Banyak orang bilang kalau masa muda itu harus dihabiskan dengan yang namanya bersenang-senang. Entah apapun caranya. Jika kamu bisa senang karena menari, maka menarilah. Jika kamu bisa senang karena menyanyi, maka menyanyilah. Jika kamu bisa senang karena berguling-guling, maka berguling-gulinglah. Asal jangan berguling-guling di tempat yang memiliki kemiringan derajat. Dekat jurang, misalnya. Yang ada, bukannya senang, malah raga yang tertinggal di dasar jurang. Walau tentunya tidak akan ada orang yang senekad itu.

Kembali ke topik.

Seperti yang dituliskan sebelumnya, lakukan apapun untuk bersenang-senang dan menghabiskan masa muda dengan senyuman. Tentunya, masih ada batasan. Jangan merasa senang saat berjudi, salah satunya. Hal itu bukannya menyenangkan, malah merugikan. Dan lain-lain.

Tapi namanya juga anak muda, pastinya selalu dikhawatirkan oleh orangtua masing-masing. Pikiran yang tertanam pada para orangtua sendiri adalah bahwa anak muda itu masih tidak bisa apa-apa serta masih bergantung pada orangtua. Dan dengan pemikiran yang seperti itulah, para orangtua kebanyakan sangat sulit untuk menerima kenyataan bahwa anaknya sudah menjemput usia dewasa. Dimana mereka bisa memutuskan segala hal yang menurut mereka baik atau benar.

Dan juga pemikiran tersebut dapat memengaruhi tindakan serta perilaku orangtua terhadap anaknya. Susah melepas anaknya untuk keluar rumah, memberi batas jam malam, melarangnya untuk pergi jauh-jauh, bahkan memutuskan siapa yang lebih berhak untuk menjadi pendamping anaknya.

Saya bukannya ingin membuat cerita mengenai masalah keseharian antara orangtua dan anak. Tapi karena hal ini―orangtua yang bersifat protektif dan terlalu memikirkan masa depan si anak―menimpa tokoh utama cerita ini.

Pemuda bernama Lee Sungjong.

.

.

.

.

.

A request-fanfiction from my colleague in work, Fahma. She made the main idea of this story.

Idea belong to FahmaLKim

Story belong to alexssucchi

Characters belongs to Allah and their parents or families.

An Infinite Fanfiction

With Romance, Drama, and Humor Genres

T-Rated

Kisah mengenai perjodohan antara Lee Sungjong dan Kim Myungsoo dikarenakan masalah yang menimpa keluarga Sungjong. Sungjong yang memiliki jiwa yang bebas, menolak dengan tegas perjodohan tersebut yang sayangnya diabaikan oleh pihak keluarganya. Di sisi lain, Kim Myungsoo malah menerima perjodohan tersebut tanpa banyak kata. Dan ketika mereka diresmikan sebagai pasangan yang belum menikahberkendala pendidikandan ditempatkan di bawah atap yang sama, ada banyak hal yang terjadi dan itu membuat Lee Sungjong frustasi. Apa sajakah hal tersebut?

.

.

.

Warning!

This story contain BL (BoyxBoy) or Yaoi, Sho-ai, too formal words, difficult sentences to understand ('Cause I use the novel-translated language), too dramatic, repeated-words, and out of character (I guess, 'cause I don't really know, tho).

Don't Like? Don't Read!

.

.

.

Lee Sungjong memandang kedua telapak tangannya yang bertautan dengan bosan. Sesekali ia menghela napas lalu memainkan kedua tangannya seolah hal tersebut bisa menyenangkannya dan menghilangkan bosan serta kantuk yang sedang menimpanya. Sesekali pula ia membuat serta menggerakkan jari-jarinya seolah itu adalah figur manusia yang sedang melakukan adu tinju menggunakan ibu jarinya dengan alas di atas meja.

"Sayang."

Sungjong menoleh dan menemui wanita cantik yang sangat dicintainya sedang melangkah dengan anggun menuju ke arahnya. Ia menyelesaikan sesi tinju jarinya dan bangkit dari kursi meja makan lalu menyambut uluran tangan wanita itu. Pemuda itu memeluknya dengan erat dan mengecup pipi halus wanita itu dengan lembut.

"Eomma~" Sungjong mengeluarkan suaranya yang terdengar seperti merengek.

Wanita yang dipanggil Ibu itu tersenyum sedih. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya ke pipi anaknya yang menggembung―benar-benar menyiratkan ekspresi merajuk. Wanita paruh baya tanpa kerutan di wajahnya itu menatap anaknya sedih, merasa tidak bisa apa-apa lagi sebagai seorang Ibu.

"Nak, Sungjong-ku yang paling tampan," setidaknya ia akan membuat anaknya sedikit senang dengan kalimat pujiannya. "Kita sudah tidak bisa apa-apa lagi. Ini adalah pilihan satu-satunya. Tak ada jalan keluar lain."

Pemuda bermarga Lee itu memperjelas ekspresi merajuknya dengan air mata berkaca-kaca. "Pasti ada jalan keluar, Bu," Ia melepas tangan halus sang Ibu dari pipinya. Menoleh kesana-kemari seolah mewaspadai sesuatu. "Contohnya, aku bisa kabur dari sini. Sekarang juga."

"Dan meninggalkan Ibu beserta Ayahmu kesulitan disini?" Ibu Lee tersenyum kecut.

Sungjong yang mendengar itu serta melihat ekspresi yang Ibunya buat, langsung tertohok hatinya. "Bukan itu maksudku!" Ia menggeleng keras. "Ibu dan Ayah. Kita bisa kabur dari sini."

Kali ini Ibunya yang menggeleng. "Kamu tahu kita tidak bisa."

Sungjong melempar jauh-jauh fakta itu dan masih berpikir mengenai cara-cara untuk kabur dari situasi semacam ini.

"Ibu tahu kalau hal ini tidak normal, kan?" Rajukannya masih belum berhenti. "Tentunya Ibu tidak ingin menenggelamkanku dalam hal seperti ini, kan?"

Kemudian hanya diam yang mewarnai suasana sepi di dapur kala itu. Tidak ada kalimat yang terucap dari bibir Nyonya Lee. Ada macam-macam ekspresi yang menghias wajahnya, sedih, takut, merasa bersalah. Semua itu kentara sekali di wajah cantiknya.

Sedangkan Sungjong melihat Ibunya tidak percaya. Kalimat sanggahan atau penolakan tidak dituturkan Ibunya. Apa itu berarti Ibunya menyetujui hal ini? Matanya terbelalak saat kalimat itu melintas di pikirannya. Benarkah seperti itu? Ibunya membiarkannya terjebak dalam hal rumit ini?

"Ini semua terasa seperti―"

Kalimat yang akan Sungjong lontarkan terpotong saat pintu yang membatasi dapur serta ruang makan dengan ruang tamu dibuka dengan cepat dan dengan suara yang tidak terlalu halus.

"Kim Sungjong?"

Mendengar nama itu, Sungjong langsung mengambil sendok di atas meja yang dekat dengan tangannya dan melemparnya dengan cepat ke arah orang yang membuka pintu. Orang yang menjadi sasaran tidak siap untuk menerima serangan dadakan itu dan menghasilkan rona kemerahan di dahinya―dikarenakan sendok tadi.

"Aduh!" Orang itu mengelus dahinya yang terasa sakit dan nyeri. "Apa yang kau lakukan?!"

Sungjong menunjuk marah orang itu. "Jangan sekalipun kau menyebutku dengan panggilan itu!"

"Lee Sungjong!" Teriak Nyonya Lee. Sungjong terkaget-kaget mendengar nada keras Ibunya yang belum pernah ia dengar. "Apa yang kamu lakukan?!"

Wanita itu berlari mendekati orang yang jadi sasaran lempar sendok itu serta memandang dahinya yang memerah dengan khawatir. Ia kemudian memalingkan wajahnya ke arah Sungjong. "Hal seperti ini, Ibu baru sadar kalau ternyata kamu sekejam itu sampai tega melempar sendok ke arahnya!"

Sungjong melihat Ibunya tidak mengerti. Dia kemudian merasakan kemarahan di dalam hatinya. "Orang itu―"

Teriakan itu berhenti saat teriakan Nyonya Lee menyahutnya. "Lee Sungjong!"

Pemuda itu terdiam―masih dengan ekspresi tidak percaya dan ketidakmengertiannya. "Saat semua ini selesai, kamu harus minta maaf padanya!" Ibunya kemudian pergi sambil menarik orang itu pergi dari dapur.

Sekilas. Hanya sedetik. Namun Sungjong tahu, ada senyuman kecil terpatri di wajah orang itu saat pintu dapur bergerak menutup. Dan Sungjong pun tahu, senyuman itu diarahkan dengan jelas kepadanya.

1-0.

**(^▽^)**

Mata sipit itu membuka. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Saat menemukan benda hitam di sebelahnya, sang pemilik mata memilih untuk memejamkan matanya kembali dan berdo'a dalam hati.

Ya Tuhan, aku sedang bermimpi, 'kan? Buatlah aku sedang bermimpi, Tuhan. Ini tidak mungkin terjadi. Aku bermimpi, bermimpi, bermimpi.

Kalimat tersebut terus diulangnya dalam hati. Tangannya bergerak gelisah di atas dadanya. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi saat ia merasa benda hitam itu mulai bergerak. Matanya terpejam dengan alis yang mengkerut. Keringat dingin mengalir dari dahinya. Ia bisa merasakan kehangatan namun tidak membuatnya nyaman yang berasal dari benda hitam itu.

Barang ghaib, barang ghaib, selamatkan aku, Tuhan!

"Apa sih, yang sebenarnya kamu pikirkan dengan keras sampai alismu mengkerut begitu?" Suara di sebelahnya membuatnya menghela napas panjang―maksudnya, benar-benar panjang.

Bukan helaan napas lega, tapi helaan napas jengkel.

Aku akan memastikan untuk lebih sering ke kuilkalau perlu setiap hari sehingga Tuhan akan mau mengabulkan permintaanku.

Pemuda itu membuka matanya dan menemukan wajah tampan di atasnya, hanya berjarak beberapa senti. Untungnya ia tidak bergerak ke depan. Bergerak sedikit saja, hilang sudah keperawanan bibir manisnya.

Namja imut itu bisa merasakan napas berbau mint dari orang yang sedang menatap matanya. Seraya memikirkan betapa nikmatnya bau itu dan menebak-nebak jenis pasta gigi apa yang dipakai pemuda itu, Sungjong mengangkat tangannya menuju belakang leher lelaki itu.

Jari-jarinya merasakan halusnya rambut yang ada di bagian belakang leher atas lelaki itu―lagi-lagi memikirkan shampoo apa yang digunakan lelaki itu. Ia menarik leher itu ke atas―entah kenapa pemiliknya patuh-patuh saja. Kedua tangan Sungjong memegang kepala itu di sisi kanan dan kirinya.

Suasana menjadi terkesan intens saat mereka melihat satu sama lain dengan pikiran yang bertolak belakang. Mereka berbagi napas. Sungjong tersenyum yang dibalas senyuman juga oleh lelaki itu. Kemudian Sungjong merekatkan pegangannya di kepala namja itu. Dan kemudian dilancarkanlah rencana yang telah ia susun baik-baik di pikirannya.

Dukk!

"Aduh!" Rintih lelaki good-looking itu. Menjauhkan badannya dari Sungjong dan mengelus dahinya yang kini kemerahan.

"Andai saja kau bisa mati hanya dengan benturan seperti itu." Sungjong mendecih kemudian berguling ke kiri―membelakangi lelaki yang sedang mengeluh kesakitan.

"Ini sudah kedua kalinya!" Keluh lelaki itu dengan nada tidak suka.

"Lalu?" Balas Sungjong cuek bebek.

Lelaki itu menarik tubuh Sungjong untuk kembali ke hadapannya. Sungjong berusaha menepis tangan itu, namun tidak bisa. Jadi ia pasrah―semudah itulah Sungjong menyerah.

"Lihat ini!" Lelaki itu menunjuk dahinya yang kemerahan ke depan wajah Sungjong―yang kemudian dijauhkan lagi karena Sungjong sudah memasang kuda-kuda untuk menggigit dahinya. "Kubilang lihat, bukan gigit!"

Sungjong mencibir. Lelaki itu menghela napas.

"Baiklah. Kamu yang memulai duluan." Sungjong mengernyitkan dahinya, bingung.

"Aku dengar dari Ahjumma Lee kalau kamu―" lelaki itu menunjuk sisi samping perutnya. "―geli di bagian ini."

Sungjong melotot. Untuk apa Ibunya memberitahu namja brengsek ini tentang kelemahannya?!

Bangkit dari posisi tidurnya, Sungjong memasang kuda-kuda pencegahan apapun menyentuh bagian perutnya. Lelaki di depannya tersenyum geli.

"Tidak, tidak. Aku tidak akan membalasmu hari ini." Lelaki itu tertawa pelan sambil mengibaskan tangannya untuk membuat suasana menjadi santai.

Suasana yang dibuatnya memengaruhi Sungjong. Perlawanan yang telah ia buat melemah. Melihat itu, namja itu menyeringai.

"Atau tidak."

Kalimat terakhir itu mengawali serangan ke perut Sungjong. Sungjong yang telah lengah kini melotot lagi dan berusaha untuk menahan tangan-tangan itu menyentuh perutnya.

"Hentikan!" Sungjong teriak dalam bisiknya. Ia tahu kalau sekarang masih malam dan orang-orang di rumahnya sedang tertidur nyenyak―dia tidak mau mengganggu mereka.

"Rasanya aku tidak mau." Cekikikan, orang itu terus berusaha untuk menggapai perut Sungjong.

Dasar Iblis! Sungjong melawan sambil berteriak dalam hati―ia tidak bisa berteriak dengan lisannya―dengan kesal. Ia menyesal sudah terjebak dalam suasana yang diciptakan lelaki itu dan menurunkan pertahanannya.

"Kim Myungsoo!" Sungjong berteriak dalam bisiknya lagi, meminta kepada Kim Myungsoo untuk menghentikannya dengan memanggil namanya. "Berhenti!"

Dalam sekejap, Myungsoo menghentikan serangannya. Ia menatap Sungjong dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian tatapan itu berubah dengan cepat menjadi tatapan puas disertai senyum jahil yang menurut Sungjong amat-sangat menyebalkan.

"Akhirnya, kamu mau memanggil namaku." Ujar Myungsoo masih dengan senyum jahilnya.

Sungjong mendecih. "Untuk yang pertama dan terakhir kalinya."

Dan hal selanjutnya, membuat Sungjong terkaget-kaget. Dia dengan tubuhnya yang lebih kecil dari Myungsoo ditahan dengan kedua tangan besar milik Myungsoo dan didorong menempel ke dinding yang ada di samping kiri tempat tidur mereka. Sungjong bisa merasakan punggungnya yang sedikit perih karena benturan dengan dinding, ia mengangkat wajahnya menatap Myungsoo. Sekarang Myungsoo memasang wajah serius, namun masih ada senyum disana―yang lebih terlihat seperti senyum jahat di mata Sungjong―sambil menatap Sungjong dalam-dalam.

"Kamu," Myungsoo memecahkan keheningan yang sempat menemani mereka. "Adalah calon istriku. Saat kita lulus, namamu bukan lagi Lee Sungjong. Namamu akan menjadi Kim Sungjong."

"Seolah aku mau saja," Sungjong menatap tajam pipi Myungsoo―tidak ingin menatap mata Myungsoo. "Lagipula kau masih menggunakan 'akan'. Banyak yang pasti terjadi sebelum 'akan'."

"Kalau begitu, aku ganti," Myungsoo mengeratkan pegangannya di bahu Sungjong, membuat Sungjong meringis. "Namamu pasti menjadi Kim Sungjong."

"Dasar tidak berguna."

"Dan yang tidak berguna ini akan menjadi suamimu."

"Cih!"

"Kuingatkan kau," Sungjong memerhatikan ada perubahan kata ganti orang kedua disana. "Kau dijodohkan denganku karena orangtuamu yang sedang kesusahan―aku tidak akan membahas jenis kesusahan apa itu, tapi ingatlah. Kau yang tinggal disini bersamaku saja sudah termasuk keberuntungan buatmu. Sudah pasti nantinya kau akan bergantung padaku dan keluargaku. Dan tentunya akan membuatmu berterima kasih kepada kami."

Kemudian sunyi senyap. Kesunyian itu tidak lain dan tidak bukan dimaksudkan oleh Myungsoo untuk membuat Sungjong memikirkan baik-baik kalimatnya.

"Aku―" Myungsoo mendengarkan. "Aku akan mencari pekerjaan dan mencari kehidupan untukku dan orangtuaku."

Myungsoo terbelalak.

"Aku tidak akan bergantung kepadamu. Aku tidak akan bergantung kepada keluargamu," Sungjong akhirnya menatap mata Myungsoo. "Dan setelah semua ini selesai, sudah bisa dipastikan kalau namaku tidak akan pernah berubah."

"Kau―" Myungsoo menatap Sungjong. "―benar-benar keras kepala."

Myungsoo menjauhkan dirinya dari Sungjong dan melepaskan cengkeramannya. Ia mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur.

"Aku tidak tahu apa-apa saja yang akan kamu lakukan," Myungsoo menjeda kalimatnya. "Tapi kemungkinan untuk merubah namamu tidak akan hilang. Karena semua yang kamu lakukan―"

Myungsoo menolehkan kepalanya kepada Sungjong dengan santai. "Pasti akan sia-sia."

Setelah kalimat itu, Myungsoo berdiri dan berjalan keluar dari kamar. "Selamat malam dan selamat tidur, Lee Sungjong. Banyak istirahat sebelum memulai hari esok denganku di sekolah yang sama, ya~"

Seiring kalimat itu terucap, Myungsoo menutup pintu kamar dengan pelan seolah ingin membuat suasana menjadi creepy.

Yang sangat berefek kepada Sungjong.

Bukan creepy karena pintunya yang ditutup perlahan. Tapi kalimat Myungsoo yang mengingatkannya akan sebuah fakta buruk bahwa besok mereka akan berada di satu sekolah yang sama.

Sungjong bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia menatap tangannya. Kenapa nasibnya bisa sesial ini, sih? Dia merebahkan tubuhnya kemudian memandang langit-langit kamar.

Haruskah aku mulai ke kuil besok? Mungkin aku akan mengambil beberapa kertas mantra untuk pelindung dari kesialan.

Ia menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. "Ya Tuhan..."

.

.

.

To be Continued...


A/N :

Hello! Dengan author disini!

Siapapun yang telah membaca fanfic buatan saya, saya mengucapkan, doumo, arigatou gozaimassucchi~
Hello Fahma, wassup? Nih, udah kuserahkan skripsiku. Walau masih banyak kekurangan. Heuheu. ~( `w')~

Saya bukan author baru di FFn, cuma akun dan fandomnya aja yang baru, hehe. Tapi tentunya masih banyak kekurangan, yak? :'3

Maaf kalau misalnya pembaca kurang merasa nyaman saat membaca Fanfic ini. Karena saya masih baru banget di fandom ini dan sebenernya diseret sama Pahma untuk masuk ke fandom ini. :'3 *fitnah

Ya udah deh. Gitu aja. Gatau harus bilang apalagi. :'D payah, ya?

Oh iya, apa ada yang baca fic ini juga merupakan penggemar SEVENTEEN? Bisa engga kita PM-PM-an gitu bahas orang-orang ini? *modus

Udah deh. Sekian. Salam~

alexssucchi