Disclaimer: I own nothing but the story and characters themself.


I: Choose

"Jadi, cuma ada dua subyek yang berada dalam status berbahaya, subyek V dan O?" Tanya seorang Corite bermantel putih.

Lawan bicaranya yang sedikit lebih pendek menjawab, "Ya, tapi atas alasan yang sangat berlawanan."

"Gimana kamu bisa jadikan 'berlawanan' sebagai tolak ukur?"

"Aku cuma bercanda. Biar suasana gak kaku."

"Suasana gak bakal 'kaku' saat kita punya subyek tes yang siap balik melawan kapan saja sebelum mereka lulus uji pendahuluan. Jadi tolong, seriuslah sedikit saat bersamaku," ucap yang lebih tinggi tajam.

Temannya cuma melengos, malas menanggapi kekesalan tersebut, "Baik, baik. Lanjut! Tes subjek V tunjukkan terlalu banyak tanda bahwa dia mengembangkan pemikiran sendiri."

"Dan O?"

"Yah, dia punya masalah dalam pemahaman dasar-dasar teknologi." Pria yang lebih pendek terdengar sedikit kecewa.

"Arti lain, dia idiot?"

"Bukan, dia memilih untuk gak mempelajarinya," Sanggah Si pendek, "dan bahkan saat melakukan suatu hal dengan benar, dia malah menghancurkannya dan menganggap itu hal yang lucu."

"Kita ingin mereka menikmati kehancuran, kan? Apa kamu lupa?"

"Aku tau, tapi kehancuran macam apa yang bisa diperbuat kalo dia ga bisa merawat, atau sekedar rakit peralatan yang ditujukan untuk itu?"

Si Tinggi mengusap dagu sejenak dengan jempol dan telunjuk kanan, pikirkan kesimpulan dari laporan barusan, "Sepertinya kamu lewatkan kesempatan untuk bikin O jadi lebih baik."

"Apa!? Kamu pikir O-ku yang patut disalahkan? Bukan Si kecil nan manis V-mu!? Masalah pemukulan brutal terhadap tahanan gak bersenjata patut jadi pertimbangan, tau?!" Nada bicara Si Pendek mulai naik, "Aku berani taruhan kalo Kepala Departemen datang ke sini sekarang juga, dia akan langsung copot jabatanmu lalu menyuruhmu berbaur dengan para tahanan sebagai balasan atas malu yang bakal diumbar V di ujian akhir."

"Subyek yang gak bisa berfungsi sepenuhnya di lapangan akan mati, atau tertangkap dengan cepat." Namun Si Tinggi tampak gak mau kalah, "Apa kamu bisa prediksi kerugian yang diakibatkan jika O tertangkap, dan disiksa pihak lawan demi informasi?"

"Dan akan jadi bahan tertawaan bila V diberi misi dalam keadaan punya pemikiran, dan 'hati yang baik' saat dia berpaling pada musuh, dan memilih untuk khianati kita semua. Cuma karena pemikiran 'dia melakukan hal yang salah telah menuruti instruksi kita'. " Adu argument diantara kedua Pria tersebut masih berlanjut, "Kita ga butuh V untuk berpikir tentang kerusakan yang dia perbuat pada pihak lain! Lebih baik kita 'buang' dia sekarang!"

Posisi berdiri Si Tinggi masih sama dengan sebelumnya, dengan Ibu jari dan telunjuk memijat dagu. Sedangkan Si Pendek mulai gak sabar dan berkacak pinggang, diiringi hentakan kaki cepat sambil menatap marah kawannya.

Lalu Si Tinggi mendadak angkat jari telunjuk, "Aha! Begini aja, cuma satu dari mereka yang diizinkan untuk lanjut ke tahap berikut, dan karena pemenang gak bisa ditentukan secara jelas mengingat mereka berdua punya poin plus dan minus masing-masing … kita gak bisa bilang pada atasan bahwa keduanya gagal. Para atasan akan menganggap kita gagal juga."

"Ah," Si pendek terhenyak, "taruhan lagi, ya? Boleh. Udah lama juga sejak terakhir kali kita melakukannya."

"Seperti biasa?"

"Gandakan!"

"Haha, baiklah. Kamu duluan." Ujar Si Tinggi dengan seringai jahat.

Selama perbincangan diantara kedua Pria tersebut terjadi, subyek V dan O berdiri di hadapan mereka sambil berusaha ikuti alur pembicaraan. Dua gadis pada usia yang masih terlampau belia.

Keduanya memakai jumpsuit merah standar, dan rambut dicukur pendek. V punya rambut pirang pucat yang ikal, dan O sendiri agak unik karena memiliki dua warna rambut, coklat kuning, meski ga pernah diberi pewarna. O sedikit lebih muda, dan lebih tinggi dari V. mereka berdua selalu bekerja sama dengan baik dan ga pernah sedikitpun tunjukkan tanda-tanda akan jadi musuh abadi.

Mereka hampir terlihat seolah peduli satu sama lain layaknya saudari, tapi saling berjanji gak akan pernah membiarkan Pria-Pria dengan mantel putih khas laboratorium itu tau. Jadi mereka bersandiwara. Sandiwara untuk jadi subyek yang baik saat sedang diawasi. Masalahnya, di luar waktu mandi, mereka selalu diawasi.

V dan O gak punya pengetahuan tentang kode morse, atau kode-kode lainnya, tapi mereka menciptakan bunyi-bunyian tertentu supaya bisa bicara secara pribadi. Tanpa diketahui siapapun yang mengawasi.

V Menepuk paha kanan 3 kali dengan cepat, "Ada apa ini?"

O membalas dengan menghentak lantai dengan kaki kanan, menepuk paha kanan, lalu kembali menghentak, "Aku ga tau."

Bahasa yang tercipta sederhana, kebanyakan cuma pembicaraan kecil. Tapi tiap beberapa kali dalam kurun waktu tertentu, salah satu diantara mereka akan kasih ide untuk kata atau frasa baru, dan mereka akan menghapalnya bersama waktu mandi. Mereka habiskan sebanyak mungkin terhindar dari pengawasan hanya agar bisa bicara kapanpun mereka mau. Walaupun tes-tes yang dijalani seolah ingin mereka saling menjatuhkan, tapi V dan O tetap punya ikatan teramat dalam yang cuma bisa dideskripsikan sebagai cinta antar anggota keluarga.

Bukan jenis cinta di mana biasanya seseorang ingin memukul saudara, atau menumpahkan soda padanya, tapi rasa di mana seseorang merasa dibutuhkan, dan dapat balasan setimpal berupa dicintai sepenuh hati karena telah memberi kasih sayang nan tulus.

Meski mereka dikatakan gagal dalam uji pendahuluan, untungnya, mereka menikmati kehancuran sebagaimana saling menyayangi. Jadi kelemahan itu gak pernah keliatan saat jalani rangkaian tes. Masalahnya, seiring waktu berlalu, makin menjalani tes-tes yang diberikan lebih dalam, mereka mulai curiga bahwa pada akhirnya salah satu dari mereka akan alami hal ga menyenangkan.

Pemikiran itu bikin mereka takut. Dan sulit untuk menyembunyikan ketakutan itu dari para mantel putih yang berpikir kalo dua tes subyeknya emang lagi takut untuk jalani taruhan yang baru akan dimulai.

Si Pendek mendekati V, "Baiklah kalo begitu," sejenak menoleh pada kawan tingginya, "kita mulai?"

Dengan senang hati Si Tinggi jawab, "Kita mulai."

Si Pendek menyeringai, dan menghadap V lagi, "Subyek V, apa kamu paham, kamu harus mampu menahan segala rasa sakit untuk lulus dari program?"

V balas dengan yakin, "Ya, paham!" berseru seperti tentara. Seperti yang selama ini diharapkan dari mereka.

Pria itu merogoh kantong mantelnya, dan meraih peralatan elektronik portable yang menyerupai tongkat sihir kecil, "Apa kamu tau apa yang kupegang?"

Tes subyek berambut pirang pucat menelisik peralatan itu, dan kenal betul. Sejenis solder listrik. Biasa digunakan dalam setting rendah untuk kasih sekelebat panas ke belakang kepala subyek tes supaya bisa melanjutkan program. Sakit memang, tapi gak pernah membakar kulit. Hari ini, V takut itu gak akan terjadi.

O melirik peralatan tersebut dari sudut mata merah rubinya. Lalu langsung berdehem, batuk, dan berdehem lagi, "LARI!"

Khawatir tingkat Dewa. Itu bisa dirasakan V dari gelagat O yang gak biasa. Tapi dia enggan mundur. Si pirang kumpulkan sedikit udara sampai pipinya agak gembung, lalu ditiup dan hasilkan bunyi 'puff' kecil, "Gak."

Lagi-lagi O bicara dengan kode mereka. Kali ini mengetuk langit-langit mulut dengan lidahnya, kemudian menghisap udara di antara sela gigi, "Kumohon!" dia harus berkedip sangat cepat untuk mencegah air mata menetes. Sebenarnya dia ingin sekali teriak sekuat tenaga, "Jangan biarkan mereka melakukan itu, aku ga akan sanggup liatnya!" tapi sama sekali gak terpikirkan cara untuk terjemahkan kata-kata tersebut dengan kode mereka. Jadi dia tetap fokus pada instruksi.

V berdiri tegak hadapi ketakutannya, "Ya, saya tau apa itu!"

Si Pendek membungkuk supaya sejajar dengan wajah V, "Aku setel peralatan ini ke panas maximum, dan akan kugunakan padamu. Bila kamu tersentak sedikit aja, itu kamu gak tahan sakit. Paham?"

Gadis itu hampir menangis ngeri, tapi gak jadi. Justru berujar lantang, "Paham!"

"Baiklah," kata Si Pendek seraya menyalakan alat itu dan memutar gagangnya ke 150 derajat celcius, "diam di tempat." Pria itu tersenyum sembari mengukir dua garis pada kulit V, terpaut beberapa senti aja di bawah mata kanannya.

V ingin berteriak hingga tenggorokannya hancur. Dia tau kalo rasanya bakal panas menyengat, tapi gak pernah mengira akan jadi tusukan sakit terlewat ekstrim sampe dia berpikir lebih baik mati saat itu juga. Si Pendek bermantel putih goreskan dua garis saling bersinggungan dengan sudut bawah, sentuhan ringan membentuk huruf 'V' agar ga menimbulkan luka bakar lebih dari tingkat dua pada lapisan kulit tes subyek.

Tiap senti dari pergerakan solder tersebut begitu membakar hingga ke tulang. V gak merasakan apapun selain keputus-asaan. Percaya kalo aja ini bukan yang terakhir, pada tes-tes berikutnya dia akan mengekspose kelemahan yang akan membuatnya mengalami 'pembuangan'.

'Pembuangan' adalah saat di mana laboratorium di Planet Cora putuskan untuk singkirkan subyek yang dianggap gagal. Subyek dilempar ke tengah kolam persegi tanpa suatu apapun untuk berpegang, lalu seiring waktu, subyek akan kelelahan dan akhirnya tenggelam 'dalam damai'. Aturan dari 'pembuangan' yakni subyek harus ditempatkan dalam tangki air selama 4 jam untuk pastikan semua berjalan sesuai prosedur.

Bukan cuma subyek tes yang mengalami pembuangan, tapi juga limbah dari laboratorium; feses, air seni, darah, bahan-bahan kimia, dan lain-lain. Saat kegiatan ini dimulai, limbah-limbah tersebut dialirkan melalui pipa sepanjang 6 kilometer, barulah kemudian dibuang ke pelabuhan.

Gadis belia berambut pirang pucat itu buktikan dirinya sebagai subyek tes yang mempuni, tetap tegak berdiri setelah menerima dua goresan alat panas itu di wajah. Mulut tertutup rapat, tanpa ringis, tanpa tangis. Pria bermantel putih yang lebih tinggi mendekat guna amati ukiran 'V' baru yang masih agak menyala kejinggaan tanpa keluarkan darah

"Hmm, tampaknya usahamu gagal." Seraya sedikit menghadap Si Pendek.

"Sepertinya begitu," balas Si Pendek dengan kedua bahu terangkat, "harus diakui, aku terkesan. Bahkan subyek tes paling keras sekalipun belum tentu sanggup hadapi rasa sakit macam tadi dengan baik."

"Ambilkan pendingin, serta perban untuk luka bakar. Kita ga akan mau usaha gagalmu jadi penyebab infeksi berkepanjangan."

"Semoga kamu berhasil coba sesuatu yang lebih sadis pada O. Aku yakin dia akan menikmati sakitnya. Hehehe," ujar Si Pendek sembari memberikan peralatan rawat luka bakar pada kawannya.

"Aku punya ide yang lebih bagus," Si Tinggi selesai menutup luka pada wajah V, lalu segera menarik Si Pendek menjauh dari kedua subyek supaya bisa tunjukkan sesuatu, "Nih, liat." Bisiknya, "ini adalah pistol listrik biasa yang dibuat dengan teknologi dasar."

"Pistol listrik. Serius? Kamu mau menguji ketahanannya pake peralatan sederhana?" Si Pendek terheran dengan ide yang tercetus dari mulut Sang Partner, "Apa kamu berniat kalah taruhan?"

"Bukan, maksudku bukan begitu." Sanggah Si Tinggi, "Kalo begitu, boleh kulanjutkan?"

"Baiklah!" Ujar Si Pendek dengan nada girang, "Kurasa semua sudah disetujui sejak awal, jadi … lakukan sesukamu."

"Baiklah." Jawab Si Tinggi. Dia berbalik dan berlenggang santai menuju O, "Subyek O, apa kamu tau apa yang saya pegang?"

Jujur, O sama sekali gak punya secercah ingatan tentang benda itu. Namun salah satu tebakan yang muncul di balik kepala coklat kuning tersebut yakni sebuah senjata. Dia gak bisa mengatakan jawaban itu karena itu adalah satu jawaban yang dungu. Balita juga tau kalo itu senjata. Lagipula, dia juga takut kalo senjata itu akan digunakan pada dirinya bila jawaban salah.

Putus asa, dia coba minta bantuan pada V. Hembuskan napas dengan kuat dari hidung adalah kode mereka, tapi dia sama sekali gak dapat respon. Dan itu membuat O merasa dikhianati. Padahal, di luar pengetahuannya, V sedang berusaha mati-matian pusatkan seluruh kekuatan untuk meredam sakit luar biasa yang baru aja diterima. Dan seluruh dunia ga ada yang tau V sedang berjuang dalam diam.

Akhirnya O menjawab dengan jawaban dungu, "Siap, itu sebuah senjata!"

"Hahaha!" Si Tinggi tertawa dan berbalik menatap kawan pendeknya, "tuh, kan! Dia bahkan gak tau apa yang kupegang, padahal dia pernah merusaknya … minggu lalu, katamu?"

Si Pendek menggerutu, "3 hari yang lalu."

"3 hari! Hahaha! Entah apa dia bisa lebih dungu dari ini!"

"Tsk, sudahlah. Cepat selesaikan. Aku gak punya banyak waktu."

"Ahha, oke." Pria Corite tinggi itu kembali menghadap O, "Subyek O, dalam 15 detik kamu harus aktifkan pistol yang kuperbaiki pagi ini. Ada kemungkinan ini pistol yang kamu rusak juga."

Dalam benaknya O langsung panik, "15 detik!?" mustahil. Dia tau ini bukanlah uji ketahanan seperti yang dilalui V, tapi dia gak pernah cukup memerhatikan saat diberi pelajaran untuk memahami gimana teknologi bekerja. Jauh di hati kecilnya, O yakin ini bisa jadi moment terakhir kehidupan.

Si Tinggi sodorkan pistol tersebut di tangan kanan, dan menggengam pengukur waktu di tangan kiri, "Segera setelah kamu memegangnya, waktumu akan berjalan. Wajib diingat, subyek paling standar yang pernah kami uji bisa melakukannya kurang dari 7 detik. Subyek V berhasil dalam waktu 3 detik. Aku pernah liat sendiri."

Hampir aja O meneguk ludah terlalu keras. Dia berpaling pada V, berharap para mantel putih melakukan ini sebagai penghormatan atas rekor yang dia buat, dan berharap lebih banyak supaya V menatapnya dan beri petunjuk tentang cara aktifkan senjata ini. Percuma. V masih keliatan terlalu terguncang akibat kejadian tadi.

Gadis berambut pirang pucat itu baru aja kembali kesadarannya. Sadar kalo tadi dia memasuki alam bawah sadar saat berusaha menahan diri di tempat, sebagaimana dia dilatih. Usai perban menekan kulit pipi kanan, V langsung dilanda kegelisahan, serta hilang harapan yang membawanya makin jauh dari realita. Bagai siksaan mental selama bertahun-tahun.

Saat kembali pada realita, dia mendapati Si Tinggi sedang menyodorkan pistol listrik pada O dan menatap lekat-lekat pada pengukur waktu.

V gak berani alihkan mata pada O karena takut itu malah mengacaukan kesempatan kawannya untuk buktikan diri. Dia tau ini akan sangat sulit bagi O, dan V enggan lakukan apapun kecuali memohon agar mereka ga membuang O.

Dia ga bisa bayangkan hidup tanpa gadis bermata merah rubi. Karena hidup bersamalah, V belajar kembangkan pemikiran. Layaknya menjaga seorang adik, memeluknya saat bersedih, dan tenangkan kebimbangannya saat dirasa dunia sudah keterlaluan. Apa yang bisa dia lakukan sekarang?

Dengan segera, O ambil pistol listrik itu dan langsung mulai cari tombol, atau pengungkit, sesuatu yang bisa digunakan untuk alirkan sumber daya pistol. Waktu telah berlalu 7 detik ketika O mulai benar-benar panik. Dia gak bisa berpikir dan banting pistol itu ke tanah, hampir menangis. Tapi dia gak boleh menangis, atau dia bakal gagal sebelum waktu habis.

Entah ada angin apa, tetiba terlintas di otaknya untuk coba buka senjata tersebut.

Pistol listrik adalah sebuah tabung kaca, diletakkan pada sebuah gulungan blok elektrik yang diinstal ke sebuah pegangan di mana daya tersimpan. Tabung kacanya itu sebuah vakum tersegel, digunakan untuk salurkan daya yang bersirkulasi di dalam agar keluar dari cincin metal pada laras pistol, supaya memaksa energi listrik tertembak ke depan.

O berusaha memutar panel sirkular di belakang tabung agar terbuka. Ketika dia sadar memutarnya berlawanan arah jarum jam bikin tabung makin longgar, dia menariknya ke belakang, dan balik lagi. Sell energinya mulai aktif, dan pistol mulai mengisi daya tembakan pertama.

"Ahha!" Seru Si Pendek, "Itu ga lebih dari 13 detik. Atau aku salah tebak?"

Si Tinggi hela napas, "Gak, tebakanmu benar. Dia melakukannya dalam 13 detik."

"Kenapa keliatan kecewa begitu? Percobaanmu sudah bagus. Kita berdua tau O sangat gak kompeten dengan teknologi."

"Aku merasa gak enak udah terlalu remehkan kecerdasannya," Respon Si Tinggi.

Si Pendek berjalan santai menuju O, dan ambil pistol itu dari tangannya, "Biar kuambil ini, Subyek O." dia melirik Si Tinggi dari sudut mata, "di sinilah semua akan berakhir, apapun yang terjadi." Segaris senyum lebar terpampang di wajahnya.

Kawannya terlihat agak terganggu dengan tingkah Si Pendek, sebelum tersenyum seakan tau apa lagi yang akan dilakukannya, "Kayaknya terlalu cepat bagimu untuk akhiri taruhan, eh? Yah, apa boleh buat. Aku juga sudah lelah dengan mereka. Lakukanlah."

Kemudian Si Pendek perintahkan V dan O berdiri terpisah dua langkah, sambil saling berhadapan.

Selagi dua Pria bermantel putih bertukar pandangan, V segera gerakan bibir tanpa suara, "Maaf."

O membalas cepat, "Gak apa. Kamu baik-baik aja?"

Tepat setelah perhatian kedua Pria tersebut kembali pada mereka, V menghentak lantai dengan kaki kanan, menepuk paha kanan sekali, lalu kembali menghentak, "Aku gak tau."

"Baiklah, Subyek V. Ini akan jadi ujian paling menentukan bagimu untuk capai tahap akhir," ujar Si Pendek sambil mendekat, "paham?"

"Paham!"

"Bagus, bagus. Sekarang, ambil pistol ini." Benda itu masih mengisi daya, indikatornya penuh siap tembak, "Beri tau saya, seberapa besar kamu paham tentang pistol ini?"

V ambil senjata itu, dan menggenggamnya dengan benar. Dia tau betul seluk-beluk pistol tersebut. Dia pernah bongkar, lalu merakitnya lagi. Bagian demi bagian, "Pistol Listrik Mark 7-27B adalah model teknologi senjata elektrikal. Umumnya gak mematikan, namun berpotensi bahaya, atau bahkan fatal bila ditembakkan dari jarak dekat pada jantung target. Lebih efektif lagi bila tertuju pada kamar jantung kanan!"

"Super sekali!" Puji Si Tinggi, "dia ini murid teladan, kan?"

"Ya, gak diragukan. Tapi itu bukanlah kelemahannya. Bukankah begitu, Subyek V?" Tanya Si Pendek retorik.

"Saya gak punya kelemahan!" Bantah V sigap.

"Kita liat aja … sekarang, bukan nanti." Seringai lagi-lagi muncul di wajah pria itu, "Sejajarkan pistol dengan dada Subyek O." perintahnya.

Yang dikasih perintah menurut, tapi merasakan perasaan buruk. Seolah tau kalo dia akan memberi lebih dari sekadar sakit disengat listrik tegangan tinggi pada O.

Sampai saat ini, V dan O berdiri di tengah laboratorium, saling berhadapan. Si Tinggi berada di sebelah kiri O, dan agak jauh darinya, di sisi diagonal dari V.

Sedangkan Si Pendek berada di kanan belakang V, dengan tangan kiri berada di kantong celana kiri, dan tangan kanan di atas sarung senjata pembius di pinggang kanan. Senjata pembius itu sering digunakan para mantel putih kapanpun mereka harus menahan, atau pindahkan subyek tes ke laboratorium lain.

Agaknya dia merasa V ga akan menembak target yang diperintahkan. Maka dari itu dia waspada agar bisa lumpuhkan subyek secepat mungkin. Pistol listrik itu mematikan bila ditembak dari jarak dekat. Jika V menembak Si Tinggi, atau mungkin dirinya, itu akan jadi bencana bagi program ini.

Pistol listrik di tangan V terarah mantap pada O, "Apa perintah anda!?" dia berseru, coba melawan keinginan menanyakan pertanyaan tersebut dengan nada tangis.

"Kamu tau gimana cara hasilkan tembakan fatal. Jadi, lakukanlah pada Subyek O. Sekarang!"

Mata V terasa melebar, begitupun saat dia liat sepasang mata merah rubi di depannya melakukan hal yang sama, "Gak, gak, jangan!" batinnya berteriak, "Aku gak bisa! Semoga dia bercanda dan kasih perintah lain, kumohon!"

Namun V lebih dari tau, kata-kata tersebut adalah perintah langsung. Dan gak ada yang bisa dia lakukan selain tunduk dan patuh. Dia mulai sejajarkan laras senjata pada jantung O, dan mulai memijat pelatuknya.

Dua cincin tipis merah mulai terbentuk di sekitar pupil O. Nyala cincin tersebut agak lebih terang dari warna bola matanya yang merah rubi. V tau benar O sangat ingin menangis. Tapi keinginan V untuk menangis pun sama besar.

O liat cincin yang sama terbentuk di sekitar pupil V. Bedanya, warna cincin tersebut biru muda. Terlihat lebih terang karena mata V berwarna biru.

Kalo aja bukan karena para mantel putih, kalo aja ini waktu mandi, mereka akan saling menangis, berteriak, luapkan perpisahan terakhir satu sama lain.

Gak ada satupun diantara mereka berdua sanggup kumpulkan tenaga untuk kirim kode pribadi untuk berkata sesuatu, atau sekadar gerakkan bibir barang satu kata. Di tengah putus asa, V masih berharap O gak akan mati, tapi dia tau itu mustahil. Sahabat/saudarinya pasti akan terbunuh.

V berpikir cepat, dan berkata, "Bisa tolong diulang perintah anda?"

Si Pendek hampir menarik keluar senjata pembius untuk lumpuhkan V tepat ketika kata pertama terucap.

Tapi kemudian pegangannya mengendur, seraya mengulang perintah dengan perlahan dan jelas, "Beri luka tembak fatal pada sub-"

Si Pendek tetiba lengah. Satu bunyi percikan terkumpul pada senjata listrik, lepas daya lurus ke arah Si Tinggi. Atau setidaknya ke arah di mana Si Tinggi berdiri, sebelum dengan sengaja menjatuhkan diri ke lantai.

"Dasar bocah arogan!" geram Si Pendek, "berani kamu tembak atasan!" diiringi amarah meletup, tangan kanannya balik meraih senjata pembius, dan menembak V tepat di tengkuk saat gadis itu bersiap lancarkan tembakan kedua.

Terhenyak tanpa sanggup bereaksi. Itulah kira-kira yang dilakukan O. Bukan karena kemarahan dari Si Pendek, namun lebih kepada V yang rela lakukan semua itu demi dirinya. O gak bisa percaya liat pemandangan tubuh V tumbang, sambil tetap genggam erat pistol listrik di tangan kanan.

Si Tinggi setengah berlari ke tubuh V, dan merenggut pistol listrik dari tangannya, ditambah satu tendangan tepat ke perut gadis belia tersebut, "Sialan! Harusnya kita bunuh dia sekarang juga!" teriaknya seraya arahkan pistol pada kepala subyek.

"Jangan. Dia bakal tetap pingsan saat dilempar ke kolam untuk 'pembuangan' selanjutnya. Gimanapun juga, pada akhirnya dia akan mati."

Dengar sanggahan dari kawannya, Si Tinggi jadi rileks sejenak, "Yah, kurasa ini artinya … kamu menang. Bayaran ganda, kan?"

"Ya, jadi kuyakin kamu bisa bayar sekarang."

"Tentu." Tangan Si Tinggi merogoh kantong celana, ambil bayaran atas taruhan kali ini, "dua puluh juta disena. Bayaran dua kali dari biasanya, telah masuk ke rekeningmu."

Sedangkan gadis lain yang masih berdiri diam, masih pikirkan apa yang baru aja dia liat. "Kenapa, V!? Kenapa kamu melakukannya!? Sekarang mereka akan membuangmu!" dia ingin menangis, teriak, memohon pada para mantel putih agar mengizinkan V tetap bersamanya. Agar mereka berdua bisa lulus dari program. Namun entah gimana, O tau kedua Pria itu ga akan biarkan mereka berdua lanjut ke tahap akhir. Jadi dia tetap diam, dan kasih penghormatan terakhir untuk saudarinya dari batin, "Terima kasih, V. Aku ga akan pernah melupakanmu."

"Oh, sial!" Ujar Si Tinggi mendadak, "kita terlambat! 'Pembuangan' hari ini akan dimulai dalam 10 menit!"

Perasaan luar biasa lega tetiba memenuhi dada O. Hampir aja bibirnya menyungging senyum lebar, "V masih bisa bersamaku sehari lagi! Mungkin kami bisa cari jalan keluar saat waktu tidur." Terlepas dari rencana ga pasti, tentang kabur dari sini, dia tetap merasa senang dan penuh harapan untuk V.

"Ga perlu cemas," ujar Si Pendek yakin, "Subyek V ga akan sadar saat dilempar ke kolam, dan akan tenggelam dengan cepat tanpa bekas. Sekarang, kita harus cepat-cepat bawa dia ke sana, atau kita akan ketahuan oleh Departemen Pembuangan. Mereka biasa datang 5 menit sebelum 'pembuangan' untuk pemeriksaan terakhir."

Dengan itu Si Pendek dan Si Tinggi berlalu tinggalkan O sendirian. Di posisi yang sama, gak tunjukkan ekspresi apapun di wajah bermata merah rubi, namun merasakan kecamuk batin paling parah yang pernah dia alami.

Gejolak yang memberontak dan dorongan untuk teriak, "Izinkan aku mengucap salam perpisahan!" dikubur dalam-dalam. Dia tau seseorang bisa aja mendadak masuk, dan menyaksikan luapan emosinya. Maka dia tetap ga melakukan apa-apa kecuali mengepal telapak hingga kuku jemarinya melukai kulit tangan. Dia juga ga bisa bayangkan bila bertukar posisi dengan V, apakah dia sanggup melanjutkan sendirian, atau akan mati di 'Pembuangan'?

"Aku janji ga akan pernah biarkan pengorbanan saudariku sia-sia. Aku akan bertahan, dan lulus dari semua ujian yang mereka beri kedepannya. Bila mereka mau ciptakan monster, baiklah. Sesuai permintaan, aku akan ambil alih takdirku sendiri. Demi kamu, V. Demi kamu."

.

.

Para mantel putih yang gak kompeten tersesat seperti biasa, dan masukkan tubuh V ke kolam sesaat sebelum proses 'Pembuangan' dimulai. Mereka gak bisa berlama-lama di sana untuk pastikan V terhisap pusaran air yang perlahan mulai terbentuk. Karena tiap detik berada di ruangan tersebut meningkatkan risiko mereka tertangkap basah oleh Departemen Pembuangan.

Pembuangan 6 kilometer sebenarnya ditujukan supaya pastikan Subyek yang dilemparkan ke kolam pembuangan punya cukup waktu untuk mati tenggelam. Sedangkan hari ini merupakan 'hari pembuangan yang gak terlalu penting'. Jadi Departemen Pembuangan, ga liat ada satupun tubuh berada di kolam, putuskan untuk alirkan limbah sejauh 1 kilometer menuju teluk, daripada 6 kilometer seperti biasa.

Ketika tubuh gadis belia terombang-ambing di pipa pembuangan sejauh 1 kilometer menuju laut dangkal berbatu, tentu udah habiskan cukup waktu untuk mencerna beberapa galon air. Dia gak bergerak, telentang setengah tenggelam di permukaan air pekat dan berbau busuk. Keliatan 'beristirahat dalam damai' bak mayat dari rumah duka.

Dan beberapa menit kemudian, V terbatuk hingga muntahkan seluruh isi perut.

####


A/N: Cerita ini udah nyangkut di kepala sejak saya menulis Reminiscence Arc di Fiction Lake. Dan tentunya, cerita ini masih satu semesta dengan Fiction Lake. Saya yakin kalian pasti tau kok karakter yang terlibat di sini. Ehehe :))

Kelanjutan dari Lake masih dalam proses pengerjaan. Jadi, mohon bersabar menunggu saya yang update-nya lebih lambat dari siput jatuh cinta. Seperti biasa, tanggapan dalam bentuk apapun akan sangat saya hargai. 'till next chapter!

Regards,

Mie.