Sejenius apapun Kiseki no Sedai, mereka tetaplah sekumpulan remaja normal yang tidak luput dari kenakalan.
Seperti kisah mereka kali ini, disaat masih bersama-sama mengecap bangku SMP di Teiko.
.
.
.
.
.
Here's Our Way!
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Warning: Adegan yang tidak patut dicontoh untuk anak dan remaja, jangan dihayati berlebihan ya *wink*
Don't Like Don't Read
.
.
.
.
.
Ujian akhir semester di SMP Teiko dalam waktu dekat akan dimulai! Seluruh siswa mulai giat belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian, terutama pelajaran yang tidak mereka kuasai. Berbagai cara mereka tempuh, mulai dari mengikuti pelajaran tambahan di tempat les, membentuk kelompok belajar, hingga ada pula yang sibuk membuat kertas-kertas contekan.
Tidak terkecuali dengan anggota tim basket reguler Teiko. Kepanikan mulai melanda kelima pemuda bersurai pelangi tersebut. Sang pemain keenam bayangan pun turut serta.
"Huweeee minna~~ Bagaimana ini –ssu..?! Aku takut tidak bisa mengerjakan ujian dengan baik.. Bantu aku belajar, onegai.." Sang surai kuning mulai meracau tidak jelas di sela-sela waktu latihan mereka. Tanpa ia sadari, sebuah bola basket melayang menuju ke arahnya dan sebelum sempat menghindar, bola itu mendarat telak di wajah tampannya.
"Kau berisik sekali Kise! Masih ada remedial 'kan?!" Pemuda pemilik kulit gelap yang rupanya pelaku pelempar bola barusan berteriak malas menanggapi rekan setimnya yang cerewet itu.
"Aominecchi hidoi –ssu.." Isakan mulai terdengar dari mulut Kise sembari mengelus-elus hidungnya yang sakit. "Aku kan tidak seperti Aominecchi yang sudah menyerah sebelum belajar.." Dan ucapan tersebut sukses mendaratkan satu buah bola lagi di ubun-ubunnya.
Selagi duo bodoh itu beradu argumennya masing-masing dengan saling jambak-menjambak, mereka tidak menyadari bahwa sang kapten merah sedang bersiap melancarkan serangan gunting kesayangannya. Dua makhluk menyedihkan itu memang tidak akan bisa bungkam jika tidak diberi sedikit belaian gunting.
"Sumimasen, Akashi-kun.. Sebaiknya jangan dibunuh sekarang, kita masih memerlukan mereka untuk memperkuat tim kita." Akhirnya sang bayangan membuka suara, meskipun dengan santainya ia mengatakan hal kejam itu sambil memasang ekspresi datar.
Akashi tampak menimbang-nimbang ucapan sang bayangan sebelum akhirnya menghela napas berat dan memasukkan kembali gunting yang ia pegang ke dalam saku celananya. Sedangkan Aomine dan Kise yang akhirnya tersadar bahwa tidak sampai sedetik yang lalu nyawa mereka berada di ujung gunting langsung mengucapkan puji syukur sebanyak-banyaknya, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada sang bayangan melalui telepati.
"Kalian berdua berisik sekali, nanodayo. Dan kau, Aomine, kau tidak bisa bergantung pada remedial karena itu akan menghambat latihan basket kita," ucap si surai hijau sambil membetulkan letak kacamatanya. Dan ia sukses dirutuki seluruh anggota reguler tim basket Teiko–minus sang kapten tentunya–karena secara tidak sengaja membuat mereka berada dalam bahaya yang lebih besar.
"Sudahlah kalian semua *nom nom*, tidak usah memikirkan hal-hal yang sulit. Nee, Aka-chin?" Sesosok titan berkepala ungu ikut berbicara dengan mulut yang penuh bangkai makanan (?).
"Tidak, Murasakibara. Yang dikatakan Midorima memang benar." Aura yandere dari tubuh mungil Akashi mulai menguar lebih kuat, lalu entah kenapa langsung mendelik pada Aomine dan Kise. "Kalian akan tahu akibatnya jika dapat remedial."
Bulu kuduk kedua anak manusia malang itu seketika berdiri. Mereka menatap satu sama lain, kemudian memutar bola mata untuk mengabsen rekan setimnya. Dan mereka langsung mengerti mengapa kaptennya mendelik pada mereka. Di dalam gym itu, memang kapasitas otak mereka berdualah yang paling ciut.
"Menurut instingku, mereka berdua tidak bisa diandalkan, nanodayo," ucap Midorima. "Kita harus mengatur strategi belajar untuk mereka."
"Kau benar. Tapi dalam waktu sesingkat ini, aku tidak yakin dua orang ini bisa menguasai seluruh pelajaran, bahkan dasarnya sekalipun. Kita butuh lebih dari sekedar strategi belajar," kata Akashi menanggapi sang shooting guard.
"Mooouu~~ Berhentilah memojokkanku –ssu.." Air mata kembali bercucuran di wajah Kise. Nampaknya ia sudah tidak kuat lagi untuk merasakan harga dirinya kembali diinjak-injak. "Bantu aku, Kurokocchi.." Kesedihannya tersebut ia lampiaskan dengan cara memeluk erat–mungkin bisa dibilang mencekik–Kuroko yang langsung membiru akibat kesulitan bernapas. Bisa dipastikan, jika tidak segera dilerai Aomine, Kuroko akan terbang ke surga dengan damai saat itu juga.
"Ehem, baiklah." Aomine berdeham setelah menjitak kepala Kise yang barusan hampir menghilangkan nyawa Kuroko. "Aku punya ide, jika kalian tidak keberatan."
Seluruh pasang mata refleks menatap Aomine. Kecuali Murasakibara tentunya, ia masih sibuk mengunyah cemilan yang entah kenapa tidak ada habisnya.
"Katakan. Tapi jika idemu tidak bisa membuatku puas.." Akashi sengaja menggantung kata-katanya lalu mengambil gunting di saku celananya. Tanpa dilanjutkan pun semua orang tahu apa yang akan dilakukannya. Aomine seolah menggali lubang kuburnya sendiri.
"M-matte! Dengarkan dulu rencanaku! Aku sadar aku lemah dalam belajar. M-makanya.. Mungkin kita bisa saling bekerjasama mengerjakan soal nanti?" Sebuah ide brilian meluncur begitu saja dari mulut nista si dekil mesum ini. Yang lain menunjukkan ekspresi beragam. Kise yang sedari tadi menunduk sambil sesenggukan, seketika mengangkat wajahnya dan menghentikan tangisannya. Midorima cengo di tempat. Murasakibara tetap asyik 'pacaran' dengan cemilannya. Kuroko sedikit mengernyitkan dahi, meskipun jika dilihat dengan kasat mata ekspresinya tetap datar. Sedangkan Akashi, di luar ekspektasi, ia hanya manggut-manggut sembari mengelus dagunya pelan, mempertimbangkan ide Aomine.
Melihat kaptennya hanya diam, akhirnya Midorima menyatakan keberatannya. "Aku tidak setuju, nanodayo. Aku tidak bisa membiarkanmu keenakan menerima jawaban dari yang lain!"
"Kau ingin mendahuluiku membuat keputusan, Midorima?" Kali ini Akashi mengacungkan guntingnya ke depan wajah Midorima. Terburu-buru Midorima mundur beberapa langkah sambil mengangkat kedua tangannya sebagai jawaban.
"Baiklah.. Sebenarnya aku juga setuju dengan Midorima. Tidak akan kumaafkan jika ada yang mendapatkan jawaban gratis." Seringaian khas iblis milik Akashi akhirnya mengembang. Seketika itu, keringat dingin Aomine mulai turun. Ia teringat ancaman kaptennya tersebut sebelum mencetuskan ide nista itu.
"Tapi, hal apapun yang mengganggu latihan lebih tidak bisa dimaafkan. Aku akui, cara itu yang paling tepat."
Setelah sempat putus asa, ucapan yang dilontarkan sang kapten langsung membuat Aomine berjingkrak-jingkrak bahagia. Sekali lagi, ia lolos dari maut. Ditambah lagi, ia dipastikan akan mendapat sumbangan bantuan dari rekan-rekannya itu saat mengerjakan soal nanti karena ia tahu tidak akan ada yang berani membantah Akashi. Hal serupa nampaknya terjadi pada Kise yang langsung memeluk kembali Kuroko–dan dibalas dengan ignite pass kai.
"Baiklah. Sekarang kita harus membuat rencana, nanodayo" Midorima yang akhirnya menyerah pada keputusan Akashi memecahkan suasana haru. "Ada yang punya usul?"
"Benar juga, kita semua ada di kelas yang berbeda. Bagaimana caranya kita saling memberikan jawaban?" Aomine yang mempunyai ide ternyata malah tidak mempersiapkan cara menjalankannya.
"Aku tahu –ssu! Pakai saja ponsel!" Kise langsung memamerkan ponselnya yang daritadi bergetar tiada henti. Apa lagi penyebabnya kalau bukan SMS dari fans-fansnya?
"Hee.. *nom nom* Tumben Kise-chin pintar." Akhirnya Murasakibara bersuara.
"Seharusnya kau pakai otakmu itu untuk belajar juga, nanodayo," kata Midorima lagi.
"Murasakibaracchi to Midorimacchi hidoi.." Kise kembali menangis di pojokan.
Abaikan saja makhluk idiot berkepala kuning itu.
"Jadi kita pakai ponsel, Akashi-kun?" tanya Kuroko untuk memastikan.
"Ya. Jangan lupa pastikan pulsa kalian mencukupi. Buat grup di kontak kalian dari sekarang, juga di L*ne, Wh*tsapp, W*Chat, dan K*kaotalk untuk memudahkan." Akashi menjawab panjang lebar. Anggota Kiseki no Sedai yang lain hanya bisa bengong. Mereka sepertinya tidak menyangka, kapten mereka yang terkenal kolot dan arogan ini ternyata gemar berchatting ria melalui berbagai macam aplikasi khusus chatting.
"Ehem," Midorima berdeham dan membuyarkan suasana. "Aku akan berikan nomorku, tapi bukan berarti aku mengharapkan jawaban dari kalian, nanodayo." Ia lalu mengeluarkan ponselnya lalu mulai menyebutkan nomor. Yang lain pun melakukan hal yang sama.
"Sekarang, kita akan berbagi tugas. Aku sudah bilang kan, tidak akan kumaafkan jika ada yang mendapat jawaban gratis." Akashi lalu bertanya–lebih tepatnya menginterogasi, "Pelajaran apa yang kalian kuasai? Dimulai dari Midorima."
"IPA, nanodayo. Pelajaran itu sangat berguna untuk menjadikanku seorang dokter," Midorima berkata dengan bangga sambil membetulkan letak kacamatanya yang sedikit melorot.
"Baiklah, kuserahkan IPA padamu. Selanjutnya, Murasakibara?"
"*nom nom* Etto.. Fisika, kurasa," Murasakibara menjawab tanpa menghentikan kunyahannya sehingga menyebabkan remah-remah makanannya menyembur ke wajah Kise. Poor Kise.
"Lalu, Kuroko?"
"Ano, sumimasen, sebenarnya tidak bisa dikatakan menguasai, tapi nilaiku lumayan di bahasa Jepang," kata Kuroko jujur sambil menggaruk pipinya dengan jari telunjuk.
"Tidak masalah, Kuroko," kata Akashi lalu menyeringai puas pada ketiga anak buahnya itu. Dia tidak perlu mengkhawatirkan nilai mereka bertiga.
"Aku sendiri tidak punya masalah di semua pelajaran, jadi diserahi pelajaran apapun, terserah saja. Lalu sekarang, kalian mau apa? Kise? Aomine?"
Duo baka itu bergidik. Nampaknya Akashi benar-benar serius tidak akan membiarkan ada yang mendapat jawaban cuma-cuma walaupun harus mengandalkan otak ciut milik mereka.
Melihat dua anak buah ternistanya itu tidak kunjung menjawab, akhirnya Akashi memamerkan kembali guntingnya. "Cepat jawab. Atau kalian berdua ingin kuukirkan rumus di tubuh kalian supaya pintar?"
'Koai!' seru Kuroko, Midorima, dan Murasakibara kompak di dalam hati. Sementara dua orang yang ditanya langsung berseru spontan.
"Hiiiii jangan, Akashicchi! Baiklah baiklah, aku akan berusaha di bahasa Inggris!" jerit Kise ketakutan.
"Baiklah baiklah baiklah, aku sejarah! Jangan bunuh aku, aku masih mau hidup sampai merasakan menyentuh F-cup!" Aomine menjawab asal sehingga malah menyebabkan gunting itu melayang tepat di atas kepalanya. Dasar otak hentai.
Setelah sukses membuat Aomine pingsan di tempat, Akashi lalu menatap anak buahnya satu per satu.
"Kalau begitu, sudah kuputuskan. Midorima, bagianmu adalah IPA. Murasakibara, kau fisika. Kuroko, kuserahkan bahasa Jepang padamu. Kise, berusahalah di bahasa Inggris. Aomine, aku tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama jika kau tidak bisa mengerjakan sejarah. Lalu, pelajaran apa lagi yang kurang? Aku akan tangani itu." Ia lalu menghela napas setelah berbicara panjang lebar.
"Ano.. Mungkin, matematika?" Kuroko menjawab dengan cepat.
"Sou ka. Serahkan matematika padaku. Ada yang keberatan?" Akashi bertanya sambil mencabut gunting yang tadi ia lempar dari tembok. Tentu saja tidak ada yang berani menentang. Titah Akashi adalah mutlak bagi siapapun.
"Kuanggap kalian semua setuju," ucapnya lalu membalikkan badan, berjalan meninggalkan anak buahnya yang masih diam mematung.
"Persiapkan diri kalian dengan baik, anak-anak."
.
.
.
.
.
Tuberculosis
.
.
.
.
.
Segitu dulu untuk chapter ini ya :D
Seperti warning yang sudah saya cantumkan, fic ini tidak untuk ditiru ya. Apalagi sekarang sedang memasuki masa intensif belajar bagi reader-san yang masih sekolah ._.v
Fic ini sebenarnya saya buat untuk menceritakan sedikit pengalaman saya yang baru saja menyelesaikan ujian sekolah. Berarti saya nyontek? Tentu saja hahahahaha! :v /plak/ /malah ketawa kau cops/ Tapi saya ga nyontek terus kok, asli! Pas udah kepepet aja, itu pun ga sepenuhnya ngikutin jawaban temen ;_;
Oke, reader-san yang akan menentukan apakah fic ini sebaiknya dilanjut atau tidak, mengingat fic ini menceritakan kenakalan remaja yang saya takutkan malah menginspirasi reader-san ;_; Saya tunggu masukannya di kotak review ya..? ;)
Dan selamat berjuang bagi reader-san yang saat ini sedang bersiap menghadapi UAS maupun UN, jangan patah semangat, oke? *wink
