Tak lama setelah membuka mata di pagi hari karena digelitik suhu yang ekstrem, Eren menemukan ibunya tengah tersenyum mencurigakan di depan pintu apartemennya dengan iring-iringan segerombol barang bawaan di salah satu tangannya.

—pemandangan yang cukup membuat sang anak melengos miris.

"Ng…anu—" Eren mencabut sikat gigi yang bertengger di antara bibirnya. "—barusan ibu bilang apa, ya?" Ia terlihat loading dengan alis gelapnya yang mengerut. Mungkin pasta gigi rasa jeruk yang ia pakai tadi menghambat sinergi daya tangkapnya di pagi hari.

Carla Jaeger pun nyengir sumringah, "Iya, titip." Dengan cepat wanita beranak satu itu segera mengoper seperangkat barang-barang yang ia kemas dalam sebuah tas besar pada putranya yang saat ini masih bertampang setengah mengigau.

"Seminggu saja, anakku sayang. Ibu jamin dia tidak akan membuatmu repot," rajuknya dengan wajah mengharap.

"Oh…" Masih dengan rambut kusut cepak, Eren angguk-angguk sambil mengusap matanya.

Ah, betapa ia masih merindukan sentuhan kasur beserta bantal empuknya di kamar.

Oke, percepat urusan ini dan tidur lagi.

"Lalu, mana kucing yang mau di—"

Eren nyaris memekik histeria ala lady saat menemukan sebuntal kepala kecil tiba-tiba muncul dari balik tubuh ibunya. Oh, no—itu bukan kucing Persia sangar kesayangan ibunya. Dan lagi—apa 'sesuatu' itu baru saja memelototinya?

Carla berjongkok, mengusap kepala berwarna hitam yang ternyata adalah seorang bocah berwajah antagonis yang kemunculannya langsung menampar alam bawah sadar Eren.

"Nah…baik-baik ya, Rivaille. Minggu depan paman dan bibi akan menjemputmu lagi. Sementara kau tinggal di sini dengan anak bibi ini. Dan Eren—," ucapan Carla terputus saat ia menoleh ke arah anak semata wayangnya itu, "karena selama seminggu ini ibu akan pergi bersama ayahmu ke Istanbul, ibu menitipkan anak ini—."

Pembicaraan selanjutnya disensor, terdengar kian menjauh dan absurd. Suara ibunya seakan mengecil.

Dan Eren menganga dengan mulut berbusa. Well, dalam artian denotasi.


Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

Baby Sitter © Jeruk

Warning : OOC, AU, Typo(s), contain Sho–ai or BL, chaotically EYD

.

.

.

Enjoy!


Chapter 1


Dengan mata berkaca-kaca, tangan Eren hanya mampu menggapai udara saat sang ibunda berlari menjauh secara slow motion dengan indah sambil melambai anggun padanya. Ia merosot melawan dinding di sisi tubuhnya secara dramatis ala telenovela season lima bersama sebuah tas besar yang ada di pelukannya.

Entahlah, mendadak Eren ingin sekali menangis meraung di bawah siraman shower

"Hah!"

Setelah dua windu berlalu, ia akhirnya tersadar dari keautisan semunya bahwa sedari tadi ada seonggok bocah yang terus menatapnya curious.

Tengsin, Eren buru-buru mengambil posisi berjongkok sambil berdehem.

"Emm…a—aku Eren Jaeger, 23 tahun." Eren mulai garuk-garuk salting. "Eee…siapa tadi namamu?"

Yang ditanya malah melipat tangan dengan wajah berpaling. Eren pongo dibuatnya, ujung bibirnya tanpa sadar berkerut.

Tanpa bilang permisi terlebih dahulu si kecil melengos masuk begitu saja ke dalam kerajaan Eren, melewati sang tuan rumah yang masih menjulurkan tangan.

Yang paling tua pun menoleh ke dalam apartemennya dengan wajah bengis.

"Si kutil iniiii!"

Setelah mengelus dada, tarik nafas buang nafas, dan beristigfar, Eren bangkit dari posisi melankolisnya. Dengan segepok bawaan yang dititipkan sang ibu tercinta, Eren pun segera mengekor di belakang si bocah unnamed (bagi Eren). Anak itu berhenti melangkah begitu ia berada di mulut ruang utama. Mata hitamnya mengerling ke tiap sudut ruangan.

"Kau duduk di sana dulu," tegur pemuda itu sembari meletakan tas bawaannya di atas sofa. Tanpa memperhatikan bocah lelaki yang nampak mengobservasi isi ruangan, Eren melengang menuju dapur yang menyatu dengan ruang utama.

Ia menuangkan bubuk susu dan menyeduhnya dengan air panas, kemudian menghempaskan nafas penuh kenestapaan. Rasanya belum sampai lima belas menit ia bangun dari tidurnya, terhitung sudah lebih dari dua kali ia menghela nafas. Terlalu banyak bisa menimbulkan kesialan, menurut Eren.

Minggu pagi di saat matahari baru mengintip—kau dihadang ibumu di depan pintu rumahmu, dan dilempari seorang bocah kurang ajar beserta barang bawaannya selama seminggu. Nice! Eren tidak meminta lebih untuk liburan yang indah dan tenang.

Kembali dengan sepasang mug berisi susu cokelat dan kopi di masing-masing tangannya, Eren bernafas lega melihat anak itu sudah duduk dengan rapi di atas sofa. Tanpa sadar Eren grogi. Sejujurnya, ia tidak tahu apa yang harus diperbuat dalam menangani anak-anak. Ia bahkan tidak terbiasa berada di sekitar mereka, apalagi spesies tengil seperti bocah di depannya ini.

Eren menyodorkan mug putih ke seberang mejanya. "Kuharap kau tidak keberatan dengan susu cokelat."

Si kecil memperhatikan isi mug yang menguar aroma manis, kemudian berpaling ke wajah Eren—dan kembali menatap gelas di hadapannya. Eren menaikan kedua alisnya secara kasat. Untuk ukuran anak sekecil ini, ia terlihat cukup waspada.

"Aku hanya memberi sedikit gula." Senyum Eren akhirnya lumer.

Setelah melalui berbagai pertimbangan dan menyelidiki tiap inci gerakan otot yang mencurigakan di wajah Eren, bocah itu menyambar mug pemberian Eren dan menyesapnya perlahan. Eren pun melakukan hal serupa terhadap kopinya.

Selama sepersekian menit, mereka membiarkan keheningan hanya diisi oleh suara seruputan dari masing-masing gelas mereka—sampai akhirnya Eren menyerah oleh sorotan bocah di seberang meja yang tak melepaskan satu pun gerakannya.

Sekali lagi, ia berdehem dengan nada yang sungguh fail.

"Well, kid—," Eren meletakkan mugnya, mengerling pada tas besar di sisi kanan tubuhnya. Sebuah name–tag yang terlampir di punggung ransel besar tersebut menyedot perhatiannya.

'Rivaille'.

"Jadi namamu Rivaille?"

Yang ditanya hanya mengamati—tidak menjawab, namun jelas maksudnya bagi Eren.

"Yah—walaupun kau dan aku sama-sama berada dalam posisi yang dibingungkan, aku masih bisa meluruskannya sedikit." Pemuda itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan saat berbicara. Si bocah yang sejak awal telah di mention bernama Rivaille itu tetap diam memperhatikan—atau lebih tepatnya diam meneliti wajah manusia di hadapannya.

Eren yang sedang berbicara ini mendadak jadi salah tingkah dipelototi sedemikian rupa.

"Dari apa yang tadi ibuku katakan, kau akan tinggal di sini bersamaku selama…satu minggu." Saat mengucapkannya Eren merasa ingin memekik karena kebebasannya terampas oleh si kerdil ini. "Jujur saja, aku tidak tahu apa pun tentangmu. Jadi sekarang bisa kau beri tahu aku dari mana kau berasal atau kenapa kau dititipkan kepada kami? Soalnya ibuku sama sekali tidak—"

"Eren."

Alis Eren yang naik seakan berkata 'wah, dia bicara!'.

"Tempat ini kotor."

"Apa?"

"Rumahmu mirip kandang sapi." Ia menekankan lebih kritis dengan suara kanak-kanaknya yang cempreng.

Eren ingin sekali naik ke atas meja dan mengaum. Demi neptunus, ia sedang berbicara dengan serius!

"Dengar, nak, ak—"

"Dimana aku akan tidur?" Terlihat Rivaille melipat kedua kaki kecilnya secara angkuh, kemudian menyesap susu cokelatnya dengan khidmat.

Hidung bangir Eren nampak kembang kempis menahan perasaan gemasnya.

Easy, Eren, Easy! Sama anak kecil kau harus lembut dan bersahaja!

Terpaksa men-skip pertanyaannya sebelum ini, Eren menjawab setengah hati. "Di sini cuma ada satu kamar—kamarku. Kau bisa gunakan. Aku akan tidur di sofa."

Rivaille bergumam pelan. "Aku mau lihat kamarku." Dengan kaki-kaki kecilnya yang dibungkus celana kelabu selutut anak itu pun meloncat turun dari sofa setelah meletakan mugnya di meja. "Jangan lupa bawakan semua barang-barangku ke sana." Telunjuk kecilnya menuding ke arah wajah penuh kedut si tuan rumah.

Eren hanya sanggup memelototi punggung Rivaille saat bocah itu beranjak ke ruangan lain. Sambil misuh-misuh, nyatanya Eren tetap menggendong tas besar milik sang bocah dan menyeloyor ke arah Rivaille yang tengah menarik gagang pintu kamarnya.

Pintu kamar pun terbuka, menampilkan sebuah ruangan persegi bercat krem dengan ukuran sedang. Rivaille mendelik kasur dengan selimut yang berantakan, kemudian lemari baju besar dan sebuah cermin di sudut ruangan yang tertutupi oleh tumpukan kaos. Lalu matanya tertumbu pada sebuah meja kerja di sudut ruangan yang ditimbun tumpukan kertas tak jelas serta kekacauan pada lemari buku yang sanggup menciptakan decihan penuh penghinaan dari mulut kecil bocah itu.

Dan Eren merasakan hatinya nyeri setengah mati dengan ekspresi minim Rivaille.

"Maaf ya, bocah! Kamarku ini memang hina dan tidak layak huni," cibir yang lebih tua seraya meletakkan bawaannya di atas kasur.

Eren mengedar di sekitar kamarnya saat ia memunguti satu persatu pakaian yang berserakan di sekitar lantai dan kasurnya. Sedangkan Rivaille merasa enggan untuk melangkah dari posisi berdirinya saat ini—hanya menatap Eren yang berseliweran di depan hidungnya.

"Eren."

Merasa ujung piyamanya ditarik, Eren menoleh menghadap Rivaille yang mendongak padanya.

Ia berjongkok di hapadan si kecil. "Hei, panggil aku kakak." Eren mencibir ringan, mengacak-acak rambut legam si kecil—yang langsung disingkirkan oleh empunya.

"Kau bisa tidur di lemari kalau mau." Bocah itu berujar enteng sambil menunjuk lemari besar di balik punggung kecilnya.

"Memangnya aku Doraemon!" Pemuda tempramen itu pun misuh-misuh lagi.

Lanjut dengan acara merapikan ruang kamar untuk tamu kecilnya, Eren bahkan lupa untuk mengganti piyama tidurnya sejak tadi. Pemuda brunette itu terlalu khusyuk menata buku-buku yang tersusun acak di lemari bukunya dan mengemas dokumen-dokumen tak terpakai ke dalam dus besar. Ia membiarkan Rivaille menginvasi isi lemarinya untuk separuh ia gunakan menaruh pakaiannya.

Acara bertajuk kebersihan sebagian dari iman ini tidak akan pernah berakhir kalau saja suara gemuruh halus tidak sampai ke telinga Eren.

Yang lebih tua menoleh ke belakang—tersenyum jenaka ke arah Rivaille yang dengan teladan masih meletakkan pakaiannya ke dalam lemari.

Eren tidak merasa heran saat jam digital di atas meja menunjukan nyaris pukul setengah sembilan.

"Kau lapar?"

Rivaille mendengus tertahan. "…Tidak."

Di saat seperti ini ego anak itu tetap saja bertahan. Eren ingin sekali tertawa.

Eren bangkit dari posisinya untuk menghampiri yang lebih muda. "Baiklah, bagaimana kalau istirahat sebentar?"

"…"

"Kurasa aku sudah mulai kehabisan tenaga."

Rivaille menoleh.

"Give up." Dua tangan Eren mengapung di udara.

Diam sejenak, akhirnya Rivaille memilih menutup pintu lemari dan berbalik.

"Apa boleh buat."

Eren pun nyengir saat anak itu mengekorinya dengan patuh menuju dapur.

.

.

.

"Kau bisa makan pancake nanti siang. Sementara cuma ini yang bisa kubuat." Meletakkan dua piring omelette di atas mini bar dapurnya, Eren duduk bersisian dengan Rivaille yang menunggunya khidmat dengan kaki terayun.

Tanpa babibu lagi, anak itu segera menyantap makanannya—yang kontan membuat Eren cukup terkesiap.

Benar kelaparan sepertinya.

Tanpa sadar Eren menunggunya dengan wajah kelewat kepo.

"Bagaimana?"

Rivaille tetap makan tanpa memperdulikan Eren. Mengangkat bahunya singkat, Eren pun akhirnya ikut menyantap sarapannya. Hanya ada suara peralatan makan yang saling beradu dengan piring. Sesekali Eren menoleh pada Rivaille. Ia kagum, anak ini ternyata bisa makan sambil main orkestra dengan cara makannya yang kelewat heboh.

"Hei… Omong-omong aku belum tahu, berapa usiamu?"

Rivaille masih asyik dengan telur dadarnya.

"Selama di sini kau akan tetap bersekolah, kan?"

Masih diam.

Eren pun menghela nafas pasrah. "Kau tahu, besok aku harus mengajar jadi—"

"Kau seorang guru?"

Eren menoleh, cukup terkejut kalimatnya kali ini ditanggapi. Sepasang alis gelapnya naik saat mendapati atensi anak itu sepenuhnya ada pada dirinya. "Y—ya, semacam itulah. Sebenarnya aku masih asisten, sih."

"Hum…" Rivaille mengangguk polos, lalu kembali mencurahkan segala perhatian pada hidangan di depan hidungnya—kembali menggerakan (atau memainkan) peralatan makannya.

Bibir Eren keriting. Kalau diamati melalui kacamata hati nurani dan ketulusan, anak di sampingnya ini sangatlah menggemaskan. Lihat saja dari cara makannya yang persis seperti babi.

Sebuah dengusan halus meluncur dari hidung Eren saat pemuda itu berusaha menahan tawanya.

"Santai saja, kid. Aku bisa buatkan sebanyak yang kau mau."

Pelan-pelan ia menyeka butiran nasi yang menempeli wajah Rivaille, memungutinya satu persatu—lalu memakannya.

Okay, jiwa keibu-ibuan Eren akhirnya bangkit pemirsa!

Yang diperlakukan sedemikian lembut layaknya seorang lansia pun hanya terpaku dengan syahdu sebelum akhirnya Rivaille memutuskan untuk memalingkan wajah gembulnya pada piring yang sudah setengah habis.

Eren memiringkan kepalanya. Perasaannya saja atau barusan ia melihat pipi bocah itu menyala—walau hanya sepersekian detik.


-tbc-


Halo! Salam kenal semua, 'am Jeruk X3 Entah kenapa saat ini lebih tergila-gila sama Eren x Rivaille XD (digiling)

Thanks for reading! XD Jangan lupa tinggalkan jejak review-nya ya~

Reviews are loved!