Janji cerita tahun baru...
Sorry for typo :''
Selamat membaca ^^
.
.
LOVE SICK
.
.
.
Seorang perempuan keluar dari ruangan yang bertuliskan "ruang guru" dengan wajah yang ditekuk sempurna. Tangannya terkulai lemah dengan kertas lecak tergantung tak bernyawa. Langkahnya tidak selemah tangannya, hanya saja ia berjalan ke tempat yang bukan seharusnya, atap sekolah. Kakinya berhenti saat pijakan akhirnya menemukan pintu ke alam bebasnya, ia membuka pintu dan hembusan angin lembut segera menyapanya.
Dadanya mengempis menghirup alam bebas, setelah itu ia mendekati balkon yang hanya setinggi pinggangnya. Ia mengintip ke bawah, ia merinding, betapa mengerikannya jika ia melompat dari sini. Hembusan angin yang tak lagi malu-malu membuat kakinya mundur selngkah, tetapi kertasnya ikut terbang ke alam bebas yang ia dambakan.
"Andwae–" tiba-tiba tubuhnya hilang keseimbangan dan–
Bugh!
"Aw!"
"Ya momchongi! Kau ingin cari mati? Kenapa tidak mati tertabrak atau gantung diri saja di ruang sepi?! Kalaupun ingin mati lompat dari atap sekolah seharusnya lakukan di malam hari, bukan saat seseorang ada di sini!"
Suara berat yang kasar menyadarkan akal sehat perempuan itu. Ia mengalihkan pandangan pada tangannya ke seseorang di hadapannya. Raut wajahnya yang shock berubah memerah. "Ya! Ini semua juga gara-gara kau berandal bodoh! Lihat, aku kehilangan kertas nilai hasil ujianku! Agh! Eotteokhae!"
"Kalau begitu seharusnya aku membiarkanmu mati saja, sudah ditolong tapi tidak tahu terima kasih–"
"Tidak ada alasan untuk berterima kasih pada pembuat onar sepertimu!" tatapannya tajam menusuk mata elang di hadapannya yang tentu saja membuat si laki-laki penolongnya hanya menyeringai.
Ketika ia ingin pergi, si laki-laki menarik tangannya cukup kuat dan membawanya ke balik pintu yang merupakan gudang sekolah.
"Ya!–"
Si laki-laki dengan cepat membungkamnya dan mendekati telinga si perempuan, "diam sebentar jika kau ingin tetap hidup" bisiknya. Si perempuan menatapnya marah dan mencoba memberontak, tetapi tentu saja tenaganya tak sebesar si pembuat onar itu.
"Pecundang itu tidak di sini bos!" terdengar teriakan dari luar. Tak lama, suara bel juga berbunyi, membuat perempuan itu menendang kaki yang membungkamnya dan berhasil bernapas lega.
"Hahh, aku pergi!" bisik perempuan itu ketus. Laki-laki yang bersamanya kembali menarik tangannya. "Lepas bereng–"
"Agh! Seharusnya aku bunuh saja dia sekalian! Merepotkan sekali!"
Ucapan yang di dengar kedua orang di dalam gudang itu membuat pergerakan keduanya terhenti. Perempuan yang memberontak itu juga sudah mulai tenang, seperti mengerti situasinya. Ditambah lagi ia baru menyadari bahwa laki-laki di hadapannya penuh dengan luka lebam di wajahnya. Ia hanya menarik tangannya dan diam di tempat.
"Cepat pergi sebelum si Park (Guru kedisiplinan) menemukan kita!"
Setelah kepergian orang-orang di luar sana, murid perempuan itu memandang remeh laki-laki di hadapannya, "bahkan pembuat onar sepertimu dikejar para perman itu? Sial sekali, sudah harus berurusan denganmu ditambah lagi bersembunyi dari pereman tak berpendidikan itu."
Si laki-laki memutar bola matanya, ia sudah jengah dengan perempuan gila ini. "Luhan…" perempuan itu menoleh, "kau Luhan kan? Si gila nilai?"
Perempuan yang ternyata adalah teman satu kelasnya, Luhan, mengangkat satu alisnya, "aku tidak tersinggung jika kau tidak mengenaliku… bahkan dengan name tag yang jelas tertempel di seragamku" jawabannya sungguh mengejutkan. Mengapa ada perempuan sekasar ini, pikirnya.
"Kau–"
"Ya, kenapa pintunya tak bisa dibuka?" tanya Luhan. Ia terus mencoba membuka pintunya dengan keras, tetapi tak berhasil.
"Minggir!" laki-laki itu juga mencoba membukanya, bahkan mencoba dengan keras, tetapi nihil. "Pintu ini rusak," ucapnya.
"Mwo?" Luhan kembali mencoba menggerakkan gagang pintu, tetapi usahanya hanya membuat tangannya perih.
"Aku tahu kau pintar, tetapi ternyata kau tidak mengerti bahasa manusia yang mengatakan pintunya rusak."
"Oh Sehun…"
"Wow kau tahu namaku," ucapan takjub itu tidak berarti apapun bagi Luhan.
"…mungkin pembuat onar yang selalu menganggap remeh dunia sepertimu tidak tahu bagaimana rasanya berusaha. Sering membolos pelajaran, selalu dihukum, tidak sopan, kasar…"
"Ya!–" Sehun merasa cukup terhina meski semua itu benar. Tidak perlu diperjelas, geramnya.
"…tapi… kau selalu saja mendapat peringkat pertama, bahkan wali kelas selalu membelamu! Dan juga, untuk apa aku bersedia mencarimu untuk menyampaikan kau terpilih sebagai wakil sekolah dalam olimpiade! Mengapa kau sangat menyebalkan, dunia seperti tidak adil bagiku!" Luhan menatap Sehun menyalang dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku membencimu!" Ia sudah tidak tahan, ia benar-benar ingin menyela Sehun sampai titik terdalam.
Sehun hanya bisa terdiam, ia cukup terkejut mendengar ucapan menyedihkan dari teman sekelasnya yang berpredikat anak pintar itu. Ia juga baru menyadari bahwa peringkat tingginya itu selalu dihina orang lain karena perilakunya, tetapi itu bukan keinginannya memiliki nilai tinggi.
"Aku tidak masalah kau membenciku, tetapi dunia bagiku juga tidak adil." Jawab Sehun.
"Aku tidak peduli," Luhan kembali mencoba membuka pintu, bahkan ia berteriak dan menendang. "Sial sekali agh! Aku dalam masalah jika membolos seperti ini!" tanpa lelah Luhan terus menendang dan tanpa sadar air matanya mengalir. Ia sangat takut saat ini, kemungkinan dirinya membuat masalah untuk pertama kalinya membuat dirinya seperti kesetanan.
Sehun melihatnya, ia melihat bagaimana Luhan begitu frustasi sedangkan ia hanya merasa tenang. "Apa kau membawa ponsel? Ponselku tertinggal di kelas," ucap Sehun akhirnya. Luhan berhenti menendang, ia merespon pertanyaan Sehun, ia mengeluarkan ponselnya, tetapi kemudian ia kembali memasukkan ponselnya.
"Ya! kau tidak bodoh kan? Minta temanmu menolong kita!" Sehun semakin tak mengerti dengan jalan pikiran Luhan.
Luhan terlihat kebingungan, "ti-tidak perlu. Penjaga gedung akan datang," ucapnya lalu duduk bersandar di dekat pintu, tidak lagi mengamuk.
Sehun mendengus, ia tidak bisa diam saja di sana, pereman yang mengejarnya akan menemukannya jika masih berada di sekolah. Ia mendekati jendela yang dipaku dengan kayu, tidak mungkin membukanya karena sangat kuat. Luhan memerhatikannya dalam diam, ketika Sehun ke arahnya, Luhan mengalihkan pandangannya.
"Sampai kapan kau menunggu? Sore nanti? Jangan bodoh. Pinjamkan ponselmu, aku akan menghubungi temanku," ucap Sehun akhirnya.
Luhan mengeluarkan ponselnya dalam diam dan menyerahkannya pada Sehun. Membuka ponsel Luhan sangat mudah ternyata, tanpa ada kode yang ia gunakan membuat Sehun sedikit aneh. Apa ponselnya tidak berharga sama sekali? Pikir Sehun. Sebelum menghubungi temannya, Sehun mencuri buka kontak ponsel Luhan, sungguh mengejutkan tidak ada kontak lain selain, Nyonya Lu, Baba, dan Lee Seonsaengnim–walikelas mereka. Apa Luhan tidak memiliki teman? Pikir Sehun.
"Sudah belum?" tanya Luhan membuat Sehun dengan cepat memencet nomor temannya yang unungya ia hapal.
"Sebentar," jawab Sehun. "Chanyeol-ah, bisa kau ke atap sekarang? … hm, gudang, aku terjebak. Hm, araseo." Setelah itu Sehun mengembalikan ponsel Luhan tanpa berkata apapun.
Keadaan hening karena keduanya tak lagi memiliki energi untuk berbicara, ruangan terlalu panas dan pengap. Sehun melihat Luhan yang sepertinya mulai kesulitan bernapas.
"Gwaenchanha?" tanya Sehun.
"Sehun-ah! Kau di dalam?" teriak seseorang dari luar.
Sehun mendekat ke pintu, "cepat buka pintunya,"
"Sebentar, mereka mengganjal pintunya."
Tak lama pintu terbuka, oksigen dengan cepat masuk ke paru-paru mereka. Sehun melihat Luhan melangkah pergi dengan dan hampir terhuyung, "Luhan!" tapi yang dipanggil tidak merespon dan terus berjalan menjauh.
"Ada apa ini? Itu si pintar dari kelasmu kan? Kenapa kalian bisa bersama?" tanya Chanyeol, pandangannya berubah seperti orang idiot saat membayangkan sesuatu.
Sehun memukul kepala sahabatnya itu dengan keras, "hilangkan pikiran sintingmu itu! Lebih baik aku pulang,"
"Lagi? Lalu, bagaimana dengan hukumanmu?" tanya Chanyeol.
"Aku akan mendapat hukuman lebih lagi, tidak masalah. Kkaja," ajak Sehun mendahului Chanyeol yang sempat ngeri sambil menatap punggung sahabatnya.
Sehun menuju gerbang belakang untuk dapat keluar dari sekolah. Untungnya dengan mudah ia bisa keluar tanpa bertemu dengan satupun guru atau penjaga di sana. Langkahnya terhenti saat menginjak sesuatum ia membungkuk untuk mengambilnya. Ia menyeringai saat melihat nama yang ia kenal. "Luhan, kau akan berterima kasih setelah ini," ucap Sehun lalu bergegas pulang.
Sebenarnya Sehun adalah pembuat onar nomor satu di sekolah. Ratusan kertas permintaan maaf dan hukuman membersihkan toilet dan asrama sudah berkali-kali ia dapatkan. Pembuat onar disini maksudnya, berkelahi, memeras, dan merusak sarana sekolah. Padahal yang ia lakukan hanya berkelahi dengan para penganggu yang mengganggu siswa lemah, memeras itu lebih ke meminta imbalan setelah membantu mereka meski terkadang ia tidak melihat situasi perekonomian yang dibantunya, dan sering sekali menghancurkan sarana sekolah setelah berkelahi.
Alasan ia sampai dikejar para pereman sekolah itu adalah, Sehun menolak bergabung dengan para pereman itu. Sehun tahu, ia hanya dibutuhkan kekuatannya saja untuk menghajar musuh-musuh mereka. Sehun juga tidak suka jika mencari masalah, ia hanya suka menyelesaikan masalah dengan berkelahi.
Sekolah berasrama? Ya, Bailon High School adalah sekolah berasrama ternama di Seoul. Ternama karena prestasi dan juga ternama karena keganasan muridnya, ganas dalam hal pelajaran dan ganas dalam hal berkuasa. Tidak sedikit murid sekolah lain yang turun mental setelah dihadapkan dengan murid Bailon.
Mengapa berandal seperti mereka mau tinggal di asrama? Jawabannya cukup mudah, mereka yang bersekolah di sini memiliki keluarga kaya raya yang hanya ingin menyekolahkan anaknya di tempat bergengsi seperti Bailon High School ini. Peraturan keluarga mereka yang ketat mengharuskan mereka bersekolah di sini mau tidak mau agar tidak dibuang dari keluarga kaya mereka. Asrama Bailon juga memiliki sistem keamanan ketat yang bisa dijadikan tempat aman bagi para berandal itu.
Sehun menuju rumahnya, bukan asramanya. Rumah adalah tempat lebih aman baginya daripada asrama. Ia tidak akan menemui siapapun di rumahnya kecuali para pembantunya yang tidak akan melaporkan apapun kepada orangtuanya yang sibuk berbisnis di belahan dunia lain.
Sesampainya di rumah, Sehun segera masuk ke kamarnya tanpa berniat keluar sedikitpun. Ia melihat penampakannya di cermin, sungguh berantakan. Ketukan pintu terdengar, "tuan muda, saya sudah bawakan air es dan obat,"
"Masuk saja, ahjjuma"
Pembantunya itu cukup terkejut dengan luka yang memenuhi wajah tampan anak majikannya itu, "tuan muda–"
"Gamsahamnida ahjumma, aku baik-baik saja. Aku bisa mengobatinya," ucap Sehun mencoba ramah. Setelah kepergian pembantunya, Sehun mengganti pakaiannya dan mencuci lukanya sebelum mengobatinya.
"Aw! Sshhh… si berengsek itu memukul terlalu kuat," kesal Sehun, ia mengobati lukanya dengan cepat dan asal, ia sudah tak tahan, ia terlalu lelah untuk sekedar mengobati lukanya. Setelah itu Sehun memilih berbaring di ranjangnya, ia mencari ponselnya, kemudian ia ingat tasnya dititipkan pada Chanyeol. Ia tidak ambil pusing, sebaiknya ia tidur sebelum kembali ke asrama.
Beberapa jam berlalu, Sehun tidak sedikitpun terusik dari istirahatnya. Pintu kamarnya kembali diketuk, "tuan muda…" satu kali panggilan belum membuat Sehun terbangun.
"Tuan muda…"
"Tuan muda,"
"Masuk," akhirnya jawaban terdengar.
"Maaf tuan muda, teman Anda menunggu di bawah"
Sehun hanya menggumam, setelah pintu kamarnya kembali tertutup, ia membuka selimutnya. Teman… siapa yang mengunjunginya? Apa Chanyeol kabur dari asrama? Tidak mungkin, pikirnya. Kai? Mungkin saja. Sehun lalu bergegas mengganti pakaiannya agar bisa langsung kembali ke asrama, Kai bisa mengantarnya kalau begitu.
Ketika Sehun sudah di bawah, ia tidak lagi bisa bergerak, apa ia berhalusinasi? Mengapa Kai berubah menjadi perempuan menyebalkan ini?
"Ba-bagaimana– a-apa yang kau lakukan di rumahku? Kau–"
Ternyata perempuan itu adalah Luhan, ia menyerahkan tas Sehun tanpa memandang Sehun, "seharusnya kau berterima kasih," ucap Luhan.
Sehun menggeleng tak percaya, "apanya yang harus diterima kasihkan?"
Luhan mendengus, "aku sampai membolos les piano untuk mengembalikan tasmu,"
Sehun menatap Luhan aneh, "aku tak pernah memintamu mengembalikan tasku– ah, ya sama-sama, bantuan tadi siang bukan masalah," ia menganggap Luhan berterima kasih padanya.
"Terserah!" ketus Luhan.
"Bagaimana kau bisa keluar asrama?" tanya Sehun penasaran.
Luhan berbicara tanpa memandang Sehun, "jika kau berprestasi dengan berbagai les yang kau ikuti, sekolah memberi waktu untuk keluar asrama dengan tujuan itu. Ibuku tidak mungkin tidak bisa mengurusnya," jawaban Luhan yang terkesan sombong itu tidak menyinggung Sehun sama sekali, malahan Sehun merasa Luhan sedang tertekan saat ini.
"Sampai kapan kau terus memandang fotoku? Aku bahkan ada di depanmu," ucapan Sehun membuat Luhan terkejut. Luhan memang memandang foto keluarga Sehun sebagai pengganti Sehun yang tidak ingin ia tatap.
"Jangan bercanda!" kesal Luhan, ia kini menatap Sehun. Mata rusanya sedikit membesar melihat warna biru yang menghiasi wajah Sehun. Luhan mengambil salep dari tas kecilnya, ia mendekat pada Sehun.
"Ya, mau apa kau?" tanya Sehun takut.
"Diamlah! Kau terlalu bodoh sekedar untuk mengobati lukamu." Ucap Luhan datar.
Sehun mendadak kesal, "berhentilah memanggilku bodoh jika kenyataannya peringkatmu di bawah– aw! Sakit!"
Luhan tertawa meremehkan, "lemah sekali, pantas kau dipukuli,"
"Kau–"
"Apa itu kekasih tuan muda?"
"Sepertinya, mereka serasi sekali"
"Akhirnya ada yang berani pada tuan muda"
"Mereka lucu sekali,"
Wajah Sehun panas mendengar obrolan para pembantunya yang sama sekali tak berdasar, ia melihat Luhan. Ugh, ia tidak bisa bernapas, Luhan terlalu dekat. Luhan tampak tenang, seperti tidak mendengar ucapan para pembantunya.
"Sudah, aku pergi," ucap Luhan setelah sentuhan akhir pada luka Sehun, lalu ia mengambil tasnya.
"Kau akan kembali ke asrama?" tanya Sehun.
"Ya,"
"Bagaimana kau ke sana?"
"Taksi, mungkin…"
"Kalau begitu tunggu sebentar," Sehun bergegas kembali ke kamarnya dan tidak sampai 2 menit ia sudah kembali.
"Ayo," ajak Sehun.
"Ke mana?" tanya Luhan.
"Asrama, kau ingin ke sana menggunakan taksi? Jangan bodoh, ini sudah malam. Sebentar lagi asrama ditutup"
"Masuklah," tanpa disangka Sehun membukakan pintu untuk Luhan.
Keheningan tercipta saat keduanya berada di mobil. Bukan keheningan yang merasa canggung, keduanya merasa biasa saja, sungguh. "Buka dasbor itu, kau akan menemukan kertas," ucap Sehun.
Tanpa curiga, Luhan menuruti perkataan Sehun. Ia menemukan secarik kertas, daftar nilainya. "Kau mencarinya?"
Sehun tertawa pendek, "tentu saja tidak, menghabiskan waktu saja."
"Oh…"
"Wae?" tanya Sehun saat melihat wajah Luhan yang murung.
"Lebih baik kau buang saja nilai tidak berguna ini. Aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu nilai buruk ini,"
Tentu saja terkejut mendengar penuturan Luhan, nilai sempurna seperti itu dibilang buruk? "Kau berada di peringkat dua itu bukan buruk, Luhan, setidaknya kau harus senang dengan nilaimu,"
"Tentu saja peringkat satu sepertimu tidak akan mengerti,"
Sehun menghela napas lelah, berargumen dengan Luhan tidak akan ada gunanya. Luhan terlalu terobsesi dengan nilai dan keras kepala. Jika dilihat dari kontak nama yang ia tulis untuk ibunya, sepertinya hubungan mereka tidak baik. Sehun menggelengkan kepalanya, ia sudah pusing.
"Bukankah sekolah melarang siswa membawa kendaraan?" tanya Luhan.
"Diam dan tunggu saja," jawab Sehun.
Mereka berhenti di sebuah bengkel belakang sekolah, ternyata seperti ini cara Sehun menyembunyikan mobilnya. "Hyung, aku titip mobilku," ucap Sehun.
"Tentu saja…" pria yang lebih tua dari Sehun itu memberi kode seakan bertanya siapa perempuan yang bersama Sehun.
"Temanku," jawab Sehun sekenanya. "Kami pergi, hyung!"
"Ya… jangan lupa kenalkan dia jika sudah menjadi kekasihmu!" teriak hyung-nya. Sehun tidak meresponnya, hal itu benar-benar tidak berdasar.
.
.
Dua hari setelah insiden Sehun dan Luhan terjebak di gudang dan saling mencela. Keduanya kini menjalani sekolah seperti biasanya. Mereka bersikap seperti teman sekelas yang tidak saling kenal. Sehun masih sering mendapat hukuman dan Luhan selalu belajar dimanapun ia berada.
Hasil ujiannya yang buruk membuatnya harus terus belajar tanpa istirahat. Ibunya tidak menyukai bagaimana nilai Luhan yang turun dari sebelumnya. Sejak itu, Luhan terlihat mengisolasi dirinya sendiri.
Saat ini, bel istirahat sudah berbunyi, tentu saja para siswa berlarian menuju kantin untuk mendapat makanan pertama yang masih baik dan banyak. Hal itu tidak berlaku untuk Luhan, ia hanya mengeluarkan roti dan kembali membuka bukunya. Ia masih sibuk belajar, bahkan di jam istirahatnya.
Sehun sebenarnya memerhatikan Luhan sedari pagi, ia tak melihat Luhan beranjak dari kursinya hingga siang ini. Ia ingin menghampiri Luhan sebelum sebuah suara menyadarkannya, "hei bro! cepat ke kantin, bodoh!" teriak si lelaki tinggi, Chanyeol. Sehun terkejut, ia mengurungkan niatnya menghampiri Luhan, ia berlari keluar kelas mengejar sahabatnya.
"Sehun! Kau tidak makan?" tanya Chanyeool ketika Sehun menuju kantin makanan ringan bukannya menuju tempat makan.
"Aku belum lapar, aku makan saat guru bahasa inggris tidak masuk," kekeh Sehun.
Chanyeol menatap sahabatnya tidak percaya, "kau picik sekali Oh Sehun,"
"Aku ke kelas," Sehun meninju pelan lengan Chanyeol.
"Ya!" teriak Chanyeol yang makanannya hampir tumpah.
Sehun sampai di kelas, ia menemukan Luhan yang tertidur di meja. "Jika lelah seharusnya kau tidur, momchongi," gumam Sehun pelan. Ia meletakkan susu yang baru saja ia beli di atas meja Luhan. Ia melirik buku yang sedang Luhan kerjakan. Sehun tersenyum kecil saat menemukan kesalahan Luhan menjawab pertanyaan. Ia memutar buku tersebut dan mengambil pena dari tangan Luhan dengan hati-hati lalu mengerjakan beberapa soal. Ia menuliskan sesuatu di buku Luhan sebelum kembali keluar kelas.
Tak lama Luhan bangun karena terusik kebisingan, ia mengerjapkan matanya, dan memukul kecil pipinya. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit, tentu saja karena ia kurang tidur. Luhan merasa lapar, tapi ia tak bisa ke kantin saat ini, tidak ada waktu untuk itu. Teman-temannya sudah kembali dari kantin, berapa lama ia tertidur? Pikirnya. Matanya menemukan sekotak susu di mejanya, "milik siapa ini?" tanya Luhan. Ia mengangkat kedua bahunya lalu meninggalkan susu tersebut, ia memilih menyelesaikan tugasnya.
"A-apa-apann ini?" tanya Luhan terkejut, ia menemukan tugasnya sudah terisi semua dan bahkan beberapa jawabannya ada yang dikoreksi. Ia memastikan bahwa buku itu benar miliknya dan itu memang miliknya.
"Momchongi, berhentilah ketika kau lelah. Minumlah susumu," Luhan membaca tulisan di bawah bukunya. Ia merasa kesal, tentu saja ia tahu siapa yang meremehkannya ini.
Luhan bangkit dari kursinya untuk pertama kali hari ini, ia menghampiri kursi Sehun di belakang. Ia melemparkan bukunya ke kepala Sehun yang sedang tiduran di atas meja. Sehun terkejut dan mengangkat kepalanya.
"Kau ingin pamer hah?!" teriak Luhan, membuat kelasnya hening dan berpusat pada keduanya.
"Apa maksudmu?" tanya Sehun tidak paham, memangnya kesalahan apa yang ia lakukan, pikir Sehun.
"Jangan berpura-pura! Kau ingin pamer kan bahwa kau lebih pintar dariku Oh Sehun? Kau menyelesaikan tugasku dan meremehkanku!" teriak Luhan. Sehun tidak tahu lagi sebenarnya apa yang Luhan pikirkan tentangnya, membantu sama dengan pamer dan meremehkan, Luhan memang gila. Pikir Sehun. Ia cukup menyesal telah mengkhawatirkan Luhan.
"Sifatnya buruk sekali," celetuk yang lain.
"Bahkan Sehun si pembuat onar lebih baik darinya,"
"Mengapa dia tidak pernah mau menerima keadaannya sih!"
"Obsesinya pada nilai parah sekali. Dia bukan Tuhan yang sempurna"
Luhan sudah naik darah saat ini, ditambah teman sekelasnya yang mulai menghujatnya, ia benar-benar membenci pria pringkat satu yang menurutnya tak pantas ini.
"Hentikan Luhan," bisik Sehun.
"JAWAB AKU!"
Sehun menarik tangan Luhan, "ikut aku!" perintahnya, tetapi Luhan menghempaskan begitu saja tangan Sehun. Tidak lagi ada teriakan Luhan, yang ada teriakan teman sekelas mereka.
"Astaga!"
"Apa yang terjadi?"
Sehun terkejut melihat Luhan sudah tergeletak di lantai, ia segera mengangkat Luhan menuju ke ruang kesehatan. Darah dari hidung Luhan tidak juga berhenti, Sehun sedikit berlari. Sesampainya di ruang kesehatan, Sehun meletakkan Luhan di ranjang.
"Ada apa ini?" tanya perawat yang berjaga.
"Sepertinya ia kelelahan, tidak tidur, dan tidak makan berhari-hari," jawab Sehun asal, tentu saja Sehun tidak tahu secara rinci, ia hanya melebihkan. Sehun hanya ingin Luhan mendapat penanganan yang baik.
Perawat mulai memeriksa Luhan sedangkan Sehun berdiri tak jauh dari sana. "Benar, Luhan sangat kelelahan dan kurang nutrisi. Aku meresepkan vitamin untuknya, jika ia sudah siuman tolong pastikan ia makan dan beristirahat" pesannya.
Sehun hanya diam, tidak mengiyakan dan juga tidak menolak. Ia berpikir, untuk apa ia melakukan itu semua untuk si bodoh yang sombong ini, tidak penting.
"Haksaeng, kau dengar?" tanya perawat.
"Y-ya…" jawab Sehun setengah hati. Ia tidak benar-benar ingin berurusan dengan Luhan, tapi kenapa kakinya tidak juga melangkah keluar? Malahan ia duduk di ranjang samping tempat Luhan terbaring.
"Momchongi yang menyusahkan…" gumam Sehun.
"Kau bisa pergi kalau begitu," ucapan Luhan cukup jelas ditelinga Sehun meskipun sangat pelan. Luhan sudah siuman, hanya saja ia belum mau membuka mata.
"Kau sudah siuman? Buka matamu, kau seperti zombie jika berbicara sambil tidur," Sehun masih sempat-sempatnya mengatai Luhan yang berbaring lemah.
Luhan membuka matanya, Sehun sempat tertegun melihat mata Luhan yang berkaca-kaca, tetapi ia tak mengatakan apapun. Luhan menarik selimut sampai menutupi wajahnya dan berbalik memunggungi Sehun. Di dalam sana Sehun tahu bahwa Luhan sedang menangis. Pikiran Sehun berkecamuk, ia tidak tahu apa yang dialami Luhan sampai Luhan memakinya saat berniat membantu. Tanpa sadar, Sehun mengangkat tangannya mengusap kepala Luhan yang tidak tertutup selimut. Luhan berhenti bergetar, ia sepertinya terkejut mendapat usapan di kepalanya. Sehun yang juga terkejut menjauhkan tangannya, "cepat bangun, kau perlu makan" ucap Sehun dengan canggung.
"Kau bisa berjalan?" tanya Sehun. Luhan hanya mengangguk dan mengikuti Sehun dari belakang.
Saat Luhan mengambil makanan, Sehun juga ikut mengambil makanannya. Luhan melihatnya, tetapi ia sungkan untuk bertanya. Sehun yang mengetahui Luhan terus melirik padanya membuka suara, "aku belum makan. Bukankah makan berdua lebih baik daripada aku harus melihatmu makan?"
Luhan sedikit malu ternyata Sehun mengetahuinya, ia berdehem, "bukan urusanku," jawab Luhan. Sehun hanya mendesah sebal, Luhan yang sakit tidak lebih baik daripada Luhan yang normal. Mereka memilih meja di tengah-tengah. Keduanya makan dalam hening, kantin sudah tidak ada murid lain membuat suara dentigan sendok mereka terdegar berisik.
"Gomawo," ucap Luhan tiba-tiba.
Sehun yang belum siap mendengarnya hanya menatap Luhan bingung, apa Luhan sedang berterima kasih padanya? Pikirnya. "Mworago?" tanya Sehun.
"Tidak ada siaran ulang," jawaban Luhan membuat Sehun berdecak.
"Jika tidak tulus, tidak usah diucapkan"
Luhan meletakkan sendoknya membuat Sehun menatapnya, "aku bilang, gomawo… sudah menolongku."
Sehun mengangguk, akhirnya si sombong ini bisa berterima kasih juga, "aku memaafkanmu"
Luhan menatap Sehun tak suka, "aku berterima kasih bukan meminta maaf"
Sehun mengedikkan bahunya, "aku pikir itu permintaan maaf," ucapnya santai sambil masih asik menyantap makan siangnya.
Luhan menatap Sehun sampai Sehun balik menatapnya, "perbuatanmu salah Oh Sehun, aku tidak menolerir seseorang yang ikut campur masalahku!"
"Tapi kau juga salah Luhan, kau murka padaku saat aku membantumu? Kau gila juga rupanya," balas Sehun.
"Aku memang gila, apalagi jika terus berurusan denganmu–" Luhan terdiam saat Sehun pergi dari hadapannya. Ia tidak berniat terus menyebalkan seperti ini, tetapi egonya terlalu tinggi untuk tidak bersikap seperti ini. Luhan menunduk menatap makanannya, seharusnya ia tidak sekejam ini, pantas saja teman-teman sekelasnya tidak ada yang ingin dekat dengannya.
Sebuah gelas tersodor padanya, "cepat minum vitaminmu jika tidak ingin makan lagi!" ternyata Sehun pergi utuk mengambilkan Luhan minum, ia juga menyerahkan sebutir vitamin untuk Luhan.
"M-mwo?" Luhan tidak percaya apa yang ia dengar saat ini.
"Lanjutkan omelanmu…" pinta Sehun sambil bertopang dagu. Luhan tidak mengatakan apa-apa lagi, ia mengambil vitamin dan meminumnya. "Dengar ya Luhan. Kau tidak memberitahu apa masalahmu padaku, jadi aku tak tahu apa masalahmu. Bagiamana kau bisa mengatakan aku ikut campur masalahmu? Aku hanya ingin membantu sebagai teman, bukan untuk pamer sebagai saingan." Jelas Sehun. Luhan masih bungkam, yang dikatakan Sehun memang benar. Satu kata yang membuat Luhan sedikit tenang, teman? Apa Sehun menjadi temannya?
"Te-teman?" tanya Luhan.
"Aku sekelas denganmu, tentu saja aku temanmu!"
Luhan kembali muram, Sehun sama seperti teman-teman sekelasnya yang lain. Memang semua tidak ada yang berbeda, mereka akan meninggalkan Luhan jika keburukannya terlihat. Pikir Luhan.
"Jadi… cepat simpan nomorku, kau bisa menghubungiku disaat genting" ucap Sehun lagi.
Luhan menatap Sehun tidak percaya, "m-mworago?"
"Ponselmu," pinta Sehun. Luhan masih bergeming, ia tidak tahu apakah Sehun akan menjadi teman pertama yang ia miliki nomornya. "Cepat Luhan,"
Luhan menyerahkan ponselnya pada Sehun. Setelah beberapa menit, Sehun mengembalikannya. "Aku pasangkan lock screen, nomorku sangat berharga jika kau ingin tahu. Kodenya tanggal lahirmu… dan…"
Luhan tersadar, "m-mwo… tanggal lahir? Ba-bagaimana–"
"Sampai jumpa Luhan…" Sehun mengangkat nampan makannya dan pergi meninggalkan Luhan.
"Ya! Oh Sehun!" teriakan Luhan terdengar bergema di kantin itu.
Sehun menyeringai, "kau sudah sehat, syukurlah" gumam Sehun setelah mendengar suara Luhan yang terdengar segar. Luhan menatap punggung Sehun yang berjalan menjauhinya, lalu menatap ponselnya, lalu ikut mengangkat nampannya dan menyusul Sehun yang sudah tak terlihat.
Sesampainya di kelas, Luhan tak menemui Sehun. Ia bertanya-tanya tetapi tidak mencarinya, ia tidak mau sampai harus terlambat masuk seperti waktu itu. Sebenarnya, banyak yang mencibir Luhan saat ia masuk, tetapi Luhan tak memusingkannya sama sekali. Ia terlalu fokus untuk membuka ponselnya sendiri.
0420 – wrong password
"Apa aku salah pencet?"
0420 – wrong password
"Hah? Atau…"
2004 – wrong password
Try again 30s
"Agh! Sehun sialan! Apanya yang tanggal lahirku?!" Luhan menggerutu sendirian. Setelah 30 detik, Luhan kembali mencoba menggunakan tanggal lahir dan tahun lahirnya, tetapi tetap tidak berhasil. Sampai guru masuk ke kelas, Sehun tidak juga kembali, Luhan hanya mendengus dan meninggalkan ponselnya.
"Oh Sehun? Kau di sini?" semua mata menuju ke pintu belakang, termasuk Luhan yang terkejut untuk kedua kalinya melihat pinggiran bibir Sehun yang terluka.
"Kau berkelahi, lagi?!" tanya seonsaengnim dengan nada tingginya.
"Tidak Saem, ini luka yang kemarin." Jawab Sehun.
"Baiklah, aku harap kau tidak lagi terlambat, Oh Sehun" gurunya memperingatkan. Sehun hanya membungkuk lalu masuk dengan langkah aneh, menurut Luhan. Mata mereka saling berpapasan tanpa sengaja, jika Luhan tidak salah lihat, Sehun terseyum kecil padanya.
"Ada masalah nona Luhan?" tanya gurunya.
"A-ah, tidak Saem," jawab Luhan mencoba tenang. Pertama kali dalam hidup sekolahnya ia ditegur seperti ini, ugh! Memalukan, pikirnya.
..
..
Pelajaran telah usai, Luhan merapikan bukunya dengan cepat, ia ingin menghampiri Sehun terlebih dahulu sebelum kembali ke asrama. Saat ia hendak mendekati Sehun, ia terlambat, Sehun sudah lebih dahulu berlari. Ia pikir Sehun menghindarinya, saat ia keluar kelas, Luhan baru menyadari bahwa pereman yang waktu itu mengejar Sehun kembali.
'Apa ia baik-baik saja?' pikir Luhan. Ia menggeleng, lalu kembali ke asrama dengan pikiran yang kusut. "Lebih baik aku cepat sampai kamar, dan belajar."
Luhan tinggal sekamar dengan satu orang lainnya, seharusnya satu kamar berisi 3 orang, tetapi Luhan beruntung karena satu lagi teman sekamarnya pindah sekolah. Ia pikir ia beruntung karena kamarnya akan lebih tentram, teman sekamarnya yang lain juga adalah orang yang tenang dan seperti tidak mempedulikan Luhan, itu bagus. Itu pikirannya dahulu, saat ini sepertinya ia kesepian, entah sejak kapan.
Teman sekamarnya belum kembali, Luhan akan memanfaatkan waktunya untuk belajar. Saat membuka tasnya, Luhan tidak menemukan bukunya yang menjadi sumber keributannya dengan Sehun. Ia membongkar tasnya, mencari di setiap celah tetapi tidak ia temukan. Ia menemukan kertas yang tertumpuk buku lainnya:
Teng! Tidak ada belajar, momchongi. Aku mengambil bukumu. Istirahat!
"Aish! Dasar sialan!" maki Luhan.
Teman sekamarnya berhenti di ambang pintu, ia pikir mendengar makian seseorang. Apa anak teladan ini yang melakukannya? Pikirnya.
"A-ah, kau sudah pu-pulang?" Luhan bertanya secara refleks membuat teman sekamarnya bingung, Luhan tentu tidak pernah bertanya hal sepele seperti itu.
Teman sekamarnya mengangguk, "y-ya." Luhan juga mengangguk, ia pasti kelihatan bodoh sekali. Ini semua karena Oh Sehun! Kesalnya.
"A-aku pergi dahulu, Mi-Minseok" ucap Luhan pelan, lalu keluar dari kamarnya dengan cepat. Minseok, teman sekamarnya itu tidak merespon. Ia terlalu terkejut dengan tingkah laku Luhan yang tidak biasa.
"Apa aku salah dengar?" gumam Minseok si perempuan chubby pada dirinya.
Luhan menderita jantung berdebar saat ini, berbicara dengan orang lain ternyata sangat sulit. Tetapi tidak berbicara dengan Sehun, pikirnya. "Apa Sehun sudah pulang?" tanyanya pada diri sendiri. Luhan berbelok ke kiri, tempat asrama laki-laki berada. Untuk kedua kalinya ia mengunjungi tempat ini.
"Permisi sunbae…"
Seseorang berbalik, "Luhan? Kau kemari lagi? Mencari Chanyeol lagi?" tanyanya. Luhan cukup merasa aneh bahwa sunbae-nya ini masih mengingat tiga hari yang lalu ia kemari untuk bertemu Chanyeol.
"Y-ya sunbae…" jawab Luhan sesopan mungkin.
Sunbae itu memincingkan matanya, "kau… heoksi… kau mempunyai hubungan tersembunyi dengan Chan– Aw!" seseorang memukul kepalanya.
"Sunbae, berhentilah mengganggu milik Sehun." Chanyeol ternyata datang diwaktu yang tepat.
"Ya! aku sunbae-mu! Tapi apa? Milik Sehun?– Ya Chanyeol… jelaskan– ya!"
Chanyeol sudah lebih dahulu membawa Luhan masuk ke ruang tamu asrama. "Ada permintaan aneh lagi Luhan?" tanya Chanyeol. Saat kemarin Luhan menghampirinya, Luhan meminta tas Sehun dan bertanya dimana alamat Sehun. Chanyeol tidah bisa memahaminya, tetapi tidak ingin memahaminya sebelum Sehun menceritakannya.
"Hm… a-apa Sehun sudah kembali?" tanya Luhan.
Chanyeol menatap Luhan bingung, "belum, sepertinya ia sedang bermain."
"Bermain?"
"PC room,"
Wajah Luhan berubah lebih tenang, "benarkah? Tidak terjadi sesuatu yang buruk kan?"
Chanyeol mengangguk, "ada lagi?"
"Ah, ne… gomapta. Kalau begitu aku pergi dahulu," setelah anggukkan dari Chanyeol, Luhan melangkah pergi. Chanyeol hanya menatap Luhan dengan kosong, "sebenarnya apa yang kau maksud dengan beritahu Luhan kau sedang bermain? Aku tahu, kau pasti dalam masalah besar sekarang," ucap Chanyeol. Sebenarnya ia juga tidak tahu, ia hanya diberi pesan untuk memberi tahu Luhan seperti itu.
..
..
Pukul 16.00 tadi:
"Yo, Sehun!" Chanyeol menjawab panggilan sahabatnya.
"Bisa bantu aku?"
"Terjadi sesuatu?!" panik Chanyeol.
"Jika Luhan mencariku, katakan aku sedang di PC room,"
"Mwo?" Chanyeol tidak mengerti.
"Bisakah kau sampaikan itu? Cepatlah jawab…"
"Ya, akan ku katakan. Ada masalah?" tanya Chanyeol khawatir.
"Ya, masalah kecil dari si tikus besar sekolah. Aku tidak akan lama,"
..
..
Chanyeol menghela napas, ia tahu sahabatnya itu sedang di ujung kematian. Ia juga tidak bisa melakukan apapun, ia hanya akan menunggu Sehun kembali… dengan selamat. Tentu saja.
.
.
BUGH!
"Kau hebat juga bisa mengalahkan 7 orang sendirian. Kau memang…"
BUGH!
"…berbakat, Oh Sehun!"
BUGH!
"Rasakan!"
Untuk kesekian kalinya Sehun menahan erangan kesakitannya. Saat ini tangannya tengah dipegang oleh dua orang dan satu lagi, memukuli Sehun hingga babak belur. Sehun menyeringai dengan bibirnya yang terasa nyeri, "kau memang pecundang…hhh…pantas saja kau kalah melawan–"
BUGH!
"Diam kau! Kau terlalu sombong Oh Sehun! Kau adalah orang hebat yang aku inginkan, tetapi itulah mengapa aku sangat membencimu!"
Sehun tertawa, ia memandang rendah orang di depannya, "Pecundang kecil! Cih! aku tidak butuh kebencian dari seorang tak berguna sepertimu!"
Orang di depannya terlihat murka, "Kaauu–" ia hendak melayangkan tinju ke wajah Sehun, tetapi Sehun berhasil menghindar. Sudah cukup mengumpulkan energinya.
Sehun mengangkat kakinya dan menendang orang di depannya hingga tersungkur. Ia mengambil kesempatan untuk menendang kedua orang yang memeganginya dan menginjak tulang kering mereka agar tidak bisa berdiri. Sehun menghampiri ketua yang menyiksanya tadi, dua pukulan telah di wajah berandal itu sudah membuat Sehun puas lalu pergi meninggalkan 10 orang yang mengeroyoknya. Jika berlama-lama, ia bisa saja membunuh seseorang di sana.
Sehun berjalan dengan satu kakinya yang diseret, "ugh sial! Sakit sekali," umpatnya. Ia berhenti sebentar di taman samping sekolah, ia merogoh saku celananya lalu mengambil ponselnya.
"Untung saja di pecundang itu tidak membantingku ke tanah, ponselku aman" kekehnya menghibur diri. Ia menghubungi seseorang…
"Yeoboseyo?"
Ia tersenyum mendengar suara dari seberang sana, rasa sakitnya mendadak sirna. "Ya! jangan berteriak!" suaranya dibuat kesal, lalu ia tersenyum kembali.
.
.
[Asrama Perempuan]
Luhan kembali dengan wajah lesunya, ia sudah tahu bahwa Sehun sedang bermain, tetapi entah mengapa rasanya ada yang mengganjal. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, untuk saja Luhan sudah agak jauh dari pintu.
"Minseeooookkiiiieee! Huaaa!" suara cempreng hampir membuat gendang telinga seorang Luhan pecah, ia tidak pernah suka kebisingan.
"Baek! Ada Luhan, jangan berteriak–"
"Huaaa! Minseokie eottoekhae?!" teriaknya histeris, Baekhyun merupakan teman Minseok dan Luhan tahu bahwa Baekhyun sekelas dengan Chanyeol, teman Sehun.
"Ada apa Baek? Beritahu aku, jangan menangis seperti ini!" ucap Minseok sedikit panik, tetapi ia tidak bisa ikut histeris karena Luhan memerhatikan mereka. Luhan pasti tidak suka ini.
"Hiks... eotteokhae, Minho sunbaenim memberitahu bahwa Chanyeol sering bertemu dengan perempuan lain.
"Mwo?!" Minseok tidak bisa menahan teriakannya, "berani sekali dia! Siapa perempuan itu?!"
Baekhyun menggeleng, "Minho sunbae bilang aku tidak bisa menandinginya, eotteokhae Minnsokiee huhuhu! Aku ingin membunuh perempuan itu jika aku menemukannya!"
Luhan mendengarkan percakapan mereka, Luhan tidak bodoh, sepertinya ia tahu siapa perempuan yang Minho sunbae maksud. Luhan mendekati mereka berdua, Baekhyun tidak mengetahuinya, tetapi Minseok cukup peka dan menatap Luhan.
"Hm, maaf, sepertinya ada kesalahpahaman..."
Baekhyun menghentikan tangisannya, ia melepaskan pelukan Minseok dan menatap Luhan. "K-kau Luhan kan?" tanya Baekhyun.
Luhan mengangguk, "kau tahu... hmm, sebenarnya aku... aku yang menemui Chanyeol,"
"MWO?!" Baekhyun dan Minseok sontak berteriak.
"Mi-mian, maksudmu, Luhan?" tanya Minseok, sedangkan Baekhyun sudah tidak bisa berpikir lagi, ini tidak mungkin, pikirnya.
"Aku bertemu Chanyeol untuk menanyakan–" tiba-tiba ponsel Luhan bergetar. "Sehun!" pekiknya lalu menjawab panggilan Sehun dan meninggalkan Minseok dan Baekhyun yang masih penasaran.
"Ya! Oh Sehun bodoh! Kenapa kau berbohong padaku!" teriak Luhan.
…
"Kau bilang password ponselku menggunakan tanggal lahirku! Aku mencoba ratusan kali tetap tidak berhasil"
…
"Mwo?! Dasar gila, seharusnya kau bilang– ada apa? Kau baik-baik saja?"
…
"Benarkah? Kau tak berbohong kan?"
…
"Hm, berapa– yeoboseyo? Yeoboseyo? Sehun bodoh? Astaga kenapa dia mematikannya sih!" Luhan yang menggerutu merupakan suatu kelangkaan bagi Minseok. Biasanya Luhan adalah orang yang tenang, bukan seperti ini, kecuali saat tadi ia dengar bahwa Luhan membentak Sehun, ia tidak di tempat saat kejadian.
Luhan kembali pada Minseok dan Baekhyun. "Kau baik-baik saja? Sepertinya kau sangat marah," tanya Minseok.
"Hm... aku baik-baik saja," ucap Luhan berbohong.
"Luhan, maksudmu menemui Chanyeol?" tanya Baekhyun.
Luhan seperti teringat pada pembicaraan sebelumnya, "sebenarnya aku bertanya pada Chanyeol tentang Sehun, tiga hari yang lalu dan hari ini," jelas Luhan.
Wajah penuh air mata Baekhyun berubah ceria, "Lu-Luhan, mianhae, aku tidak tahu apa yang terjadi. Maaf perkataanku yang ingin membunuhmu tadi," cengirnya.
Luhan terenyuh melihat betapa mudahnya orang lain meminta maaf, bahkan dengan wajah yang sangat tulus seperti itu. Sepertinya meminta maaf bukan hal buruk. Luhan mencoba tersenyum yang membuat Minseok terpana–jika ia laki-laki maka dipastikan ia jatuh cinta pada Luhan, "tidak masalah Baekhyun," Luhan merasakan hatinya meanghangat, memaafkan orang lain sambil tersenyum ternyata tidak buruk juga.
"A-aku juga minta maaf..." ucap Luhan, Minseok semakin dibuat terpana dengan perubahan sikap Luhan, ternyata Luhan tahu Baekhyun.
"Ne?" tanya Baekhyun, ia takut salah dengar.
"Aku tidak tahu bahwa Chanyeol adalah kekasihmu, aku tidak peka sekali."
Wajah Baekhyun memerah, "i-itu bukan salahmu," ia terlihat malu-malu.
"Hm, Baekhyun... apa kau tahu tanggal lahir Sehun?" tanya Luhan, ia menahan rasa malunya atau ponselnya tidak akan terbuka selamanya.
"Ne?" Baekhyun sangat terkejut dengan pertanyaan Luhan kali ini. Minseok yang sedaritadi takjub dengan Luhan kini semakin semakin takjub, seperti Luhan adalah alat ajaib di hadapannya.
"Kau tahu, Chanyeol adalah sahabat Sehun. Jika kau kekasih Chanyeol, heoksi... kau tahu tanggal lahir Sehun?" tanya Luhan hati-hati.
Sontak Baekhyun dan Minseok tertawa membuat Luhan kebingungan. "Apa kau jadian dengan Sehun?" tembak Minseok tiba-tiba, jangan lupakan mata berbinarnya saat menatap Luhan.
Luhan memerah, "bu-bukan seperti itu. Hm.. Sehun bodoh itu membuat kunci pada ponselku, ia bilang perpaduan ulang tahunku dan ulang tahunnya" sungguh ini adalah kalimat memalukan selama hidupnya. Perpaduan? Mereka bisa berpikiran macam-macam. "Jangan tertawa!" pekik Luhan cepat.
Baekhyun mengurungkan niat tertawanya "12, 12 April" jawab Baekhyun.
"12? Berarti..."
2012 – wrong password
"atau"
1220 – unlocked
"Assa!" Luhan berteriak gembira. "Akhirnya terbuka. Minseok-ah, Baekhyun-ah, gomawo" ucap Luhan senang. Minseok dan Baekhyun saling tatap, lalu mereka mengangguk dan tersenyum pada Luhan.
.
.
Luhan membaca pesan yang dikirim ibunya.
Luhan. Mama akan ke sekolah besok. Lakukan seperti biasa, jangan membuat masalah seperti terlambat masuk kelas.
Luhan berubah lesu, suatu yang tidak baik akan terjadi jika ibunya akan ke sekolah. Ia sudah lelah, saat terakhir ibunya datang memberikan begitu banyak bingkisan untuk para guru yang membuat Luhan khawatir. Hal itu tak bagus jika sampai terdengar oleh murid lainnya. Sekarang apa lagi? Pikir Luhan. Ia hanya membalas 'ya' pada ibunya.
"Luhan..." panggil Minseok.
"Ya?"
"Kau agak berubah, kau terlihat ceria tadi" Minseok memberanikan berbicara pada Luhan.
"Ah ya? Aku tidak tahu," ucapan Luhan terdengar hambar sekarang meskipun disertai senyum yang menurut Minseok dipaksakan.
"Ada sesuatu?" tanya Minseok.
"Tidak ada, jangan khawatir" jawab Luhan, "aku akan keluar sebentar" Luhan turun dari ranjangnya yang ada di bagian atas dan keluar meninggalkan Minseok yang bingung setengah mati.
Luhan berjalan menyusuri lorong gelap, ini sudah pukul 10.30 malam. 30 menit lalu pemeriksaan kamar telah selesai, seharusnya para murid dilarang keluar, tetapi Luhan terlalu tertekan di dalam.
Langkah Luhan terhenti saat berada di ujung lorong yang memisahkan asrama putra dan putri. Ia melihat ke tangga tempat asrama putra berada, ia ingin bertemu Sehun saat ini, entah mengapa.
BUGH!
Luhan terkejut mendengar sesuatu yang jatuh. Ia mendekati arah suara, "Ya, Sehun, kau baik-baik saja? Kenapa kau harus jatuh disaat seperti ini sih" terdengar bisikan yang cukup keras di lorong sepi. Ia semakin mendekati sumbernya, dua orang di ujung lorong belakang.
Tiba-tiba Luhan berlari, ia terjatuh tepat di samping Sehun yang tergeletak, ia menutup mulutnya, "a-apa ini? Apa yang terjadi?" tanya Luhan terkejut.
"Luhan?" Chanyeol tak kalah terkejut.
"Se-Sehun, k-kau baik-baik saja?" Luhan mengguncang tubuh Sehun, ia menahan isakannya, sebagai gantinya air matanya terlalu jujur hingga membanjiri pipinya.
"Chanyeol beritahu aku, mengapa Sehun sampai seperti ini?" tanya Luhan, tangannya bergetar ketika ingin menyentuh bagian pipi Sehun yang tidak membengkak.
"Hiks... Sehun,"
Chanyeol panik, mereka tidak boleh tertangkap penjaga asrama, "ya, jangan menangis Luhan. Kita bisa tertangkap," bisik Chanyeol.
"Ta-tapi mengapa Sehun bisa–"
Sehun membuka matanya, "ya momchongi, ja-jangan menangis... kau terlihat bukan dirimu. Kembali ke kamarmu," ucap Sehun lemah. Luhan menggeleng, Sehun menyentuh tangan Luhan dengan tangan penuh darahnya, "i...ikuti perkataanku, besok kau bisa melihatku sembuh. Jadi... kau harus kembali"
Luhan menggeleng lebih kuat, "tidak mau!" kesalnya, Chanyeol dan Sehun sudah membohonginya, bagaimana bisa ia percaya perkataan Sehun lainnya.
"Luhan, aku janji akan menemui besok. Jadi tolong kembalilah, aku akan menceritakan semuanya" ucap Sehun akhirnya, ia menepuk lengan Chanyeol untuk membawanya ke kamar. Chanyeol mengangguk, ia membawa Sehun dengan cepat meninggalkan Luhan yang masih terisak di lorong sendirian.
"Haksaeng?" benar saja, petugas asrama datang menemukan Luhan yang terisak. "haksaeng? Sedang apa di sini? Ada apa?" tanyanya.
Luhan menggeleng, "kau berjalan sambil tidur?" tanya penjaga asrama. Luhan ingin sekali menghina petugas ini, ia bodoh sekali, mengapa tidur sambil berjalan harus sampai menangis? Tapi Luhan tidak dalam mood seperti itu. Akhirnya Luhan diantarkan ke kamarnya dan tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Minseok dibuat terkejut melihat Luhan kembali dengan menangis hebat. Ia menghampiri Luhan yang terduduk di pintu sambil mendekap ponselnya. "Luhan? Gwaenchanha? Kau kenapa?! Katakan padaku, ada apa?"
Luhan menggeleng, ia menarik kerah piyama Minseok dan mendekapnya erat. Ia menangis dalam pelukan teman sekamarnya. Ia tidak pernah tahu bahwa seorang teman bisa membuatnya sedikit menghilangkan rasa takutnya. Jadi Luhan hanya menangis tanpa berbicara apapun sedangkan Minseok menepuk punggung Luhan lembut untuk menenangkannya.
"Semua akan baik-baik saja..." ucap Minseok.
.
.
[bagian kedua: 03 Januari 2019]
.
.
.
Huuaaa T.T mianhaee,
Sepertinya aku harus mengeluarkan bagian kedua besok, terlalu panjang y.y
Yang mau nunggu jangan lupa reviewnya loh ;)
Gamsahamnida
LOVE_forhunhan!
