Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling

Pairing: Hermione Granger & Rabastan Lestrange.

Warning: Di cerita ini, LV (Lord Voldemort, bukan Louis Vuitton lho) eksis dan berkuasa. Harry Potter dan Orde Phoenix kalah. Dunia sihir berada di zaman kegelapan.

Rating: T


Sejak lahir, Rabastan Lestrange selalu mendapatkan semua keinginannya.

Kendati statusnya bukan pewaris utama, mengingat dirinya terlahir sebagai anak laki-laki kedua di keluarga bangsawan berdarah murni Lestrange, Rabastan tak pernah kekurangan cinta dan kasih sayang. Rabastan tetap memperoleh harta, perlakuan serta fasilitas sama dengan yang diterima kakak kandungnya, Rodolphus Lestrange.

Rodolphus sendiri tak pernah mempermasalahkan keadilan seimbang tersebut, sistem yang sebenarnya teramat asing bagi kehidupan penyihir berdarah murni. Biasanya, selama generasi ke generasi, klan darah biru hanya menitikberatkan fokus mereka pada anak laki-laki pertama dan mengabaikan anak kedua dan seterusnya.

Namun, mujur bagi Rabastan, hal itu tak berlaku di dalam keluarganya. Semenjak mata hitam tengah malamnya menatap dunia, Rabastan senantiasa dimanjakan dan terbiasa mendapatkan semua kehendaknya.

Selama menuntut ilmu di Sekolah Sihir Hogwarts pun, Rabastan selalu meraih seluruh ambisinya. Berkat kecerdasannya dalam menciptakan mantra baru, Rabastan terpilih sebagai Prefek Slytherin di tahun keempatnya bersekolah.

Jelang tahun kelima, Rabastan menduduki kursi Kapten Quidditch Slytherin, menggilas sejumlah kandidat lain yang tak kalah berbakat dan terkenal. Prestasi puncak yang membuat kepala orangtuanya terangkat bangga adalah saat di mana ia ditunjuk menjadi Ketua Murid, jabatan prestisius yang hanya diberikan pada siswa paling berprestasi.

Di Hogwarts, Rabastan memiliki banyak pengagum. Gadis-gadis berbagai asrama, dari aneka tingkat angkatan dengan fisik bervariasi, cantik, jelek serta pas-pasan berlomba-lomba mengerubutinya. Tak henti-hentinya menawarkan cinta maupun jiwa raga.

Seperti jamaknya remaja akil balig lainnya, Rabastan tentu memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Bukan rahasia umum jika Rabastan, si murid berwajah dan berotak sempurna layaknya dewa memiliki jiwa petualang seperti Casanova. Bukan hal aneh jika setiap pagi ada gadis Hogwarts yang meringis dan menangis karena patah hati.

Kebebasan Rabastan dalam bergaul bertolak belakang dengan sang kakak. Kendati dirinya tak kalah populer, Rodolphus terkenal kaku dan tak suka hura-hura. Satu-satunya fokus Rodolphus selama bersekolah adalah menggali ilmu sihir setinggi mungkin demi meraih kesempatan bergabung dengan Pelahap Maut, armada bergengsi bentukan penyihir hitam paling ditakuti saat itu, Lord Voldemort.

Berkat gratifikasi sang ayah yang lebih dulu berkostum Pelahap Maut, dua tahun usai lulus dari Hogwarts, Rodolphus diberi kehormatan masuk sebagai serdadu muda Pelahap Maut. Di pasukan penghancur umat manusia itu, Rodolphus cepat menanjak. Dalam sekejap, berkat kepiawaian mengatur siasat, Rodolphus berhasil masuk ke lingkaran elit Lord Voldemort.

Kinerja mengagumkan sang kakak tentu membuat Rabastan iri hati. Dengan tekad menjadi satu-satunya pusat perhatian, tepat di hari ulang tahun yang keenam belas, Rabastan menuntut masuk ke legiun Pelahap Maut.

Meskipun bertentangan dengan peraturan batasan umur, Lord Voldemort yang melihat potensi di diri Rabastan mengizinkannya untuk bergabung lebih cepat. Tak ayal, kesempatan emas itu langsung dimanfaatkan sekuat-kuatnya oleh Rabastan.

Tanpa belas kasihan dan pandang bulu, Rabastan menindas, membunuh, merampas dan merenggut kehidupan semua mangsanya. Setiap tugas bumi hangus yang diterima dilakukan secara kilat serta memuaskan. Jauh dari cacat atau ketidaksempurnaan.

Ilmu sihir hitamnya, yang jauh lebih tinggi dan mumpuni dari sang kakak terbukti menjadi tiket emas untuk mendaki tangga jawara.

Dalam kurun waktu setengah tahun lebih cepat dari Rodolphus, Rabastan ditunjuk Lord Voldemort sebagai Panglima Perang sekaligus tangan kanan kepercayaan. Cengkeraman taji Rabastan di sekitar singgasana Lord Voldemort kian tebal karena seperti sang tuan besar, Rabastan tak mengenal dan memercayai adanya cinta.

Oh ya, Rabastan memang punya banyak wanita, namun tak ada satupun yang dicintai dan disayangi. Baginya, semua wanita itu hanya penghibur di kala senggang. Alat untuk melepas kebosanan.

Tak heran jika keapatisan Rabastan pada cinta membuat penyihir sensual berbadan tegap tersebut kurang akur dengan koleganya di Pelahap Maut, Severus Snape. Kerap kali Rabastan menjadikan cinta abadi Snape pada Lily Evans Potter sebagai bahan olok-olok. Rabastan tak pernah habis pikir mengapa Snape bisa terobsesi begitu mendalam pada wanita yang jelas-jelas tak memiliki hati padanya.

Pemikiran negatif Rabastan pada kekuatan cinta berbeda seratus delapan puluh derajat dengan isi kepala Rodolphus. Di balik kemasan kasar dan brutal, penyihir berahang tajam itu ternyata masih memiliki secuil kepercayaan dan kasih sayang.

Sedari kanak-kanak, Rodolphus sudah menyukai teman dekatnya sejak kecil, Narcissa Black. Sayangnya, keinginan memperistri Narcissa hanya impian semu sebab sejak masih di dalam buaian, putri bungsu keluarga Black itu telah dijodohkan dengan pewaris tunggal klan Malfoy, Lucius Malfoy.

Rabastan sendiri tak tinggal diam mengetahui lubuk hati terdalam kakaknya. Paham bahwa penyatuan keluarga Lestrange dengan Black bisa menguatkan kekuasaan, Rabastan membujuk Rodolphus untuk menikahi kakak kandung Narcissa, putri tertua keluarga Black, Bellatrix.

Awalnya, Rodolphus menolak mentah-mentah ide tersebut. Sejak pertama kali mereka berjumpa, Rodolphus merasa tak cocok dengan Bellatrix yang galak, temperamental dan haus darah. Namun, bukan Rabastan namanya jika tak bisa mendapatkan semua keinginan. Dengan lobi kuatnya ke Lord Voldemort plus janji bahwa pernikahan ini sangat menguntungkan bagi Pelahap Maut, Rabastan bisa menikahkan kakaknya dengan Bellatrix.

Pada awalnya, Rodolphus sempat merasa terkhianati dengan persengkongkolan adik kesayangannya. Tapi, dengan moto tegas untuk mencapai semua kehendak, Rabastan bisa mengendalikan situasi.

Pelan tapi pasti, Rabastan membujuk kakaknya untuk menyesuaikan diri dengan karakter kejam sang istri. Rodolphus yang pada dasarnya mengasihi adiknya secara tulus akhirnya mau mematuhi wejangan tersebut.

Prediksi Rabastan bahwa perkawinan kakaknya akan membawa perkembangan positif mulai terbukti. Di bawah pengaruh Bellatrix, kebiadaban Rodolphus makin terasah. Tak makan jeda lama, suami-istri itu segera menjelma menjadi pasangan Pelahap Maut paling mematikan.

Transformasi Rodolphus ke jalur lebih sesat tentu membuat Lord Voldemort merasa sangat diuntungkan. Apalagi, saat itu dirinya tengah berancang-ancang mengeksekusi kelompok radikal penentangnya, Orde Phoenix.

Sejak pertama kali berdiri, Orde Phoenix tak ubahnya duri dalam daging bagi perjalanan karier kriminal Lord Voldemort. Beberapa kali punggawa Orde Phoenix sukses menghalangi rencana akbar Lord Voldemort untuk menggulingkan takhta resmi Kementerian Sihir Inggris.

Semangat Lord Voldemort untuk melumat habis Orde Phoenix kian terlecut dengan bocoran ramalan mengenai seorang bayi yang berpotensi mengganggu kiprahnya di masa depan.

Pada awalnya, Lord Voldemort sempat bingung mengenai kabar bola ramalan tersebut mengingat ada dua anak yang terlahir di akhir Juli, Harry James Potter dan Neville Longbottom. Namun, bisikan mutakhir dari Rabastan meruntuhkan semua keraguan.

Berbekal pertimbangan kelihaian menggoyangkan tongkat sihir, Rabastan menganjurkan master-nya untuk membantai klan Potter. Neville Longbottom dipandang kalah kelas meski kedua orangtuanya tercatat sebagai Auror berkualitas.

Di mata Rabastan, Frank dan Alice Longbottom tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kecerdikan James Potter dalam mempelajari ilmu sihir. Ditambah dengan otak genius sang ibu, Lily Evans Potter, Harry James Potter dianggap sebagai ancaman nomor satu.

Begitulah, bermodal kisikan Rabastan dan informasi dari mata-mata ganda, Peter Pettigrew alias si Animagus tikus botak Wormtail, Lord Voldemort dengan percaya diri menyambangi rumah perlindungan keluarga Potter di Godric's Hollow.

Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih, di malam terkutuk itu si Pangeran Kegelapan yang agung dan terhormat kehilangan kekuatan sihir dan tubuh badaniah.

Jika Pelahap Maut lain menekuk ekor dan berdengking menyerah seperti anjing kurap ketakutan, Rabastan menolak mengibarkan bendera putih.

Sesuai dengan arti namanya, yang terinspirasi dari bahasa Arab, Rās al-Thu`bān alias Kepala Ular, Rabastan yang baru menginjak usia tujuh belas tahun menempatkan diri sebagai pemimpin sementara Pelahap Maut. Di bawah kendalinya, Rabastan mengobarkan perang baru melawan Orde Phoenix dan laskar pembasmi penyihir hitam, Auror.

Bersama-sama dengan kakak laki-lakinya, saudari ipar serta anggota baru Pelahap Maut, Bartemius Crouch Junior, Rabastan menyiksa suami-istri Longbottom yang diprediksi mengetahui lokasi persembunyian terakhir Lord Voldemort.

Keputusan menganiaya pasangan Longbottom berbuah mahal. Di tengah-tengah acara pembantaian, Auror berhasil menggerebek dan membelenggu Rabastan dan kawan-kawan di sel kotor Azkaban.

Terdampar di penjara sihir paling mengerikan sedunia tak mematahkan semangat Rabastan untuk kembali menuntaskan misi menguasai rimba sihir dalam rezim kegelapan. Tekad baja itu menjadikan Rabastan berhasil menjaga kewarasan mental dan pikiran selama mendekam lebih dari satu dekade di Azkaban.

Kesabaran Rabastan dalam menanti kebangkitan Lord Voldemort berujung manis. Di tengah malam penuh badai, Dementor berbalik arah membela Lord Voldemort. Penghisap jiwa bersosok tengkorak berkerudung hitam itu membombardir sel Azkaban dan membantu pelarian para narapidana Pelahap Maut kelas berat.

Lepas dari Azkaban, Rabastan mengatur teknik anyar untuk memuluskan laju Lord Voldemort menjajah kembali dunia sihir. Setelah mencuri lusinan tongkat sihir dari pembuat tongkat sihir terkemuka se-Eropa, Gregorovitch (untuk mengganti tongkat sihir mereka yang dipatahkan petinggi Pengadilan Sihir Wizengamot), Rabastan ditugaskan memecahkan teka-teki ramalan seputar Lord Voldemort dan si Anak yang Bertahan Hidup, Harry Potter.

Demi misi terbaru itu, Rabastan harus mengambil bola ramalan Harry Potter di Departemen Misteri, Kementerian Sihir Inggris.

Dan di tempat itulah, kisah ini dimulai...


"Ayo, Potter. Serahkan bola ramalan itu baik-baik jika kau ingin teman-temanmu selamat."

Rabastan memutar bola mata mendengar suara licin Lucius Malfoy yang seperti biasa mengalir malas dalam nada yang menjengkelkan. Mengetatkan pelukan di penyihir mungil berambut rimbun yang terus meronta-ronta, Rabastan mencibir gusar.

Sebenarnya, ia tak suka Lucius Malfoy ikut campur tangan dalam operasi ini. Namun, Lord Voldemort memilih memberi penyihir berambut pirang panjang itu satu peluang lagi.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa dan berat hati, Rabastan memercayakan posisi Ketua Operasi di tangan Lucius Malfoy. Pilihan yang sangat keliru sebab hingga detik ini, pria bermata kelabu dingin itu terlihat kurang fokus. Ditandai dengan aksi tawar-menawar serta sesi berpanjang-panjang kata dengan buruan utamanya.

Sepertinya, malam ini pihak yang kehilangan konsentrasi bukan hanya Lucius Malfoy seorang. Jika mau jujur, saat ini Rabastan juga mulai tak terkendali menghadapi tawanannya yang gigih berontak membebaskan diri. Wangi vanila yang menguar dari rambut dan tubuh sanderanya mampu membuyarkan semua nafsu membunuh Rabastan.

Sejak melihat si gadis mati-matian melawan Pelahap Maut di Departemen Misteri, Rabastan sudah tak bisa mengalihkan pandangan. Semangat pantang menyerah berpadu kecerdasan dalam menguasai mantra tingkat tinggi yang terpancar di wajah dan tindak-tanduk si gadis membuat Rabastan terkesima seketika.

Di dalam dekapan yang seketat borgol baja, gadis ini terasa kecil dan rapuh. Namun, Rabastan yakin itu hanya penampilan luar semata. Terbukti, kendati lehernya ditodong tongkat sihir, penyihir berambut lebat ini tak gentar berjuang melepaskan diri.

"Ssst... tenang Little One. Jangan melawan," Rabastan berbisik rendah di kuping mangsanya, berjuang hebat menahan agar tangan kekarnya tidak menjelajah ke mana-mana.

Suara pelan berpadu hembusan napas hangat itu rupanya membuat si gadis berjengit kaget. Perlahan-lahan ia membalikkan wajah, memelototi tampang penyanderanya dengan tatapan menantang.

Mengangkat sudut bibir ke atas, Rabastan menatap mata tawanannya. Keputusan fatal yang langsung disesalinya sebab mata cokelat kayu manis itu seakan-akan menyedot kesadaran. Menghipnotis dan membangkitkan insting melindungi dalam diri.

Tak bisa mencegah dorongan hasrat, Rabastan menyibakkan rambut ikal sang gadis dan mengusapkan hidung ke pipi halus yang sewangi aroma musim semi. Mengecup lembut, Rabastan meresapi keharuman kulit selembut satin tersebut. Seiring dengan belaian bibir, gairah dan tekad baru muncul di dalam benak.

Ia menginginkan gadis ini di sampingnya...

Ia menginginkan gadis ini sebagai istrinya...

Pendamping hidupnya...

Satu-satunya permaisuri dalam hatinya...

Dan sebagai seorang Rabastan Lestrange, ia pasti mendapatkan keinginan tersebut.

Belum sempat imajinasi nakal Rabastan melanglang buana lebih jauh, lengkingan girang Bellatrix merobek udara. Menoleh sekilas, Rabastan melihat sekelebat cahaya putih menerobos masuk ke arena pertempuran. Rupanya, pentolan Orde Phoenix telah datang untuk menyelamatkan Harry Potter dan kawan-kawan.

Mencium rambut tawanannya untuk terakhir kali, Rabastan melepas rengkuhan dan mengembalikan tongkat sihir sang gadis yang tadi direbutnya. Untuk sesaat, Rabastan menikmati raut terkejut di wajah sang gadis sebelum dirinya terbang maju ke kancah peperangan.

Duel antara cahaya dan kegelapan tersebut awalnya sama-sama kuat. Namun, nyali Pelahap Maut ciut mendadak sewaktu Lucius Malfoy tanpa sengaja memecahkan bola ramalan berharga yang dicari-cari Lord Voldemort.

Sadar situasinya terjepit, Rabastan menarik tangan kakak iparnya yang masih bertarung gila-gilaan. Sebelum menghilang, Rabastan melirik sekilas ke arah sang gadis yang meringkuk di sudut ruangan bersama dua teman perempuannya.

Sadar dirinya diamati, sang gadis menoleh dan mengangkat muka. Menyunggingkan seringai menggoda, Rabastan mengucapkan kata-kata tanpa suara. Kata-kata yang mulai detik itu menginspirasi semua pergerakannya.

"Kau milikku..."


Duduk santai di ruang kerja Lucius Malfoy, Rabastan meneliti berkas-berkas di tangannya. Semenjak kebangkitan Pangeran Kegelapan, organisasi Pelahap Maut langsung menjadikan kediaman keluarga Malfoy, Malfoy Manor sebagai basis pergerakan mereka.

Dari sekian banyak ruangan besar di kastil Wiltshire, Rabastan paling menyukai kamar kerja Lucius Malfoy. Di bangsal penuh buku itu, Rabastan leluasa menekuri dokumen buronan paling diminati.

Hermione Jean Granger...

Mata hitam arang Rabastan berkilat penuh gairah tatkala bundelan data Hermione tertangkap radar penglihatan. Senyum terukir di sudut bibirnya saat memandang foto gadis yang berpose dalam balutan seragam sekolah Hogwarts. Di gambar hitam putih yang bergerak-gerak, si gadis tertawa riang, tersenyum lebar memamerkan dua gigi berang-berang yang menggemaskan.

Mengambil gelas anggur di meja depan, Rabastan menenggak habis cairan merah darah itu dalam sekali tegukan. Mengangkat sebelah kaki, Rabastan menyenderkan punggung di bangku kerja berlapis kulit kualitas terbaik. Bulu matanya terpejam, memikirkan kenangan saat dirinya mengetahui identitas asli sang gadis.

Ketika mengetahui gadis pencuri hatinya tak lain dan tak bukan adalah Hermione Jean Granger, si Darah Lumpur teman baik Harry Potter, dunia Rabastan seolah jungkir-balik.

Oh, bukan status Hermione yang merisaukannya. Bagi Rabastan, apapun darah yang mengaliri nadi gadis tercintanya bukan masalah besar. Satu-satunya yang meresahkan adalah idealisme yang diusung pujaan hatinya.

Rabastan yakin, jika ia terus membiarkan Hermione bergabung dengan Orde Phoenix, hidup mempelainya dipastikan ada di ujung tanduk. Semenjak kematian Kepala Sekolah Hogwarts, Profesor Albus Dumbledore, kehebatan Orde Phoenix perlahan mulai melemah.

Saat ini, Orde Phoenix hanya diperkuat penyihir bau tanah yang patut masuk liang lahat seperti Alastor Mad Eye Moody maupun Harry Potter, si remaja bau kencur minim pengalaman perang dan beberapa kolega setia yang berkemampuan sihir menyedihkan.

Menghembuskan napas singkat, Rabastan membuka mata dan mengangkat arsip berisi data pribadi Hermione. Dengan penuh kelembutan, ujung jarinya menelusuri foto Hermione yang ditandai dengan huruf merah bertuliskan Berbahaya. Target Paling Dicari.

Rabastan sama sekali tak mengira dirinya terkena karma seperti ini. Ia masih ingat hinaan ketusnya pada Snape yang percaya setengah mati akan adanya belahan jiwa. Rupanya, ia kini mengalami kondisi serupa seperti yang diidap rekan seperjuangannya itu.

Semenjak bertemu di Departemen Misteri dua tahun lalu, poros hidup Rabastan seakan terpusat pada Hermione. Tanpa bisa dijelaskan dengan logika, Rabastan merasa memiliki ikatan dengan gadis yang lima belas tahun lebih muda darinya itu.

Sepanjang ingatannya, tak ada ungkapan setia pada satu wanita di kamus hidupnya. Tapi, sejak bersua dengan Hermione, ia tak bisa menyentuh dan meniduri perempuan lain. Selama dua tahun ini, Rabastan tak hanya hidup selibat. Pria yang namanya diambil dari salah satu bintang di konstelasi Draco itu giat merancang trik menjauhkan Hermione dari sasaran perburuan.

Sayangnya, Lord Voldemort berpendapat lain. Predikat sebagai penyihir najis berpembuluh lumpur sekaligus pemikir strategi di balik gerakan Harry Potter membuat Hermione menjadi salah satu tumbal utama untuk meraih kemenangan.

Membayangkan Hermione tertangkap dan meregang nyawa di tangan Pelahap Maut membangkitkan amarah Rabastan. Rabastan sadar, ia harus menyelamatkan Hermione sebelum terlambat.

Menurunkan kaki ke lantai, Rabastan berdiri dan memutar otak. Ia mengerti sampai kapanpun Lord Voldemort tak akan merestui ambisinya kali ini. Tak akan, kecuali ada manuver drastis yang bisa diperbuatnya.

Ditilik dari sudut pandang manapun, ambisinya seolah menubruk jalan buntu. Namun, jangan sebut dirinya Rabastan Lestrange jika ia tak bisa mendapatkan apa yang dikehendakinya.

Menyimpan arsip Hermione di laci bawah, Rabastan keluar dari ruang kerja. Seringai kemenangan terpahat di wajah tampannya saat sepotong skenario hebat melekat di benaknya.

Skenario hebat untuk menjadikan Hermione Jean Granger sebagai pendamping hidupnya...


Rabastan Lestrange menyeringai lebar memandangi reruntuhan Hogwarts. Kastil megah yang dulu menjadi tempatnya menimba pengetahuan kini luluh-lantak. Aroma anyir kematian mengepul kental di angkasa. Sepanjang mata memandang, mayat-mayat dalam kondisi mengenaskan terbaring bergelimpangan. Lantai batu dibanjiri darah kental dan sisa-sisa anggota tubuh manusia yang terkoyak-koyak.

Melangkah pasti ke Aula Besar, Rabastan disambut sorak-sorai Pelahap Maut dan gerombolan manusia serigala pimpinan Fenrir Greyback. Di tengah ruangan, di bangku bersepuh emas milik Dumbledore, Lord Voldemort bersemayam arogan. Tangan kurus panjangnya mengelus-elus kepala ular betina raksasa miliknya, Nagini.

Mata merah Voldemort berkilat kejam, memancarkan sorot kepuasan tak terbantahkan. Di bawah kakinya, Harry Potter, musuh abadinya terbaring tak berdaya dengan tubuh dan wajah penuh luka.

Melambaikan tangan sebagai instruksi agar Pelahap Maut berhenti memekik, Lord Voldemort membuka bibir tipisnya. Suara bengisnya mengalun ke seluruh Aula Besar, berpadu dengan isakan lirih para tahanan yang dikumpulkan di sudut ruangan.

"Rabastan, kau benar-benar orang kepercayaanku. Berkat muslihatmu, kita bisa mengambil-alih Hogwarts secara efektif."

Rabastan mengangguk singkat mendengar pujian itu. Baginya, sanjungan tak lagi berarti. Saat ini, ia hanya butuh satu jaminan dari Lord Voldemort. Garansi penentu masa depannya. Jika janji itu sudah dicapainya, urusan lain bisa diselesaikan belakangan. Termasuk harta rampasan perang istimewa yang raib entah ke mana.

"Ide Rabastan untuk menghancurkan Hogwarts dari dalam benar-benar luar biasa."

Lord Voldemort terbahak mengerikan, sepasang mata reptilnya mengawasi keadaan sekitarnya yang dipenuhi jenazah staf pengajar dan murid. Pandangan bengis terakhirnya terpusat pada sekumpulan sandera di sudut ruangan. Murid-murid dan guru yang selamat serta sejumput anggota Orde Phoenix yang tersisa.

Senyum tipis terpampang di wajah tampan Rabastan. Ya, awalnya Lord Voldemort berniat menginvansi Hogwarts dari luar. Namun, ia punya taktik lain untuk menggulingkan Hogwarts dalam sekejap.

Melalui kaki tangannya yang bertugas sebagai pengawas Hogwarts, Pelahap Maut bersaudara, Alecto dan Amycus Carrow, Rabastan memanfaatkan mental Slytherin yang korup dan ingin menyelamatkan diri sendiri. Bermodal perangai jelek itu, Rabastan menghasut seluruh penghuni Slytherin untuk melakukan kudeta berdarah.

Rabastan tertawa pelan membayangkan reaksi guru Hogwarts dan murid asrama lain sewaktu menghadapi tusukan dari dalam tersebut. Secara serempak, sesaat sebelum Perang Besar Hogwarts dimulai, seluruh siswa Slytherin dari berbagai kelas menyerang serta membunuh para pengajar dan murid asrama lain.

Memang, ada banyak korban mati dari rumah asrama Slytherin. Namun, itu semua sepadan dengan kemenangan yang digenggam. Lumpuh karena terjangan berdarah dari dalam, Hogwarts dalam hitungan detik babak-belur dihantam benturan dari luar.

"Dengan tanganmu sendiri, kau berhasil menyeret Harry Potter bertekuk lutut di bawah kakiku. Kurasa, sudah saatnya aku membalas budimu. Untuk itu, aku akan mengabulkan satu permintaanmu," Lord Voldemort menyeringai dingin, mengamati Panglima Perang kepercayaannya dengan sorot menghargai.

Bangkit dari singgasana kekuasaannya, Lord Voldemort dengan sengaja menginjak Harry Potter tepat di jantungnya. Di samping Harry yang tersengal-sengal menanti ajal, Nagini mendesis lapar. Mulut busuk ular betina berkepala segitiga itu menguak lebar, menampakkan lelehan bisa dan deretan taring tajam mengerikan yang bisa mencincang habis tulang manusia dalam satu cabikan.

"Ayo, sebutkan saja permintaanmu. Lord Voldemort akan mengabulkannya dengan senang hati."

Rabastan tak bisa menahan cengiran mendengar respon bergemuruh pemimpin besarnya. Ya, ini dia hal yang paling diinginkannya. Garansi untuk mendapatkan hal terpenting dalam hidupnya.

Menegapkan tubuh, Rabastan berkumandang lantang. Suara dalamnya bergaung di seluruh ruangan saat dirinya mengutarakan keinginan terbesarnya. Hasrat kuat yang sudah dipendam sejak dua tahun silam.

"Aku ingin menikahi Hermione Jean Granger..."


"Salvio Hexia. Repello Muggletum. Cave Inimicum."

Usai merapalkan mantra perlindungan berulang kali, Hermione berjongkok lesu, mengerling pasrah ke arah sahabat-sahabatnya. Di samping kanan, Ronald Bilius Weasley, pacar sekaligus sobat karibnya tengah merangkul erat adik bungsunya, Ginny Weasley.

Ginny, yang selama ini tegar dan tak pernah menitikkan air mata kini menangis tersedu-sedu. Meratapi nasib Harry, lelaki yang amat dikasihinya.

Di tengah ladang gandum, Dean Thomas dibantu guru Ramuan, Profesor Horace Slughorn bergelut mengobati dua siswi Ravenclaw, Cho Chang dan Marietta Edgecombe yang terluka parah dengan Sari Dittany. Untungnya, sebelum berperang di Hogwarts, Hermione telah membuat intisari cairan penyembuh itu dalam jumlah besar.

Sapuan halus tangan Luna Lovegood di bahu kirinya membuat Hermione terperanjat. Menolehkan kepala, Hermione menatap wajah ayu Luna yang dinodai memar dan goresan berdarah.

Tanpa berkata-kata, Luna merangkul sahabat perempuannya itu. Pelukan simpati yang membuat Hermione tak bisa membendung kesedihannya.

"Miss... Dobby minta maaf tak bisa banyak membantu..."

Ratapan lirih Dobby membuat Hermione terbangun dari kepiluan. Dengan manik berkaca-kaca berselimut duka, Hermione memandangi Dobby yang bercucuran air mata.

"Dobby, kau telah banyak menolong kami. Tanpa jasamu, kami semua tak akan selamat."

Mendengar ucapan tersebut, Dobby melolong panjang. Membenturkan kepala ke rumput sampai gepeng, bekas peri rumah keluarga Malfoy itu meraung pilu.

"Dobby... hiks... tak bisa menyelamatkan Harry Potter... Sir... hiks..."

Bergerak ke arah Dobby yang terus-menerus menyalahkan dirinya, Hermione melingkarkan lengan di tubuh kecil peri rumah bermata hijau itu. Pikiran Hermione kembali melayang ke insiden berdarah yang terjadi beberapa jam silam.

Ketika Orde Pheonix memasuki Hogwarts melalui terowongan rahasia yang ditunjukkan lukisan adik Profesor Dumbledore, Ariana Dumbledore, mereka sama sekali tak menyangka akan mendapat tikaman berbisa.

Sewaktu melihat kedatangan Orde Phoenix, murid-murid Slytherin yang berkumpul di Aula Besar mendadak mengangkat tongkat sihir mereka dan melancarkan aneka kutukan mematikan.

Gempuran tiba-tiba itu membuat kondisi kocar-kacir. Penghuni asrama lain yang tak menduga diserang berjatuhan satu per satu seperti domino tertiup tornado.

Keadaan makin parah saat sekompi Pelahap Maut serta selusin manusia serigala kelaparan menyeruduk masuk melalui Lemari Penghilang yang terkoneksi dengan toko Borgin and Burkes di Diagon Alley.

Di tengah gentingnya pertempuran, Dobby yang bekerja di dapur Hogwarts muncul dan berusaha menolong mereka. Memahami kemampuan sihir Dobby yang mampu menembus penghalang dan tembok sekuat apapun, Harry meminta peri rumah bertelinga kelelawar itu untuk menyelamatkan teman-temannya.

Sayangnya, karena peri rumah lainnya yang mengabdi di dapur Hogwarts tidak ada yang mau membantu, Dobby tak bisa membawa muatan dalam jumlah banyak.

"Dobby, bawa mereka keluar dari sini!"

Beringsut lincah menghindari semburan kutukan, Harry mendorong Hermione, Ginny, Ron dan beberapa orang yang ada di dekatnya ke arah Dobby yang melolong kalut.

"Harry! Harry! Kau harus pergi dengan kami!"

Berpegangan di jari pendek Dobby, Hermione dan Ginny berteriak bersamaan. Membujuk Harry untuk bersama-sama melarikan diri.

Menggeleng lemah, Harry mengawasi Pelahap Maut bertopeng perak yang melangkah mantap ke arahnya. Tongkat sihir berinti nadi bulu burung Phoenix-nya teracung tegak saat wasiat terakhir keluar dari mulutnya.

"Seperti yang dilakukan ayahku, aku tidak akan kabur. Aku siap menyambut takdirku."

Hal terakhir yang disaksikan Hermione sebelum lenyap dibawa Dobby adalah gerakan si Pelahap Maut yang mencopot topengnya. Memperlihatkan muka yang selama ini merasuki mimpi-mimpinya.

Seraut wajah yang dua tahun lalu membisikkan kalimat 'kau milikku' kepadanya...


Rabastan Lestrange menghirup udara beku di atas balkon Menara Astronomi. Tak lama setelah Hogwarts ditundukkan, kastil Skotlandia tersebut kembali direnovasi ulang.

Kini, bekas sekolah sihir paling bergengsi itu disulap menjadi istana sekaligus markas utama Pelahap Maut di Inggris Raya. Lengkap dengan penjara super-besar untuk menampung dan menyiksa para budak Muggle maupun penyihir non darah murni.

Senja itu, Hogwarts menawarkan pemandangan suram yang sesuai dengan atmosfer hati Rabastan. Kabut gelap, penanda keberadaan Dementor yang mondar-mandir menjaga kastil menjadikan suhu turun drastis. Air di danau besar yang biasanya berkilat jernih seperti permata berubah keruh karena dipenuhi pasukan mayat hidup Inferi kebanggaan Lord Voldemort.

Menggenggam kencang pilar pembatas balkon hingga buku-buku jarinya memutih, Rabastan mengingat kembali kenangan saat Hermione menghilang tepat di depan matanya. Saat itu, bara kemarahannya mungkin setara dengan ledakan reaktor nuklir Chernobyl.

Cepat-cepat membuang memori pahit, Rabastan tersenyum simpul memikirkan reaksi orang-orang terdekatnya saat itu. Tak lama setelah lamarannya di Aula Besar terucapkan, gonggongan murka berkumandang dari tenggorokan kakak iparnya, Bellatrix.

Meraung-raung seperti wanita gila lupa minum obat, Bellatrix menuding Rabastan sinting karena berniat mencemari pohon keluarga. Lord Voldemort sendiri tak kalah syok mendengar permintaan tersebut.

Namun, janji adalah utang dan harus dilunasi.

Selain itu, Lord Voldemort juga enggan mengulang kisah pengkhianatan Snape yang berbalik menentangnya karena masalah asmara. Lebih dari itu, Lord Voldemort percaya kedahsyatannya semakin bertambah jika bisa merayu penyihir seulung Hermione untuk bergabung di legiun penyihir hitam.

Kendati sudah tiga tahun minggat tanpa kabar, Rabastan yakin Hermione dan segelintir kawanannya belum hijrah ke luar negeri. Sesaat setelah jagat sihir Inggris dikuasai, Lord Voldemort mengurung dunia Muggle dalam kegelapan. Semua sistem, alat serta lokasi transportasi baik manual maupun sihir diblokir ketat. Efektif mencegah kaburnya para buronan.

Para Muggle yang bernasib malang dikejar-kejar serta disembelih di depan umum seperti binatang. Mayat mereka diawetkan di monumen yang dipajang di dekat air mancur Atrium Utama Kementerian Sihir Inggris, bersama-sama dengan jasad Harry Potter dan anggota Orde Phoenix yang dieksekusi mati. Lord Voldemort memang sengaja mempersembahkan kerangka Harry Potter di depan publik sebagai peringatan kepada siapapun yang berniat merintangi jalannya.

Berjaya di Inggris, Lord Voldemort melebarkan koloninya ke benua lain, memercayakan kendali jajahannya di Inggris kepada Rabastan. Saat ini, didampingi dua ajudan setianya, Bellatrix dan Rodolphus Lestrange, Lord Voldemort tengah menginvasi dunia sihir Eropa, termasuk Bulgaria.

Memikirkan Bulgaria mendongkrak semangat Rabastan. Dari negara kawasan Eropa Tenggara itu, Lord Voldemort sukses tak terkira. Di sana mereka mendapatkan banyak tawanan, budak dan harta rampasan perang. Termasuk tangkapan paling berharga yang kini terkurung di penjara bawah tanah Hogwarts.

Kekasih pertama Hermione, Seeker tim nasional Bulgaria, Viktor Krum.

Memutar tongkat sihir di telapak tangan sembari memikirkan sejumlah kutukan menyakitkan, Rabastan berjalan menuruni tangga Menara Astronomi, menuju ke sel penjara bawah tanah tempat Viktor Krum terbelenggu.

Ya, sudah waktunya menggelar konfrontasi antar lelaki, bukan?


"Gawat Hermione, operasi ke kamp Pelahap Maut di Manchester gagal total. Profesor Slughorn, Dean dan Marietta ditemukan tewas terbantai."

Menengadahkan wajah dari peta penuh coretan, Hermione duduk mematung di kursi kayu. Di depannya, Ron berdiri gelisah. Tangannya terus mengusap bakal janggut di dagu. Gerakan yang selalu dilakukan Ron jika pemuda berambut merah membara itu dilanda kebimbangan luar biasa.

"Apa kau yakin, Ronald?"

Menggerutu tak sabar, Ron memelototi Luna yang tengah merajang tanaman obat. Luna yang pada dasarnya kurang peka terus memilah-milah akar rempah dan batang herbal sembari bersenandung pelan.

Sadar tak akan mendapat tanggapan, Ron memalingkan diri. Memandangi sepatu bot butut yang bertaburan lumpur dan jelaga, Ron berkomentar muram.

"Mayat mereka yang hangus terbakar dipamerkan di dekat jalan utama Manchester. Cho yang memastikan itu benar jenazah mereka. "

Menarik napas panjang, Hermione berupaya menenangkan diri. Air matanya nyaris tumpah memikirkan kematian tragis tiga rekannya. Kehilangan mereka sangatlah menyakitkan. Berkat jasa Profesor Slughorn-lah, Hermione bisa meracik ramuan beracun yang mampu melumpuhkan Pelahap Maut baik melalui udara maupun jika dicampurkan dalam air.

Kontribusi Dean Thomas juga tak kalah bermakna. Penyihir kelahiran Muggle berkulit hitam itu sangat sigap dalam menyarangkan kutukan ke patroli Pelahap Maut.

Sedangkan Marietta... yah gadis itu memang manja dan bermental kerupuk. Hobi merengek dan menyesali nasib malangnya. Tapi, biar bagaimanapun juga Marietta tetap rekan se-ideologis mereka saat ini.

Ya, selama tiga tahun ini, Hermione mengajak teman-temannya yang selamat dari perang di Hogwarts untuk bergerilya melawan dominasi Pelahap Maut di Inggris. Dilihat dari sudut pandang manapun, gerakan bawah tanah tersebut bisa dibilang aksi gila yang sia-sia.

Namun, sebagai Gryffindor tulen, pantang rasanya menyerah tanpa perlawanan. Demi menghormati pengorbanan mendiang Harry dan punakawan Orde Phoenix lainnya, Hermione dan teman-temannya rela melawan sampai titik darah penghabisan.

"Bagaimana Hermione? Apa penyerbuan berikutnya ditunda dulu?" Ginny bertanya prihatin, tangannya gemetar saat menuang ramuan obat ke botol kecil.

Mengetukkan jari di skema strategi terbaru, Hermione mengambil keputusan final. Kematian Marietta, Profesor Slughorn dan Dean memang menyedihkan, tapi insiden itu tak akan memadamkan skema operasional mereka yang sudah dirancang sejak berbulan-bulan silam.

Memandang gamblang, Hermione mengeluarkan ultimatum terakhirnya. Instruksi yang tak disangka-sangka akan mengubah roda nasibnya untuk selama-lamanya.

"Kita akan terus melanjutkan operasi sesuai rencana awal..."


Tersenyum arogan, Rabastan Lestrange duduk pongah di singgasana kebesarannya. Teronggok di tengah ruangan, bekas siswi Ravenclaw, Marietta Edgecombe mengiba-iba mengemis belas kasihan. Di sekelilingnya, sekawanan Pelahap Maut tanpa henti menghujaninya dengan berbagai kutukan mematikan.

Sudut bibir Rabastan terpahat ke atas, merenungkan nasib baiknya. Tertangkapnya Marietta membuat jejak Hermione bisa terlacak. Berbeda dengan dua tawanan lain yang rela mati menderita daripada berkhianat, Marietta memilih membuka mulut. Dengan sedikit gertakan, jalang pengecut itu membongkar tuntas skema operasi Laskar Granger yang dipimpin Hermione.

Hermione...

Selama tiga tahun terakhir ini, kiprah calon istrinya bisa dibilang sangat merisaukan. Seperti Dewi Perang Viking, Valkyrie, Hermione tanpa kenal takut menyusup masuk ke kamp Pelahap Maut demi membebaskan para budak maupun mengganyang sejumlah prajurit utama.

Untung saja Lord Voldemort menyerahkan kendali Inggris di pangkuannya, jadi ia bisa menentukan jalan yang harus ditempuh untuk menghentikan pemberontakan diam-diam tersebut.

Sejumlah pentolan Pelahap Maut memang mulai ribut mempertanyakan respon lembeknya terhadap makar itu. Namun berbekal posisinya, tanpa butuh durasi lama protes tersebut diredam tanpa sisa.

Well, itulah bedanya jenderal dengan prajurit biasa, bukan?

"My Lord, mata-mata kita menyatakan kalau Laskar Granger percaya bahwa bangkai gosong itu merupakan jasad teman mereka. Termasuk mayat palsu Marietta."

Melirik tak acuh, Rabastan membenahi posisi duduk. Menautkan jemari, Rabastan tersenyum menikmati jerit penderitaan Marietta yang membahana.

Di saat penyihir wanita yang bersujud di hadapannya mulai bergerak tak nyaman, Rabastan menjentikkan jari, meminta Pansy Parkinson untuk bangkit dari posisi menghamba.

"Terima kasih, Miss Parkinson. Kau berhak dapat penghargaan. Informasimu mengenai watak asli penyihir penakut itu sangat bermanfaat."

Menyeringai liar, Pansy menatap sosok Marietta yang terbenam darah. Rahang anjing peseknya menyeringai lebar saat lolongan kesakitan Marietta bergaung ke sekeliling ruangan.

"Sekali berkhianat, ia akan senantiasa berkhianat. Di tahun kelima kami, ia membocorkan lokasi latihan Laskar Dumbledore dan sekarang ia mengulangi aksinya lagi."

Tertawa meringkik, Pansy melantunkan cemoohan. Mata sehitam arang batu baranya mendelik keji memandangi Marietta yang merintih tak berdaya.

"Goblok sekali si Darah Lumpur Granger itu memercayai pengkhianat seperti Marietta."

Selesai mengucapkan ledekan, Pansy melengking kesakitan. Ratapan pilunya langsung membungkam aktivitas Pelahap Maut yang tengah bersemangat menghabisi mangsanya.

"Jaga mulutmu, Parkinson! Yang kau bicarakan itu tunanganku! Calon Ratu-mu di Inggris ini!"

Menggelepar seperti ayam potong sekarat, Pansy megap-megap memohon ampunan. Setelah jeda sejenak yang dirasakan seperti berabad-abad, Rabastan menghentikan kutukannya.

"Malfoy Junior, gotong temanmu ini sebelum aku kubur dia di sel bawah tanah!"

Berlari tergopoh-gopoh seperti dikejar satu truk kuntilanak, Draco Malfoy mendekati Pansy dan mengangkatnya dari lantai. Terdiam menunggu instruksi, Malfoy berusaha menyeimbangkan tubuh lunglai Pansy di kedua lengannya.

Berdiri dari bangku, Rabastan mengangkat tongkat sihirnya. Berkacak pinggang menahan amarah, Rabastan menebaskan tongkat sihir, mengirimkan seleret sinar merah yang mendirikan bulu roma.

"Keluar kalian semua! Cepat!"

Kurang dari sedetik, Pelahap Maut berbondong-bondong angkat kaki. Kondisi langsung sunyi senyap, membuat erangan mengenaskan Marietta terdengar jelas di balairung besar tersebut.

Memandang hina, Rabastan menyenggol kepala Marietta dengan ujung sepatu mengilat, memaksa gadis berambut pirang kemerahan itu mendongak ke arahnya. Melingkarkan tongkat sihir di jemari panjangnya, Rabastan tersenyum sadis menatap korbannya yang terbelalak ngeri.

"Nah, Miss Edgecombe. Kita lihat jenis eksekusi final apa yang menanti para pengkhianat..."


Rabastan Lestrange berdiri menjulang di hadapan tawanannya yang tersungkur tak bergerak. Ia sama sekali tak habis pikir mengapa gadis secerdas Hermione tak mengubah rangkaian operasi.

Keyakinan pada teman, ya pasti prinsip sejati Gryffindor itulah yang membuat calon mempelainya tidak membatalkan skema serangan terbaru ke kamp Brighton. Hermione yang polos dan naif pasti tak pernah berpikir bakal dikhianati oleh mitranya sendiri.

Sayangnya, prinsip konyol tentang loyalitas itu ibarat senjata makan tuan. Berkat informasi Marietta yang tengkoraknya kini terbaring kaku di monumen Atrium Kementerian Sihir Inggris, Pelahap Maut bisa membekuk kawanan gerilyawan muda tersebut.

Rabastan yakin, sampai detik ini Hermione belum tahu kalau rekan seperjuangannya telah terperangkap. Pengantin mungilnya itu pasti masih percaya Dobby si peri rumah berhasil membawa pergi sahabat-sahabatnya.

Ya, Dobby memang hampir menuntaskan tugasnya. Namun, di detik terakhir, Rabastan berhasil melemparkan belati bermantra sakti milik Bellatrix ke perut budak sial tak berharga itu. Dobby pun tewas di tempat. Meninggalkan Ron Weasley dan tiga gadis hina menjijikkan di bawah belas kasihnya.

Tertangkapnya Hermione jelas membawa angin segar bagi kehidupan Rabastan. Dengan sejumlah kartu As di saku, termasuk paket istimewa dari Australia, negara jajahan terbaru Lord Voldemort, Rabastan optimis bisa menjinakkan tunangannya.

Seorang Gryffindor sejati seperti Hermione pasti tak akan sampai hati membiarkan orang yang dikasihinya mati, bukan?


"Tolong pakai gaun ini, My Lady."

Winky, peri rumah perempuan yang sempat bertahun-tahun mengabdi pada keluarga mantan Kepala Departemen Kerjasama Sihir Internasional, Bartemius Barty Crouch menundukkan kepala dalam-dalam. Tangan kecilnya bergetar saat mengulurkan sebuah gaun sutra putih bertabur untaian permata.

Memandang geram, Hermione menepis brutal gaun tersebut. Tanpa ampun, busana mewah berharga selangit itu mendarat di lantai marmer bermotif mozaik.

"Aku bukan Nyonya-mu! Aku tak akan pernah sudi memakai semua barang pemberian Pelahap Maut!"

Winky menggigil hebat mendengar letupan kemarahan Hermione. Mengusapkan lengan baju kumal ke bola mata, peri rumah bertampang memelas itu meratap terbata-bata.

"Tolonglah, My Lady. Jika My Lady tak menurut, Winky akan disiksa."

Mendengar kata siksaan, kemarahan Hermione mendingin. Meski dirinya masih gusar pada Winky yang menolak membantu mereka melarikan diri dari Hogwarts, Hermione tak bisa membiarkan makhluk hidup jenis apapun menderita karenanya.

"Baiklah, Winky. Aku akan mengenakan baju terkutuk itu."

Mendesah lega, Winky membimbing Hermione ke kamar mandi, membantunya untuk membersihkan diri.

"Setelah ini, My Lady diminta menghadap Lord Rabastan di Aula Besar."

Menenggelamkan diri di bak mandi raksasa, Hermione bersiap menemui nasibnya. Akhirnya, setelah bertahun-tahun menunggu, ia bisa bertarung empat mata dengan penyihir yang selama ini menghantuinya.

Pria yang santer disebut-sebut sebagai calon suaminya...


Rabastan Lestrange menoleh ke pintu Aula Besar yang terkuak. Didampingi Winky, peri rumah yang merangkak tertatih-tatih, Hermione maju seraya mengangkat dagu tinggi-tinggi.

Selama beberapa saat, Rabastan tak bisa menutup mulutnya yang menganga. Dalam tiga tahun terakhir ini, banyak sekali perubahan memesona yang terjadi di diri calon istrinya.

Perawakan Hermione memang terbilang mungil, dibandingkan dirinya yang tinggi besar. Dari segi rupa, Hermione juga tak semenarik wanita-wanita lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Namun, gelora semangat membara dalam mata cokelatnya-lah yang membuat udara seolah-olah tersedot dari sekitar Rabastan.

Mengedarkan pandangan ke sekujur ruangan yang ditata elegan seperti ruang pesta, perhatian Hermione terkunci pada dua sosok Pelahap Maut tak bertopeng yang amat dikenalnya.

Memicing jijik, Hermione mengawasi bekas teman seasramanya di Gryffindor, Cormac McLaggen dan Seamus Finnigan.

Oh, nista sekali mereka! Menggadaikan harga diri demi bertahan hidup. Di mana prinsip-prinsip setia kawan dan berani membela kebenaran yang selama ini ditanamkan semasa sekolah?

"Silahkan berdiri di sampingku, My Lady. Pesta tak akan bisa dimulai tanpa kehadiran sang primadona."

Uluran tangan Rabastan seolah membentur tembok udara. Mendelik ke arah pria berbahaya di depannya, Hermione melipat tangan di dada.

"Aku tak pernah merasa jadi Lady-mu. Jangan banyak basa-basi. Aku ke sini bukan untuk pesta atau resepsi!"

Dengusan kasar terdengar dari sekelompok Pelahap Maut yang mengelilingi Hermione. Berkilat marah, Hermione mengamati para pengejeknya yang mencebik merendahkan.

Ya, ya, ya. Siapa lagi kalau bukan si pirang albino Draco Malfoy dan konco-konco Slytherin-nya.

Mengambil sebuah apel merah matang di meja, Rabastan tersenyum kalem. Menggigit dan mengunyah perlahan, Rabastan berkata ringan.

"Oh, kau memang harus menghadiri resepsi, Little One. Sudah tiga tahun upacara pernikahan kita tertunda. Nah, sekarang apa jawabanmu? Ya, aku bersedia?"

Komentar terakhir Rabastan disambut gemuruh tawa Pelahap Maut. Gelak melecehkan itu membuat kemarahan Hermione melonjak ke titik didih. Mengangkat hidung dengan roman menentang, Hermione berkoar garang.

"Jangan harap aku mau menikah denganmu. Langkahi dulu mayatku!"

Tak menghiraukan gelombang tawa yang semakin kencang, Rabastan mendekati calon istrinya. Terkejut dan sempat mundur ke belakang beberapa langkah, Hermione akhirnya menegakkan diri. Manik cokelatnya menyala-nyala, bersiap membakar mata hitam dingin di depannya.

Menundukkan kepalanya ke arah telinga Hermione, Rabastan berbisik tenang.

"Jawaban yang salah, Mungil. Aku lebih memilih melompati mayat mantan pacarmu."

Hermione terkesiap mendengar pernyataan tersebut. Kemarahannya sekejap menyusut, berganti dengan sejumput rasa takut.

"Apa maksudmu?"

Mengeluarkan senyum seksi, seringai memikat yang dulu sukses melumerkan gadis-gadis Hogwarts seangkatannya, Rabastan menepukkan tangannya.

"Vincent Crabbe! Gregory Goyle! Bawa masuk dua pecundang itu!"

Diiringi siulan riuh, duo penyihir gempal itu merangsek ke depan. Jemari bengkak mereka mencengkeram lengan dua penyihir pria yang hancur berantakan.

"Ron! Viktor!"

Memekik kalut, Hermione menangkupkan telapak tangan di mulut. Matanya bergulir nanar memandangi kedua pemuda yang pernah mengisi tempat istimewa di sukmanya.

"Wah, benar-benar reuni mengharukan," Rabastan menghela napas dramatis. "Sayangnya, aku ini posesif, Little One. Aku haram berbagi perhatianmu dengan orang lain."

Usai mengutarakan penegasan tersebut, Rabastan melambaikan tongkat sihirnya. Sekejap mata, tubuh Ron dan Viktor terbelah dua. Cairan merah kehidupan mereka membuncah di udara.

Jeritan merana Hermione menggema di Aula Besar, berpadu dengan pekikan riang kawanan Pelahap Maut. Menyelipkan tongkat sihir ke balik jubah, Rabastan menatap Hermione yang terbakar angkara.

"Nah, Sayangku, kalau begini mereka jadi mudah untuk dilangkahi bukan?"

Didorong rasa muak, benci dan amarah, Hermione menerjang maju. Di sela-sela sumpah serapah, Hermione bertubi-tubi mencakar, menendang dan meninju dada kokoh Rabastan dengan kepalan tangan kosong.

"Kau monster! Dasar pembunuh!"

Perbedaan postur dan tinggi badan membuat Rabastan dengan mudah menenangkan Hermione yang menggila. Menangkup tangan dan menahan Hermione dalam dekapan, Rabastan bertanya pelan.

"Apa jawaban untuk lamaranku tiga tahun lalu, Little One?"

Tanpa diduga Rabastan, secepat kilat Hermione mendongakkan kepala dan meludahi wajahnya.

"Jangan mimpi aku sudi mendampingi tukang jagal sepertimu!"

Menyeka saliva di pipi dengan lengan kemeja, Rabastan menaikkan sebelah alis sempurnanya. Melempar lirikan peringatan kepada para pengikutnya yang berancang-ancang menyiksa Hermione atas penghinaan tersebut, Rabastan kembali bergumam lembut.

"Yakin, My Lady? Apa kau serius mempertaruhkan kehormatan teman-teman perempuanmu demi menyelamatkan diri dari takdir yang telah digariskan untukmu?"

"Apa maksudmu?" Hermione bertanya cemas, tak yakin mau mendengar jawabannya.

Bersiul rendah, Rabastan memalingkan wajah ke belakang ruangan yang dipenuhi gerombolan serdadu bertopeng perak.

"Cormac McLaggen! Seamus Finnigan! Lekas bawa tiga budak baru kita itu!"

Bergerak sistematis seperti robot, Cormac McLaggen dan Seamus Finnigan, dua penyihir yang sempat berbagi suka dan duka bersama Hermione semasa bersekolah di Hogwarts menggiring dan melemparkan tiga gadis tak berdaya ke tengah ruangan.

"Oh Tuhan... oh Tuhan... Ginny... Luna... Cho..." Hermione meratap, air matanya perlahan bergulir turun.

"Bagaimana, Little One? Jika kau tetap menolak, aku akan membuang mereka ke rumah bordil."

Ultimatum Rabastan disambut siulan serigala serta rentetan celetukan cabul dari Pelahap Maut yang memadati Aula Besar. Menjambak rambut pirang emas Luna yang bersimbah darah, pandangan Rabastan terpaku di wajah Hermione yang bermandikan air mata.

"Mereka tergolong barang bagus dan semuanya berdarah murni. Dalam waktu singkat, mereka pasti punya banyak pelanggan."

Menyepak rusuk Luna dengan ujung sepatu hingga menimbulkan derak patah mengerikan, Rabastan meneruskan ancaman yang bergaung dengan ketepatan mematikan.

"Kau tahu sendiri Sayangku, seperti apa nasib yang menimpa para budak pemuas nafsu. Aku bersumpah, mereka pasti meminta mati dalam sekejap."

Menahan kedua kaki yang lemah seperti tak bertulang, Hermione menatap pilu ketiga teman perempuannya yang meringkuk bersimbah darah.

Ya, ia tahu neraka seperti apa yang berlangsung di barak prostitusi dan kamp pelacuran Pelahap Maut. Ya, ia tahu petaka tak berujung seperti apa yang menanti para budak seks Pelahap Maut.

Sampai bumi terbelah pun, ia tak mungkin membiarkan sahabat-sahabat terkasihnya menderita seperti itu. Namun, jika ia berubah pikiran, bukankah posisinya sama seperti Cormac McLaggen dan Seamus Finnigan yang membuang integritas dan harga diri demi bertahan hidup?

Menyadari intimidasinya kurang mengena, Rabastan meniupkan napas lelah. Sepertinya, ia harus cepat-cepat mempertontonkan senjata pamungkas guna merombak tekad baja mempelai tercintanya.

"Malfoy Junior, bawa kemari dua bingkisan spesial itu."

Beranjak mendekat dengan gelagat angkuh, Draco Malfoy mendorong sepasang suami-istri ke hadapan Rabastan dan Hermione. Buru-buru mengelap tangan dengan ujung jubah, seolah-olah ngeri terkontaminasi keringat Muggle, Malfoy kembali berbaris tegak di formasi semula.

"Little One, perkenalkan Mr Wendell dan Mrs Monica Wilkins."

Dunia Hermione seolah-olah kiamat menyaksikan orangtuanya merintih panik di depannya. Mata cokelat gelap mereka terbeliak risau, gentar mengamati seluruh ruangan yang disesaki ratusan manusia barbar bertopeng perak.

"Mom... Dad..." tanpa sadar Hermione mengerang lirih. Ia tak mengira kedua orangtuanya bisa ditemukan Pelahap Maut. Rupanya, modifikasi ingatan dan pemberian nama baru tak bisa melepaskan orangtua kandungnya dari jaring-jaring Pelahap Maut.

Bibir Rabastan meliuk ke atas melihat ekspresi kacau calon istrinya. Sebenarnya, ia bisa saja melancarkan kutukan Imperius untuk menundukkan Hermione. Tapi, ia tak butuh istri imitasi. Yang diinginkannya adalah penyerahan diri total dari pasangan hidupnya.

"Bagaimana, Sayangku? Apa kau sudah berubah pikiran? Atau, jangan-jangan kau tega membuat orangtua dan temanmu mati sengsara?"

Kekalutan tingkat tinggi membuat Hermione nyaris terpuruk jatuh. Namun, sebelum raga lemahnya ambruk ke lantai, Rabastan beranjak cepat. Mengalungkan lengan di pinggang, Rabastan menahan bobot tubuh Hermione agar tetap tegak berdiri.

Membingkai wajah mungil Hermione dengan tangan kekarnya, Rabastan memandang lembut gadis di depannya. Air mata Hermione mengalir deras seperti gumpalan air terjun. Duka cita tak tergalang terpancar di sepasang butiran manik cokelatnya.

Mengusap pelan pipi Hermione dengan jari, Rabastan menundukkan kepala dan menciumi kelopak mata belahan jiwanya. Bergerak turun, lidah Rabastan menyapu jejak air mata yang tercetak. Tangannya membelai erat, merayap perlahan di sepanjang tulang punggung Hermione yang meremang.

Memejamkan mata serapat mungkin, Hermione terisak rendah. Sedu-sedan kesedihan mengalir tersendat-sendat dari liang tenggorokan. Memeluk lekat Hermione dalam rengkuhan lengan, Rabastan mengulangi pertanyaannya. Pertanyaan yang sejak lima tahun terakhir ini menghantui benaknya.

"Nah, Little One. Apa jawaban terakhirmu?"

Membuka mata, Hermione memandang kuyu wajah tampan di depannya. Perlahan-lahan, ujung mulutnya pun terbuka. Menguarkan jawaban yang akan mengubah hidupnya untuk selama-lamanya.

"Ya, aku bersedia..."


Rabastan Lestrange tersenyum cerah dan merentangkan tangan lebar-lebar menyambut langkah-langkah kecil yang mendekat ke arahnya. Berjongkok dan menangkap dua makhluk mungil yang berderap gembira, Rabastan menciumi pipi montok putra kembarnya.

"Daddy pulang... Daddy pulang..."

Bagi Rabastan, nada riang kedua putranya tak ubahnya melodi paling indah sedunia. Anak kembarnya memang sangat menggemaskan dan membanggakan. Kelucuan mereka mampu meruntuhkan kekerasan hati siapapun.

Panglima Lord Voldemort di Asia, Bellatrix Lestrange yang terkenal sangat membenci anak kecil pun luluh dan jatuh hati. Saban kali berkunjung ke Hogwarts, Bellatrix pasti mengajak keponakannya bermain dan belajar ilmu hitam bersama-sama.

Dari ujung mata, Rabastan melihat Hermione yang tengah duduk di kursi taman bersama orangtuanya memperhatikannya secara intens. Usai melemparkan ciuman mesra jarak jauh, Rabastan menggendong anak kembarnya di kedua lengan dan beranjak menuju belahan jiwanya. Di setiap ayunan langkah, Rabastan mengenang kilas balik perjalanan rumah tangganya.

Di masa awal pernikahan, Hermione sangat sulit ditaklukkan. Namun, sebagai seorang Rabastan Lestrange yang senantiasa mendapatkan semua keinginan, ia selalu punya taktik jitu.

Selain melimpahi Hermione dengan cinta dan kesetiaan yang tak terbatas, Rabastan juga mengakomodasi hasrat haus ilmu istrinya. Meski Hermione tetap menolak mempelajari sihir hitam, Rabastan selalu menyediakan berbagai buku untuk dieksplorasi.

Tak hanya itu, memanfaatkan prinsip setia kawan yang kuat di nadi Hermione, Rabastan memfokuskan diri pada kesejahteraan sahabat terdekat istrinya. Setelah membebaskan Ginny Weasley, Luna Lovegood dan Cho Chang dari ancaman melacur di kamp prostitusi, Rabastan menikahkan tiga teman Hermione dengan Pelahap Maut kepercayaannya.

Untuk orangtua Hermione, Rabastan memberikan jaminan keamanan dan menempatkan mertuanya di sayap barat Hogwarts. Kendati tak ada satu pun Pelahap Maut yang berani mengusik mereka, orangtua Hermione jarang keluar dari kediaman mereka. Mereka baru mengunjungi paviliun utama hanya untuk menemani Hermione jika dirinya pergi keluar negeri seperti saat ini.

Jika semua itu tak berhasil menggugah Hermione, Rabastan masih punya senjata andalan lain.

Kedua putra kembarnya...

Sebagai seorang Gryffindor sejati, Hermione dikenal memiliki cinta kasih luar biasa. Ia pasti tak menginginkan anaknya tumbuh dalam keluarga berantakan. Terbukti, sejak menjadi seorang ibu, Hermione mulai membuka dirinya.

Mendekat ke arah Hermione, Rabastan menyadari ketegangan di pundak mertuanya. Bola mata mereka yang identik dengan Hermione mengerjap takut-takut. Sepertinya, meski sudah bertahun-tahun hidup satu atap, sepasang suami-istri paruh baya itu masih ngeri berhadapan dengan dirinya.

Tersenyum menenangkan, Rabastan meletakkan dua putra kembarnya di pangkuan kakek neneknya. Memalingkan perhatian ke arah Hermione, Rabastan menatap lekat wajah manis istrinya. Melipat tangan di pangkuan, Hermione memandang balik, membuat Rabastan tercekat menahan hasrat.

Berlutut di depan Hermione, Rabastan menggenggam tangan istrinya. Menunduk, Rabastan menciumi setiap jemari mungil istrinya, berlama-lama di jari manis tempat cincin pusaka keluarga Lestrange berada.

Mendongakkan wajah, Rabastan melihat bibir Hermione menyelipkan senyum kecil. Segaris senyuman yang selama bertahun-tahun terakhir sangat diidam-idamkannya.

Mendekap Hermione erat-erat, Rabastan menyurukkan kepala di leher halus istrinya. Hampir mati karena rindu gara-gara tak bertemu seminggu, Rabastan bergumam pelan, membelai telinga Hermione dengan hembusan napasnya.

"Aku sangat memujamu. Oh Tuhan, Hermione... aku benar-benar mencintaimu."

Untuk sesaat, Hermione seolah tak memberikan reaksi apapun. Namun, sedetik kemudian, Hermione mengalungkan lengannya ke leher Rabastan. Dalam diam, Hermione merengkuh balik tubuh suaminya.

Bersandar di dekapan lembut istrinya, senyum puas tercetak di bibir Rabastan. Ya, Rabastan Lestrange memang selalu menginginkan semuanya.

Dan di pelukan istrinya, ia mendapatkan segalanya...

TAMAT