Bab 1, Yang tak terlihat
Deku duduk di atas gedung pencakar langit dimana dia bisa melihat seluruh pemandangan kota dengan jelas. Dia berada di puncak tertinggi, namun tidak menghalangi Deku untuk bisa melihat bawah. Dia bisa dengan jelas melihat mobil-mobil terjebak macet, orang-orang berjalan simpang siur, hal-hal terkecil seperti kupu-kupu yang menghisap nektar dari bunga pada suatu taman kota. Bila ingin, Deku bisa menoaktifkan kemampuan ini, tapi saat ini dia tertarik pada kejadian di sebuah toko penjual buah.
Seorang wanita bekerudung terkejut panik ketika dua orang tidak dikenal tiba-tiba merusak barang dagangan toko. Kedua laki-laki itu menendang barang yang dijajar di depan toko. Buah-buah segera megelinding berjatuhan di trotoar, salah satu dari mereka menghampiri pemilik toko lalu mencaci, mengatakan sesuatu yang buruk tentang agama si wanita disertai acungan jari tengah. Si wanita berusaha tegar dan menyembunyikan anak laki-lakinya yang kelihatan ingin menangis.
Orang-orang disekitar Cuma bisa melihat tanpa mau bertindak, bahkan ada salah satu dari mereka malah merekam kejadian itu.
Polisi baru datang ketika si pelaku yang paling tinggi merubah tangan kananya menjadi palu hendak memecah kaca toko, petugas menembak ke si pelaku dan pemilik Quirk tersebut jatuh, entah itu tembakan yang menghabisi nyawa atau sekedar obat bius. Yang lain berhasil diborgol. Ada seorang pahlawan mendekat, si penembak polisi yang kelihatannya lebih senior menunjukan ekspresi kesal ketika pahlawan itu mendekat, dia cukup baik bisa menyembunyikannya. Petugas lain kelihatannya masih baru dan naif bersemangat memberikan keterangan atas kejadian naas itu.
Si pahlawan dengan gaya seolah-olah dialah yang mengatasi perkara itu berlagak jagoan dan membubarkan penduduk agar kembali ke rutinitas mereka. Ada beberapa yang minta foto, ada yang bertepuk tangan tapi tak ada satupun yang benar-benar bertindak untuk menenangkan si pemilik toko kecuali si polisi senior.
Deku berkedip, dan visi itu hilang.
Dia bisa merasakan gelangnya memanas, salah satu batu yang tertanam di gelang bersinar dengan cahaya ungu kecil.
Deku sudah berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan mencampuri semesta ini. Meski dorongan kuat melakukan sesuatu pada sistem terkutuk itu, Deku mengangkat tangan kananya melihat gelang emas dengan enam batu kusam yang tampak nyaris kehabisan cahaya. Dulu batu-batu itu kelihatan indah dengan kemilau cahayanya, tapi sekarang cahaya-cahaya itu lenyap, pikirnya.
Deku merentangkan tangannya ototnya sedikit kaku kerena terlalu lama duduk. Angin meniup rambut berombaknya sehingga semakin kelihatan tidak tertata. Mata hijaunya menatap kejahuan, terus mengamati saat dunia mulai gelap dan matahari sudah tenggelam. Ini adalah saat damai, meski di bawah mungkin sedang terjadi kasus kejahatan lain.
Bosan, dia berpikir sejenak menutup mata sambil mengisi udara paru-parunya. Tidak melakukan apa-apa malah menggoda imannya untuk menggunakan kemampuan gelangnnya. Masih dalam keadaan sama, memandang sekeliling, matanya berkedip. Rasanya seperti sengatan ubur-ubur. Deku, meski bukan yang paling populer dari semuanya dan juga bukan yang terbaik, tahu arti sengatan itu.
Siapa yang memanggilku? Itu tidak mungkin. Dirinya adalah wujud petaka, siapa di zaman sedamai sekarang mau memanggil petaka semacam dirinya?
Batu kuning bersinar, pikirannya bergerak melintasi kota, melaju diantara orang-orang sibuk, menembus tembok bangunan, tak ada yang bisa menghalangi jalannya. Sampai dia tiba di sebuah jembatan di kompleks pemukiman. Lebih mempertajam visi yang dilihatnya, dia menemukan tiga orang disana, satu orang terduduk meringis kesakitan. Ada pisau diperutnya, tepat mengenai titik vital, anak itu tak akan selamat.
Dua orang sisanya, tampak sedang berdebat. Laki-laki satunya kelihatan santai, dia memainkan pisau di tangan kanannya yang mirip dengan pisau yang menancap di perut anak malang itu, laki-laki lain, kelihatan gusar dan takut.
Deku tidak tertarik dengan dua orang penjahat itu, dia fokus pada si anak. Deku mengenali si kecil yang sedang meregang nyawa.
Tapi ini tidak mungkin, harusnya dia ada disana setahun lagi ketika dia duduk di kelas tiga. Kenapa sekarang?
Atau...
Deku menyeringai. Dia masih menonton visi itu sebelum menghilang.
"Ini Semesta yang berbeda, dari sekian ratus semesta yang ku jelajahi..." dia bergumam pada dirinya sendiri, melirik langit yang sudah mulai bermunculan bintang-bintang. Dia geli.
"dan dia memanggil namaku, dari semua orang di dunia ini... dia memanggil namaku."
Semua semesta terhubung pada satu titik, dan di titik itulah deku tinggal bersama guardian lainnya. Tugas mereka jelas seperti nama mereka, penjaga, menjaga semesta adalah tugasnya. Jadi berkat hubungan itulah, meski di semesta ini Deku tidak dikenal, tapi masih bisa dipanggil selama yang memanggil mempunyai keinginan kuat tentang Deku.
Namun tetap saja fakta yang memanggil anak itu, itu tetap mengejutkannya.
Anak ini pasti benar-benar putus asa sampai namanya dipanggil.
Deku ingin menyelidiki, sepertinya dia menemukan sesuatu yang bermanfaat untuk mengisi waktu luanngnya. "Mari kita jenguk Izuku di dunia ini."
Deku berdiri menikmati angin sore terakhir. Batu biru di gelangnya bersinar dan tubuhnya lenyap ditelan kabut biru tipis lalu menghilang.
()
Dihadapan Midoriya Izuku, dua orang tampak berdebat. Mereka tidak peduli seorang anak akan mati kerena kehabisan darah.
"Harusnya kau tidak sampai membunuhnya, polisi tak akan mendengar celotehan bocah smp!" laki-laki pendek itu menoleh ke Izuku, menatap belas kasih, tapi Izuku semakin takut melihat matanya. Satunya, pria lebih tinggi dan kurus malah menguap.
"Bagaimana kabar Jack kawan kita? Meringkuk di penjaran kerena polisi percaya bacotan anak sd."
Si pendek ingin berkata tapi tak jadi
"Lagipula kawasan ini sepi, aku sudah banyak lewat kesini kalau habis main dengan wanita. Palingan Cuma pemabuk yang kebetulan menemukan jasad bocah malang, dan dia sudah ditemukan dalam keadaan membusuk."
Laki-laki itu tampak terhibur dengan idenya, lalu dia menoleh ke Izuku. "Jangan salahkan kami nak, ini semua salahmu karena suka mengintip-intip."
Tidak, ini terjadi karena Kacchan memberitahukan sebuah pabrik kosong pada dirinya. Laki-laki pirang itu, memojokannya seperti biasa, tapi siang itu tidak ada ledakan, Cuma ekspresi biasa yang justru membuat kaki Izuku bergetar, harusnya dia tahu ini tindakan bodoh.
"Oi Deku! Aku punya hadiah untukmu, kamu tahukan pabrik tua di dekat sungai?"
Izuku Cuma bisa menangguk, menolak hanya akan diledakan.
"Nah katanya disana ada seseorang yang suka mengaktifkan Quirknya diam-diam, mungkin kamu tertarik? Menambahkannya ke salah satu buku sialanmu itu?"
Izuku lemah dengan Quirk, dia selalu antusias jika menemukan Quirk baru. Hati kecilnya sudah menjerit bahwa tindakan menuruti ide kacchan bodoh, tapi kedua kakakinya lebih bodoh dan begitu saja mendatangi pabrik tua itu. izuku tidak takut hantu, jadi dia langsung saja menerobos pagar besi. Alih-alih menemukan Quirk, dia menemukan dua orang penjahat yang habis membunuh seorang laki-laki paruh baya, izuku melihat semuanya jelas. Bagaimana si pria membakarnya dan jeritan laki-laki itu malah membuatnya tertawa, yang lain Cuma menonton tak minat, lebih tertarik koper yang dibawah si laki-laki malang. Izuku tidak yakin, karena dia melihat dari balik kaca buram, tapi dengan api sebesar itu, manusia apapun pasti akan mati.
Dia harus kabur, dia harus memberi tahu polisi. Tapi tong yang dia pakai sebagai injakkan tidak bersahabat. Dia terjatuh lalu keributan itu menarik perhatian pelaku, dan Izuku bukan pelari cepat, Cuma butuh semenit mereka menangkapnya.
Lalu dia berakhir akan mati karena kehabisan darah.
Tidak akan ada kesempatan kedua, dia hanya akan mati.
Apa ini salah Kacchan? Dia yang menyuruh izuku kemari, apa kacchan tahu jika pabrik itu dihuni penjahat? Izuku membuang pikiran itu, kacchan tidak sejahat itu, dia memang membullynya, dan itu hal biasa bukan? Kacchan tidak mungkin sampai melakukan hal seperti ini.
Kesadarannya menipis, pikiran-pikirannya semakin merencau tak karuan, rasa sakitnya mulai hambar, ada ajakan untuk menutup mata dan melupakan semuanya.
Tidak! Aku belum mau mati!
Dia masih belum jadi pahlawan, bahkan dia belum dapat tanda tangan ALL Might!
Kedua laki-laki berhenti berdebat lalu yang tinggi mendekat dan berhenti memainkan pisaunya. "Biar kuselesaikan, ini cepat dan kau tidak akan lagi kesakitan."
Izuku sudah pasrah. Benar kata mereka, tempat ini terpencil, All Might tidak mungkin tiba-tiba datang, masih banyak kejahatan diluar sana. Inilah akhirnya, maaf ibu, maaf semuanya, aku minta maaf...
Jika saja dia memiliki Quirk, dia pasti tidak akan terjebak ke dalam situasi seperti ini, mungkin sekarang dia akan sibuk bersama kacchan seperti dulu tentang rencana masa depan proyek hero mereka nanti, bahkan jika punya Quirk seperti Death arms, dia memiliki kesempatan melawan mereka. Tetapi sayangnya dia tidak punya.
Sehingga kesimpulannya dia akan mati sebentar lagi,
Pisau itu dilempar, Cuma beberapa detik.
Tapi kenapa dia tidak merasa sakit?
Izuku membuka matanya secara perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah pisau itu berhenti begitu saja di tengah jalan menuju dirinya.
"Hei apa-apaan ini!" kata si laki-laki tinggi
Izuku tidak tahu apa yang terjadi. Kemudian dia melihat sesuatu yang tidak masuk akal.
Pria berambut hijau dengan bintik di pipi dengan mata hijau cemerlang. Pakiannya serba hitam dan gelang emas denga sinar biru di salah satu batunya begitu menonjol. Izuku lalu kembali ke wajahnya, matanya mulai kehilangan tenaga tapi dia masih bisa berpikir, pria itu mirip dengannya. Sangat mirip.
"Siapa kau!" laki-laki tinggi yang pertama menyadari.
Yang dipanggil Cuma menoleh seklias seperti melirik kedua laki-laki itu bagai sampah.
"Apa kau yang menyababkan pisau itu berhenti," kata laki-laki itu kembali berteriak, melotot ke arah laki-laki yang mirip Izuku.
"Kamu berisik," laki-laki berambut hijau mengarahkan tangan kanannya, batu merah di gelangnya bersinar dan api langsung membakar si laki-laki. Api merah panas muncul begitu saja tanpa sebab.
Orang itu meraung, berteriak. Temannya tidak berbuat apa-apa, dia terlalu syok. Izuku juga sama, tapi perlahan dia merasakan sensasi senang, sebuah adrenalin aneh, ketika melihat pria asing itu berbuat sesuatu. Dia tidak tahu apa itu sejenis Quirk, tapi itu keren, menciptakan api tiba-tiba, apa itu jenis baru? Memang ada desas-desus generasi baru, tapi bagaimana? Semua pertanyaan itu berteriak di kepalanya, dia ingin mengetahuinya.
Pisau itu jatuh. Laki-laki berambut hijau berjalan santai tidak terganggu dengan rekan si penjahat yang masih syok. Dia mengambil pisaunya, dan melemparkannya ke api. Si penjahat tidak lagi meraung dalam api, tubuhnya mulai diam tapi api masih berkobar.
"Kau sudah banyak membakar orang bukan? Bagaimana rasanya dibakar?"
Si penjahat tidak beregerak, si laki-laki hijau mengangkat bahu, berbalik memandang Izuku. Melihat laki-laki itu menjulang tinggi di depannya, baru sekarang dia merasa takut. Diperhatikan lebih seksama, mata hijau cemerlangnnya dingin. Tidak ada emosi di sana.
Laki-laki itu tersenyum.
Tiba-tiba saja sesuatu seperti lumpur berwarna hijau muncul di belakang laki-laki itu, menyergapnya dengan kecepatan sekedip mata. Laki-laki itu kaget, tapi Cuma sebentar saja lalu menoleh ke belakang, sebuah monster berbentuk lumpur, tubuhnya memang benar-benar lumpur, cair, tidak berbentuk sama sekali. Matanya kuning melotot dan ada seperti mulut yang membentuk seringai lebar.
"Aku sudah lama ingin mencari tubuh baru. Kau bisa menjadi tubuh baruku, dengan trik api tadi Quirk-mu pasti bukan Quirk sembarangan dan muncul dari kabut? Warp? Itu juga bukan Quirk buruk. Ini sempurna!"
Laki-laki yang syok hilang, wujud aslinya adalah lumpur hijau itu.
Izuku kalau bisa akan menutup mulut dengan tangannya, tapi dia terlalu lemah, bisa menahan kesadaran sampai sekarang saja dia sudah bersyukur.
Kumohon jangan kalah, Izuku ingin laki-laki ini menang.
"Oh, jadi kamu penjahat lumpur? Harusnya kamu datang sendiri setahun lagi..."
Monster lumpur itu tidak mengerti.
"Tapi itu tidak masalah. Ngomong-ngomong terima kasih, aku senang akhirnya kamu mengakuiku kuat kali ini. Di pertemuan terakhir kita, kau meremehkanku."
"Apa maksud—"
Lumpur itu tidak menyelesaikan ucapannya. Tubuhnya tiba-tiba terdorong sesuatu dorongan besar hingga menabrak dinding beton pondasi jembatan.
Tubuh monster itu semkin tidak berbentuk, semburat seperti cat yang dilemparkan ke dinding begitu saja. laki-laki hijau itu berjalan mendekat dinding lalu mengarahkan tangannya, sesuatu bersinar dari gelangnya, warnanya merah, tapi lebih cerah, seperti orange. Lumpur itu seperti terserap penyedot debu, masuk ke tangan kananya, Izuku tidak bisa melihat jelas, tapi seperti itulah gambarannya.
Pria berambut hijau memandangi tangan kananya sebentar, setelah si lumpur menghilang. Izuku tidak tahu apa yang dilihatnya, tapi ada sinar disana.
"Tekadmu pasti begitu besar..." lalu sinar itu lenyap begitu saja.
Si pria rambut hijau berbalik, melihat kearahnya. Izuku tidak bisa melakukan apa-apa. tenaganya sudah ada di titik rendahnya. Dia Cuma munggu waktu.
"Kau akan mati, kau tahu?" kata laki-laki itu, santai seakan tanpa beban.
Anehnya Izuku menerimnya. Dia memang akan mati.
"Bagaimana kau bisa sampai disini?" si pria menatapnya. Dahinya merengut memandangnya lalu menggelengkan kepalanya. "Kau punya hal yang bisa kau raih, tapi ini sudah terjadi, kita tak bisa mengubahnya."
Izuku melihat bayangan ibunya, ibunya yang selalu mendukungnya meski Izuku tahu ibunya ingin sekali Izuku bermimpi. Ibunya tahu luka-lukanya, tapi dia tidak pernah bertanya. Apa Izuku membenci Kacchan? Setelah apa yang dilakukannya sampai sekarang? Ya sejujurnya Izuku ingin sekali saja dalam hidupnya membelas perbuatan kacchan, tapi Izuku tidak akan pernah membencinya. Dia tidak bisa membenci kacchan. Lalu semuanya seperti berjalan kembali dari awal. Mungkin inikah yang terjadi bila orang akan mati?
Di depannya seseorang yang mirip dengan dirinya, memiliki kekuatan yang hebat. Jika saja itu kekuatannya, pasti hidupnya jauh lebih baik.
Senyum All Might berkilau, motto andalannya ketika menyelamatkan orangp-orang. "Semua baik-baik saja, kenapa? Karena aku sudah disini!"
Tapi All Might tidak datang, dia tidak menyelamatkannya. Bahkan hingga akhir, Izuku tidak bisa bertemu langsung dengan All Might. Jika dia bisa bertemu dengan pahlawan idolanya, apa yang akan dia lakukan? Pasti dia tidak bisa berlama-lama meladeni anak semacam dia, tapi jika satu menit? Tidak setengah menit atau beberapa detik mungkin...
"A-a-apa a-aku bisa men-menja-menjadi pahlawan?" tanya izuku lirih, tanpa tenaga dan nyaris tidak terdengar.
Laki-laki di depannya terkejut. Izuku juga terkejut, kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Apa kau bisa menjadi seorang pahlawan?"
Izuku ingin menggeleng, tapi tenaganya semakin lemah.
"Kau sudah menjadi pahlawan Izuku, terus bertahan hidup dalam keadaan seperti itu... pahlawan pro mungkin sudah gagal, tapi hingga detik ini kau menolak kalah, kau terus berjuang sampai titik kau tak lagi bisa melakukannya."
Rasa sakit itu menghilang. Hatinya menjadi ringan. Meski sedikit, ada pasokan energi yang masuk. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia merasa bebas. Dia tidak lagi membawa beban yang selalu dia rasakan setiap hari.
Matanya perlahan menutup, wajah laki-laki itu mulai memudar menjadi buram, lalu sama sekali tidak bisa dilihat. Sebelum kegelapan menelan, izuku melihat sosok ibunya diterangi cahaya. Ibunya menunggunya untuk makan malam.
Dan Midoriya Izuku meninggal di usianya ke 13.
