Dia mendesah, pandangannya tampak putus asa mengarah pada lemari pakaiannya yang terbuka. Lemari dengan ukuran kecil yang hanya berisi empat stel pakaian. Satu celana pendek untuknya bersantai, tiga celana yang lumayan untuk di bawa keluar rumah, serta dua kaos lusuh untuk di rumah, sementara dua baju lainnya mungkin masih lumayan jika di katakan bagus untuk dipakai keluar rumah. Dan keadaannya yang tengah kuliah sekarang, mengharuskannya untuk setidaknya memiliki enam stel pakaian agar bisa berganti setiap hari, tapi…
Hidupnya terasa semakin memburuk enam bulan ini. Sejak dia menapak bangku kuliah. Jika saat sekolah, seragam telah di tentukan, maka beda dengan kuliah. Keadaan itu membuatnya secara tidak langsung memberitahu semua orang jika dia hanya memiliki empat stel pakaian dalam hidupnya. Bahkan seragam sekolahnya pun sudah dia berikan kepada orang yang lebih membutuhkan daripada harus berjamur dalam lemarinya.
Mau bagaimana lagi, pakaian-pakaian yang pernah dia miliki dulu harus dia jual agar mendapat uang setidaknya untuk makan beberapa hari.
Sejak keluar atau terpaksa keluar dari panti asuhan yang telah membesarkannya, dia harus berusaha sendirian. Benar-benar sendirian. Jika biaya sekolahnya masih di tanggung pemerintah dalam program wajib belajar, maka tidak saat kuliah, dia harus mencari uang sendiri.
Dia juga sering berpikir untuk tidak perlu kuliah saja. Mencari kerja seadanya dan hidup sederhana mungkin sudah lebih dari cukup baginya. Tapi Ibu panti yang mengasuhnya dari kecil selalu bilang jika dia ingin sekali Hinata bersekolah sampai tinggi dan mengatakan jika dia akan melakukan apa saja agar hal itu terjadi.
Tapi takdir berkata lain, Ibu panti yang sudah Hinata anggap Ibu sendiri itu meninggal dua tahun lalu, dan setahun kemudian, panti asuhan itu di tutup karena kurang biaya, tidak ada lagi donasi, dan bangunan yang sudah tak layak huni. Penghuninya pun memang sudah sedikit. Hanya tinggal empat orang termasuk Hinata. Dua orang memilih hidup sendiri, dan satu orangnya lagi memilih menikah di usia muda dengan kekasihnya.
Dan ternyata, hidup sendiri lebih mengerikan bagi Hinata.
Karena keinginan Ibu panti, dia nekat untuk mendaftarkan diri ke salah satu Universitas dan memilih untuk berusaha sampai akhir. Jika memang dia tidak bisa berkuliah sampai selesai, setidaknya dia sudah berusaha semampu dia dan berharap tetap ada ilmu yang bisa dia dapatkan.
.
.
Lean on You
Naruto x Hinata
Dis © Masasi Kishimoto
.
.
Matahari lagi-lagi bersinar terik di hari itu. Membuat sebagian orang lebih memilih tempat teduh untuk duduk bersantai bersama teman. Tapi tak di pungkiri, ada juga yang masih nekat bermain bola di tengah lapangan.
Suasana kampus Universitas Konoha terlihat ramai dengan para mahasiswa yang seolah menyebar di seluruh tempat. Didalam atau diluar gedung, terlihat di gunakan sebaik mungkin oleh para mahasiswa tersebut. Ada juga beberapa kelas yang sedang berlangsung, dan lebih banyak kelas yang masih kosong.
Hinata berjalan menunduk di antara semua orang itu, tidak ingin kehadirannya memancing banyak perhatian walau nyatanya dirinya bahkan mungkin tak di anggap sama sekali. Tidak masalah, karena itu lebih baik bagi Hinata.
Dia berjalan cepat menuju kelasnya, tangan kanannya memegang satu buku sementara tangan kirinya memegang tas yang tersampir di bahunya. Menjaga agar tali tas yang dia kaitkan dengan peniti tidak lepas.
Bruk
Hinata tersentak dan segera mengambil bukunya yang terjatuh karena tidak sengaja menabrak orang. Dia masih menunduk tanpa berani melihat siapapun itu. Saat tangannya ingin meraih tasnya yang juga terjatuh, tangan lain meraihnya lebih cepat.
Mau tak mau, dia mendongak untuk menatap orang yang telah menolongnya itu. "Kau harus berhati-hati lain kali, hm? Ini tasmu." Seorang laki-laki tampan yang tersenyum manis padanya. Membuat Hinata mengangguk pelan sebagai jawaban dengan wajah yang merona.
Tangannya terulur meraih tas itu dan segera memakainya kembali. Mereka berdiri hingga memperlihatkan tinggi keduanya yang berbeda. "A-ari-gatou, Tahuro-san." Ucapan yang pelan dan lirih namun masih bisa didengar oleh lelaki di hadapannya.
Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk, "Aku pergi dulu, ya."
Amethyst Hinata melirik saat laki-laki itu berjalan menjauh, senyum tipis terukir di bibirnya kala melihat laki-laki itu tersenyum saat ada temannya yang menyapa. Laki-laki ramah yang baik. Setidaknya Hinata mungkin bisa bertahan lebih lama di Universitas itu dengan satu alasan tambahan.
"Wah, wah.." senyumnya hilang saat suara itu terdengar olehnya. Hinata menolehkan kepalanya dan segera menunduk saat melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang. "Apa kau menyukai Taruho, eh, Hyuuga?"
Hinata menggeleng pelan sebagai jawaban, tak ingin mencari masalah dengan perempuan di depannya ini.
"Huh," perempuan itu mendengus, "Sebelum kau pikirkan soal cinta, seharusnya kau pikirkan dulu pakaianmu itu. Bukankah yang kau pakai sekarang ini adalah pakaian yang kau pakai kemarin lusa? Apa kau memang sangat suka memakainya?"
Kikikkan mulai terdengar dari dua gadis lain yang juga ada bersama gadis yang berbicara padanya kini. Membuat Hinata semakin menundukkan kepalanya.
"Hei, jangan mengatainya begitu!" salah satu gadis menasehati temannya.
Membuat temannya yang lain tersenyum, "Memang kenapa?"
"Yah, karena mungkin dia memang hanya punya dua baju ganti."
Suara tawa terdengar seketika, bahkan beberapa mahasiswa lain yang mendengar juga ikut terkekeh mendengarnya. Membuat Hinata hanya bisa menggigit bibirnya tanpa suara, padahal dia sudah berusaha agar tidak mendapat perhatian apapun, tapi tetap saja…
Tap tap tap
Dia berlari meninggalkan orang-orang disana yang masih menertawakannya. Tak ingin mendengar suara tawa itu lebih lama mengoyak hati dan harga dirinya. Dia berlari, terus berlari entah kemana. Bahkan dia tidak perduli lagi dengan kelas aljabar yang kini mungkin sudah berlangsung.
Orang-orang di sekelilingnya hanya memandang sekilas tingkahnya yang berlari tanpa sedikitpun perduli.
Bruk
"Akh," air mata langsung memenuhi kelopak matanya saat dirinya terjatuh karena bertabrakan dengan seseorang. Yah, hidupnya memang selalu menabrak orang lain. Menabrak takdir lebih tepatnya. "Hiks.." dia terisak pelan tanpa berani mendongak dan membiarkan tubuhnya masih terduduk di tengah lapangan yang di penuhi dengan pandangan orang-orang.
Hinata masih menunduk merutuki nasibnya saat suara bisik-bisik itu semakin terdengar, membuatnya penasaran siapa sebenarnya yang ia tabrak. Hinata juga masih bisa melihat sepasang sepatu yang masih berdiri diam di hadapannya tanpa bergerak. Mungkinkah orang yang dia tabrak itu berniat menolongnya? Huh, mustahil!
Lambat dia mendongak, mematri setiap jengkal tubuh yang tertangkap di netra amethyst miliknya. Tubuh tegap berbalut celana dan baju yang mewah itu jelas membuat detak jantungnya berdetak cepat. Bukan karena sesuatu yang istimewa, tapi dia takut jika dia tidak sengaja menabrak orang itu hingga membuat bajunya kotor atau semacamnya dan orang itu meminta ganti rugi padanya.
Mau uang darimana?
Dan saat matanya menatap siapa orang itu, jantungnya serasa hampir lepas. Seorang lelaki yang berdiri di hadapannya adalah orang yang dia dengar adalah laki-laki kejam yang dingin, terutama terhadap semua perempuan.
Hinata bahkan tak sanggup menelan ludah menatap tatapan tajam dari sapphire biru itu. Pandangan tajam yang seolah mampu menusuknya sampai ke jantung. Tubuhnya lemas, nafasnya tercekat, hampir saja dia pingsan jika tidak ada teman lelaki itu yang datang mengalihkan tatapan lelaki itu.
"Hei, sudahlah." Laki-laki lain yang Hinata ketahui bermarga Nara datang dan menepuk pundak laki-laki bermata biru itu dengan malas walau berharap besar tak ada yang akan terjadi. "Tidak usah mencari masalah, Naruto. Ayo!" ajaknya merangkul laki-laki bernama Naruto itu dan mengiringnya pergi.
Naruto masih menatapnya dingin dan tajam sebelum membuang muka dengan sinis dan berjalan pergi mengikuti langkah sang laki-laki Nara.
Seolah baru saja lepas dari sesuatu yang mencekiknya, Hinata menghirup nafas panjang yang seolah menipis di paru-parunya. Kakinya tak sanggup berdiri karena masih terasa gemetar, sungguh lima menit yang terasa bagaikan sepuluh tahun baginya.
Naruto. Uzumaki Naruto adalah seorang mahasiswa yang cukup terkenal di Universitasnya. Tampan, kaya, terpandang, pintar. Tapi orang itu adalah orang dalam urutan pertama yang Hinata hindari. Naruto terkenal dingin dan sangat kejam. Hanya karena masalah sepele, laki-laki itu bisa saja membunuh orang, apalagi jika yang mencari masalah dengannya adalah seorang perempuan.
Banyak yang berpendapat jika Naruto seorang laki-laki gay yang membenci semua perempuan. Pandangan jijik selalu ia tujukan kepada semua orang yang berjenis kelamin perempuan. Dan hal itu sudah tersebar ke seluruh penjuru kampus. Posisinya yang sekarang berada di tingkat lima membuatnya di kenal adik dan kakak tingkat dengan kepribadian yang mengerikan. Siapapun tak ingin mencari masalah dengannya walau hanya menumpahkan setetes air di sepatunya.
Maka dari itu, rasanya wajar jika Hinata sekarang bersyukur karena nyawanya masih selamat.
Enggan mendapat perhatian yang lebih lama, Hinata memaksakan dirinya untuk berdiri dan melangkah pergi dari tempat itu. Dia ingin pergi kemanapun tempat yang lebih sepi dan tenang dari tempat itu.
.
.
Semilir angin menerbangkan helai indigonya. Atap kampus menjadi tujuannya. Dia sempat berpikir untuk pulang saja tadi, tapi mengingat masih ada satu mata kuliah lagi dua jam dari sekarang, dia akhirnya bertahan. Bukankah memang itu tujuannya kuliah? Belajar dan mencari ilmu. Dia tidak ingin menyia-nyiakan uang yang sudah dia pakai untuk biaya kuliah.
"Hah," helaan nafas itu keluar dari mulutnya. Dia merasa tenang di tempat itu. Sunyi, sepi, sendiri. Rasanya dia tidak ingin pergi dari tempat itu, walau itu mustahil.
Dia menempatkan tasnya di samping tubuhnya dan perlahan membaringkan tubuhnya di sana. Tidak apakan? Toh dia hanya sendirian di sana.
Hembusan angin terus membelai rambutnya, membuatnya ingat akan belaian Ibu panti yang selalu ia rasakan setiap malam. Senyum terukir di bibirnya, dia merasa tenang dan damai. Mungkin menyusul Ibu panti ke surga akan setenang dan sedamai ini. Hinata menginginkannya, walau jelas tidak ingin mengakhiri hidup ditangannya sendiri. Putus asa dan bunuh diri adalah dua hal yang selalu Ibu panti nasehatkan padanya untuk di jauhi. Dia tidak ingin melanggar nasehat itu.
Matanya terpejam, menikmati lajunya angin. Tanpa sadar jika belaian lembut angin itu membawanya tenggelam ke alam mimpi yang menenangkan.
Kenangan-kenangan indahnya dulu berputar dalam dunia mimpinya, membuat dia tersenyum dan semakin tenggelam di dunia itu. Dia merasa bahagia dan tidak ingin bangun lagi.
Waktu berlalu dan matahari semakin berjalan ke ufuk barat. Menenggelamkan dirinya jika sudah sampai batas waktu.
Kening Hinata mengernyit, merasakan tubuhnya yang mulai terasa pegal karena berbaring di satu posisi dalam waktu yang lama. Perlahan dia membuka matanya dan terbelalak saat melihat langit yang sudah menguning. Dia segera terduduk dan melihat sekeliling.
"Astaga! Sudah sore?" dia hanya bisa menelan ludah dan mendesah menyesal karena tertidur sampai selama itu. Untuk apa dia masih di kampus jika masih melewatkan jam kuliah? "Lebih baik aku pulang." setuju dengan pemikiran itu, dia segera beranjak dan berjalan pergi dari lantai atap itu.
Suasana kampus mulai sepi walau masih ada mahasiswa yang berlalu lalang di sana. Hinata mempercepat langkahnya, pegangannya pada buku yang dia bawa mengerat seiring dengan perasaan takut yang dia rasakan. Sesekali amethysnya melirik ke belakang, merasakan jika ada yang mengikuti.
Langkahnya semakin cepat, cepat, cepat dan cepat saat sosok itu semakin jelas. Dia berlari sekuat tenaga entah kemana. Langkah kaki orang yang mengejarnya terasa sangat dekat dari dirinya. Nafasnya mulai tersengal setelah cukup lama berlari, tapi dia tidak mungkin berhenti. Dia yakin jika orang-orang itu mengejarnya.
Bruk
"Ugh," kenapa? Kenapa harus terjatuh lagi? dia mengumpat dalam hati, merutuki nasibnya yang selalu sial dan sial lagi.
Tap
Hinata menoleh dan menelan ludah dengan nafas terengah saat dua laki-laki menyeringai kepadanya dan berdiri menjulang di hadapannya. "Apa kau sudah lelah berlari?" salah satu laki-laki itu bertanya mengejek. "Dengan kaki pendek seperti itu, kau tidak akan bisa lari dari kami."
Kekehan keluar dari mulut keduanya, tapi Hinata tetap memilih diam dan waspada. Tubuhnya dia mundurkan sedikit demi sedikit mengesot pada tanah di area taman kampus yang sudah terlihat sepi. Satu langkah laki-laki itu maju, maka Hinata semakin memundurkan tubuhnya.
"Ma-mau ap-apa?" ucapnya terbata dengan suara lemah. Ketakutan terlihat jelas di ametyhsnya kala seringai orang-orang itu semakin lebar.
"Hm, hanya ingin bersenang-senang. Bagaimana?"
Tubuh Hinata semakin bergetar. Ketakutannya semakin besar dan detak jantungnya semakin cepat. Adakah yang mau menolongnya? "Jan-jangan!"
Dua orang itu mendengus mendengar larangan itu dan salah satunya menendang pundak Hinata hingga Hinata terjatuh ke belakang dengan ringisan pelan. Sebelum dia sempat kembali bangun, dua laki-laki itu sudah menahan tubuhnya untuk tetap terlentang di tanah.
"Lepas! Tolong! Lepaskan aku.." dua laki-laki itu tidak perduli dan mulai menjelajahi tubuhnya dari kaki dan tangan. Membuat gadis itu semakin ketakutan. "Jangan, kumohon jangan.."
"Ck, diamlah." Salah satu laki-laki itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya yang kasar. Kedua tangan Hinata di pegang erat, begitu pula dengan kakinya.
Hinata berontak, sekuat tenaga mencoba melepaskan diri dan berteriak. "Hhhmmm hhmmbbpp…" dia terus berontak, semakin berontak kuat saat bajunya mulai di tarik paksa hingga sobek, begitu pula dengan celana jins yang dia kenakan. Air matanya mulai mengalir. Menangisi semua hal.
"Hhhmmpp,, hmmpp…" dia masih terus berontak dan semakin menangis kala orang-orang itu mulai menyentuh tubuhnya lebih jauh. Pakaiannya sudah tak terbentuk, menyisakan dirinya yang hanya berbalut tanktop dan celana dalam. Kakinya dia gerakkan kuat, tapi tidak ada hasil. Kedua orang itu seakan tidak merasakan apa-apa.
"Tubuhnya sangat mulus."
"Sudah ku bilang kan? Jika dia jadi orang kaya, pasti dia sudah menjadi rebutan orang-orang."
Kedua laki-laki itu kembali terkekeh sambil terus menyentuh tubuh Hinata. Meraba kemulusan tubuh gadis itu dengan pandangan menjijikkan di mata Hinata.
Ddrrrtt…
"Ck, siapa sih?" salah satu laki-laki itu meraih ponselnya dengan kesal. Dan rautnya sedikit berubah saat membaca nama di layar ponselnya. "Hallo.." suaranya mengecil saat mengangkat telpon itu. laki-laki yang lain semakin kuat membungkam mulut Hinata agar tidak ada suara yang keluar. "Baik, saya mengerti."
Saat telpon itu terputus, laki-laki yang masih menahan Hinata mengerutkan keningnya. "Siapa?"
"Ck." Laki-laki yang mengangkat telpon tadi berdecak kesal. "Bos memanggil. Sepertinya kita tidak bisa bersenang-senang."
"Huh, sudah setengah dan kita harus berhenti?"
"Lalu? Kau mau mati? Sudahlah, cepat kita pergi. Tinggalkan saja dia disini."
Laki-laki yang menahan Hinata itu memasang wajah kesal. Dan memandang Hinata lebih kesal lagi, "Kau beruntung kali ini. Tapi aku tidak akan melepaskanmu besok." Bisiknya lalu mendorong tubuh Hinata ke tanah dan berdiri. Berjalan pergi menyusul temannya.
Di tempatnya, Hinata terisak. Melampiaskan rasa takutnya dengan air mata. Kenapa semua ini terjadi padanya? Kenapa dia lagi? Kenapa Kami-sama selalu memberikan hal yang buruk itu padanya?
"Hiks… hiks…" hanya isakan yang keluar dari mulutnya. Dia beringsut, bergerak menuju rerumputan panjang di dekat pohon, menyembunyikan tubuhnya. Dia memeluk tubuhnya yang mulai terasa dingin. Hawa sore hari memang sudah dingin memasuki pertengahan desember itu.
Hinata menangis, dalam sunyi dalam kesendirian. Memandang nanar bajunya yang sudah tidak bisa di pakai lagi. Dia bahkan tidak berani keluar dari balik rerumputan karena bisa saja orang lain melihatnya seperti itu. Mungkin dia akan menunggu hingga malam dan bergerak pulang melalui jalanan sepi yang tidak banyak orang saja. Ya, hanya itu caranya.
Gadis itu menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya dan di antara lututnya. Menangis sendiri sambil menunggu waktu. Mungkin.. setengah jam lagi langit sudah menggelap sepenuhnya.
Kresek
"Hk," isakan Hinata terhenti paksa dan nafasnya tertahan saat mendengar suara lain. Suara langkah kaki yang mendekat. Apa dua orang tadi kembali? Tidak, tidak.. Hinata menggeleng kuat dan menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.
Langkah kaki yang mendekat itu semakin terdengar, membuat tubuh Hinata kembali bergetar ketakutan.
Tap
Untuk kedua kalinya hari itu jantung Hinata serasa berhenti berdetak. Sepasang kaki yang di balut sepatu mahal kini berdiri di hadapannya. Walau mustahil, Hinata ingin sekali berharap itu adalah orang baik yang akan menolongnya.
Perlahan dia mendongak dan terus berdoa dalam hatinya. Terus mengangkat kepalanya sampai akhirnya amethysnya melebar saat bertabrakan dengan sapphire biru disana. Hinata ingin mati saja.
Kenapa…? Kenapa di sekian banyak orang… harus Uzumaki Naruto yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin dan tajam yang mengarah padanya?
.
.
.
Bersambung
