CHAPTER 1 : PROLOG

Hinata masih harus mengerjapkan matanya berulang-ulang kali sebelum tersadar bahwa hari ini ia harus bergegas untuk mata kuliah paginya. Belum lagi dengan jadwal pengkaderannya yang masih jauh dari kata selesai. Dan lagi ini sudah jam 7 pagi dan ayahnya akan segera bergegas berangkat kerja. Dan astaga ini hari SENIN! Ia tidak ingin ketinggalan tumpangan dari sang ayah dan kemudian harus naik angkutan umum. Bayangan Asuma-sensei lantas terlintas. Dosen tersebut takkan membiarkan Hinata masuk kelasnya jika ia terlambat barang semenit saja. Hinata kemudian bangkit dan bergegas mandi di kamar mandi yang disediakan khusus di kamarnya.

Hinata memang sudah lama menyadari, akan ada banyak konsekuensi ketika akhirnya ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di ilmu sosial. Lebih tepatnya di jurusan ilmu hubungan internasional. Salah satu konsekuensi yang disadarinya adalah kegiatan pengkaderannya yang betul-betul menguras energi dan belum lagi mata kuliah yang diajarkan hampir 100% berbeda dengan apa yang Hinata dulu pelajari selama tiga tahun di kelas IPA. Tapi Hinata enggan untuk menyerah. Kalau di depan umum, dia akan selalu bilang bahwa ia hanya ingin menjadi dubes, dan HI akan menjadi pijakan yang bagus untuknya. Tapi kalau persoalan hati, siapa yang tahu kan?

Hinata hanya menatap lemah sekali lagi, ia hanya bisa tersenyum lemah ketika melihat foto dua orang lelaki di layar blackberrynya. Pria berambut dongker dengan wajah datarnya dan pria berambut putih keperakan dengan wajahnya yang tertutup masker. Ah. Hinata sekali lagi hanya bisa mendesah pelan. Padahal tadi setelah mandi dan berpakaian rencananya Ia akan langsung keluar kamar saja, tapi sesuatu menahannya. Hinata teringat dengan foto tersebut dan kemudian memutuskan untuk menatapnya barang semenit. Tapi Hinata ternyata salah dugaan. Hampir 15 menit Hinata terdiam diiringi tatapan sendunya ke kedua orang di foto tersebut. Hingga…

"Hinata, ayahmu telah menunggu" suara lembut ibunya dari luar kamar mengembalikan kesadaran Hinata.

Yak setidaknya Hinata tidak boleh terlihat lesu di hadapan ayah dan ibunya. Hinata walau untuk sesaat harus bisa untuk terlihat semangat.

Dan dengan keluarnya Hinata dari kamarnya, dimulailah senin Hinata.

Haaaaaai!

Selama ini cuma bisa jadi silent reader dan akhirnya tangan jadi ikutan gatel juga buat nulis. Ini Fic pertama jadi mohon maaf kalau ada kurang dimana-mana. Untuk cerita yang lebih memuaskan jangan lupa di review yaaaa.

Makasih :)

Hinataw.