Ties That Bind Us

.

Characters belong to Masashi Kishimoto.

.

This Is SasuHina Story!

Alternative Universe! Out Of Character! Typical Errors!

You've been warned!

.

.

.

Bahkan hingga lima tahun dilewatkan, kelompok karnaval yang diikutinya masihlah tak terasa seperti rumah bagi Sasuke. Rombongan mereka kebanyakan merupakan orang dewasa yang tak mengerti pembagian waktu untuk anak seumurannya. Mereka hanya berbicara padanya saat ada hal yang perlu dikerjakan atau saat ia harus mempersiapkan pertunjukannya.

Satu-satunya anak yang usianya dekat dengan Sasuke hanyalah Obito, tapi mereka jauh dari kata akrab. Bukan karena adanya prahara di antara mereka, terlebih karena Jiraiya-pemimpin kelompok karnaval mereka-sengaja menipiskan interaksi keduanya.

Obito adalah salah satu pemain favorit Jiraiya. Atraksi memakan apinya begitu menarik pengunjung yang datang. Pertunjukannya menjanjikan lebih banyak pemasukan untuk kelompok karnaval mereka jika dibandingkan Sasuke.

Sasuke melewati tempat di mana Obito tengah berlatih dengan tongkat terbakar di tangannya. Ia berhenti sesaat, melihat bocah yang seharusnya menjadi teman sepermainannya bermain dengan bahaya. Sasuke masih dapat melihat beberapa luka bakar ringan di lengan bocah itu-yang akan mereka tutup dengan kaus berlengan panjang saat pertunjukan, jelaga pun ikut menodai beberapa bagian kaus longgarnya.

Sasuke sendiri tak jarang melatih diri. Berusaha bergerak lebih gesit hingga tak satu penontonpun jeli akan trik yang ia mainkan. Namun tetap itu tak cukup di mata Jiraiya yang menganggapnya kurang mencolok juga kurang berbahaya untuk dapat menarik penonton.

Ada saat di mana Sasuke berharap Jiraiya tak memilihnya saat di panti asuhan dulu. Memang tak banyak yang berbeda, di panti asuhan pun begitu dingin juga tak nyaman dirasanya, tapi setidaknya ia memiliki kawan. Mereka-orang-orang di panti asuhan-sudah seperti keluarga lepas dari keadaan yang mencekik mereka.

Lalu kemudian Jiraiya datang, mencari seorang anak laki-laki untuk menggantikan teleporter sebelumnya yang jatuh sakit dan meninggal karena musim dingin yang terlalu ganas. Saat itu Sasuke merasa senang karena dirinyalah yang dipilih, berpikir kelompok itu bisa menjadi keluarga untuknya. Bukan salahnya ia begitu naif dengan berpikiran demikian, ia baru berumur tujuh tahun saat itu.

Sekarang usianya dua belas tahun, Sasuke berharap ia dapat kembali ke waktu di mana Jiraiya datang ke panti asuhan. Ia berharap ia bersembunyi seharian pada hari itu. Mungkin dengan begitu, ia akan diadopsi oleh keluarga yang akan benar-benar menyediakan rumah untuknya.

Sasuke terus bergerak menuju tempat Jiraiya, memenuhi perintah salah satu pemain akrobat di kelompok mereka. Sejujurnya, ia sebisa mungkin menghindari interaksi langsung dengan Jiraiya, tapi ia tak memiliki pilihan lain jika hal itu merupakan perintah. Ia tak ingin mencari masalah hanya karena bangkangannya.

Saat ia sampai di depan tenda Jiraiya, Sasuke berhenti, agak terkejut mendengar dua suara dari dalamnya. Salah satunya ia kenali merupakan suara Jiraiya, satunya lagi ia sama sekali tak memiliki tebakan apa-apa.

Jiraiya tak pernah kedatangan tamu, kecuali tuan tanah yang meminta kompensasi dari areanya yang Jiraiya gunakan sebagai tempat pertunjukan. Dan Sasuke yakin Jiraiya sudah selesai berurusan dengan tuan tanah tempat yang mereka tempati kali ini beberapa Minggu silam.

Jadi siapa tamunya kali ini?

"Anda tertarik terhadap Kei?" Suara Jiraiya terdengar, membuat Sasuke terkejut mendengar namanya sendiri terlibat.

"Benar," Si Tamu menjawab lugas. "Saya dan putri saya menyaksikan pertunjukkan kalian Minggu lalu. Dan sepertinya putri saya begitu tertarik dengan bocah itu."

"Kei memang luar biasa," gumam Jiraiya. "Dia adalah aset bagi kami. Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika dia menghilang," tambahnya, nadanya sengaja ia buat agar terdengar keberatan.

Kening Sasuke berkerut, ia tak tahu apa yang berusaha dicapai Jiraiya hingga pria tua itu menyuarakan kebohongan seperti tadi.

"Saya mengerti." Tamu Jiraiya kembali berbicara. "Tapi saya akan sangat senang jika Anda mempertimbangkan penawaran saya tadi."

"Hmmm... entahlah." Jiraiya menggaruk ringan dagunya. "Kei adalah keluarga untuk kami. Dia sudah seperti anakku sendiri."

Orang asing itu menghela napas. "Jika Anda setuju, saya bisa menjamin kehidupannya. Saya akan memenuhi apapun yang dibutuhkannya. Saya juga berharap Anda akan menerima ini," orang asing itu menyodorkan kantung uang yang terlihat begitu penuh di meja Jiraiya. "Yah, meskipun saya tahu tidak ada harga yang bisa menutupi perpisahan dengan seorang keluarga."

Jiraiya melirik kantung uang itu. "Memang, tidak ada harga yang cukup untuk itu," balasnya dramatis. "Tapi saya pun tidak berhak menghentikan jalannya menuju masa depan yang lebih baik. Saya akan mencoba bicara dengannya meskipun sulit untuk mengatakan selamat tinggal."

Sasuke mendengus pelan mendengar narasi dadakan Jiraiya yang satu itu.

Selajutnya percakapan di dalam tenda berhenti. Dan tanpa Sasuke duga sebelumnya, celah keluar masuk tenda itu terbuka lebar di hadapannya, memperlihatkan Jiraiya yang berdiri tegap.

"Oh... kebetulan sekali." Jiraiya seketika memasang senyuman lebar-yang tentu palsu-saat melihat Sasuke berdiri di sana. "Ayo, masuk, Kei. Kami baru saja membicarakanmu," ujarnya mengundang Sasuke bergabung.

Dengan gerakan kikuk, Sasuke melangkah masuk. Ia melihat seorang pria dewasa dengan rambut panjang berwarna cokelat berdiri di sisi meja Jiraiya. Pria itu memandangnya lengkap dengan senyum kecil yang lembut.

"Saya rasa tidak masalah jika Anda membawa Kei malam ini," ujar Jiraiya lagi, kali ini kepada Si Tamu. "Anda tidak perlu khawatir tentang hadiah Anda." Jiraiya melirik sekantung uang yang tergeletak di mejanya. "Anda bisa memberikan lagi sisanya besok atau lusa," lanjutnya, masih dengan senyum lebar.

"Terima kasih banyak," balas pria berambut panjang itu. "Kalian mungkin butuh waktu untuk bicara... mengucapkan selamat tinggal. Saya akan keluar terlebih dahulu, tidak perlu terburu-buru." Dengan itu Si Tamu keluar dari tenda.

Jiraiya terus mempertahankan senyumnya sampai tamunya tak terlihat. Ia kemudian menarik Sasuke mendekat sebelum berbisik dengan suara berat.

"Orang itu tadi, baru saja membelimu, mengerti? Seperti yang kulakukan dulu di panti. Jadilah bocah baik di hadapannya setidaknya sampai kami pindah ke kota lain. Jangan biarkan dia menyadari kesalahannya karena telah membelimu sebelum itu."

Sasuke menarik diri dari Jiraiya dengan tatapan tajam, namun hal itu diabaikan oleh pria dengan surai putih itu. Ia bergerak ke mejanya dan meraih kantung uang yang tadi ditinggalkan tamunya. Dibukanya ikatan kantung itu hingga bibirnya membentuk seringai tamak karena apa yang dilihatnya.

"Kau boleh membawa pakaian yang kau kenakan sekarang meskipun aku yang membelinya," ujar Jiraiya tanpa memalingkan matanya dari sekelompok koin di dalam kantung itu. "Jangan bawa apapun lagi. Aku anggap itu sebagai bayaran atas jasaku yang selama ini memberimu makan. Jika pria tadi bertanya kenapa kau tidak ingin membawa apapun, katakan saja tidak ada hal penting yang perlu kau bawa," jelasnya panjang lebar. "Sekarang, keluar!"

Sasuke tak memerlukan perintah kedua. Ia langsung keluar dari tenda Jiraiya saat pria itu mulai menghitung uang koin dari dalam kantong tadi.

Di luar, Sasuke mendapati orang asing tadi berdiri setelah ia beberapa langkah menjauh dari tenda Jiraiya. Orang asing itu sepertinya juga mengetahui keberadaannya hingga lagi-lagi, Sasuke mendapatkan seulas senyum yang sama lembutnya seperti yang pria itu tawarkan saat mereka pertama bertemu di dalam tenda tadi.

"Hai," sapa pria itu sambil berjalan mendekati Sasuke. "Kita belum berkenalan, bukan?"

Sasuke tak menjawab, ataupun mundur saat jarak mereka semakin dekat.

"Namaku Hiashi," ujar pria itu memperkenalkan diri setelah kakinya berhenti dua langkah dari Sasuke. "Dan namamu Kei, bukan?"

Sasuke diam beberapa saat, ia tidak memiliki alasan untuk mengatakan nama aslinya kepada pria itu. Jadilah ia hanya mengiyakan secara singkat pertanyaan tadi. "Hn."

"Senang bisa bertemu langsung denganmu," ucap Hiashi sambil mengulurkan tangannya kepada bocah dua belas tahun itu.

Sasuke sendiri tak pernah berada di dalam lingkup lingkungan yang mengharuskannya berjabat tangan saat melempar sapaan. Jadi dengan segala keraguan, yang dilakukannya hanyalah diam memandang Hiashi.

Hiashi yang melihat kecanggungan Sasuke kemudian menarik kembali tangannya dan berdeham ringan. "Baiklah, mungkin kita bisa mengobrol lebih banyak di perjalanan. Untuk sekarang, ayo siapkan barang-barang yang ingin kau bawa."

"Tidak ada," gumam Sasuke sebagai jawabannya.

"Tidak ada? Kau yakin tidak ada yang ingin kau bawa?"

Sasuke berkedip sekali, kalimat Jiraiya beberapa waktu lalu jelas diingatnya. "Tidak ada hal penting yang perlu kubawa," jawabnya sesuai dengan apa yang Jiraiya sarankan. Di samping Sasuke memang benar-benar tak berkeinginan membawa apapun dari sini.

Kening Hiashi berkerut, namun ia memutuskan untuk tak menekan Sasuke. "Kalau begitu, kita bisa berangkat sekarang."

Mobil yang ditumpangi Hiashi sudah menunggu di luar pagar area karnaval. Dibukanya pintu untuk mempersilahkan Sasuke masuk terlebih dahulu. Setelah keduanya sudah dirasa nyaman di kursi masing-masing, Hiashi mengatakan pada supirnya untuk memulai perjalanan.

Sasuke sama sekali tak melirik tempat karnaval saat mereka bergerak menjauh.

"Aku melihat pertunjukanmu beberapa hari lalu," ujar Hiashi santai, mencoba mengiris keheningan. "Penampilanmu sangat bagus. Bagaimana bisa anak seusiamu melakukan perihal atraksi teleportasi seperti itu?"

Sasuke tetap mengatupkan belah bibirnya, manik hitamnya lekat menatap pangkuannya sendiri, atau lebih tepatnya menatap lututnya yang tertutup kain celana. Sasuke selalu mengenakan celana dengan panjang yang dapat menutupi lututnya karena ia harus merangkak setiap waktu-saat latihan maupun pertunjukan.

Meskipun itu ia lakukan demi melancarkan atraksinya, Jiraiya masih saja akan berkomentar kecut setiap kali melihatnya tengah mencoba memperbaiki sobek pada pakaiannya, membuang-buang waktu katanya. Padahal Sasuke sendiri telah belajar cara menjahit sendiri meski hasilnya tak begitu rapi, mencoba tak membebani anggota kelompoknya yang lain setiap kali bagian celananya sobek karena gesekan yang terjadi saat ia merangkak.

Sasuke kemudian melirik Hiashi dalam diamnya. Berpikir mungkin mulai hari ini takkan ada lagi acara menjahit sendiri, mungkin pria dewasa di sampingnya ini akan membelikannya pakaian yang lebih layak, yang tak mudah rusak seperti yang dipakainya saat ini.

Tak kunjung mendengar jawaban dari Sasuke, Hiashi mengeluarkan kekeh kecil yang bersahabat. "Sepertinya para pesulap memang tidak diperbolehkan membeberkan rahasianya."

Sasuke berkedip, ia bukan pesulap. Ia hanyalah pengguna trik kecepatan untuk pertunjukkan teleportasi. Ada beberapa pesulap di kelompok karnavalnya, tapi Sasuke tak begitu mengenal mereka. Yah, pada dasarnya Sasuke tak mengenal baik siapapun di kelompoknya itu.

"Putriku sangat menikmati penampilanmu," tambah Hiashi sebelum melirik Sasuke. "Omong-omong, kalau boleh aku bertanya, berapa usiamu, Kei?"

Sasuke tak terbiasa dengan pertanyaan bersahabat semacam itu. Ia tak melihat apa fungsi dari hal yang ditanyakan tadi. Namun ia merasa sedikit lega bahwa Hiashi mempertimbangkan pilihan untuknya menjawab atau tidak.

"Dua belas," jawab Sasuke pada akhirnya. Ia memutuskan untuk mengatakannya karena tak memiliki alasan untuk tak menjawab ataupun berbohong soal usianya.

Hiashi mengangguk pelan. "Putriku juga berumur dua belas tahun. Aku yakin kalian akan cepat akrab."

Sasuke mengedikan bahunya ringan, tak begitu menantikan apapun.

"Aku tahu mungkin rasanya aneh untukmu keluar dari lingkungan yang biasa kau jalani, Kei," ujar Hiashi. "Tapi aku berjanji kau akan hidup dengan baik bersama kami. Aku akan melakukan apapun yang aku mampu untuk membuatmu nyaman."

"Kenapa?" Sasuke akhirnya menengok, memandang Hiashi. "Kenapa kau melakukan ini untukku? Kau ingin aku melakukan atraksiku atau apa?" tanya Sasuke tanpa setempelan formalitaspun kepada Hiashi.

Bukan Sasuke ingin membuat jengkel pria dewasa di depannya dengan ketidaksopanan yang ia lakukan. Sasuke hanya terlalu terbiasa hidup di lingkungan yang terlepas dari protokol tata krama mendasar.

Hiashi menggeleng atas pertanyaan Sasuke. "Bukan seperti itu," jawabnya ringan, ia menghiraukan cara bicara Sasuke terhadapnya.

"Lalu apa? Kau ingin aku melakukan suat pekerjaan?"

Hiashi mengambil napas sejenak. "Soal itu... sebenarnya, Kei, aku ingin kau menjadi teman putriku."

Kening Sasuke berkerut. "Apa maksudnya?"

"Sederhana. Aku hanya ingin kau menjadi teman sepermainannya. Kesehatan putriku agak lemah sejak dia lahir. Dia merupakan bayi prematur dan istriku meninggal saat melahirkannya. Dia tidak memiliki teman sepermainan karena ia begitu jarang keluar mengingat kondisinya. Aku mengkhawatirkannya setiap kali aku harus pergi bekerja," jelas Hiashi. "Aku khawatir ia jadi terlalu penyendiri. Aku harap kau bisa menghentikan kemungkinan itu terjadi."

"Bagaimana bisa aku melakukannya?" Sasuke kebingungan, tak mendapat bayangan cerita tentang anak perempuan Hiashi yang sakit itu.

"Dengan menjadi temannya." Hiashi menawarkan seulas senyum. "Apa kau bisa melakukannya, Kei?"

Teman? Sasuke tak inat kapan terakhir kali ia memiliki teman. Mungkin saat ia masih di panti asuhan. Tapi jika dipikir lagi mereka tak benar-benar berteman karena mereka tetap harus saling berkompetisi untuk berebut diadopsi.

Rivalitas, apapun alasannya, selalu mengotori pertemanan.

Jadi apakah Sasuke pernah benar-benar memiliki teman? Ia rasa tidak.

Dan jika Sasuke nantinya akan benar-benar mendapatkan teman, ia tak yakin bahwa anak perempuan Hiashi bisa menjadi salah satunya. Meskipun begitu, Sasuke tetap akan mengikuti Hiashi. Ia tak berniat membuang kesempatan untuk hidup bersama dengan salah satu golongan berada.

Sasuke berniat untuk menikmati apa yang akan Hiashi berikan sampai-seperti yang Jiraiya katakan-pria itu menyadari kesalahannya untuk membawa Sasuke.

"Baiklah," jawab Sasuke kepada Hiashi. "Kurasa aku bisa berteman dengannya, sedikit."

.

to be continued...

..

.

A new one guissseeee~~~ kembali dengan SasuHina yang lagi-lagi saya OOC-kan. Dan kayaknya untuk fic ini, saya bakal lebih banyak memberikan porsi ke friendship daripada romance nya.

Oke... ini agak kurang ajar ya saya pasang judul multichap baru saat yang lain lagi ditunggu. Tapi saya ini gampang jenuh, dan itu yang terjadi sekarang. Beberapa hari terakhir nyoba nulis lanjutan LU kok ngerasa salah mulu, nggak kelar-kelar, nggak sreg gitu. Jadi mohon maklumi xD

Anyway, hope you enjoy... see yaaa~~~~