawan bicaraku diam saja. Tak menjawab pertanyaanku sama sekali. Apakah dia type pendiam? Buruk kalau begitu, aku tak bisa memulai pembicaraan. Aku menoleh kearahnya. Yang kulihat, Gaara sedang menatapku setengah melamun.

"Sabaku No Gaara" ucapku membuyarkan lamunannya

"Maaf Hyu.."

"Panggil aku Hinata" ucapku memotong

"Hinata, maaf aku melamun"

"Sabaku, terimakasih kau telah menyelamatkanku waktu itu"

"Sama-sama, kau sudah mengetahui itu?"

"Iya, Naruto memberitahuku. Sa.."

"Gaara. Panggil saja namaku" ucapnya memotong

"Ga-Gaara. Kau insomnia?"

"Iya"

"Apa penyebabnya"

"Maaf, aku tak bisa memberitahumu akan hal ini."

"Maaf, aku tak bermaksud seperti itu"

"Iya tidak apa-apa. Hinata, tadi aku tersesat saat menuju rumahmu. Rumahmu sangat luas hingga aku tersesat ke danau ini"

"Memang, ada keperluan apa anda kemari?"

"Ayahmu menyuruhku menjemputmu hari ini"

"Oh ayahku sudah mengijinkanku pergi. Baiklah, aku akan menyiapkan barang-barangku dulu"

Aku menata baju dan barang perlengkapanku kedalam tas besar ini. Setelah semuanya sudah tertata, aku merebahkan diriku sebentar di tempat tidur ini. Ini kamar kenangan, banyak kenanganku dan kaa-san di sini. Aku menangis, aku cengeng sekali. Aku membenamkan kepalaku ke bantal ini. Bantal ini, ini adalah bau yang tersisa dari ibuku. Bau lavender ini yang bisa membuat tidur malamku menjadi nyaman. Aku menghapus air mataku dengan tangan kiriku. Aku mencuci mukaku sebentar sebelum menemui Gaara. Aku menenteng tas berat ini. Gaara langsung menghampiriku dan membawakan tas ini untukku. Kami berdua berjalan menyusuri ladang lavender ini. Aku berjalan dengan kepala menunduk. Dan argh aku menabrak Gaara hingga terjatuh.

"Kau tak apa?" tanyanya

"Hm"

"Kau menangis?"

"Tidak, aku kelilipan"

"Kau tidak ahli berbohong"

"..."

"Kau merasa keberatan meninggalkan rumahmu?"

"Tidak"

"Jangan memaksakan diri. Aku tak akan memaksa bila kau tak mau"

"Tidak, aku harus membalas kebaikanmu yang sudah dua kali menyelamatkanku"

"Jangan pergi, tinggalah disini"

"Tidak"

"Hinata, jangan membuatku bingung"

"Aku tidak akan menangis lagi, bila kau mengijinkanku menanam lavender ini di pekarangan rumahmu"

"Tidak usah"

"..."

"Karna, halamanku juga sudah ditumbuhi oleh bunga lavender"

"Baiklah, ayo kita bergegas sebelum petang"

Di kereta kuda ini, kami sama-sama terdiam. Gaara masih bersikukuh tak mau memulai pembicaraan. Sedangkan aku, hanya diam terpaku karena bibirku telah dilem oleh saliva yang mengering di bibirku. Aku hanya memandangi jalan lewat kaca kereta kuda ini. Aku menyandarkan setengah badanku pada sisi kereta ini. Ayunan kereta ini seakan menghipnotisku menuju alam tidur.

Lagi-lagi aku bermimpi melihat punggung seorang lelaki di gurun. Dan saat sinar mentari hampir berhasil membantuku melihat lelaki itu, lelaki itu berubah menjadi seekor monster yang siap menerkamku. Aku terbangun, aku merasa sangat pusing. Rupanya, kedua tangan ku sudah menggenggam erat lengan lelaki yang duduk di sebelahku. Keringat dinginku masih saja bercucuran. Aku menarik kepalaku yang sedari tadi rupanya telah meniduri bahunya.

"Hey, kau mimpi buruk?" tanya Gaara

"Iya"

"Tanganmu dingin sekali, padahal aku berharap kau masih tertidur hingga badai pasir usai"

"Badai pasir?"

"Iya, kita sedang melewati gurun"

"Jadi, kau tinggal di Suna?"

"Tutuplah hidungmu dengan kain ini. Pasir di gurun ini sangat halus. Bisa membuatmu batuk bila terhirup"

Gurun ini? Ini bukan pertama kalinya aku melihat gurun. Aku sudah sering memimpikan gurun ini sejak kecil. Apa arti dari mimpi itu? Tangan Gaara masih menggenggam tanganku erat. Ia tengah mencoba meredakan ketakutan dalam diriku rupanya. "kau pejamkan saja matamu. Apapun yang terjadi tetap pejamkan matamu" ucapnya. Aku hanya menurut saja. Aku merasakan goncangan yang sangat kuat. Kuda yang menarik kereta ini bersuara keras. Aku menjadi penasaran untuk membuka mataku. Tapi, sebelum aku sempat membuka mataku. Gaara sudah menarikku kedalam pelukannya. Apa ini? Perasaan apa ini? Jantungku terpacu untuk berdetak dua kali lebih cepat. Genggaman tanganku padanya semakin erat. Gaara semakin mengeratkan pelukannya padaku. Mungkin inilah yang disebut ketakutan akan ajal. Aku merasakan takut yang sangat, padahal dari kemarin aku berharap bisa menyusul ibuku secepatnya. Tapi, melewati badai seperti ini saja hatiku sudah berdetak kencang.