KnB is not mine, it belongs to Tadatoshi Fujimaki.

Hey-hoooooo ane kembali lagi wwwwwww. Akhirnya nulis ffic otp/ot3 fav ane kesampean juga. Cuman ya ga tau ini bakalan selesai apa ngga. Yang penting udah nulis aja lah. Enjoy da fic!


Kejadian itu seharusnya tidak akan terjadi kalau dari keduanya berhati-hati... karena kejadian tersebut akan membuat mereka berdua hina... Jangan dilihat dari posisi siapa korbannya, siapa pelakunya. Haruslah diketahui bahwa keduanya adalah orang-orang yang bersalah...

Karena kemungkinan keberadaan mereka untuk diterima di dunia pastilah sulit...

.

.

.

Setumpukan koran saat ini sedang dipilah-pilah oleh seorang pemuda berbadan besar dan kekar, memiliki tangan besar layaknya seorang pemain basket, dengan kulit agak kecokelatan. Mata crimsonnya yang tajam dan penuh keyakinan tinggi itu pun akhir-akhir ini seringkali terlihat lelah. Alis anehnya yang bercabang bertaut ke bawah, ia mengernyit dengan kesal, menyiratkan ketidakpuasannya kepada dirinya sendiri karena tidak bisa menemukan sesuatu yang cocok baginya, yang kemungkinan kecil akan tertera di koran tersebut.

Seorang wanita pun duduk di sebelahnya dengan tanktop putih, kulit mulus putih seperti kulitnya orang barat, mata biru western nya yang dibantu penglihatannnya dengan kacamata berframe pink itu menatap pemuda di sebelahnya dengan gelisah. Seolah dia sudah berkali-kali mengumpat dirinya di dalam hati, bahwa semua ini adalah kesalahan miliknya. Kalau saja dia tidak selalu bersikap seperti itu dia yakin kecelakaan ini tidak akan pernah terjadi.

"Ku telepon Tatsuya saja, bagaimana?" tanya si wanita setelah membuang napas tipis.

"Tidak," jawab si pemuda dengan kasar dan buru-buru, "jangan bawa-bawa Tatsuya ke dalam masalah ini."

Semakin lah si wanita gelisah. Sudah berkali-kali dia menangis. Karena dirinya, tali persaudaraan tidak resmi milik kedua muridnya ini melonggar...

"Taiga, menyerahlah. Aku yakin Tatsuya bisa membantu. Kamu juga butuh istirahat," si wanita berambut pirang panjang ini memaksa Taiga dengan suara penuh permintaan.

Kemudian Taiga yang tadinya sedang sibuk dengan tumpukan kertas itu berhenti beraktifitas dalam beberapa detik, memunggungi si wanita dengan punggungnya yang bidang, namun berusaha untuk menutup-nutupi bagaimana ekspresinya saat ini, "aku hanya tidak mau kamu bertemu dengannya karena... aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini, Alex. Sekarang aku lah yang perlu bertangung jawab. Kamu... harus bisa andalkan aku, Alex," jawabnya dengan penuh pilu.

Alex pun terdiam cukup lama. Ia menundukkan kepalanya perlahan, menatap pada pangkuannya dan kini tangannya secara refleks berlari menuju perutnya, mengelusnya pelan-pelan. Ia termenung sangat lama hingga akhirnya Taiga memutuskan untuk kembali memilah-milah koran-koran tersebut.

Jika aku diperbolehkan untuk mengulang waktu... Ucap Alex dalam hatinya.

.

.

.

"Taigaaaa!" seru seseorang dari ujung yang sangat jauh sampai ke tempat yang lebih dekat dengan orang yang bersangkutan—herannya dia sama sekali tidak kehabisan napasnya. Sungguh.

Kemudian serangan pelukan dari sebelah kiri membentur tubuh Taiga. Ini dia, wanita yang ia tunggu setelah sekian lamanya di bandara, dan kemudian ia langsung mendapatkan ciuman yang mendarat di pipi, "A-Alex! Jangan membuat kaget! Dan jangan cium-cium di sini!" bantahnya sambil berusaha melepas Alex yang melingkarkan kedua tangannya di leher Taiga.

"Jahat... aku kan hanya bermaksud sayang kepadamu seperti ibumu," katanya masih bermanja-manja sambil memanyunkan bibirnya.

"Tapi karena kamu yang tampak terlihat muda jadi kelihatannya kita seperti sedang berpacaran,"tukas Taiga sambil melihat ke arah lain dengan kesal.

"Jadi kamu mengakui aku muda, Taiga!?"

"Eh—"

"Jangan menyangkal! Dasar tsundereeeee. Jangan buat aku menyerangmu tepat di atas bibir—"

"Alex!" sentak Taiga, yang menurutnya ini sudah lebih dari keterlaluan. Rona merah muncul di atas kulit pipinya yang agak kecokelatan, yang kemudian melebar hampir ke seluruh penjuru mukanya.

"Hihi, maaf Taiga. Atau kalau kita sungguh berpacaran, apa kamu mau menerima ciumanku di tempat manapun?" seringai dari bibir Alex tertarik ke atas, dia kembali menjahili Taiga dengan mendekatkan mukanya ke arah si pemuda tersebut, semakin menatapnya dengan intens.

Dan Taiga tidak menjawab apa-apa selain gerak-geriknya yang terlihat mencurigakan; seperti ragu sekaligus malu.

"Taiga..."

"B-bisakah kita cepat ke apartemenku...?" tanyanya setelah menelan ludah.

"Tentu!" Alex terlihat sangat puas ketika melihat reaksi Taiga. Mungkin sudah cukup baginya, jadi ia melepaskan pelukannya kemudian mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi dengan semangat.

Tak lama kemudian, mereka sudah menaiki taksi, dimana keduanya duduk di jok penumpang dan mendapatkan jendela masing-masing untuk melihat ke luar. Kacamata Alex memantulkan berbagai macam bangunan yang mereka lewati sekaligus dengan orang-orangnya yang berlalu lalang. Matanya berbinar-binar untuk melihat setiap toko-toko yang mereka lewati selama perjalanan. Dan satu toko pun tertangkap oleh matanya, layaknya sebuah kamera yang menangkap gambar yang kemudian disimpan di dalam memory cardnya. Begitupun dengan Alex yang sudah menangkap toko itu dengan matanya, lalu tersimpan dengan baik di otaknya. Senyumnya semakin merekah lalu ia menolehkan kepalanya ke arah Taiga.

Awalnya dia ragu untuk menyebut nama pemuda itu ketika ia menangkap pemuda itu sedang melihat ke arah luar sambil menumpukan pipinya di atas punggung telapak tangan dan lengan atasnya di pinggiran jendela. Tatapannya terlihat suram dan sepertinya pikirannya sedang tidak ada di tempatnya. Matanya memang menuju keluar namun isinya kosong. Alex yang sedikit kecewa dengan pemandangan tersebut akhirnya mengurungkan niat untuk memanggilnya dan kembali menyandarkan punggungnya ke bagian sandaran.

Hanya saja pemuda itu menoleh, sepertinya melihat pantulan dari jendela kemudian menunjukan suaranya seperti deheman bertanya pada Alex. Entah kenapa sikapnya menjadi dingin saat ini...

"Ah, itu. Aku hanya saja baru menemukan toko unik yang sepertinya memiliki barang-barang bagus untuk membeli oleh-oleh. Nah... aku ingin membelikan sesuatu untuk Tatsuya," Alex tercengir canggung. Udaranya saja mulai canggung.

Dalam beberapa detik Taiga hanya menatapnya dengan tatapan seperti harimau yang memiliki amarah untuk menghabisi mangsanya secara sadis, tatapan itu begitu mengancam hingga Alex sendiri bergidik sekaligus bingung. Tetapi Taiga kemudian menghela napas sambil memejamkan matanya, "di daerah ini kan? Nanti setelah kamu membereskan barang-barangmu, kita akan kembali ke sini."

Tiba-tiba suara Alex bergetar diikuti dengan matanya yang berkaca-kaca, "terimakasih Taiga! Kamu memang yang paling baik!" lalu Alex kembali melingkarkan lengannya ke leher Taiga dan menyundul-nyundul pipi chubby milik Taiga dengan manja.

"I-iya, dasar! Dan kenapa kamu terlihat seperti akan menangis!?"

"H-habisnya kamu tadi terlihat sangat menyeramkan seperti akan membunuhku!"

"Cih... hanya tatapan..." ucapnya tanpa sadar.

"Berarti benar dong kamu mau membunuh—"

"Tidak."

"Uh..." Alex secepat mungkin melepaskan pelukannya dan kembali duduk dengan posisi semula; meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri, melipat tangan di depan dada, lalu memajukan bibirnya tetapi sebenarnya dia sangatlah senang saat ini.

Walaupun sikap Taiga masih misterius baginya. Mendadak air mukanya menjadi agak suram sekaligus serius, seolah mata intensnya sedang masuk ke dunia lain dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan murid basketnya yang satu ini.

.

.

.

Dari kecil aku sudah menganggap kalau Alex itu seperti ibu atau kakakku... yang jelas dia bukanlah sahabat biasa, bukan guru biasa, dan bukan wanita yang biasa. Aku dan Tatsuya sudah dirawatnya dari kecil ketika kami sedang bermain keluar. Bahkan aku dan Tatsuya sesungguhnya sangat sayang padanya walaupun kami seringkali membuatnya kesal. Dia baik. Wanita yang sangat baik, bahkan aku lebih sering bermain dengan mereka berdua ketimbang dengan keluargaku sendiri. Pelukan hangatnya, ciuman yang terus mendarat di atas muka bahkan bibir, merupakan suatu hal yang tidak bisa kulupakan begitu saja ketika kecil. Dulu aku pernah seringkali melihat Tatsuya yang mukanya kian memerah ketika mendapatkan ciuman dari Alex. Namun reaksinya sungguh berbeda. Seperti ada maksud lain di baliknya, dan dia terus menyembunyikannya dariku—memang sih aku juga masih belum mengerti. Hingga ketika umurku sudah menginjak masa-masa dimana suka dan duka bisa kurasakan dengan baik... kini aku mengerti kenapa Tatsuya bersikap agak berbeda sewaktu dulu...

"Taiga, apartemenmu yang mana?" Alex tiba-tiba menginterupsi lamunan Taiga.

"Eh? Loh... sebentar. Pak ini sudah kelewatan!" dengan gusar Taiga memberhentikan supirnya, alhasil rem mendadak membuat Taiga mencium bagian sandaran kepala di jok supir, "ugh!"

"Y-ya ampun Taiga. Makanya jangan melamun terus!"

"I-iya maaf," kemudian dia mengeluarkan dompet dengan buru-buru, tetapi langsung dihentikan oleh Alex dengan tangannya yang mendorong kedua tangan Taiga dengan paksa. Namun tanpa paksaan pun seolah sengatan dari Alex sudah membuat kedua tangannya berpindah tempat.

"Biar aku yang bayar," Alex berkata.

Setelah urusan ini dan itu akhirnya mereka keluar dari taksi, kembali berjalan ke arah berlawanan menuju apartemen Taiga yang terlewat. Taiga membawakan banyak sekali barang Alex sehingga wanita itu hanya membawa sebuah koper miliknya, namun ia melakukannya pun atas kemauannya. Dia sesungguhnya senang kok untuk membantu Alex, apalagi ketika melihat kehadirannya saat ini sangat dekat dengannya. Apalagi kalau mendengar dia akan berdiam diri di apartemennya selama mungkin kurang lebih enam bulan.

Membuatnya semakin grogi dan terus mengingat keadaannya saat ini.

"Ah, akhirnya!" Alex menghempaskan dirinya di sofa apartemennya Taiga setelah meletakkan barang-barangnya di dekat rak kecil di sisi ruangan seberangnya. Lalu Taiga masih sibuk untuk membereskannya satu per satu agar terlihat lebih rapi.

"Taiga, apartemenmu terlalu kosong," protes Alex sambil menyandarkan kepalanya di atas bagian sandaran sofa, melihat ke langit-langit, "ku isi dengan barang-barangku boleh tidak?"

"Asal tidak berantakan," ucapnya sambil berdiri di arah serong kanannya Alex, "aku malas membereskannya."

"Tenang saja, aku yang akan membereskannya, dan aku akan kerja juga di sini," lalu ia memberi sebelah kedipan, "kamu tetaplah berkonsentrasi dengan sekolahmu, aku juga akan membantu ayahmu untuk membiayaimu."

"Eh?"

"Aku sudah menumpang di sini masa aku tidak membantu, Taiga?" katanya sambil menatap Taiga dengan sedikit tatapan mengancam.

"Hmm... baiklah."

Seulas senyum hangat dilemparkan oleh si wanita berambut pirang itu, yang membuat si pemuda sedikit merasakan getaran aneh lagi yang sering ia alami selama ini, melihat sosoknya saja sudah membuatnya kadang salah tingkah apalagi kalau sudah melihat senyumnya? Bahkan dirinya yang besar itu bisa ditaklukan dengan mudah hanya oleh seorang wanita yang memiliki jarak umur jauh darinya.

"Aku... mandi dulu ya," ucap Taiga dengan pelan sambil melangkah pergi ke kamar mandinya.

"Tentu," jawab Alex kembali menyandarkan kepalanya di atas sandaran punggung.

Taiga berjalan dengan agak tertatih-tatih. Ia memijat dahinya sambil mendesah pelan, berusaha untuk menenangkan dirinya, apalagi jantungnya yang mulai berdetak tidak stabil. Pikirnya, bagaimana nasibnya nanti kalau setiap harinya harus melihat Alex yang biasa tidur di sebelahnya, telanjang seenaknya, memeluk, mencium, dan segalanya seenaknya. Sedangkan dia... harus menjaga perasaan seseorang meskipun seseorang itu belum pernah membicarakan yang sebenarnya pada Taiga.

Tanpa disadari setelah ia menutup pintu kamar, ia malah memutuskan untuk duduk di pinggir kasurnya sambil membuka ponselnya di dalam kegelapan pagi yang belum sepenuhnya mendapatkan cahaya dari matahari. Ia mulai mengetik...

"Tatsuya, bisa kau balas pesan ini?"