Disclaimer : JK Rowling's, not mine.


Diagon Alley masih sama seperti yang dulu, hanya saja lebih ramai sekarang mengingat tak ada ancaman lagi dari para penggila status darah murni selama enam tahun ini. Orang-orang berjubah aneh lalu lalang di jalan setapak untuk mencari apa yang mereka butuhkan atau sekedar menikmati hari yang cerah. Suara-suara wush terdengar sesekali tak wajar bagi telinga para muggle, kemudian orang-orang bermunculan dari jaringan floo bersama kobaran api hijau. Sekumpulan anak-anak berdiri di depan sebuah toko, mereka terlihat mengerubungi kaca depannya. Terdengar kata wah dan wow berkali-kali di antara mereka, terkagum-kagum dan bermimpi untuk dapat mencicipi pengalaman naik sapu terbang yang terbaru dan tercepat dan super keren yang sekarang berada di depan mereka, hanya terpisah kaca tebal dari jangkauan tangan. Luar biasa, pikir mereka. Orang-orang yang lewat sedikit jengkel karena jalan yang mereka lewati tersendat, mereka berusaha untuk merasa tak keberatan dengan sekumpulan itu. Selusin pesawat kertas terbang menembus arus, sesekali tak menghiraukan apa yang di depan mereka membuat orang-orang menundukkan kepala takut terkena moncong lancip kertas. Hari ini hari-hari biasa di Diagon Alley, senormal dan seramai hari-hari terakhir sebelum tahun ajaran baru dimulai. Toko Madam Malkin's dipenuhi para orang tua dan anaknya mencari seragam baru, sedangkan di Ollivander dipenuhi anak-anak yang sangat antusias karena akhirnya dapat memiliki tongkatnya sendiri, begitu juga dengan toko-toko buku, kuali, dan perlengkapan sekolah sihir lainnya.

"Lihat, mummy! Katak besar!" Seorang anak laki-laki menunjuk ke seekor katak lebih besar dari ukuran normalnya dengan kulit hijau tua berlendir dan berkutil. Katak itu terlihat bosan dan menatap anak kecil di depannya jengkel dari dalam kandang jerujinya, pipinya menggelembung sebelum mulut lebarnya terbuka disertai suara khas katak yang besar, membuat anak itu berjingkat kaget, takut, lalu mengalihkan perhatiannya ke sekelilingnya kecuali ke kaca depan toko hewan peliharaan dan katak itu lagi.

Bosan dengan apa yang dilihat dan lelah karena telah berdiri selama lima belasan menit, anak laki-laki itu menarik tangan ibunya, mencoba mencari perhatian ibunya yang sedang membaca koran bekas yang ditemukannya di atas sebuah rak di depan toko hewan.

"Mummy?"

"Iya, James?" ibunya menengok,

"Bukankah kita akan ke toko buku tadi?"

"Oh iya, aku lupa." Ibunya bergumam pada dirinya sendiri, "ayo James."

Ibunya menarik tangan kecil anak itu sebelum meletakkan kembali koran bekas tadi, lalu mengajaknya berjalan. Di depan mereka terdapat sekumpulan anak-anak di depan etalase toko. James tidak tahu toko apa itu karena kaca depannya tertutup oleh anak-anak itu. Penasaran, James mengangkat lebih tinggi tubuh lima tahunnya dengan menjinjit, sayang tubuhnya masih terlalu kecil.

"Mummy, apa yang mereka lihat?" tanya anak itu pada ibunya seraya menunjuk ke sekumpulan anak-anak.

"Entahlah, mungkin mmm.. badut jelek." Jawab ibunya ragu, jawaban yang bagus sekali, batinnya dengan nada sarkastik. Wanita itu hampir saja memutar bola matanya.

"Badut?" tanya anak itu lagi sama ragunya.

"Iya. James, apa kamu juga ingin buku baru?" Wanita itu berusaha mengalihkan perhatian anaknya dari anak-anak itu. Tahu jika anaknya melihat apa yang di dalam toko tadi -yang dilihat sekumpulan anak-anak itu, adalah sapu terbang Quidditch keluaran terbaru, maka anaknya juga akan berdiri seharian di depan toko Quality Quidditch Supplies, seperti sekumpulan itu, para penggila Quidditch.

"Kalau boleh, aku ingin juga." Jawab James dengan senyum lebar manisnya.

Flourish & Blotts terlihat lebih besar, terlihat lebih luas, dari ingatan wanita itu. Tentu saja, enam tahun adalah waktu yang lama. Aroma buku yang baru saja dicetak dan dijilid tercium dari bagian depan toko, begitu mengundang, sangat menggoda bagi para kutu buku untuk berada disini selamanya.

"Ingat James, ambil dua buku saja ya?"

Anak kecil itu mengangguk semangat sebelum menghilang di balik rak-rak buku, sementara ibunya berjalan menuju rak buku tentang Healing, sekalian berkeliling juga pikirnya.

Lonceng depan toko berbunyi, menandakan ada pelanggan lagi yang masuk. Wanita itu menengok ke pintu toko secara refleks, tapi tak punya kesempatan untuk melihat siapa yang masuk karena terhadang pelanggan lain yang berdiri beberapa langkah di depan wanita itu.

"Pagi, Marie." Pelanggan yang baru masuk itu menyapa hangat.

"Pagi, Mr. Potter." Gadis kasir di depan menjawab sapaan dengan sama hangatnya.

Deg.

Wanita itu terdiam di posisinya. Seluruh tubuhnya mematung, bahkan tangannya mengambang diam saat ia ingin mengambil buku di rak. Otaknya menjadi kosong tiba-tiba, hanya rasa panik yang mulai memenuhinya. Dia disini, batin wanita itu. Tak salah lagi, itu suaranya. Tambah batinnya lagi seolah memastikan, meyakinkan. Secara cepat dia menarik neuron-neuronnya kembali untuk mengisi otak kosongnya. Berpikir, apa yang harus dia lakukan sekarang. Sikap apa yang harus ia ambil sekarang. Wanita itu mengambil nafas dalam-dalam, bersiap-siap untuk menghadapi apa yang takdir punya untuknya nanti. Dia segera menyahut dua buku di rak depannya tanpa peduli apa itu buku yang ia cari. Wanita itu berkeliling mencari putranya di bagian buku untuk anak-anak seraya tetap memasang telinga, mendengarkan dengan seksama, berharap tahu dimana posisi pelanggan yang baru masuk itu sehingga tak akan ada kesempatan untuk wanita itu berpapasan dengannya atau melihat dan sadar.

Tak butuh waktu lama untuk wanita itu mengetahui dimana bocah lima tahun itu sekarang, malahan dia tak terkejut saat menemukanya di bagian sport bukan di bagian buku untuk anak-anak seperti pikiran awalnya. Wanita itu tanpa sadar memutar bola mata coklatnya. Quidditch, tentu saja. Batinnya. Dengan wajah serius layaknya orang dewasa yang sedang berpikir, mencermati tiap kata, anak itu mencoba membaca buku di depannya dengan lancar. Tak ada suara keluar, hanya pergerakan yang terlihat dari mulut mungil. Wanita itu menyelipkan senyum kecil melihat putranya. Perasaan sedih, bersalah, menyeruak seketika saat ia melihat rambut coklat gelap berantakan milik anaknya yang dipadukan dengan iris emerald cemerlang yang sekarang perhatiannya tertuju pada rangkaian kata, iris mata yang sangat ia kenal.. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam lagi, mengedipkan matanya beberapa kali, baru meyadari kalau air matanya sudah di ambang kelopak untuk menetes keluar. Tak tega untuk memotong bacaan anaknya, dia menengok ke kasir toko, melihat tak ada siapa-siapa lagi di sana, tak ada lagi pelanggan yang baru masuk tadi, tak ada lagi orang yang ia takutkan, wanita itu bergegas ke depan kasir untuk segera membayar dua bukunya, ia sangat ingin keluar dari toko ini. Menghindar dari orang itu untuk sementara waktu, takut akan konsekuensi, tapi tak tahu sampai kapan. Kalau bisa selamanya, batin egois wanita itu. Dia berdoa dan berharap di setiap langkahnya semoga si Mr. Potter belum menemukan buku atau apapun yang ia cari dan kembali ke kasir lagi, semoga ia tak mengenali rambut coklat gelombangnya dari jauh, ataupun dari dekat, batin egoisnya menambahkan.

Dan hal itu terjadi, hal yang ia takutkan.

Saat gadis kasir –Marie- mengambilkan kembalian untuknya, suara itu menyentaknya, suara yang sangat ia kenal meskipun terdengar dari radius puluhan meter bahkan. Suara yang telah lama tak didengarnya lagi.

"Hermione?" Suara itu terdengar ragu.

Derap langkah kaki semakin mendekati wanita itu, terdengar begitu lambat, sangat lambat dan pelan baginya entah kenapa. Wanita itu menghitung. Dia mengambil nafas dalam-dalam untuk ketiga kalinya ia berada di toko ini. Berharap juga agar tak terlihat gugup, wanita itu memberanikan diri mendongak dan menengok ke samping kirinya. Melihat sosok laki-laki tampan dengan postur tegas dan lumayan tinggi menatap balik ke arahnya, dengan mata hijau cemerlang itu. Rambut hitamnya tetap berantakan seperti yang dulu, ia perhatikan. Seperti enam tahun yang lalu.

"Harry."

Wanita itu membuat senyum senang tak menyangka di bibirnya sambil berharap semoga tak terlihat dipaksakan. Laki-laki itu melangkah semakin mantap ke arahnya, hampir berlari malah gara-gara bahagianya ia melihat sahabat terbaiknya berdiri sangat nyata di depannya sekarang. Laki-laki itu langsung merangkul tubuh wanita itu masih dengan senyum yang sangat-sangat lebar terpampang di wajahnya, begitu lebarnya senyum itu sampai membuat orang bertanya apakah wajahnya tak akan kembali ke seperti semula karena regangan senyum lebar itu. Dia memeluk erat sahabat lamanya itu, sangat erat, berbanding terbalik dengan lebar regangan senyumnya. Dia memeluk wanita itu sangat lama, seperti menghargai tiap detik kehangatan yang sudah lama ia tak rasakan lagi selama enam tahun, tanpa menyadari bagaimana reaksi terkejut wanita yang dipeluknya.

Hermione tak tahu apa yang seharusnya ia rasakan terlebih dahulu saat ini, bercampur aduk. Hermione sangat bahagia bisa bertemu kembali, sama bahagianya dengan Harry, tapi di lain sisi rasa takut dan bersalah juga sama besarnya. Ia melihat ke sekelilingnya, menyadari orang-orang di dalam toko sedang memandangi mereka berdua, beberapa ada yang berbisik-bisik, bersiap untuk mengisi kontainer gosip mereka. Hermione melepaskan tangannya yang tak ia sadari telah melingkar di leher sahabatnya. Seperti mendapat kode, Harry menjauhkan dirinya dari tubuh Hermione tanpa melepaskan kedua tangannya dari pinggang wanita itu. Senyum lebar masih setia menempel di wajahnya. Mau tak mau Hermione membiarkan rasa bahagia menyeruak keluar lebih besar saat melihat senyum itu. Dan akhirnya Harry melepaskan tangannya dari tubuh sahabatnya dengan helaan nafas berat yang senang.

"Apa kabar, Harry?" Hermione yang petama kali bersuara.

Bukan jawaban yang ia dapat pertama kali tapi tatapan tak percaya dari sahabat lamanya. Harry membuka mulutnya.

"Apa kabar?! Enam tahun kita tak pernah bertemu dan sekarang kau kembali, itu yang pertama kali kau tanyakan? Yang kau ucapkan?"

Hermione bingung mendengar nada yang setengah kesal dari Harry.

"Tidak ada 'aku merindukanmu, Harry' atau semacamnya?" Senyumnya kembali lagi begitu juga Hermione, sambil memasang mata, melihat ke belakang Harry atau sekelilingnya dengan samar-samar agar sahabatnya tak curiga, berharap semoga James belum selesai membaca bukunya atau malahan pergi mencari dia. Hermione masih belum siap kalau untuk menjelaskan semuanya saat ini juga. Dia telah kehilangan Gryffindor-nya, dia ingin bersembunyi saja.

"Ayo ke Leaky Cauldron, kau sudah selesai kan? Aku yakin kau pasti belum makan siang juga. Lagipula, ada banyak yang harus kau ceritakan padaku sekarang. Aku tak akan melepaskanmu lagi." Ucap Harry seraya menggenggam tangan kiri sahabatnya, sementara tangan satunya Harry mengambil beberapa galleon dari sakunya untuk membayar buku yang telah ia ambil tadi.

Dalam hati Hermione terasa ada perasaan aneh saat mendengar kalimat yang baru saja sahabatnya ucapkan.

Aku tak akan melepaskanmu lagi.

Perasaan yang membuat nafas Hermione terhenti selama sedetik, entah kenapa terasa begitu hangat bercampur dengan.. entahlah. Membuat Hermione melupakan keberadaan tentang James sekejap dan apa yang Harry katakan sebelum kalimat itu. Leaky Cauldron?

Hermione melirik sampul buku yang dibeli Harry sambil berpikir bagaimana cara menunda acara makan siang mereka sampai besok saja, tak mungkin dia meninggalkan James sendirian di Diagon Alley. Tak ada yang tahu Hermione kembali dari Australia dua hari yang lalu, hanya beberapa staf St. Mungo, dan hanya orang tua Hermione yang tahu keberadaan James dan mereka masih di benua kecil itu.

Quidditch Through The ages, The Giant and The Easter Eggs? Buku dongeng? Hermione membaca dalam hati, lalu bertanya

"Apa itu..?"

"Buku untuk Teddy." Harry tersenyum lagi menjawab pertanyaan Hermione yang belum selesai, dia menambahkan

"Dia sudah besar, kau tahu? Dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh."

Hampir seumuran. Catat Hermione dalam hati.

"Harry, kupikir sebaiknya besok saja kita makan siang bersama, kita bisa mengajak Ron, Ginny, Luna juga, dan Neville, dan-"

"Hermione, aku baru saja bisa bertemu denganmu setelah enam tahun, apa kau tak rindu semuanya? Aku merindukanmu, kita semua disini merindukanmu."

Hermione berdiri tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekeliling mereka berdua, seolah mereka menjadi tontonan drama gratis dengan cerita yang sangat melankolis. Semua orang hanya diam, berbisik-bisik sangat pelan, mendengarkan dengan seksama apa yang Harry dan dia bicarakan. Meskipun mereka berdua menggunakan suara dengan ketinggian normal, sedang, tetap saja toko ini seperti ada pengeras suara yang tersembunyi.

"Harry, kumohon, aku juga sama rindunya, kau tahu kan, aku tak akan melupakan semua begitu saja, aku janji besok aku akan datang. Kumohon?" Hermione memelas dengan suara pelan, tak ingin didengar orang-orang di toko.

"Memangnya ada pertemuan sangat penting sampai kau tak bisa menunda dulu satu atau dua jam hanya untuk makan siang denganku, hah?" Tanya Harry sama pelannya.

Semua diam menanti jawaban Hermione dan sebelum dia bisa menjawab pertanyaan itu, takdir sudah memutuskan pilihannya.

"Mummy, apa aku boleh mengambil buku ini?"

Suara James seperti kaca pecah di tengah malam saat semua orang tertidur, dan membangunkan alarm.

Dengan refleks Harry menengok ke belakangnya, melihat anak kecil dengan rambut coklat gelap berantakan dan mata hijau cemerlang, di tangan kecilnya buku yang ditulis oleh Harry sendiri, 101 Tricks and Tips to be A Superflier.

"Hermione?" Suara Harry sangat pelan, masih memandang anak kecil itu sebelum kembali menengok ke Hermione, seperti meminta konfirmasi, penjelasan.

"Jangan disini, Harry." Jawab Hermione sama pelannya, lalu dia tersenyum ke putranya.

"Tentu James, kau bisa mengambilnya. Apa ada lagi yang ingin kau beli?" Tanya Hermione lembut.

"Tidak, hanya ini saja." James menjawabnya sambil menggeleng mantap.

Sementara Harry masih terkejut, dia tak tahu harus berkata apa. Dia –dia tak tahu.

Harry masih sambil berpikir memandang bocah kecil di depannya, di samping Hermione, dan bocah kecil itu –James- memandangnya balik dengan ekspressi tak nyaman. Tangan kecilnya memegang, menarik jas panjang muggle Hermione. Sadar kalau James tak nyaman dengan pandangan darinya, Harry mengalihkan perhatiannya ke ibu bocah itu.

Hermione mengambil galleon-nya sendiri, berusaha tak menghiraukan desis-desis yang tidak mengenakan. Sekarang semua orang di toko ini sudah tahu kalau Hermione Granger sudah kembali ke Inggris dan memiliki seorang anak laki-laki. Dan tak butuh waktu lama, Hermione yakin semua orang di dunia sihir akan tahu, tinggal menunggu hitungan jam, atau malahan menit.

"Ayo Harry, bukankah tadi kita mau makan siang di Leaky Cauldron?" Tanya Hermione, suaranya sudah kembali normal, seolah mereka baru saja mendiskusikan apa yang paling menarik dilakukan saat musim panas.


A/N terima kasih sudah baca. have a nice day!