"Pangeran, Evie, kau harus menikah dengan seorang pangeran agar kita bisa tinggal di istana! Dan kita akan memiliki ruangan penuh dengan cermin!"

Huh, aku sampai hapal sendiri kata-kata Evil Queen terhadap putri tunggalnya. Oke, yah, aku tahu sih, menikahi pangeran mungkin akan membuat status hidupnya dan Evie melonjak naik, tapi apakah harus dengan seorang pangeran? Maksudku, para pangeran hanya ada di Auradon. Sedangkan di sini, Pulau Terhilang, tidak ada orang yang merupakan warga kerajaan, adanya hanya mantan keluarga kerajaan, seperti Evil Queen sendiri yang pernah menjadi ratu dengan menikahi ayahnya Putri Salju.

Sungguhan, haruskah Evie menikahi seorang pangeran? Tidak ada opsi lain? Seperti, entahlah seorang teman dekatnya yang tinggal di bangunan yang sama dengannya sejak kecil, misalnya? Seperti aku?

.

.

Disclaimer: Descendants adalah milik Disney, author tidak mengambil keuntungan.

Warning: alur canon, sebisa mungkin tidak OOC, ending mungkin tidak akan sesuai harapan pembaca tapi tetap akan happy ending, Jay x Evie, slight minor pairings.

.

The Thief's Love Story
Chapter 1

by Fei Mei

.

.

Lagi-lagi aku terbangun karena dengkuran ayahku, entah sudah keberapa kalinya malam ini. Huh, mungkin harusnya aku minta kamar untuk diriku sendiri saja, ya, dulu. Maksudku, padahal pemilik bangunan ini aslinya adalah ayahku, tapi malah kami berdua yang tidak dapat kamar pribadi.

Maleficent, Evil Queen, dan Cruella punya kamar masing-masing. Mal dan Evie sekamar, sedangkan Carlos ada di kamar yang paling kecil—setidaknya anak itu punya kamar sendiri. Seperti yang kukatakan sebelumnya, bangunan ini milik ayahku, ia sengaja ingin punya bangunan yang bertingkat agar ia bisa membuka toko di lantai bawah—untuk menjual barang-barang yang kucuri. Ayah bilang, ia pernah menawari Cruella dan putranya untuk tinggal dengan kami, agar setidaknya Carlos bisa main denganku. Habis itu Cruella mengajak Maleficent dan Evil Queen tinggal di sini juga. Jadilah kami berdelapan tinggal di bangunan yang sama, dengan Maleficent yang berlagak seakan ia yang berkuasa di tempat ini. Tidak buruk, setidaknya di sini tidak sepi, dan aku bisa tinggal di bawah atap yang sama dengan Evie serta membuat anak laki-laki lain terutama yang sekelas dengannya iri padaku.

Aku, Carlos, Evie, dan Mal sudah tinggal bersama sejak kecil, secara tidak langsung kami menjadi seperti saudara. Aku anak tunggal, tapi keberadaan Carlos membuatku merasa memiliki seorang adik yang bisa kukerjai setiap saat. Di antara kami berempat, aku yang paling tua. Evie dan Mal seumuran dan mereka setahun lebih muda dariku, Carlos setahun di bawah mereka. Tapi di Dragon Hall, sekolah kami di Pulau Terhilang ini, kami sekelas walau umur kami berbeda. Itu dikarenakan minimnya tenaga pengajar di sekolah, jadinya beberapa kelas diajar bersamaan.

Pulau Terhilang. Yah, aku tidak begitu memikirkan kenapa orang-orang di Auradon menamakan pulau ini dengan nama itu. Dengan mengenyampingkan fakta tidak adanya wi-fi, tidak ada jalan keluar dari pulau, tidak ada sihir atau mantra yang dapat bekerja di sini, dan hal keren lainnya, sejujurnya ini bukan tempat yang buruk. Memang tidak ada permainan apa-apa di sini. Tapi aku dan ketiga temanku bersenang-senang dengan cara kami sendiri, kami mengerjai orang-orang dan tidak ada yang bisa menghentikan kami.

Saat ini aku merenggangkan otot-ototku, kulihat jam dinding sudah menunjukkan jam empat pagi. Huh, ini mah, belum pagi, masih subuh! Kalau mau tidur lagi, bisa-bisa aku terlambat bangun dan telat sampai sekolah. Aku tidak peduli tentang sekolah sebenarnya, tapi kepala sekolah bilang ia akan mengurungku di bawah tanah selama seminggu kalau aku telat lagi. Menyebalkan.

Telingaku menangkap suara langkah kaki. Yep, sebagai pencuri, aku tidak hanya belajar memperhatikan langkah dan gerak-gerikku, tapi aku juga belajar menajamkan indra pendengaranku. Aku melirik ke arah pintu yang perlahan terbuka. Di sini, di ruang tengah, lampu masih mati, dan hanya ada cahaya bulan yang menyinari sedikit ruangan ini lewat jendela. Tapi aku sudah terbiasa melihat dalam gelap, jadi aku bisa melihat seseorang sedang mengendap-endap keluar dari bangunan.

Evie. Putri Evil Queen itulah yang mengendap-endap untuk keluar. Ia melangkahkan kakinya perlahan sambil membawa buku di tangannya. Bukan pertama kalinya aku melihat dia mengendap dalam gelap sambil membawa buku. Pernah kuikuti dia keluar, lalu melihatnya membaca buku tebal dengan bantuan senter, dan itu menjelaskan kenapa ia bisa sering mendapat nilai bagus di sekolah, melebihi nilai kami bertiga.

Langsung saja aku tersenyum kecil melihatnya berjalan keluar. Aku menghela kecil, dan kupikir kalau aku tidak mau melanjutkan tidur lagi, mungkin aku bisa ikut dia di luar. Jadi aku turun dari tumpukan kardus-kardus—yep, aku satu-satunya penghuni bangunan ini yang tidak memiliki tempat tidur layak di sini, tapi aku sudah biasa—dan perlahan berjalan keluar.

Begitu di luar, aku bisa melihat Evie sedang membaca bukunya dengan serius, dan satu tangannya sedang memainkan rambutnya dengan pembatas buku. Aku paling suka melihat wajahnya saat membaca. Kadang ia serius, kadang ia menyerngit bingung, kadang ia menunjukkan ekspresi yang mengatakan 'ooohh, begitu ...', dan lain sebagainya. Itu menarik untuk kutonton.

Tampaknya ia tidak sadar kalau pintu terbuka, ia baru sadar saat aku duduk di sampingnya. ia langsung mengalihkan pandangannya dari tulisan apa pun di bukunya dan menoleh padaku sambil tersenyum kecil.

"Hai, Eve," bisikku, menggunakan nama panggilan untuknya dariku. Yah, Mal memanggilnya 'E', Evil Queen memanggil putrinya dengan sebutan 'Evil-ette in training', yang lain memanggilnya 'Evie', dan hanya aku yang memanggilnya 'Eve'. Ia tidak pernah mempermasalahkan panggilan itu, dan sesungguhnya itu membuatku lega.

"Hai, Jay," balasnya sambil berbisik juga. "Terbangun gara-gara aku?"

Aku menggeleng pelan. "Memang sudah terbangun. Kau tidak bisa tidur?" Ia mengangguk. "Huh, tipikal kau. Kali ini kau menyimpan buku itu di mana?"

"Tetap di kolong ranjang. Aku tidak mau menaruhnya di bawah bantal lagi, soalnya sudah pernah ketahuan ibu," jawabnya sambil tersenyum kecut.

Hm, yah, aku pernah dengar Evil Queen mengkritik putrinya yang ketahuan sedang membaca. Ibu tiri Putri Salju itu bilang pada Evie, kalau ia punya waktu senggang sebaiknya digunakan untuk merias diri dan bukan membaca serta membiarkan kerutan dan jerawat menghiasi wajah. Dasar.

Tinggal dengan Evie sejak kecil, aku hampir selalu melihatnya dengan riasan wajah. Ia pernah bilang bahwa riasan wajah itulah yang bisa menarik perhatian ibunya untuk berbicara padanya. Aku melihatnya tanpa riasan wajah sama sekali adalah saat-saat begini, ketika ia tidak bisa tidur dan keluar rumah membawa buku. Wajahnya bersih dari riasan, dan ia tampak cantik. Tidakkah Evil Queen bisa melihat bahwa putrinya punya kecantikan alami?

.

.

Hari Sabtu dan Minggu adalah dua hari favoritku, hanya karena tidak ada sekolah. Jadi selama dua hari itu aku bebas bersenang-senang dengan ketiga teman dekatku. Hari ini adalah giliranku yang menentukan tempat untuk direcoki, dan aku memilih tempat kesukaanku: pasar. Yep, karena kalau di pasar, aku bisa mencuri sangat banyak barang untuk menjadi stok di toko ayah.

Kami pergi ke pasar sama-sama, dan kami langsung berpencar saat sudah memasuki gerbang pasar. Aku naik ke atas atap, mencari-cari toko mana yang punya barang bagus. Sambil mengincar-incar, aku bisa melihat Mal sudah nyaris selesai menyempotkan catnya di dinding—anak satu itu memang jago di bidang kesenian.

Kuputuskan untuk segera turun dan dengan cepat mengambil barang-barang yang sudah kuincar, lalu aku bergerombol dengan Evie, Mal, dan Carlos lagi untuk memasuki toko-toko yang lain sambil Mal membuat huruf 'M' dengan cat ungunya di dinding, seakan menandakan bahwa tempat itu sudah menjadi teritorinya. Aku dan Carlos merecoki mereka yang ada di dalam ruangan sambil tertawa.

Saat melihat ada teko yang menganggur—dalam artian ada di atas meja dan tidak ada yang menjaga—langsung kusambar dan kumasukkan ke dalam kantong bajuku. Tersenyum penuh kemenangan, aku mencari ke mana Mal pergi, tapi pandangan mataku malah menangkap sosok Evie yang sedang menggoda seorang pedagang. Aku langsung mendengus kesal, walau tahu Evie tidak akan mungkin punya perasaan pada si pedagang, gadis itu hanya ingin mengerjainya saja.

Kuputuskan untuk keluar dari toko, berpikir mungkin Mal dan Carlos sudah keluar duluan. Benar juga, keduanya sudah berjalan di depan toko dan orang-orang berlari ketakutan. Ini bagian kesukaan Mal: ditakuti orang-orang.

Waktu ada seorang bayi yang ditarik ibunya dengan kereta, Mal langsung mengambil permen lolipop yang ada di tangan bayi yang kupikir belum berumur setahun itu. Aku menyengir melihatnya, sementara Mal, Carlos, dan Evie tertawa senang. Tapi aku langsung melenyapkan cengiranku bersamaan dengan lenyapnya tawa Carlos dan Evie, saat melihat seorang wanita dengan dua tanduk di kepalanya datang. Itu ibunya Mal, dan Mal baru sadar ibunya datang karena ekspresi wajah kami yang tiba-tiba berubah.

Mal menghela pelan, lalu memaksakan senyum ceria sambil berbalik badan untuk berhadapan dengan ibunya, Maleficent. "Hai, Ma!"

"Mencuri permen, Mal? Aku sangat kecewa," kata Maleficent.

"Ini kuambil dari bayi," ujar Mal sambil memperlihatkan lolipop di tangannya. Aku menyengir kecil. Maleficent selalu senang kalau putrinya mengambil sesuatu dari bayi atau melakukan sesuatu yang dapat membuat bayi menangis—itulah sebabnya Mal sering melakukannya, biar ibunya senang.

Senyum Maleficent langsung mengembang. Tuh, kan. "Itu baru putriku!" Diambilnya lolipop itu dan diludahi, habis itu ia menaruhnya di ketiak. Selesai, ia menyodorkannya pada seorang lelaki yang tadi mengawalnya. "Kembalikan ini pada makhluk itu." Dan lelaki menurut.

"Maaaa ... " dengus Mal. Yep, aku juga kesal kalau barang yang kucuri dikembalikan begitu saja. Dalam kasusku, aku mencuri untuk dijual oleh ayahku, dan kalau yang ingin beli adalah pemilik asli barang tersebut maka ayah akan memberi harga dua kali lipat.

"Itu batasnya, Mal, itu yang membuat perbedaan antara kejam dan benar-benar jahat," ujar Maleficent. "Saat aku seusiamu, aku mengutuk seluruh kerajaan," katanya dengan bangga. Lalu ia merangkul pundak putrinya sambil berjalan pelan. "Aku hanya sedang mengajarkanmu hal yang sangat penting: bagaimana cara menjadi sepertiku."

Mal mengangguk. "Aku tahu, kok. Dan aku akan melakukan yang lebih baik."

"Oh, aku dapat kabar!" kata Maleficent senang, lalu menoleh pada kami, seakan ia baru ingat kalau tidak hanya ada putrinya saja di sini. "Kalian berempat terpilih untuk pergi ke sekolah yang berbeda. Di Auradon."

Aku termegap dan terlunjak, tapi langsung ketemukan seorang pria pengikut Maleficent masing-masing di belakangku, Carlos, dan Evie, yang seakan siap menangkap kami kalau kami terlunjak akan kabar itu.

Gawat. Aku tidak mau kalau Evie sampai pergi ke Auradon. Aku pergi ke sana tidak masalah sama sekali—bahkan aku akan menemukan lebih banyak barang berharga untuk kucuri. Tapi Evie? Aku tidak mau ia bertemu dengan pangeran sesuai dengan yang diinginkan ibunya! Sial.

"Ma, kau pasti bercanda!" raung Mal pelan.

"Tidak! Kalian akan bergabung dan menjadi murid dari SMA swasta Auradon," ujar Maleficent senang.

"Ma! Aku tidak mau pergi ke sekolah asrama yang penuh dengan para tuan putri!" kata Mal.

Evie menghampiri Mal. "Dan para pangeran yang sempurna!" ujar Evie senang. Huh, tuh, kan! Langsung saja Mal melotot pada gadis yang berpakaian serba biru itu, dan Evie langsung pura-pura ikut jijik. Oh, Evie ...

Kuharap kalau salah satu dari kami, seperti aku misalnya, tidak mau pergi ke sana, itu berarti tidak akan ada yang ke Auradon. "Aku tidak mau pakai seragam." Oke alasanku ini terlalu lemah. Lagipula, bagaimana kalau seragamnya terbuat dari kain? "Kecuali kalau terbuat dari kain. Kau paham?" kataku sambil agak menyengir pada Carlos.

Tapi Carlos mengacuhkan perkataanku. Ia malah maju dan mendekati Maleficent dengan wajah cemas. "Aku pernah baca bahwa mereka membiarkan anjing berkeliaran di Auradon," katanya. Ah, ya, Carlos dan anjing, bukan kombinasi yang bagus. "Mamaku bilang mereka adalah golongan hewan yang akan memakan anak laki-laki yang tingkahnya tidak baik."

Sambil menyengir, aku mendekati pemuda yang lebih muda dua tahun dariku itu, dan membuat suara gongonggan di telinganya. Langsung saja Carlos melompat kaget. Mau tak mau aku langsung tertawa.

"Ya, Ma, kami tidak akan pergi," ujar Mal. Bagus, tidak usah pergi saja! "Kau tidak akan mulai melihatku melakukan tata krama dan membuat laporan buku."

"Pikiranmu kecil, Sayang," kata Maleficent. "Ini tentang menguasai dunia!" Lalu Maleficent memutar tubuhnya dan mulai berjalan pergi sambil memanggil putrinya.

Sambil mendengus pelan, Mal pun akhirnya berjalan mengikuti ibunya, kami pun melakukan hal yang sama. Oh, ayolah, setidaknya jangan sampai Evie bertemu dengan seorang pangeran kerajaan mana pun!

.

.

Maleficent langsung memanggil ayahku bersama dengan Cruella dan Evil Queen. Kami berdelapan pun berkumpul di ruang tengah, tapi tetap saja dengan kesibukkan masing-masing. Maleficent langsung duduk di 'singgasana'nya, sedangkan aku, Mal, Evie, dan Carlos hanya memandang si naga jadi-jadian itu memainkan kukunya. Evil Queen masih sibuk dengan cerminnya. Sedangkan ayahku masih mengecek kertas berisikan daftar stok tokonya.

"Kalian akan pergi," tekan Maleficent tanpa memandang kami sama sekali. "Kalian akan mencari tongkat sihir Ibu Peri dan kalian akan membawakanku tongkatnya. Mudah."

Mudah? Yah, bagiku mudah, karena aku tahu bagaimana cara mencuri.

"Apa untungnya untuk kita?" tanya Mal.

"Singgasana yang sesuai, untukku dan untukmu," jawab Maleficent.

"Um, kupikir maksudnya adalah kami," koreksi Carlos. Diam-diam aku mengangguk, semakin paham kalau Maleficent itu egois. Tapi, hei, kami 'para penjahat', kan? Egois sudah biasa untuk kami.

Tapi Maleficent tidak mengindahkan perkataan Carlos. Ia bangkit dari kursinya dan mendekati putrinya. "Semuanya tentang aku dan kau, Sayang. Tidakkah kau senang menyaksikan orang-orang inosen menderita?"

"Tentu saja!" jawab Mal cepat. "Maksudku, siapa yang tidak?"

Warga Auradon, tentu saja, dengusku.

"Makanya dapatkan tongkat itu! Maka kita akan bisa melihatnya dan banyak hal lainnya!" seru Maleficent. "Dan dengan tongkat itu dan Scepter-ku—" katanya sambil mengangkat kedua tangannya, "—aku akan bisa menyatukan yang baik dan yang buruk dalam kekuasanku!"

"Kekuasaan kita," kata Evil Queen. Yep, Maleficent bukan hanya yang paling jahat di antara para penjahat, melainkan juga yang paling egois.

"Kekuasaan kita, kekuasaan kita," koreksi Maleficent. Lalu ia memelototi putrinya lagi. "Dan jika kau menolah, kau akan dihukum seumur hidupmu, Non."

Aku mengerang. Gawat. Kalau sudah seperti ini, sepertinya kami memang mau tak mau harus pergi. Maksudku, kalau memang hanya Mal yang dipaksa pergi sedangkan kami bertiga tidak usah pergi, aku tidak yakin mau membiarkan Mal pergi seorang diri. Maksudku, yah, kami penjahat, kami egois, tapi kami masih setia kawan pada orang-orang yang memang adalah kawan kami. Dan untukku, Mal masuk kategori sebagai 'kawan'ku. Jelas aku tidak akan tega membiarkannya ke Auradon seorang diri.

Tapi kalau kami semua pergi ... aku tidak mau Evie mendapatkan pangeran seperti yang selama ini ia bicarakan dengan ibunya ...

"Apa? Ma!" kata Mal tidak terima. Oke, Maleficent tidak hanya egois pada orang-orang sekitarnya, melainkan terhadap semua orang, termasuk putrinya sendiri.

Maleficent tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi ia memajukan wajahnya agar bisa berhadapan lebih dekat dengan Mal. Adegan saling memelototi pun dimulai. Mal pernah bilang bahwa itu adalah cara mereka melatih kekuatan dan fokus. Dan jika mereka sedang berselisih, mereka akan mengadakan kontes memeloti seperti sekarang. Dan seperti biasa, Mal selalu kalah.

"Baiklah, terserah," dengus Mal yang sudah kalah.

"Aku menang," ujar Maleficent bangga. Huh, lawannya kan, anaknya sendiri. Kalau kalah bukannya memalukan?

Evil Queen mengomentari Maleficent, Cruella tertawa, Maleficent membalasnya. Setelah itu Evil Queen memanggil putrinya. Aku melihat Evie dengan patuh menghampiri ibunya hanya untuk mendengar nasihat yang sama—dan kali ini ia lebih menekankan putrinya untuk mendapatkan seorang pangeran. Aku mendengus dalam hati.

Evie tersenyum dan tertawa kecil sambil, kurasa, membayangkan ruangan penuh cermin seperti yang selalu ibunya bicarakan. Tawanya lenyap saat ibunya melarangnya tertawa. Dasar, padahal tawa gadis itu bagus, kok. Senyumnya, suara kekehannya, semuanya. Evil Queen reseh.

"Yah, mereka tidak akan menarik Carlos dariku," kata Cruella. Wow, seriusan nih, dia bilang seperti itu? "Aku akan sangat merindukannya." Aku agak tersedak. Ada apa dengan Cruella?

"Sungguh, Ma?" tanya Carlos dengan wajah senang. Ayolah, Carlos, jangan terlalu senang dulu!

"Ya!" kata Cruella. "Siapa yang akan mencabut ubanku? Mengurus syal bulu dan mengurus kakiku?" Lalu ia dengan kasar menaikkan satu kaki ke tangan putranya. Aku langsung memutar bola mataku. Huh, dasar.

"Mungkin sekolah baru tidak begitu buruk," ujar Carlos.

Yah, biar Carlos dan Mal saja kalau begitu yang pergi ke Auradon, jadi aku dan Evie bisa tetap di sini. Eh, tunggu, bukannya di Auradon itu ada—

"Carlos, mereka punya anjing di Auradon!" kata Cruella.

"Oh, tidak! Aku tidak mau pergi!" kata Carlos dengan nada takut. Aku menghela dan menggeleng.

"Jay tidak akan pergi juga!" sahut ayahku sambil menarikku ke salah satu meja. "Aku membutuhkannya untuk mengisi stok di rak untuk tokoku!" Oke, yah, walau pun demi kepentingannya sendiri, setidaknya mencuri adalah hal yang menyenangkan untukku. Ayah menoleh padaku. "Apa yang kau dapatkan?"

Segera kukeluarkan barang-barang yang berhasil kuambil dari pasar. Kuambil barang di kantong baju, kantong celana, yang kuselipkan di sepatu botku pun juga kukeluarkan sampai ayahku memasang wajah senang, seperti biasa. Aku mengeluarkan barang terakhir sambil menyengir, karena kutahu barang terakhir ini adalah favorit ayahku.

"Lampu minyak!" pekiknya senang, langsung mengambil lampu dari tanganku dan menggosokku.

Cengiranku lenyap. "Pa, aku sudah mencobanya tadi," ujarku. Ayah langsung mendengus dan menaruh lampu itu di meja.

"Evie tidak akan kemana-mana sampai kami merapikan alisnya," sahut Evil Queen. Lagi-lagi aku memutar bola mataku. Heran. Maleficent dan Cruella saja tidak sebegitunya. Tidak lama kemudian aku mendengar pekikkan pelan dari Evie, mungkin karena kaget ibunya mencabut alisnya.

Maleficent berdiri di tengah ruangan dengan wajah garang. "Ada apa dengan kalian semua? Dulu orang-orang bahkan takut hanya dengan mendengar nama kita! Selama dua puluh tahun, aku mencari jalan keluar dari pulau ini!" Lalu aku mendengar pekikan pelan Evil Queen. Oh, giliran Evie yang mencabut alis ibunya. "Selama dua puluh tahun, mereka membuat kita tidak bisa membalas dendam!" Evil Queen memekik lagi, kulihat Evie masih memegang pencabut alis di tangannya, lalu meletakkannya di meja. "Balas dendam terhadap Putri Salju dan orang-orang kerdilnya," ujar Maleficent. Evil Queen memekik pelan lagi, kali ini mungkin karena perkataan Maleficent. Lalu si wanita bertanduk itu menoleh pada ayahku. "Balas dendam pada Aladdin dan Genie-nya!" Ayah langsung terlihat kesal. "Balas dendam terhadap para Dalmatian yang kabur dari tempatmu," lanjut Maleficent pada Cruella. Ibunya Carlos lalu memegang mainan di pundaknya, lalu ... menjadi gila.

"Aku setuju denganmu!" sahut ayah. Oh, tidak.

Dengan serius Maleficent menatap ayah. "Siapa kau?"

"Jafar? The Grand tsar of Agrabah?" jawab ayah dengan nada bertanya.

"Dan aku, Maleficent, yang terjahat di antara semua penjahat. Akhirnya aku akan membalas dendam pada Putri Tidur dan pangerannya. Para Penjahat! Waktu kita telah tiba!" kata Maleficent, lalu menoleh pada Evil Queen. "EQ, berikan dia cermin sihir."

Bukannya langsung menurut, Evil Queen malah asyik menatap pantulan wajahnya pada cermin kecil di tangannya. "Tunggu. S'il vous plait." Itu bahasa Prancis, ya?

"Sekarang!" titah Maleficent.

"Oh, astaga! Dominasi dunia bisa menunggu sampai tiga puluh detik!" erang Evil Queen tapi akhirnya mengoper cermin di tangannya pada Evie.

Aku menyerngit. Itu cermin sihir Evil Queen yang terkenal? Cermin kecil yang bisa digenggam tangan? Kupikir cerminnya sangat besar dan hanya bisa digantung di dinding!

Oh, ternyata tidak hanya aku yang bingung, Evie pun sama bingungnya denganku. "Ini cermin sihirmu?"

"Yah, itu tidak seperti dulu, kita pun juga begitu," kata Evil Queen, lalu tertawa bersama dengan ketiga orangtua lainnya. Huh, ia melarang Evie tertawa dan ia sendiri sekarang tertawa. "Itu akan membantumu mencari sesuatu."

Evie langsung tersenyum senang. "Seperti pangeran!" katanya. Ini, sungguh, bahaya.

"Seperti gesperku," kata Evil Queen.

"Seperti tongkat sihir! Halo!" sahut Maleficent. Benar-benar tidak bisa sabar ya, wanita satu itu? "Aku butuh bukuku. Buku mantraku. Ah! Tempat penyimpanan!" Maleficent menuju kulkas dan berusaha menarik pintunya. " Aku tidak bisa membukanya. Seseorang bantu aku! Aku harus membukanya! Ini rusak! Aku tidak bisa membukanya!"

Aku menghela. Oke, jadi Evil Queen itu pernah jadi ratu, kan? Kupikir Maleficent lebih cocok dengan sebutan ratu—Ratu Drama.

Evil Queen, setelah menghela juga, akhirnya berdiri dari kursinya, memegang pegangan pintu dan membukanya perlahan. Aku menggeleng pelan dan memijat keningku. Payah. Maleficent langsung mengambil buku yang ada di dalam kulkas.

"Ah, buku mantraku! Kemari, Sayang!" kata Maleficent. Mal pun langsung menghampiri ibunya yang sedang memamerkan bukunya. "Ini! Ini tidak akan bekerja di sini, tapi akan bekerja di Auradon." Lalu ia menoleh pada Evil Queen. "Ingat saat kita menyebarkan keburukan dan merusak hidup orang?"

"Rasanya seperti baru kemarin," gumam Evil Queen sambil tersenyum.

Maleficent kembali menoleh pada putrinya. "Dan sekarang, kau akan membuat kenangan sendiri untukmu ... " ujarnya sambil menyodorkan bukunya pada Mal. Tapi sebelum Mal berhasil memegang buku itu, sang ibu menarik bukunya lagi dengan wajah serius. "Dengan melakukan sesuai dengan apa yang kukatakan," katanya lagi, dan kali ini ia benar-benar memberikan buku itu pada Mal.

Lalu aku mendengar suara klakson.

Tunggu, klakson? Astaga, saat Maleficent bilang bahwa kami akan pindah ke Auradon, maksudnya hari ini juga?!

"Pintu!" titah Maleficent.

Aku benar-benar tidak mau pergi. Koreksi. Aku tidak mau Evie pergi ke Auradon.

Maleficent, Mal, Evil Queen, Evie, Cruella, dan Carlos sudah keluar duluan. Ayah menarikku sebelum keluar. "Sekarang ucapkan mantra kita," katanya.

"Tidak ada 'tim' dalam 'aku'," ucapku, sudah hapal, karena itulah yang ia ajarkan sejak jaman aku kecil.

Ayah tersenyum. "Ayo pergi. Kau membuatku terharu!"

Aku senang melihat ayahku tersenyum, jadi walau aku sedang kecewa karena kami tetap harus pergi, aku memaksakan senyum kecil di wajahku.

.

Apa yang harus kulakukan?

.

.

TBC

.

.

A/N: Halo, Fei dateng lagi ke fandom ini. Maklum, fandom ini lagi hangat-hangatnya di otak Fei. Apalagi Fei punya novelnya, jadi ga perlu cari naskahnya lagi di internet. Nyeheheheh~. Btw, sebenernya Fei bukan nge-ship Evie dengan Jay, cuman Fei mikir 'gimana kalo ada yang dari dulu suka sama Evie tapi tau Evie hanya boleh dengan pangeran?'. Doug kan gak termasuk kategori 'dari dulu', jadi cuman ada Jay dan Carlos. Carlos terlalu unyu gitu, sih, ga bisa bayangin. Jadinya Jay deh #plak.

Review?