.

Confession

.


Disclaimer
Naruto © Masashi Kishimoto
Penulis tidak mengambil keuntungan materiil apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

Warnings!
Drabble. Canonical character death. Suicidal thoughts. Implied homosexuality (bisa dianggap sebagai platonik juga). Unrequited feelings. Angst.


.

Hari ini ia mematung lagi di depan batu memorial. Matanya menatap lekat pada sebuah nama yang selalu membuat dadanya sesak.

.

Uchiha Obito.

.

Kawan.

Musuh.

Pahlawan.

Kriminal.

Memori yang manis.

Hantu penuh dendam.

Sampah.

Lebih rendah dari sampah.

Mati.

Hidup.

Mati lagi—dan dua kali kematian itu adalah demi Kakashi.

Seperti magnet, ia tak bisa berpaling.

(Bagaimana mungkin ia bisa berpaling, sedangkan setengah hidupnya dia jalani demi Obito? Obito yang selalu terlambat, Obito yang selalu ingin melindungi temannya, Obito yang ingin menjadi Hokage, Obito yang mencintai Rin, Obito yang terkubur hidup-hidup di reruntuhan gua dekat Jembatan Kannabi karenakebodohbodohbodohan Kakashi dan kenapa bukan Kakashi saja yang terkubur sampai mati saat itu dan menjauhkan Obito dari cengkeraman tangan Zetsu dan Madara serta rencana gila mereka—)

Kakashi mengepalkan buku-buku jarinya.

'Aku ingin membangun dunia dimana pahlawan tak perlu membuat alasan menyedihkan di depan makam.'

Kakashi memang menyedihkan, ia tahu.

"Obito, aku..."

Namun kali ini ia datang bukan untuk beralasan konyol ataupun meminta maaf.

"...benar-benar membencimu, kau tahu?" kalimat itu ia decihkan bagai membuang racun.

Dan memang, dari sudut hatinya yang terdalam, ia benci Obito. Ia benci segala hal yang Obito lakukan demi rencana Mugen Tsukiyomi. Ia benci kenyataan bahwa Obitolah yang menggiring Minato-sensei dan Kushina-sama pada kematiannya. Ia benci mengetahui bahwa Obito memiliki campur tangan dalam pembantaian Klan Uchiha. Ia benci melihat Obito berdiri sebagai lawan pada medan perang dan membuat Kakashi mempertanyakan segala hal yang ia percayai sebagai benar. Ia benci melihat sosok kejam Obito yang menggantikan anak Uchiha dengan senyum merekah yang mengisi ingatan Kakashi.

(Ia tak tahu apakah ia bisa memaafkan Obito setelah semua itu.)

Ada amarah dalam diri Kakashi yang membuncah saat ia mengingat Obito. Ia ingin Obito hidup kembali agar Kakashi bisa menghajar dan mencabik-cabiknya sampai mati.

Atau mungkin memeluknya sampai mati, agar Obito tak bisa meninggalkannya lagi.

Ia ingin—

"Obito," Ia mengingat senyum Obito di saat-saat terakhir itu, dan Kakashi merasakan jantungnya berdegup kencang seakan ingin meledak.

"Obito, aku juga..." Ia mengingat tubuh Obito yang terurai menjadi abu, dan Kakashi merasakan dadanya ngilu dan jantungnya remuk hingga jadi serpihan.

"...benar-benar merindukanmu, kau tahu?"

Napas Kakashi tercekat. Matanya basah. Tangannya menggapai soket mata kirinya yang berisi iris kelabu—bukan sharingan—dan kali ini ia tak bisa lagi beralasan bahwa mata Obitolah yang menangis.

.


Word counts: 377 kata. [Edited 15/10/2017]

Author's Note:

Ew. So sappy.

Ada tiga alasan kenapa saya nulis ini, yaitu (1) out of spite, karena fanfiksi yang punya setting canon masih sepi, (2) out of spite, karena fanfiksi soal dua om-om tragis ini (dan Rin tersayang) jauh lebih sepi, dan (3) out of spite, karena... asinan fandom. Oh, iya. Sekalian latihan nulis lagi dalam bahasa indonesia. (Menurutku hasilnya kurang memuaskan, tbh. I still can't capture the depth of their relationship here.)

On a side note, Emak mungkin akan kecewa kalau tau anaknya akhirnya nulis slash karena salty.

Kritik, saran, dan masukan sangat diterima. Tell me which part you enjoyed about this fic, too. Review?