Pagi yang tenang. Suasana kondusif menjadi latar pemandangan yang Akashi Seijuurou lihat. Mematok visi pada bagunan berjajar didesan royal dengan ukuran gigantis maksimal. Bernuansa anggun menjulang angkuh dengan kawasan tenang yang nyaman. Rerumputan hijau, area taman yang luas mengelilingi, koridor besar dilalui beberapa yang menderap santai, ruangan-ruangan luas beraneka fungsi.
Luar biasa menakjubkan sebenarnya, hanya saja Akashi tak heran. Sudah terbiasa mendapati segala sesuatu dengan tingkat keterlaluan, Akashi menatap biasa saja kemewahan sekolah baru yang dipilihkan keluarganya.
Akademi Teiko.
Lalu lalang siswa mendapati secuil saja sudut pandangnya. Semuanya tertata, teratur, dengan tingkat kesopanan dijunjung tinggi. Cara bicara yang berkelas, segala yang melekati sekaligus bawaannya. Beginilah tempat yang menaungi kaum elit kebanyakan.
Membosankan, sungguh.
Akashi yang baru berdiri tak lebih dari dua menit di ujung gerbang sudah bosan duluan. Tatanan yang begitu teratur dan sistematis itu menjenuhkan. Tidak menarik. Monoton.
Memutuskan untuk tidak datang menemui guru penanggung jawab, Akashi berbalik. Bermaksud pergi mencari sesuatu yang menarik ketimbang mengikuti rutinitas sekolah yang terlihat membosankan.
Satu pijakan kaki yang menghampiri jalan khusus disela rerumputan menjadi visual terakhir sebelum Akashi melebarkan mata sejenak. Ricuh langkah dipacu. Rambut semrawut dengan tubuh nyaris tersuruk. Menerjang dengan teriakan rusuh.
"Tolong! Minggir dari situ!"
Demi apapun yang nyaris diinjaknya, sosok pemuda kusut sudah menerjangnya sambil berteriak ricuh. Benar saja prediksi Akashi, dia jatuh tersuruk. Terima kasih pada keseimbangan tubuhnya yang bagus Akashi masih bergeming menatap tak berarti sosok pemuda kurus yang tersengal dengan muka nyaris membentur jalan setapakan khusus tepat di depan kaki.
Akashi bersidekap, sibuk fokus pada usaha pemuda bersurai bumi itu mengutuki sepatu putihnya yang menginjak apapun itu yang diincarnya membabi buta.
Satu dongakan dan Akashi melihat jelas rupa kuyu itu memandangnya. Antara melas, takut dan malu tentu saja. Masih tak bersuara apalagi sudi mengganti ekspresi Akashi menunggu bibir mungil itu buka suara.
"To‒tolong…" cicitnya ngeri. Jeri pada tatapan datar Akashi. "‒ang..angkat kakimu."
Tidak menjawab melainkan berganti melirik selipan tipis di ujung sepatunya Akashi menaikan sebelah alis. Membungkuk untuk mengambil benda tipis persegi panjang yang ditatapi penuh harap oleh pemuda yang sempat tak sopan hampir menabraknya hingga jatuh.
"To–to…long," Sekali lagi cicitan memelas mendatangi telinganya. "–berikan itu padaku."
Abaikan anggapan bosan yang sempat Akashi rasakan. Berkata tegas bernada sadis, manik mirahnya memfokus penuh pada pupil mungil pucuk pinus.
"Jangan harap."
"Ta–tapi … itu penting untukku."
Akashi tidak menjawab, justru menyeringai.
Ahh, jadi rumor itu benar.
.
.
.
Exclusive Game
by Rin fuka
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Caste Haven © Ogawa Chise
.
Rate: T+
AkashixFurihata–AkaFuri's Fanfiction
.
Genre: Drama–Romance.
Warning: Ahh, ini fic yang menggunakan main plot dari manga Caste Haven milik Ogawa Chise, tapi tetap dominan imajinasi asem yang saya buat sendiri XDD. AR–AU, Shounen-ai/BoysxBoys, OOC, kemungkinan Typos, dan tolong jangan memaksakan membaca jika tidak berkenan.
.
.
Prolog
Cycle
.
0~o~0
Adalah pagi yang harusnya penuh ceria dan kenyamanan seperti biasa. Diselipi gerakan menghirup udara pagi dari jendela yang dibuka. Secercah mentari pagi yang menyorot menghangatkan. Tak lupa sapaan pagi pada siapapun yang menyadari keberadaannya dalam flat mungil bertingkat dengan kamar bersusun saling hadap.
Pagi indah yang selalu setia menemani Furihata Kouki selama tiga ratus enam puluh lima hari lamanya tinggal di sana. Rotasi monoton yang berselang itu haruslah kandas hanya karena pekikan ngeri yang diricuh panik pemuda bersurai coklat begitu tersentak dari tidurnya. Terima kasih pada jam meja yang untuk pertama kalinya berkhianat dengan tidak menderingkan denting nyaring khasnya untuk membangunkan Furihata.
Terbeliak dengan gerakan rusuh menendang selimut–yang sayangnya justru membelit ujung kaki hingga ikut terseret dan menyebabkannya terjatuh rusuh–Furihata memaki panik pada angka yang ditunjuk ujung panjang jarum jam.
Pukul 6.30 a.m.
Bukan pagi yang buruk andaikan Furihata bisa secepat kilat mengejar waktu untuk sampai ke sekolah tempatnya menuntut ilmu setahun berselang dikala tahun ajaran baru menjelang. Sayang, demi kesialan kedua yang harus ditempuhnya hanya untuk berlari tergesa justru membuatnya menubruk seorang nenek tua yang kewalahan membawa belanjaan.
Rasa tanggung jawab juga ibanya yang kelebihan muatan membuat Furihata berakhir mengantarkan sang nenek selamat sampai tujuan. Tak lupa mengucap maaf berkali-kali sambil menggerutu dalam hati untuk entah anak atau cucu si nenek yang kurang ajar membiarkan wanita paruh baya itu belanja sendirian.
Membungkuk dengan penuh sopan sekaligus senyuman penuh lega karena berhasil berbuat baik pada orang yang lebih tua Furihata barulah sadar pada buruan waktu yang menipis menuju tepatnya kelas pertama dibuka.
Komat-kamit tak jelas meski di hati sudah berteriak penuh tingkat maksimal Furihata kembali memacu langkahnya rusuh berlari mengejar sebuah bis. Sekali lagi, terima kasih pada Kuroko Tetsuya, tetangga flatnya yang sudah membuat ijin tidak berangkat bersama ke sekolah demi menginap di tempat Kagami Taiga sehari sebelumnya.
Terengah dengan wajah memucat kekurangan oksigen, peluh meluncur mulus dari pelipis, rambut coklat berserak tak beraturan atau pupil mungilnya yang nyalang menatap sekitar. Demi tatapan yang mengarah untuknya bagai melihat makhluk anomali berlarian, Furihata bergumam 'maaf' puluhan kali sekaligus berdoa dalam hati untuk tidak diperhatikan lebih rinci ricuh langkah kakinya.
Dua koridor terakhir adalah ujung stamina Furihata yang tersisa untuk maraton sekian meter dari flatnya. Mungkin ketinggalan bis bisa jadi kesialan ketiga untuknya, bisa jadi.
"Ohisashiburi minna-san~"
Alunan nada pelan yang menyusup sudut telinganya tak cukup membuat Furihata berhenti dari batuknya karena tersengal. Meski berjalan mengendap dari pintu tersudut yang diyakini tak mungkin diketahui gurunya, Furihata tetap saja tak lekas sanggup membenarkan deru nafasnya.
"Oh … bukankah ini saatnya mengulang kembali sebuah permainan?" Satu senyuman misteri menghias wajah rupawannya. Meski terbilang guru nyatanya pakaian yang dikenakan pria berkacamata itu begitu kasual. Sekedar kardigan hitam yang melapisi kemeja putih berkerah. "Karena sepertinya satu dari dua orang yang kita tunggu telah hadir, mungkin kita bisa memulainya tanpa menunggu yang seorang lagi."
Furihata kontan nyengir. Merasa sendiri, lagipula kelas ini berpenghuni tetap yang entah kenapa akan terus begitu untuk tiga tahun mendatang. Furihata tidak mengerti sejujurnya untuk apa sistem aneh ini berjalan. Terserah sajalah.
Furihata mengernyit, seakan melupakan hal krusial dari yang mungkin terjadi. Duduk di kursi belakang dengan tubuh membungkuk menyamarkan posisi, pandangannya menyisir gurat aneka rupa rekan sekelas. Kebanyakan disirat tegang dan gelisah, macam menunggu sidang skripsi saja.
"Semester lalu yang menyulitkan bukan, Takao Kazunari-kun?"
Yang disebut namanya tidak menjawab. Sibuk tersenyum jenaka dengan sorot mata mengerling murka pada guru tampan berkacamata yang tampaknya senang sekali berseringai macam rubah.
Tertawa keras berkesan mengejek super sarkas, Takao Kazunari berkata, "Persetan!"
"Berdoa saja bukan kau lagi targetnya." Kekehan kecil meluncur dari sang guru.
Mata Furihata melebar. Satu buah kata terakhir yang terdengar berhasil menyusun serpihan hal yang terlupakan dalam kepalanya. Seketika Furihata disusup gugup, lantas berwajah pucat. Lupa pada sebuah permainan tak penting yang diharuskan untuk penghuni kelas ujung koridor keempat lantai tiga gedung barat Teiko.
"Peraturannya belum berubah, tentu saja. Cukup temukan sebuah kartu yang tersebar di sekeliling sekolah dan nikmati status yang tertera selama enam bulan ke depan." Seringai paling mumpuni untuk dijadikan visual memuakkan itu makin membuat Furihata gelisah. "Dan juga … batas waktunya sampai nanti istirahat makan siang berakhir."
Satu jentikan jemari. Bunyi desing sekali yang nyaring di ruangan sunyi justru memicu bising rusuh langkah kaki yang berpacu. Furihata tertegun, bingung pada kondisi dan bukannya ikut berlari. Menyadari dengusan kesal Takao berselang dua kursi darinya meski akhirnya pemuda raven itu ikut berlari juga.
"Ahh~ Furihata-kun? Apa terlambat membuatmu lupa konsekuensi andaikan tidak menemukan sebuah kartu?"
.
.
.
Permaian Kasta, mereka bilang.
Omong kosong, menurut Furihata.
Kasta seseorang bukan disusun berdasarkan permainan. Terlebih hanya berdasar selembar tipis persegi panjang kartu remi dengan berbagai urutan monarki penentu status dalam kelas.
Jadi raja, ratu dan segala tetek bengeknya yang melingkupi kelas 2-A Teiko. Berlaku bagai bangsawan dan rakyat jelata. Menikmati siapapun yang memiliki posisi terbawah sebagai target penindasan.
Sialan, untuk siapapun yang secara kurang ajar menciptakan permainan menyulitkan macam ini.
Furihata tak cukup ingat bagaimana asal muasal permainan sial itu dimulai. Setahunya tradisi yang bahkan para guru terlihat menikmati ataupun sekolah yang seolah menutup mata sudah ada sebelum ia menginjakan kaki di sana. Tak ada tindakan apalagi ajuan penghentian.
Noda yang melingkupi sekolah manapun memang seimbang dengan prestisenya meski tak kentara.
Semester lalu Furihata cukup beruntung. Setidaknya ia tak mendapati posisi terbawah dari kasta yang diciptakan susuran kartu keparat dalam permainan, bukan berarti ia masuk dalam jajaran siswa yang mendapat kartu kalangan atas macam King, Queen ataupun Jack. Meski begitu Furihata cukup dirudung iba melihat seorang pemuda kelebihan ceria macam Takao yang jadi targetnya.
Memang tidak terlihat bermasalah terlebih Takao tak cukup menanggapinya sungguhan. Tapi ada kalanya rekan sekelas mereka keterlaluan. Dibully pada tingkat maksimal maka siapa pun bisa tersiksa, bahkan untuk Takao sekali pun.
"Uhh…"
Keluhan lirih meluncur dari bibirnya yang membuka. Sungguh, Furihata bukannya ingin menghadapi hari di tahun ajaran baru dengan peluh begini. Tidak dengan perut melilit kelaparan ataupun gemetar di lutut karna dipaksa berlari mencari. Menyusuri satu sekolah sambil mengendap dari siswa sekelas yang berkesan penguasa, lelah sudah menghinggapinya. Belum lagi bonus pembuat lesu sejak pagi datang.
Menfokuskan pandangan matanya yang kian berkunang karena lemas, Furihata nyaris ambruk sebelum bersitan ceria menghampiri manik coklatnya.
Selembar tipis wujud kartu yang diharapkan Furihata tak salah lihat dari kejauhan merupakan satu dari sekian kartu yang ditebar Imayoshi Shouichi. Terserah apapun gambar yang ada dalam lembaran tersebut asalkan bukan kartu target, Furihata sudah senang setengah mati. Meski rasanya lumayan aneh jika kartu itu berada dalam tempat terbuka seperti ini.
Ahh, mungkin ini keberuntungan pertamanya hari ini‒
Melangkah rusuh dengan nafas separuh berhembus putus-putus Furihata menderap brutal. Nyaris terjungkal karena tersandung kerikil tak berdosa Furihata memakinya tanpa sadar. Hingga pupilnya yang tak lebih besar dari biji semangka melebar, menangkap siluet pemuda seumuran yang melangkah berlainan arah. Menderap tenang, mendekati objek benda yang diincarnya membabi buta. Takut siapa pun itu mendahuluinya mendapat lembaran kartu yang dilihatnya lebih dulu.
Furihata kontan memekik. "Tolong! Minggir dari situ!"
—atau tidak.
.
.
.
Akashi duduk tenang bersidekap. Menyiratkan pandangan tak bermakna pada serakan anakan surai kecoklatan yang masih kuyup. Penghalang sempurna gurat gugup si pemuda yang menunduk gelisah duduk berseberangan dengannya.
Tak ada konversasi. Hening menyesapi meja terujung kafetaria sekolah yang sepi pengunjung. Bukan Akashi tidak tahu canggungnya pemuda itu atau gigilan tubuh yang menyusup tak juga berkurang intensitasnya menandakan takut karena eksistensinya.
Namun Akashi lebih memilih menunggu. Bergeming terus dalam posisi juga sudut tatapnya. Terima kasih pada adabnya yang tahu caranya bersikap tenang setiap saat.
"A‒ano…" ucapan ragu mengudara, sungkan luar biasa. Gelagat gelisah tampak begitu kentara. Akashi tahu dia hanya berusaha. "‒ja-jadi, kartu itu ba..bagaimana?"
Sedepa jeda, Akashi sengaja.
"Apa?"
Lugas berkata. Kontan tak bernada. Akashi tahu benar caranya berbicara. Mengamati setiap gerik objek tatapnya bahkan sampai akhirnya ia berjengit mendapati respon sahutannya.
"Eh?!" Desah gugup makin mengudara, pemuda itu mengusahakan riak mata yang menyiratkan ketenangan. Sayang bergulir tak beraturan. "Itu‒aku … bisa to-tolong berikan kartu itu padaku?"
Akashi menyentuh santun cangkir porselen berisi secangkir kopi di meja. "Kenapa?"
Kernyitan tidak nyaman telak masuk dalam pengamatan Akashi. Mengerti benar kalau pemuda di depannya dilanda kesal meski kehendak tubuh masih menunjukan keengganan takut luar biasa.
"A-aku yang pertama kali melihatnya."
"Melihatnya pertama bukan berarti ini jadi milikmu. Tidak merubah apapun kalau aku yang pertama kali mengambilnya di sini."
Pemuda itu duduk menegap, meliakan pupil mata. Terkejut dan membenarkan ucapan si sosok yang dirasanya begitu beraura. Regal penguasa. Sayangnya ia harus tetap mencoba. "Tapi… a‒aku membutuhkannya."
"Begitu," ujaran Akashi sederhana. Tampak mengerti keadaan yang dialami si lawan bicara. Seandaikan kalimat berlanjut tak membuat objeknya merana. "Tetapi, itu tak ada urusannya denganku."
Pemuda itu menganga. Makin terkejut rupanya mendapati tanggapan apatis pemuda di depannya. "Kalau begitu kenapa tidak kau berikan saja itu padaku?!"
Terkutuk. Bekapan mulut spontan merupakan pemicu riak Akashi beralih. Samar, lengkungan seringai itu menginvasi wajahnya.
"Aku menolak. Sejak awal, jika kau mau mengingat."
Meja digebrak, tapi gerungan menyesal karena berkelakuan tidak sopan menyusup indera. Pemuda itu berusaha terlihat marah tapi justru tatapan memelas yang kentara. "Tapi… kau ti-tidak membutuhkannya!" Bahkan suaranya masih tak selancar jalan tol bebas hambatan.
"Siapa bilang," Akashi bertanya meski tak diniati untuk dijawab. "Kelas 2-A, Akademi Teiko, Permainan Kasta. Hari ini aku jadi anggotanya."
Termangu, menatap Akashi lugu. Pemuda coklat itu justru tergugu. "Ap‒kau yang belum hadir itu? Mu-murid baru?"
Akashi tak merepon yang justru memperjelas semuanya. "Daripada itu, lebih baik mencari kartu lainnya ketimbang terus berdebat denganku di sini. Jam makan siang nyaris dimulai."
Ah! Benar juga!
Gelagapan memroses informasi bertingkat yang diketahuinya pemuda itu menggurat raut panik, gelisah, merana juga lelah luar biasa. Bergegas angkat kaki sambil menggerutu pilu ia memutar badan, lupa berlaku sopan karena meninggalkan Akashi begitu saja.
Kerlingan gemerlap merah Akashi masih menyoroti punggung rusuh yang berlari ricuh menjejak lantai koridor panjang sebelum menghilang. Ditatapnya tak berarti lembaran kartu dengan gambaran wajah pria berkumis tebal menghadap kanan.
"Tidak buruk."
.
.
.
a/n:
Hallo, saya kembali bawa fic sesuatu ini dan bukannya melanjutkan fic lain. Yang kemungkinan juga ini nanti berakhir diabaikan kalau saya gak ada ide lanjutan. Kalau seandaikan lanjut silahkan anggap ini prolog XDD #dibuang
Serius, cuma punya niat menuhin asupan diri juga Lechi-tachi yang mungkin sudi baca keabalkan cerita ini. Ahh ya, meski sudah lewat rupanya makna endcard eps angka kramat itu-baca 69- masih teringang sampai sekarang XDDD #menggelinding_abaikan
Saa~ review… barangkali?
Sankyuu,
_Rinfu
