Chapter 1
Pemuda berwajah manis itu tidak bisa tenang, mendengar erangan dan rintihan kesakitan dari bilik-bilik di sebelahnya. Ia, beberapa wanita, dan carrier di ruangan ini hanya terpisahkan oleh sebuah tirai berwarna hijau yang cukup tipis. Ada wanita berusia tiga puluhan; ada pemuda yang baru memasuki usia dua puluhannya; adapula sekelompok wanita paruh baya di ujung ruangan sana; dan terakhir ada Jungkook yang baru saja meniup lilin di usianya yang ke lima belas tahun seminggu yang lalu. Tidak semuanya berasal dari kota terpencil ini.
Satu-satunya persamaan sekelompok orang itu hanyalah keadaan dan situasi yang menjerat mereka. Ketujuh belas orang itu bernaung di kamar sempit dan gelap dengan perut besar dan keringat membasahi alas tidur mereka. Bencana yang menyerang beberapa kota di negeri itu menyebabkan mereka terpaksa berbagi ruangan bersalin di rumah sakit kecil ini. Sebagian sedang mengalami kontraksi, menahan sakit sehingga hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang lusuh kekuningan itu; sedangkan sebagian lagi sedang dalam masa pemulihan sambil dengan santainya menyodorkan puting susu mereka kepada bayinya.
Tentu saja Jungkook masuk dalam kelompok yang pertama. Tubuhnya sedikit menggigil kedinginan menunggu pelebaran jalur lahirnya. Tampaknya tidak ada calon ibu lain yang lebih muda darinya di ruangan ini. Tak ada seorangpun yang dapat diajak bersenda gurau. Tidak ada juga perawat yang bisa membantunya menenangkan diri sekaligus meredakan rasa sakit yang berpangkal di area bawahnya. Semuanya hilir mudik mengurus ketujuh belas pasien di sini.
Mengenai pereda rasa sakit, seharusnya mereka punya gas tertawa atau semacamnya untuk membantu mengurangi ngilu di bawah situ. Sayangnya mereka kehabisan stok beberapa hari yang lalu saking banyaknya pasien yang terus berdatangan. Angka kelahiran menjadi sangat tinggi belakangan ini.
Jungkook mengubah posisinya menjadi berbaring ke samping. Dielusnya perut buncit yang dalam kurun waktu beberapa jam lagi bakal jadi kendur itu.
"Tampaknya kita sendirian saja, sayang." Suaranya parau, begitu menyiratkan kesepian yang sudah dirasa sejak pertama menginjakkan kaki di bangunan ini beberapa hari yang lalu.
Tepat setelah ia selesai berucap, sebuah kontraksi yang cukup panjang kembali menyerangnya, mengakibatkan sebuah desisan tertahan kabur dari sepasang bibir tipis itu. Dicengkramnya ujung bantal yang terletak di bawah kepalanya erat-erat dengan harapan rasa nyeri di bawah situ menghilang.
Di saat seperti ini memang siapa yang mau memegang tangannya untuk membantu mengurangi sakit ini? Bahkan pria kurang ajar yang telah menghamilinya tidak menampakkan batang hidungnya sekarang. Pria tampan berkulit agak gelap itu sedang sibuk menertibkan kelompok pemberontak di sisi lain kota ini. Runtutan bencana yang mulai meluas ke pinggiran kota ini telah membuat warga kalang kabut.
Seminggu yang lalu, bedebah bernama Kim Taehyung telah bersumpah padanya untuk datang sebelum anak mereka lahir. Dengan senapan hitam, panjang terselempang di punggungnya dan seragam dinas yang melekat di tubuh kekarnya, ia mencium kening Jungkook, (kemungkinan) untuk yang terakhir kalinya. Jarang sekali Taehyung melanggar janji manis yang dibuatnya kepada Jungkook. Lantas mengapa ia tak kunjung kembali setelah lewat tujuh hari? Sungguh, Jungkook cemas. Tak henti-hentinya ia merapalkan doa setiap malam demi keselamatan kekasihnya itu.
"ARGHHHH! Angghhhh! Ungghhhhh! Hahhh... hahh... hahhh..." kembali didengarnya lenguhan kesakitan dari bilik yang tak jauh dari biliknya sendiri.
Ditatapnya lagi perutnya dengan pandangan yang mulai mengabur. Tetesan kecil mulai terjun menuruni wajah pucatnya.
"Semoga ayahmu tidak apa-apa."
Dihapusnya air mata yang meninggalkan jejak di pipinya.
"Semoga kita berdua tidak apa-apa."
.
.
.
To be continued
