A THOUSAND CANDLES

-Biancadeo-

Chapter 1

Ketika manik kami bertemu, kala itu aku adalah seorang penyair dengan semua kalimat pemuja tentang dirinya.

In your smile I see something more beautiful than the stars. I look at your eyes and fall in love many time.

Cinta adalah caraku bercerita tentang hidup. Caraku menyambut hari terang. Caraku untuk mengenalmu sebagai keseluruhan nafas.

Pure love more than a thousand candles

Ilalang terbang dengan asal dihembus angin tua, membuat Jongin sedikit menyipitkan mata. Lelaki itu enggan membuat iritasi terjadi pada mata sensitifnya, setelah sebelumnya dua kali ia mendapat iritasi mata dan mengharuskan dirinya memakai kacamata hitam selama satu minggu penuh. Jongin melirik jarum jam pada pergelangan tangan, sudah lebih 30 menit keterlambatan terhitung sejak ia berlari sekuat tenaga untuk sampai sekolah. Namun tetap saja, ini untuk kali ketiga ia terlambat datang dan memutuskan untuk akhirnya membolos, menghabiskan waktu dipadang rerumputan dekat rumah tua agak jauh dari letak sekolahnya. Terkadang apa yang ada dipikiran usil Jongin adalah melihat bagaimana sekiranya rumah tua itu jika dilihat dari dalam. Mengingat apa yang diujar oleh mitos terdekat adalah rumah tua itu dulunya berisikan mayat bocah berumur belasan tahun. Terlintas dipikiran saja berhasil membuat bulu kuduk Jongin naik pitam. Lelaki bersurai coklat itu tentu saja tidak memiliki nyali yang cukup untuk menerobos masuk kedalam sana.

Manik Jongin mengamati sekitar, kali ini, hanya ada dirinya, rumput yang menari bersama angin, terik matahari yang semakin tersulut serta seorang lelaki berpakaian serba hitam duduk tak jauh dari posisinya. Jika otak Jongin diputar kembali, ia selalu mendapati lelaki yang sama ditempat ini. Seorang lelaki berkulit seperti susu dengan rambut legam bak eboni. Ia tampak lebih muda dari Jongin. Menurut Jongin dia lelaki yang paling mirip dengan putri angsa, tokoh dalam dongeng. Karena jelas saja, kulitnya seputih susu dan wajahnya bersinar cerah.

Pria itu menekuk lutut, membiarkan surainya menyatu dengan angin. Sesekali tangan dengan jemari putih itu bermain dengan rumput, ada kalanya ia akan merebah diri dengan lengan sebagai tumpuan. Jongin memutuskan untuk mendekat, ia merasa butuh teman bicara. Khas bau rosemary, lemon dipadu dengan neroli berhasil masuk pada penciuman Jongin bahkan dari jarak lebar yang masih tercipta diantara mereka. Lelaki putih itu tetap tidak menoleh ketika jarak mereka menjadi kurang dari satu meter. Jongin membuang nafas kemudian tangannya terangkat memutuskan untuk menepuk pelan pundak sempit si lelaki putih.

"Hei"

Tanpa disangka lelaki yang disapa tersentak berlebihan. Ia menoleh dan irisnya membola tajam menatap iris Jongin. Benar saja, lelaki ini terlalu kerap melamun.

"Ah ya, sorry. Aku sedikit kaget— Hai juga"

"aku sering melihatmu disini"

"ah, benar kah? Aku— sepertinya baru melihatmu hari ini"

"tentu saja, kau terlalu sibuk dengan dirimu"

Lelaki itu terkekeh sebentar kemudian kembali melihat kedepan. Mereka memutuskan untuk membiarkan hening mengambil alih. Jongin menerka, lelaki ini terlihat muda. Mungkin baru menginjak enam belas tahun. Apa yang seharusnya dilakukan anak berumur enam belas tahun pada jam sekian selain berada disekolah? Ah, pengecualian untuk Jongin yang saat ini sedang membolos.

"aku Do Kyungsoo" Jongin sedikit tersentak melihat tangan putih lelaki itu sudah melayang tepat dihadapnya, menunggu balasan.

"kau bisa memanggilku Kyungsoo" Lanjutnya. Ah sungguh lamban otak Jongin, akhirnya ia menjabat tangan Kyungsoo. Sedikit kaget bagaimana tangan itu bahkan lebih halus dari tangan teman-teman wanitanya.

"Ah ya! Aku senang bisa berkenalan denganmu, aku Kim Jongin. Kau bisa memanggilku Jongin"

Jongin menggaruk tengkuknya yang diyakini tidak gatal. Ia tersenyum senang mendapat teman baru. Pasalnya, Jongin tidak punya banyak teman. Lelaki itu terkadang kerap menjadi diam dengan sendirinya. Membuat beberapa teman menjadi acuh kemudian menjauhkan diri.

"jadi Jongin, apa yang dilakukan anak sekolah sepertimu disini?"

Yang ditanya hanya mengangkat sebelah alis. Jongin mendengus sebal, ia yakin bukan satu-satunya sebagai anak sekolah disini. Sedikit heran memang bagaimana Kyungsoo datang kesini hanya dengan pakaian santai, bukannya seragam seperti dirinya.

"Ya! kau juga, aku hampir selalu melihatmu berada disini. Aku yakin kau selalu membolos dari sekolahmu!"

"aku tidak pernah membolos"

"bagaimana bisa? Mana ada sekolah yang mengizinkan muridnya keluar masuk seenaknya"

"aku ini sudah kuliah bodoh! Perhatikan sopan santunmu!"

Jongin terdiam. Lelaki itu menerjab beberapa kali. Maniknya melihat kaget lelaki disebelahnya. Sementara Kyungsoo, ia masih diam menatap datar manik Jongin.

"Hah! Kau bahkan terlihat seperti anak sekolah menengah pertama!"

"Terserah apa katamu"

"kalau begitu, dimana kau berkuliah?"

"disana"

Ia mengikuti arah telunjuk Kyungsoo. Saat itu Jongin merasa ingin tertawa. tentu saja, bagaimana tidak jika telunjuk Kyungsoo mengarah pada Universitas Seoul. Sebuah tempat belajar yang memproduksi orang-orang hebat. Hanya otak diatas rata-rata yang bisa menerobos masuk kesana. Sementara Kyungsoo, lelaki ini sungguh sama sekali tidak seperti orang jenius. Bahkan menurut Jongin wajahnya ketika melamun lebih mirip orang bodoh.

"HAHAHAHA kau lucu sekali! Semua orang juga ingin berkuliah disana!"

Jongin benar-benar tertawa. Ia berguling kesana kemari. Lelaki itu bahkan hampir menangis dibuatnya. Wajahnya memerah menahan tawa agar tidak terdengar lebih keras.

Sementara Kyungsoo hanya mencibir. Lelaki putih itu meniup poni hitamnya dengan malas. Ia benci pada semua orang yang memandang remeh padanya. Sungguh, Kyungsoo adalah anak yang pintar. Apakah orang pintar harus berpenampilan seperti orang pintar?

"jadi— apa yang membuatmu berpikir kau bisa masuk kesana?" Kyungsoo menautkan alis. Memandang Jongin dengan sebal. Lelaki ini hanya bocah sombong yang diyakini Kyungsoo gemar membolos. Tentu saja hanya sebatas mimpi baginya untuk bisa terdaftar dalam universitas yang kini sedang menjadi topic hangat diantara mereka.

"aku memang mahasiswa disana"

"kalau begitu buktikan" Kyungsoo segera merogoh tas hitamnya. Mencari sesuatu yang kiranya bisa menjadi sebuah bukti. Dahinya berkerut ketika tidak menemukan dompet didalam sana. Ah baiklah, Kyungsoo yang pintar juga pelupa.

"aku pikir, aku melupakan dompetku"

"oh ayolah, aku tau kau hanya mengarang"

"terserah kau saja. Pergi sana kau!"

"tidak mau, aku tidak punya teman!"

Jongin membentuk bibir seperti kerucut. Wajahnya memelas mengharap belas kasihan Kyungsoo agar tidak mengusirnya. Lelaki itu sungguh tidak ingin pergi kesekolah. Ia juga tidak ingin pulang karena kakak perempuannya akan marah besar jika pembantu sialan dirumah melaporkan dirinya yang telah berada dirumah sebelum jam pulang anak sekolah tiba.

"tentu saja, siapa yang mau berteman dengan bocah sombong sepertimu"

"apa aku benar-benar seperti bocah yang sombong?"

"kau memang anak som—"

Kyungsoo menghentikan kalimatnya ketika menoleh dan mendapati wajah sendu Jongin. Ada banyak kilat kesedihan dari manik lelaki itu. Kyungsoo akhirnya menghembuskan nafas panjang, masih dengan menatap manik kelam Jongin.

"aku punya waktu sampai jam makan siang"

"woah! Terimakasih! Apa itu berarti, kau akan mentraktirku makan siang?"

"Tentu saja, tidak!"


Kakinya melangkah lebar dengan sayup. Gelap menyambut tepat ketika suara derit pintu terdengar. Kyungsoo merebahkan tubuh pada sofa. Remang cahaya bahkan tidak membuatnya tersandung ataupun terjatuh. Lelaki bersurai hitam itu menoleh, memandangi satu gambar dalam bingkai. Seorang anak dengan senyum hati sedang bersandar pada sebuah pohon tua. Senyumnya bahkan tetap berbinar bahkan saat cahaya sedang redup. Kyungsoo tersenyum miris ketika melihat nama yang tertera pada keterangan foto.

Kim Dyo.

Itu adalah foto dirinya, setidaknya wajah dengan tubuh yang sama seperti dirinya. Hanya saja, didalam foto itu bukanlah Kyungsoo, melainkan Dyo. Kyungsoo tidak ingat bagaimana rupanya. Dimana tubuhnya atau bagaimana ia dinyatakan telah meninggal. Namun ia ingat siapa orang tuanya, tanggal lahirnya juga hal lain dalam kehidupan pribadinya sebagai seorang Kyungsoo. Jemarinya meraih foto, didalam sana adalah foto seseorang yang memberinya kehidupan kedua. Sampai sekarang pun Kyungsoo masih tidak mengerti bagaimana sistem reinkarnasi atau kehidupan setelah mati. Ia hanya percaya, tuhan menyayanginya.

Lelaki itu membuang nafas kasar sesaat setelah mengetahui penyebab bunyi nyaring itu berasal dari ponselnya. Begitu malas untuk sekedar menggeser warna hijau pada layar, ia memilih melempar ponselnya jauh didasar meja. Memejamkan mata kemudian mengucap kalimat doa dalam hati, berharap mimpi buruk tak menyertainya malam ini.


Matahari sedang berada dipuncak, membuat Kyungsoo mempercepat langkah menuju gedung tujuan. Lelaki itu enggan menanggung resiko kulitnya menghitam. Langkahnya terhenti ketika satu suara familiar masuk pada pendengaran. Ia menoleh kemudian mendapati sebuah mobil mewah berhenti. Dari pintu penumpang, keluar seorang wanita cantik dengan rambut coklat sebahu. Dia tersenyum ceria pada Kyungsoo.

"Ah, noona. Lama tidak jumpa"

Begitulah Kyungsoo memulai percakapan. Samar-samar Kyungsoo melihat seseorang dari dalam mobil. Merasa mengenal, lantas Kyungsoo mendekat. Lelaki itu menyerinai puas ketika melihat Jongin termangu didalam sana dengan wajah bodohnya. Tidak mempedulikan bagaimana primadona kampus itu bisa keluar dari dalam mobil Jongin. Kyungsoo tersenyum penuh kemenangan.

"Oh— hai err Jongin. Sudahkah ku katakan padamu aku berkuliah disini?"

Kyungsoo menaikkan sebelah alisnya. Lelaki itu berpangku tangan pada daun kaca mobil yang terbuka. Ia merogoh sebelah sakunya kemudian menunjukan sebuah kartu yang memberi keterangan sebagai mahasiswa resmi. Sungguh Kyungsoo sangat ingin tertawa untuk mengejek Jongin jika saja satu suara tidak menginterupsi rencananya

"kyungsoo, kau mengenal adikku?"

Lelaki yang dipanggil menoleh. Wanita dengan paras cerah itu bertanya dengan begitu lembut. Kyungsoo memang terkejut dengan begitu sempitnya dunia milik tuhan. Yeah, kau tau bagaimana bisa bocah sombong itu adalah adik dari seorang wanita bak model seperti Kim Sora.

"Ah ya, kami tidak sengaja mengenal kemarin ketika ber—"

"kemarin sore ketika sepulang sekolah kami tidak sengaja bertemu. Benarkan Kyungsoo— hyung?"

Jongin memasang wajah melas, dengan samar menerjab matanya memohon kerja sama. Bisa mati lelaki itu jika saja kakak perempuannya mengetahui adiknya bolos untuk kesekian kali. Kyungsoo berdecih pelan, ia tersenyum diam pada Sora. Sungguh Jongin anak yang nakal, pikirnya.


Jongin berlari kekanakan ketika melihat lelaki yang sama masih berada ditempatnya sore ini. Hari ini Jongin tidak membolos tentu saja, ia merasa jenuh dan memutuskan untuk sekedar melihat anak-anak bermain atau memperhatikan senja yang sedang bersiap datang di padang rumput seperti biasa.

"Hyung! Aku menemukanmu lagi disini!" Kyungsoo menoleh perlahan. Mendengus sebal setelah mendapati bocah yang sama duduk dengan seenak jidat disamping. Lelaki itu terlihat kusam masih dengan seragam sekolah.

"siapa yang kau panggil dengan sebutan Hyung?"

"kau tentu saja. Oh ayolah maafkan aku, tidak percaya padamu. Kau tau, siapa saja akan tertipu dengan wajahmu itu"

"Cih— jadi, kau tidak membolos hari ini?"

"tentu saja tidak, kepalaku bisa digantung jika kakak ku memergoki aku membolos lagi"

"apa kakakmu yang cantik terlihat akan sekeji itu?"

"kau menyukai kakakku?"

"siapa yang tidak menyukainya"

"ah tentu saja, dia kelewat cantik"

Setelahnya mereka kembali bernaung dalam keheningan. Membiarkan angin bermain dengan bulu kuduk masing-masing. Jongin tidak suka diam. Ia memutar otak mencari-cari bahan pembicaraan. Pada akhirnya suasana sore itu berakhir dengan racauan tidak jelas Jongin serta gumaman Kyungsoo sebagai jawaban.

Hampir setiap sore Jongin akan mendapati Kyungsoo duduk ditempatnya. Setiap senja baru akan mampir, Kyungsoo hampir selalu kedatangan Jongin disampingnya. Seperti sebuah kebiasaan. Jongin akan menghabiskan semua makanan didalam tas Kyungsoo lalu Kyungsoo akan menjitak puncak kepala Jongin setelah itu. Mereka menjadi dekat. Jongin akan merengek jika saja Kyungsoo tidak mau membantunya mengerjakan pekerjaan sekolah kemudian Kyungsoo akan marah jika Jongin dengan keterlaluan tidak bisa menjawab persoalan yang menurutnya mudah untuk dijawab bagi anak tingkat tiga sekolah menengah atas.

Adu mulut dengan Jongin adalah hal baru bagi Kyungsoo. Lelaki itu merasa lupa siapa dirinya. Tentu saja, dia adalah Kyungsoo. Jiwa Kyungsoo dengan raga orang lain. Tertawa dengan Jongin, membuatnya lupa bahwa dirinya adalah Kyungsoo yang telah lama mati. Bermain dengan Jongin sungguh membuat Kyungsoo lupa diri.


Kyungsoo kembali menginjak pegal gas. Melajukan mobil dengan konstan. Lelaki itu hendak mencari tahu bagaimana ia bisa memiliki tubuh anak ini. Sejujurnya Kyungsoo tidak yakin dengan arah yang ia ambil, lelaki itu bahkan tidak tahu harus mulai mencari dari mana. Tidak ada petunjuk, hanya potongan kejadian tabrak lari yang melekat pada otaknya sebelum akhirnya terbangun dalam tubuh asing. Dari situ, Kyungsoo meyakini bahwa sebenarnya dirinya telah mati.


Ini sudah hampir dua minggu lelaki itu tidak muncul ditempatnya. Bodohnya Jongin sama sekali tidak memiliki kontak Kyungsoo. Lelaki itu hanya duduk sendiri memandangi langit yang kian kelabu. Jongin tidak sebodoh itu untuk menyadari bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Kakinya terlalu malas untuk digerakan. Kepalanya pening memikirkan bagaimana keributan yang dibuat kedua orang tuanya dirumah. Tamparan sang ayah serta teriakan drama ibunya. Jongin benci setiap melihat Sora dengan mata berair. Untuk apa menangisi orang tua yang bahkan tidak pernah bertanya bagaimana kabar anaknya?

Jongin merasakan air membasahi sebagian pundaknya. Rupanya hujan benar-benar turun. Lelaki itu menengadah kepada langit. Ia sungguh ingin membuang seluruh asanya dengan berteriak. Namun, siapa sangka suaranya bahkan entah pergi kemana. Ketika Jongin hendak kembali menegakkan lutut, ia terkejut menoleh dan mendapati Kyungsoo berada disana. Ah, lelaki ini akhirnya muncul juga.

"Kyungsoo hyung! Akhirnya kau datang!" Tidak ada jawaban dari Kyungsoo. Lelaki putih itu menarik pergelangan Jongin menjauhi hujan.

Tanpa sadar, Jongin tersenyum kecil melihat bagaimana tangan seputih susu milik Kyungsoo yang begitu kontras dengan tangan besarnya. Mereka berlari dalam diam, langkahnya memecah banyak kubangan air disepanjang jalan.

Kyungsoo masuk kedalam mobil setelah memastikan Jongin duduk dengan benar dikursi penumpang. Lelaki itu mengambil sebuah handuk kecil di kursi belakang dan melemparnya pelan kearah Jongin.

"Hei bocah, untuk apa kau berada disana ketika sedang hujan?"

"kau kemana saja hyung, kau tidak datang lagi kesana"

"keringkan rambutmu dengan benar!"

"kau tidak menjawab pertanyaanku!"

"aku sedang ada urusan— kemarikan handuknya!"

Kyungsoo merebut kasar handuk Jongin. Lelaki itu geram melihat Jongin yang bahkan tidak bisa melakukan banyak hal dengan baik. Jongin dengan patuh hanya diam ketika tangan Kyungsoo mengusak rambutnya berulang dengan handuk. Ia merindukan masa saat kedua orang tuanya berebut untuk mengeringkan rambut Jongin kecil, atau ketika Sora yang memijat lembut kepalanya setelah rambutnya dicuci bersih. Itu hanya masa lalu, jauh— jauh sebelum keributan setiap malam tejadi, jauh sebelum Sora lebih sering mengurung diri dikamar, jauh sebelum beberapa jam yang lalu sang ayah memutuskan untuk menceraikan talak ibunya.

"kau seharusnya memberitahuku jika sedang ada urusan, bukankah kita berteman— hyung?"

Lelaki itu tidak menjawab. Sungguh sebisa mungkin ia ingin menjauh dari hubungan dengan banyak orang. Entah bagaimana Kyungsoo menjadi dekat dengan Jongin. Tidak mau mengambil pusing, lelaki itu memilih untuk bersiap melajukan mobil.

"mau kemana kita?"

"mengantarmu pulang tentu saja, kemana lagi?"

"aku tidak mau pulang hyung" Kyungsoo tidak menggubris. Lelaki itu tetap melajukan mobilnya membelah hujan. Kyungsoo teramat lelah, kepalanya pening memikirkan bagaimana nasibnya kelak. Tidak ada jalan keluar dari semuanya. Tidak ada teori yang masuk dalam akalnya. Kyungsoo tidak berfikir untuk masuk ke dalam suatu hubungan apapun, ia tidak mengerti kapan pastinya akan meninggalkan dunia, karena pada dasarnya dirinya memang telah tiada.

"Hyung, kau tau. Orang tuaku akan bercerai" Jongin mengatakan dengan teramat lirih, namun cukup tertangkap oleh pendengaran lelaki disebelahnya.

Kyungsoo memperlambat laju mobil , menginjak rem tepat ketika mobil sudah berada di sisi jalan. Manik Kyungsoo menjadi sendu ketika mendapati si bocah hanya memandangi jalan sekitar dengan kosong.

"Mereka selalu bertengkar. Ayah melempar semua perabot, ibu berteriak dan Sora menangis dikamar"

Lelaki itu masih menatap kosong jalanan lembab sekitar. Bulir hujan masih turun menemani. Ketika itu hati Kyungsoo teramat perih. Selama mereka saling dekat, Jongin adalah bocah yang paling bahagia. Senyumnya tetap cerah bahkan saat langit telah menjadi kelabu. Tawanya begitu memukau ketika berpadu dengan terik matahari sore. Tidak ada yang tau alasan sebenarnya lelaki ini selalu menghabiskan waktu diluar. Jongin kehilangan semua cahayanya. Hanya redup yang tersisa, beradu dengan hujan beserta kuasanya.

"Kau mau ikut denganku?"

Untuk saat ini Kyungsoo tidak ingin melihat luka menganga milik Jongin. Ia lelah, dan tawa renyah Jongin akan menghilangkan semuanya. Lelaki yang ditanya menoleh, menaikkan sebelah alis sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban.

To be continue...