Last Bakcang

Original by kindlyifan.

Inspired by Little Story : Bakcang Terakhir by Faye Yolody

.

.

cerita ini punya kiki. kiki hanya mengambil beberapa bagian dari fiksi kak faye, selebihnya adalah imajinasi murni kiki.

gimme your review juseyo, kamsahamnida~

.

.

.

NB : Luhan POV for all of this story

.

.

.

Cina. Sebuah negara di Asia Timur yang mempunyai jumlah penduduk terbesar di dunia dan luas wilayah keempat terbesar di dunia. Jumlah penduduknya menurut perhitungan para ahli pada tahun 2014 melebihi 1,363 miliar jiwa dengan presentase 91,51% adalah warga asli Cina dan sisanya adalah dari negara lain, seperti Tibet, India, termasuk Korea. Salah satu penduduk asli Korea yang menetap di Cina –tepatnya di distrik Haidian− adalah Oh Sehun. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana namun nyaman dan asri diantara gedung-gedung pencakar langit dan polusi-polusi yang setiap hari menjadi 'sahabat' warga Cina.

Aku tersentuh melihat Shixun –nama Mandarin Sehun− yang menggunakan celemek biru muda dengan gambar rusa kecil di tengahnya –itu milikku− yang sedang sibuk membuat Bakcang untuk perayaan Peh Chun. Peh Chun adalah sebuah festival yang bisa dibilang sangat penting dan berkesan di Cina. Peh Chun bisa diartikan menjadi 'mendayung perahu'. Festival Peh Chun sangat identik dengan perlombaan perahu naga dan tidak heran jika di sungai-sungai besar di Cina banyak berjejer perahu dayung besar yang berisi hampir 50 orang. Selain perahu naga, makanan yang menjadi tradisi saat perayaan Peh Chun adalah Bakcang.

Aku terus menatap Shixun yang menata Bakcang di piring dengan rapi dan hati-hati. Seakan-akan jika ceroboh sedikit saja, maka akan hancur.

"Huft, Bakcang-nya terlalu lembek. Tidak seperti buatan Luhan." Shixun menggerutu pelan sambil membawa sepiring bakcang buatannya. Satu buah Bakcang ia buka beserta ikatan talinya. Nasi beserta lauk-pauk yang ada di dalamnya, seperti daging sapi cincang dan sayur-sayuran, di mataku terlihat seperti bubur yang dipadatkan. Benar apa kata Shixun. Bakcang-nya terlalu lembek.

Aku hanya duduk sambil memperhatikan Shixun dari meja kecil yang biasa aku dan Shixun pakai untuk makan. Melihat peluhnya yang menetes di wajahnya, aku ingin mengusapnya tapi aku sadar jika aku tidak bisa melakukan itu. Shixun menata 3 bakcang buatannya diatas piring bergambar rusa kesukaanku. Ia meletakkannya di meja kayu mahoni, di samping hio dan fotoku yang sedang tersenyum di tepi Sungai Li. Kemudian, Shixun membakar sebatang hio, mengarahkannya ke kening dan mengucapkan doa di dalam hati.

Doa yang Shixun ucapkan dalam hati mengalir bersama asap hio yang mulai mengabur. Walaupun di dalam hati, aku bisa mendengar dengan jelas bagaimana doa tulus yang Shixun ucapkan, sama seperti sebelum-sebelumnya.

Semoga jiwa Luhan-ku selalu tenang dan dapat ber-reinkarnasi kembali menjadi manusia yang berguna dan mempunyai banyak rezeki. Aku harap, di kehidupan selanjutnya, kami bisa bertemu kembali dan hidup panjang bersama. Jangan sakiti malaikatku. Aku tidak tega melihatnya kesakitan disana. Cukup aku saja yang tersakiti karena ini memang seharusnya yang aku dapatkan. Jangan sakiti Luhan-ku, biar aku saja yang sakit, asal jangan malaikat rusa kecilku yang tersakiti.

Aku terenyuh mendengarnya sampai Shixun menyudahi doanya. Kalimatnya terasa seperti angin yang berhembus pelan dan terasa sejuk. Nyaman. Membuatku ingin memeluknya, namun tetap saja aku tidak bisa menyentuhnya seujung jari.

"Sudah 4 tahun kita tidak merayakan festival Peh Chun. Kau selalu menanti festival ini setiap tahun 'kan? Aku merindukanmu." Shixun mulai membuka bungkusan Bakcang-nya dengan suara bergetar menahan tangis.

"Setiap perayaan Peh Chun kau selalu membuat bakcang dengan porsi besar. Terkadang, bakcang itu bisa kau habiskan sendiri. Jika pun ada yang tersisa, kau tetap menghabiskannya karena kau berpendirian jika kita tidak boleh membuang-buang makanan. Bakcang yang tersisa itu seharusnya milikku, tapi karena aku saja yang egois, aku membeli makanan di luar daripada memakan bakcang buatanmu. Walaupun kau lelah setelah bekerja, kau dengan senang hati membuat bakcang yang enak, walaupun aku tak pernah mencicipinya."

"Sejarah adanya perayaan ini karena dahulu, ada seorang pejabat kerajaan yang bernama Qu Yuan yang berbakat dan setia terhadap kaisar dan negaranya. Ia banyak memberi ide dan gagasan pada kaisar sehingga pada saat itu kerajaan menjadi maju dan terpandang. Namun sayang, karena banyak pejabat negara lainnya yang iri dengan keberhasilannya, Qu Yuan diusir dari kerajaan. Ia tidak pantang menyerah. Ia tetap ingin menyelamatkan negaranya sendiri dari tangan-tangan pejabat negara berhati iblis, namun banyak orang yang meragukan dan meremehkannya. Qu Yuan putus asa dan akhirnya ia melompat ke sungai Miluo. Setelah beberapa lama, rakyat mencari keberadaan Qu Yuan di sungai Miluo tempat Qu Yuan dibunuh. Berbulan-bulan jenazah Qu Yuan tidak ditemukan dan rakyat melemparkan banyak bakcang ke dalam sungai tersebut."

Ia mengangkat kepalanya, menatap kosong ke depan. Seakan-akan ia menatapku dan aku bertanya, "Kenapa mereka melempar bakcang ke dalam sungai?". Dan tak lama ia tersenyum. Manis sekali.

"Mereka melemparkan bakcang ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang yang hidup di sungai tersebut tidak mengganggu jenazah Qu Yuan. Dan asal-usul lomba perahu naga yang ingin kau ikuti itu juga bermula dari sini. Para warga mencari-cari jenazah Qu Yuan menggunakan perahu sehingga pada setiap tahunnya terdapat perlombaan perahu naga karena ingin menghormati dan mengenang Qu Yuan yang baik dan menyayangi rakyatnya saat itu."

Shixun menggigit dan mengunyah bakcang yang ada di tangannya. "Semoga kau sudi memakan bakcang buatanku yang sama sekali tidak apa-apanya dibandingkan dengan bakcang buatanmu, haha" Ia tertawa hambar dengan airmata yang mengalir di kedua pipinya yang semakin tirus. Bulatan hitam di bawah mata elang sipitnya semakin kentara dan gurat kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Wajahnya juga semakin pucat. Ingin sekali aku menghapus airmatanya dan membisikkan kata-kata penenang di telinganya, namun sekali lagi aku tak bisa.

Aku bisa merasakan rasa bakcang buatan Shixun dengan kemampuan yang kupunya. Nasinya sedikit lembek seperti bubur, namun menurutku ini sudah enak. Yang di hadapanku sekarang, pria yang berstatus kekasihku yang dulunya berwajah stoic dan bersifat dingin serta arogan terhadap siapapun, kini menangis tersedu-sedu. Tangannya menjambak rambutnya kasar dan bibirnya bergumam kata-kata maaf seperti sebuah doa karena kesalahannya dulu membuatku meninggal. Menurutnya, dosanya takkan terampuni karena ia melukai hati seseorang yang sudah menyayanginya, padahal aku sudah berkali-kali menjelaskan padanya melalui mimpi jika ini bukan kesalahannya, namun karena ulah perempuan jalang yang berani datang mengusik kami.

Masih teringat dengan jelas saat itu, aku mengintip dari kamar dan aku melihat Shixun yang tengah berbicara akrab dengan seorang wanita berpakaian minim. Sesekali, wanita itu –dengan sengaja− menjatuhkan barangnya seperti pena atau buku dan memperlihatkan belahan dadanya, seakan-akan menggoda Shixun. Dan tak disangka, Shixun tergoda dan menyetubuhi wanita itu di ruang tamu. Beberapa minggu kemudian, wanita itu datang dan memaki-maki di depan pintu rumah kami –rumahku dan Shixun− dan berteriak-teriak kesetanan seperti orang gila. Ia meminta pertanggungjawaban Shixun karena telah menghamili wanita itu. Wanita itu menjambaki rambut Shixun dengan kasar. Aku yang tidak tega melihatnya langsung melepas paksa cengkraman wanita itu di rambut Shixun.

"Siapa kau dan apa maumu kesini?"ucapku dengan nada menantang.

"Aku adalah kekasih Shixun! Aku kesini untuk meminta pertanggungjawabannya karena ia telah menghamiliku! Kau juga siapa?!"balasnya dengan nada membentak dan tatapan mata yang menyalang marah. Jantungku seperti diselusupi bambu dan terkena lelehan besi panas. Menyakitkan dan perih.

"Aku bukan siapa-siapa Shixun. Oh iya Xun, selesaikan masalahmu dengannya dulu. Terimakasih banyak. Aku sangat berhutang banyak padamu."Aku berjalan masuk menuju kamar dan membereskan baju-bajuku ke dalam ransel. Saat semuanya siap, aku menoleh ke arah cermin yang ada di sampingku. Aku menatap lama bayanganku yang terpantul di cermin. Aku sangat kacau.

Aku melewati Shixun dan wanita itu yang masih bertengkar sengit. Aku hanya tersenyum perih saat Shixun melihatku pergi. Aku berharap jika Shixun mengejarku dan memelukku, namun ternyata aku saja yang terlalu berharap. Shixun takkan pernah melakukan itu sampai... aku tertabrak sebuah mobil yang melaju cepat. Sebelum nyawaku tercabut, samar-samar aku melihat banyak orang yang mengerumuniku, namun pandanganku terarah pada seorang pemuda yang mematung di trotoar melihatku yang bersimbah darah penuh luka. Luka fisik dan luka batin. Dan aku mati dengan keadaan wajahku yang tersenyum. Pemuda itu Shixun.

"Aku selalu mencintaimu, Xun. Walaupun sebanyak apapun kau menyakiti batinku."

Beberapa bulan sejak saat itu, wanita yang mengaku hamil karena Shixun dipenjara karena dia adalah seorang penipu dan seorang pelacur. Selama itu juga, tatapan Shixun sering kosong dan selalu tak fokus. Setiap malam, ia menangis mengutuk dirinya sendiri yang dengan mudahnya membuangku, orang yang berstatus kekasihnya dan sekaligus juga menyayanginya. Perlahan-lahan, ia mulai menyadari jika ia harus maju. Ia tak boleh berlarut-larut pada kesedihannya.

Dengan wujudku yang tembus pandang seperti ini, aku mudah membuntuti Shixun. Ia bekerja di sebuah restoran sebagai seorang pelayan dan gaji yang ia dapat juga cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Saat aku sedang memperhatikan wajah damai Shixun yang sedang terlelap, bunyi lonceng malaikat reinkarnasi menyapa telingaku. Sudah saatnya ternyata.

"Luhan, sudah saatnya." Malaikat bijaksana itu tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya.

"Aku ingin berpamitan pada Shixun dulu."

"Hanya 5 menit Luhan." Aku mengangguk dan berjalan mendekat ke arah Shixun.

Xun, aku benar-benar pergi sekarang. Terimakasih sudah mau menerimaku sebagai kekasihmu dulu. Aku bahagia memilikimu. Bakcang buatanmu sudah cukup enak. Aku mencintaimu. Aku berharap, kita bisa bertemu lagi di kehidupan yang selanjutnya, Xun. Wo ai ni, Shixun.

"Jangan pergi Han~" Aku hanya tersenyum getir melihat Shixun yang mengigau dan tangannya seperti meraih-raih namun ia hanya bisa menangkap udara.

"Baiklah Luhan, sudah saatnya. Percayalah, kekasihmu akan baik-baik saja."

"Tentu saja. Terimakasih sudah memberiku kesempatan untuk melihatnya lagi."

"Tidak masalah."

Dan aku berjalan menuju suatu gerbang dengan cahaya yang menyilaukan mata dan saat aku masuk dan pintu bercahaya itu tertutup, aku merasa sangat bebas. Badanku terasa ringan. Rasa bakcang buatan Shixun masih terasa di mulutku. Bakcang buatan Shixun adalah bakcang terenak dan bakcang terakhir yang aku rasakan, sebelum aku memulai fase reinkarnasiku.

Aku akan selalu menyayangimu, Shixun. Oh Sehun. Saranghae. Wo Ai Ni.