Fic ini saia persembahkan sebagai hadiah ulang tahun untuk aicchan. Otanjoubi Omedetou Gozaimasu, ai-nee... Semoga Nee menyukai hadiah dari saia ini walau mungkin fic-nya kurang pantas sebagai sebuah hadiah. ^^
Disclaimer: Harry Potter and all chara(s) belongs to J.K. Rowling.
Pairing : Draco Malfoy / Harry Potter
Rated: T
Genre: Romance / Friendship
Warning: OOC, SLASH, typo(s), etc.
Don`t Like, please Don`t Read!
Setting: 5th Year, No War Again...
.
Feeling About You
Chapter 1: Hate!
"Aku benar-benar tidak mengerti dengan tingkah kalian berdua," kata Minerva McGonagall kepada dua orang pemuda dihadapannya. Walau nada bicaranya terkesan datar, tapi kekesalan terlihat jelas di wajah wanita tersebut.
"Kalian berkelahi seperti sekumpulan Muggle yang tidak berpendidikan," lanjut wanita itu. Kedua bola mata Minerva menatap tajam dibalik kacamata yang dipakainya. "Kalian harusnya sadar siapa kalian yang sebenarnya, Mr. Malfoy, Mr. Potter."
Kedua pemuda yang dipanggil namanya barusan sama sekali tidak menjawab. Pemuda yang satu, hanya menatap bosan ke arah perapian di ruangan tersebut sementara pemuda yang lainnya hanya menunduk memandangi karpet tebal dibawah kakinya.
"Detensi untuk kalian berdua," kata Minerva; mencoba manarik perhatian kedua pemuda tersebut dan ternyata berhasil. Kedua pemuda itu kembali mengalihkan pandangan mereka ke arah guru Transfigurasi mereka. Pandangan protes terlihat jelas di masing-masing mata kedua pemuda itu.
"Bersihkan seluruh koridor di sepanjang lantai tiga kastil ini setelah makan malam, tanpa menggunakan sihir, dan jangan protes," lanjut wanita itu saat melihat pemuda berambut hitam berantakan terlihat ingin mengucapkan sesuatu.
.
.
.
"Ini semua tidak akan terjadi kalau bukan karena kau," desis Harry Potter, seorang pemuda berambut hitam berantakan dengan mata hijau cemerlangnya. Ia menatap tajam ke arah pemuda pirang yang berada tidak jauh darinya.
"Kau mengatakan seolah-olah aku yang salah? Apa kau sedang mengigau, Potter?" kata pemuda pirang itu. Siapa lagi kalau bukan Draco Malfoy, sang Pangeran Slytherin. Ia terlihat sedang menyadarkan tubuhnya di dinding kastil yang dingin. Sama sekali tidak berniat untuk menjalani detensi yang diberikan McGonagall barusan.
Hei, seorang Draco Malfoy mana mau mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Peri Rumah; bukan seseorang seperti dirinya. Dimana akan ia taruh wajahnya kalau orang-orang melihat seorang Draco Malfoy terlihat sedang... mengepel lantai? Demi celana dalam Merlin! Seorang Malfoy tidak akan mau repot-repot berbuat seperti itu!
Harry menggeretakkan giginya. "Memang kau-lah yang salah, Malfoy! Kalau bukan kau yang mulai terlebih dahulu, aku tidak akan berada disini, mengepel seluruh koridor!" bentak Harry. Tangan kanan pemuda itu mencengkram gagang alat pengepel lantai dengan keras. Saking kerasnya, mungkin benda itu akan patah menjadi dua bagian hanya dalam beberapa detik saja.
"Kau mengigau lagi, Potter," desis Draco. Ia masih sibuk menyandarkan tubuhnya di tembok. Mata abu-abunya menatap tajam ke arah sosok pemuda berambut hitam berantakan dihadapannya. "Karena kau yang memukulku terlebih dahulu-lah kita harus menjalani detensi seperti ini!"
Harry mendengus. Memang ia yang terlebih dahulu-lah yang meninju wajah Draco saat menunggu kelas Transfigurasi-nya dimulai tadi pagi. Tapi bukan tanpa alasan ia sampai berbuat seperti itu.
"Harusnya kau bersyukur karena aku hanya memukulmu, Malfoy," kata Harry. "Mengingat apa yang mulut busukmu ucapkan kepada Hermione, sebuah pukulan di wajah sama sekali tidak ada apa-apanya."
Perkataan Harry barusan mau tidak mau membuat seorang Draco Malfoy akhirnya naik pitam. Ditendangnya alat pengepel yang sejak tadi tergeletak tidak berdosa di atas lantai koridor yang dingin. Cukup keras sehingga menyebabkan benda itu terlempar sejauh beberapa meter dan menimbulkan bunyi 'klontang' keras saat benda itu menyentuh lantai.
Draco berjalan mendekat ke arah Harry. Dalam satu gerakan, ia menarik jubah pemuda itu dan langsung menghantamkan tubuh Harry ke arah dinding yang dingin. Mau tidak mau, erangan kecil keluar dari bibirnya saat punggung Harry menabrak dinding.
"Si Granger itu memang pantas dipanggil 'Darah-Lumpur', Potter!" bentak Draco tepat di depan wajah Harry. "Kau tidak perlu membela Darah-Lumpur sepertinya. Aku heran mengapa kau mau berteman dengan Darah-Lumpur menjijikan dan orang seperti Si Wessel itu. Memang apa bagusnya mereka? Jangan merendahkan dirimu seperti itu, Potter."
Harry menyentak keras tangan Draco yang mencengkram bagian depan jubahnya. Mata hijau pemuda itu menatap tajam ke arah pemuda berkulit pucat tersebut. Kalau saja tatapan Harry itu bisa membunuh, bisa dipastikan saat itu juga para penghuni Hogwarts akan menemukan sesosok tubuh tidak bernyawa di koridor itu.
"Jangan. Pernah. Kau. Menghina. Teman-temanku, Malfoy," kata Harry dengan penuh penekanan di setiap kata-kata yang ia ucapkan. Ingin sekali ia meluncurkan beberapa Kutukan kepada pemuda berambut pirang tersebut. Sayang, ia tidak bisa melakukannya mengingat tongkat sihir miliknya baru saja disita oleh Professor McGonagall.
"Mereka memang pantas dihina, Potter," desis Draco sambil melangkah menjauh dari Harry. Disilangkannya kembali kedua tangannya di depan dada sambil menatap lekat ke arah Harry. Selama beberapa saat kedua pemuda itu hanya diam sambil saling melemparkan tatapan tajam ke arah lawannya masing-masing. Sepertinya kedua orang itu sudah melupakan detensi yang harus mereka jalani.
Harry mengeram pelan atas perkataan Draco. Ia kemudian melangkahkan kakinya mendekati pemuda itu. Kali ini, ialah yang menarik bagian depan jubah Draco; membuat tubuh Draco yang sedikit lebih tinggi darinya menunduk dan menatap tepat ke kedua bola mata hijau Harry.
"Kubilang, 'Jangan menghina teman-temanku', Draco! Apa itu kurang jelas!" hardik Harry. Ia benar-benar sudah tidak bisa menahan lagi amarahnya. Ia akan melayangkan sebuah pukulan ke wajah pemuda Slytherin itu kalau saja telinganya tidak mendengar sebuah suara mengeong tidak jauh darinya.
Mata hijau milik Harry mencari darimana asal suara kucing itu. Ia mendecak keras saat mendapati sesosok kucing tengah memandang ke arah mereka dari atas sebuah gantungan obor di koridor tersebut. Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat ke arah mereka.
"Kau harus berterima kasih kepada Mrs. Norris, Malfoy," desis Harry sembari melepaskan bagian depan jubah Draco. Ia kemudian beranjak menjauhi pemuda berparas tampan tersebut dan melanjutkan detensi-nya. Ia sama sekali tidak memperdulikan saat Draco menyeringai licik ke arahnya. Setidaknya untuk saat ini mengingat sebentar lagi Filch, si Penjaga Sekolah akan datang untuk memeriksa pekerjaan mereka.
...
Harry menghempaskan tubuhnya pada sofa tunggal di ruang Rekreasi asrama Gryffindor. Ruangan tersebut terlihat sepi mengingat saat ini hampir tengah malam. Hanya terlihat beberapa murid Gryffindor yang berada di ruangan tersebut. Kebanyakan diantara mereka adalah anak-anak kelas tujuh yang sedang sibuk belajar untuk menghadapi ujian NEWT mereka.
Tidak ada niat sama sekali bagi pemuda bermata emerald tersebut sekadar pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Yang ia lakukan hanya diam sembari menatap bosan ke arah luar jendela.
Pekerjaan membersihkan koridor sekolah sudah cukup menghabiskan energinya mengingat seberapa panjang koridor itu. Belum lagi Draco yang tidak mau diajak bekerja sama sehingga lebih banyak Harry yang melakukan pekerjaan tersebut.
"Kau baik-baik saja, Harry?" kata sebuah suara dar arah sampingnya. Lewat sudut matanya, dilihatnya Hermione Granger tengah menatap cemas kearahnya. Disamping gadis berambut cokelat mengembang itu, ada Ronald Weasley yang terlihat sedang menenteng sebuah kotak yang Harry yakini adalah kotak papan Catur Sihir.
"Yeah, aku baik-baik saja, 'Mione," kata Harry sembari menegakkan tubuhnya. "Aku hanya sedikit lelah mengingat beratnya detensi hari ini."
"Oh, Harry. Harusnya kau tidak perlu mendapat detensi gara-gara membelaku tadi pagi," kata Hermione. Gadis itu mendudukkan dirinya diatas karpet tebal yang menutupi hampir seluruh ruang Rekreasi dan kemudian membuka sebuah buku tebal yang sebagian halamannya sudah tampak menguning. Entah buku apa yang sedang dibaca gadis terpintar diangkatannya itu, Harry sama sekali tidak ingin tahu.
"Hermione benar, Mate. Harusnya kau tidak perlu mendapat detensi dari Professor McGonagall. Malfoy itu memang pantas mendapat sebuah pukulan di wajahnya. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu," kata Ron sambil mendudukkan dirinya disamping Hermione dan mulai membuka kotak Catur Sihir. "Mau main beberapa kali?"
Harry nyengir mendapat ajakan dari pemuda berambut merah tersebut. Ron benar. Ia seharusnya tidak perlu memikirkan seorang Draco Malfoy. Hermione yang dikatai Darah-Lumpur saja tampaknya sama sekali tidak ambil pusing. Malah gadis itu terlihat cuek saja. Jadi mengapa Harry malah memikirkannya?
Harry pun beranjak mendekati Ron dan membantunya mengeluarkan bidak-bidak catur dari kotaknya. Selama beberapa lama ruang Rekreasi dipenuhi dengan teriakan-teriakan dari bidak-bidak Catur Sihir yang meneriakkan usulan-usulan kepada Harry maupun Ron. Mereka berdua tampaknya sama sekali tidak perduli kalau keributan kecil mereka mengganggu murid-murid lain yang sedang belajar malam itu. Yeah, memangnya mereka pernah perduli?
.
.
.
"Kita pasti terlambat, Harry," kata Ron. Wajahnya terlihat sangat cemas akan sesuatu hal. Bagaimana pemuda itu tidak cemas mengingat kalau mereka saat ini tengah mengejar waktu agar tidak terlambat masuk kelas mereka pagi ini. Memang semua ini adalah kesalahan mereka sendiri karena semalam terlalu asyik bermain catur dan tidak memperdulikan waktu. Akhirnya pagi ini, mereka bangun kesiangan bahkan tidak sempat untuk sarapan.
"Tidak akan kalau kita lebih cepat," kata Harry walau ia sendiri tidak yakin. Ia mampercepat larinya menyusuri koridor yang suah sepi. Dengan terburu-buru, mereka menuruni tangga menuju ke bawah tanah; sama sekali tidak mengurangi kecepatan mereka walau tahu tangga-tangga batu itu sangat licin.
.
"Apa alasan kalian bisa terlambat ke kelasku, Mr. Potter, Mr. Weasley?" sapa sebuah suara saat mereka baru saja memasuki kelas mereka beberapa saat tadi. Kedua orang yang disebut namanya itu hanya bisa menelan ludahnya dengan paksa saat mendengar nada dingin yang begitu dikenalnya.
"Err-" gumam Harry. Mata hijau cemerlangnya menatap sekilas sosok serba hitam yang dikenal sebagai orang yang mengajar di kelas Ramuan-Severus Snape-sebelum akhirnya pemuda itu mengalihkan perhatiannya ke arah lantai seolah-olah lantai tersebut lebih menarik untuk dilihat.
"Tidak bisa menjawab, Mr. Potter? Potong sepuluh angka dari Gryffindor karena terlambat," kata Snape sembari membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh. "Cepat cari meja kalian dan kerjakan ramuan di papan atau aku terpaksa akan mengusir kalian dari kelasku."
Tidak ingin mencari masalah dengan Potion Master tersebut, kedua pemuda yang sejak tadi mematung di depan pintu kelas segera beranjak dari sana dan mencari meja mereka.
"Snape benar-benar tidak tidak berubah. Apa ia sama sekali tidak pernah mendengar kata 'toleransi' sekalipun?" gerutu Ron sambil berbisik saat mereka telah menemukan meja kosong di bagian belakang kelas. Pemuda berambut kemerahan itu membongkar-bongkar tas miliknya dan mengeluarkan buku serta kuali miliknya. Ia sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi Harry sama sekali tidak menyimak apa yang ia ucapkan barusan.
Mata emerald Harry menatap tajam ke arah sebuah meja tidak jauh dari mejanya. Meja dimana seorang pemuda bermata abu-abu juga tengah menatapnya. Ia kemudian mendengus sembari memalingkan wajahnya saat melihat Draco menyeringai ke arahnya.
"Kau kenapa, Mate?" tanya Ron.
Harry menggeleng pelan. "Tidak ada," katanya lalu kembali memusatkan perhatiannya kepada daftar bahan-bahan yang tertera pada papan di depan kelas. Ia tidak ingin Snape sampai memergokinya yang tidak berkonsentrasi di kelasnya. Sudah cukup bagi Harry untuk mendapatkan detensi dari McGonagall sehingga ia tidak ingin mendapat detensi yang kedua kalinya dalam sepekan ini.
Pelajaran Ramuan hari ini sepertinya berlangsung dengan baik. Setidaknya hari ini Harry tidak melakukan kesalahan dalam membuat ramuan sehingga ia tidak perlu khawatir Snape akan mengurangi nilai Gryffindor ataupun memberinya Detensi.
.
"Terlalu sibuk dengan para penggemarmu sehingga terlambat ke kelas, Potter?" ejek Draco sesaat setelah kelas Ramuan baru saja usai. Pemuda berambut pirang platina itu tiba-tiba saja menghadang langkah Harry dan kedua temannya di depan pintu kelas.
Harry yang saat itu enggan menghadapi Draco sama sekali tidak berkomentar apa-apa. Ia hanya diam sembari melangkahkan kakinya menuju kelas berikutnya; melewati Draco begitu saja.
"Sepertinya seorang Harry Potter yang terkenal karena berhasil selamat dari Pangeran Kegelapan sekarang menjadi seorang pengecut rupanya," ejek pemuda itu lagi.
Kali ini bukan Harry yang naik pitam mendengar kata-kata sadis Draco. Tiba-tiba saja Hermione bergerak mendekati Draco kemudian mengacungkan tongkatnya tepat di depan hidung sang Pangeran Slytherin.
"Tutup mulut busukmu itu, Malfoy," desis Hermione.
Bukannya ketakutan, Draco malah menyeringai ke arah gadis itu. "Kalau aku tidak mau?" tanya Draco dengan nada menantang.
"Aku tidak akan segan-segan memberi pelajaran padamu, Malfoy."
"Benarkah? Ka-"
"Ada apa ini?" kata Snape yang muncul tiba-tiba dari pintu kelasnya. Ketiga Trio Gryffindor ditambah Draco langsung mengalihkan perhatiannya ke arah sosok Snape yang tengah berdiri di depan pintu kelasnya. Pria berpakaian serba hitam itu menatap keempat muridnya dengan tatapan dingin.
"Bukan apa-apa, Professor," kata Draco. Ia tampak tenang menghadapi Snape. "Kami hanya sedang berdiskusi sedikit. Keberatan kalau kami permisi, Professor?"
Tanpa perlu mendengar apa kata Snape, Draco melenggang pergi meninggalkan Trio Gryffindor tersebut. Sempat, ia menyunggingkan seringaian khas miliknya kepada Harry yang dibalas dengan dengusan keras dari pemuda tersebut.
"Tunggu apa lagi? Kalian berniat untuk terlambat di kelas kalian selanjutnya?" kata Snape memecah perhatian ketiga murid yang tersisa di koridor tersebut.
"Ayo pergi," kata Harry kepada kedua temannya.
.
.
.
"Aku sama sekali tidak mengerti mengapa Malfoy tidak pernah berhenti mengganggu kita?" kata Harry kepada kedua sahabatnya saat mereka sedang menikmati makan siangnya di Aula besar. Sesekali mata emerald miliknya mencuri pandang ke arah meja Slytherin dimana Draco bersama kelompoknya juga sedang menikmati makan siangnya.
"Jangan kau tanyakan hal itu padaku, Harry," kata Hermione. "Aku sama tidak tahunya denganmu."
Harry menghela nafasnya mendengar jawaban Hermione. Jujur saja, akhir-akhir ini ia sering memikirkan mengapa seorang Draco Malfoy sepertinya membenci dirinya. Seingat Harry, ia sama sekali tidak pernah mencari masalah dengan pemuda bermata abu-abu itu. Lebih sering Draco-lah yang mencari gara-gara dengannya.
Harry ingat, sejak tahun pertamanya bersekolah di Hogwarts ia sudah mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari Draco. Mulai dari Draco yang sering mengatainya anak aneh atau penghinaan lainnya. Kedua sahabatnya pun mendapat perlakuan yang sama. Harry sama sekali tidak mengerti apa yang salah dengan Malfoy itu.
Seekor burung hantu berbulu cokelat yang tiba-tiba muncul di Aula Besar dan kemudian terbang menghampirinya memaksa Harry mengalihkan pikirannya. Ia menatap heran ke arah burung hantu yang kini berada dihadapannya. Tidak biasanya pos burung hantu datang di siang hari seperti ini.
"Bukannya burung hantu ini milik Sirius?" tanya Hermione sambil memandang heran ke arah burung hantu yang terlihat sedang minum dari piala milik Harry. Ia dan juga Ron menghentikan kegiatan makan siang mereka hanya untuk mengetahui mengapa Sirius-Ayah baptis Harry-mengirimi pemuda itu burung hantu miliknya.
Saat melihat secarik perkamen di salah satu kaki burung hantu tersebut, segera saja Harry mengambilnya lalu membaca isinya. Mata hijaunya sempat membelalak saat membaca isi surat tersebut.
"What!" teriak Harry. Ia tidak sadar kalau saat ini beberapa murid-murid satu asrama dengannya menatapnya heran.
"Ada apa, Mate?" tanya Ron dengan nada penasaran. Tidak mendapat jawaban dari Harry, ia kemudian merampas perkamen yang sejak tadi dipandangi Harry dengan pandangan tidak percaya. Bersama Hermione yang juga penasaran dengan isi surat tersebut, Ron mulai membacanya.
"Bloody Hell!" pekik Ron. "Sirius menyuruhmu untuk... untuk menginap di Malfoy Manor di liburan Natal ini? Apa dia sudah gila!"
Harry menghela nafasnya. Bingung, sangat bingung. Ia tidak tahu mengapa Sirius Black tiba-tiba saja memintanya untuk langsung pergi ke Malfoy Manor yang notabene adalah tempat tinggal si Pangeran Slytherin saat liburan Natal yang tinggal beberapa hari lagi. Di surat yang Sirius kirim barusan, ia hanya mengatakan kalau saat ini ia dan Regulus-adik Sirius-sedang pergi ke Albania dan baru akan kembali saat Natal nanti. Ia sama sekali tidak mengatakan apa dan kenapa ia pergi kesana.
Apa Sirius memang sudah gila? Apa Sirius lupa kalau Harry bermusuhan dengan Draco? Dan mengapa Harry harus menginap di Malfoy Manor? Bukankah sebaiknya ia menyuruh Harry untuk menginap di The Burrow saja? Harry sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Ayah Babtis-nya itu.
"...Kau akan pergi kesana Harry?" tanya Hermione yang membuat Harry tersadar dari lamunannya.
Harry mendecak. "Datang ke tempat Malfoy itu? Jangan harap!" serunya. Ia merampas surat Sirius dari tangan Ron dan kemudian dengan langkah kesal dan terburu-buru, ia beranjak meninggalkan Aula Besar. Ia tidak perduli lagi dengan makan siangnya karena ia sudah tidak lapar lagi. Lagipula, kau pasti tidak akan bisa makan dengan tenang kalau suasana hatimu sedang kesal seperti Harry.
.
"Potter!"
Harry benar-benar mengutuki apa yang dialaminya hari ini. Belum cukupkah kesialan yang dialami hari ini? Mendengar suara yang sangat dikenalnya kini memanggilnya, memaksa Harry untuk menghentikan langkah kakinya saat menyusuri koridor untuk menuju ruang Rekreasi asramanya. Ia membalikkan badannya dan menatap kesal ke arah pemuda bermata abu-abu yang kini sedang berjalan ke arahnya.
"Mau apa lagi kau, Malfoy?" desis Harry. "Jangan menggangguku sekarang karena aku sedang kesal."
"Memangnya aku terlihat ingin mengganggumu?" balas Draco.
"Memang itu kan yang biasa kau lakukan selama ini? Apa belum cukup sebuah pukulan di wajahmu? Atau mau kutambah lagi?"
Harry sedikit tersentak saat mata Draco berkilat memandangnya. Tapi bukan Harry Potter namanya kalau Harry menunjukkan bahwa dirinya takut pada pemuda dihadapannya. Malah yang dilakukannya saat ini adalah berjalan mendekat ke arah penyihir berambut pirang platina itu dan menunjukkan gestur tubuh menantangnya sambil bersiap-siap mengeluarkan tongkat miliknya.
"Aku sedang tidak ingin ribut denganmu, Harry," ujar Draco pelan.
Lagi-lagi Harry dibuat tersentak karena ulah Draco. Ini adalah kali pertamanya Draco mau memanggilnya dengan nama depannya. Selama ini si Malfoy Junior itu hanya memanggil Harry dengan 'Potter', 'si kacamata', atau nama-nama aneh lainnya. Mendengar Draco memanggilnya dengan nama depannya terasa aneh di telinga Harry.
"Apa kau sedang sakit, Malfoy? Ataukah kepalamu sempat terbentur?" tanya Harry.
Draco tersenyum sinis kepada Harry. Tanpa diduga-duga, Draco menarik lengan Harry dan mengajaknya masuk ke dalam sebuah ruang kelas yang kosong. Didorongnya pelan tubuh Harry agar masuk ke dalam karena Harry sempat melawan.
"A-Apa yang kau lakukan!" teriak Harry saat melihat Draco menutup pintu kelas tersebut dan menguncinya dengan Mantra. Merasa Draco hendak berniat jahat padanya, Harry mengambil tongkat dari balik jubahnya.
"Expelliarmus!"
Mantra pelucutan senjata itu bukan berasal dari bibir Harry tapi dari Draco. Sepertinya Draco bereaksi lebih cepat dari Harry sehingga belum sempat pemuda berkaca mata itu merapalkan Mantra, Draco sudah terlebih dahulu bertindak.
Tongkat Holy milik Harry terlepas dari tangannya. Melayang selama beberapa saat di udara sebelum akhirnya menyentuh lantai tidak jauh darinya.
"Accio!" seru Draco sambil mengarahkan tongkat Howthorn-nya kearah tongkat Harry. Segera saja tongkat itu meluncur mulus dan mendarat di telapak tangan kanan pemuda bermata abu-abu itu.
"Kembalikan tongkatku, Malfoy!" teriak Harry kesal.
Draco menyeringai ke arah Harry sambil menyodorkan tongkat milik pemuda itu. "Ambil saja kalau kau bisa," katanya.
Harry menggeretakkan giginya. Dengan langkah lebar ia berjalan ke arah Draco; ingin menggapai tongkat miliknya. Tapi belum sempat itu terjadi, Draco sudah terlebih dahulu menarik ujung jubah Harry dengan tangannya yang masih memegangi tongkat pemuda itu. Ditariknya tubuh Harry dan membenturkannya pada pintu kayu di belakangnya kemudian mengunci tubuh pemuda itu diantara kedua tangannya yang diletakkan di kedua sisi tubuh Harry.
"Kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku, Harry. Bagaimana pun juga, aku selalu selangkah lebih cepat darimu."
"Dalam mimpimu, Malfoy," desis Harry yang langsung mendapat dengusan dari Draco. "Sekarang menjauh dariku sebelum aku memukulmu lagi!"
Draco tidak menanggapi ancaman Harry. Malah tanpa rasa takut ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Harry sehingga kedua pemuda itu bisa merasakan hembusan nafas lawan mereka masing-masing.
"Kau benar-benar membuatku gila, Harry," bisik Draco. Dijatuhkannya kedua tongkat yang sejak tadi digenggamnya dan dengan perlahan membawa tangan kanannya ke arah wajah Harry kemudian mengelus pipi pemuda itu.
Harry tersentak saat merasakan jemari tangan Draco yang dingin membelai wajahnya. Kedua bola mata emerald-nya menatap tidak percaya saat Draco mengeleminasi jarak kedua wajah mereka dan kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Harry. Jelas saja apa yang dilakukan Draco mendapat perlawanan dari pemuda itu. Sayang, tubuh Harry sudah terkunci terlebih dahulu oleh tangan kiri Draco yang tadi bebas; memaksa Harry tidak bisa melawan lebih jauh lagi.
Selama beberapa lama, Draco melumat bibir Harry tanpa mendapat perlawanan dari pemuda itu. Tidak melawan namun juga tidak membalas apa yang Draco lakukan. Sorot mata marah dan kesal adalah hal pertama yang dilihat Draco begitu ia menjauhkan wajahnya dari wajah Harry.
"Sudah puas?" tanya pemuda itu.
"Yeah, tapi akan lebih puas lagi kalau kau melawan sedikit saja," ucapnya sambil mengelap bibirnya dengan ujung jubah. Seringaian khas seorang Draco Malfoy terpatri jelas di wajah pucat pemuda itu.
"Kau benar-benar orang paling brengsek yang pernah kukenal!" bentak Harry. Didorongnya keras tubuh Draco yang membuat pemuda itu tersungkur ke belakang. Harry kemudian menyambar tongkatnya yang tergeletak diatas lantai kemudian membalikkan badannya, mengucapkan Mantra agar pintu itu terbuka.
"Aku membencimu, Malfoy," desis Harry sebelum tubuh pemuda itu menghilang di balik pintu dengan bunyi debam keras karena Harry menutup pintu dengan kasar. Ia tidak perduli kalau pintu itu akan rusak atau bahkan hancur karena apa yang ia lakukan.
"Kau boleh mengatakan kalau kau membencimu," bisik Draco sepeninggal pemuda itu. "Tapi nanti akan kubuat kau mengatakan kalau kau mencintaiku, Harry."
.
TBC
.
A/N: Saia ingin mengucapkan terima kasih kepada reader dan reviewer yang menyempatkan diri membaca dan meninggalkan review di fic Halloween With Kiss. Maaf tidak bisa membalas via PM #pundung di pojokan# Terima kasih juga atas semua saran-sarannya m(-.-)m
.
So, mind to review this fic?
And thanks you for reading.
