Gangsta (c) kohske


Nina tahu hidup Nicolas tidak lama. Dari sapu tangan kumal yang penuh bercak merah, dari setiap butiran obat yang ia telan, serta dari tatapan matanya yang sayu dan lelah. Bagaimana posisi pria kekar itu duduk menghadap jendela, memandang ke arah jalanan dengan raut wajah bosan.

Nicolas tak pernah tersenyum. Nina berusaha mati-matian menggoda pria di sampingnya dengan menciptakan ekspresi wajah lucu dan jelek agar Nicolas menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Nico, ayo tersenyum."

Nina menggunakan bahasa isyarat dan membujuk Nicolas untuk ke sekian kalinya.

Merasa lelah dengan bujukan si gadis yang kini telah beranjak dewasa, akhirnya Nicolas memberikan senyum terbaiknya.

"Nico! Itu bukan senyuman. Itu seringai yang menakutkan!"

Lalu, pada akhirnya Nina akan tertawa sendiri karena usahanya membujuk Nico agar tersenyum tak pernah berhasil.

Ruang kerja Benriya sunyi jika Worick sedang di luar. Wanita berkulit cokelat yang biasanya duduk di belakang meja telepon juga tak ada di sana. Nina cukup senang hanya ada dirinya dan Nicolas.

"Tak bisakah kau sedikit lebih romantis saat tak ada siapapun yang melihat kita, Nicooo~"

Nina bergelung nyaman dengan posisi duduk di pangkuan sang pria kekar.

"Kita sama-sama telah dewasa." Nina menambahkan.

Helaan napas panjang Nicolas seakan merespon bahasa isyarat yang diciptakan sang gadis. Pria itu mulai menggerakkan tangannya, tanda demi tanda hingga membuat gadis dalam pangkuannya mengeluarkan semburat merah lalu tertawa.

"Kenapa baru mengatakannya sekarang? Tentu saja aku mau, Nico. Aku menyayangimu."

Sebuah kecupan kilat di bibir Nicolas membuat pria tersebut sedikit terhenyak. Kemudian ia tersenyum. Bukan menyeringai seperti tadi.

.

.

"Maukah kau menikah denganku, Nina?"

.

.

Hidup Nicolas tidak lama, namun Nina ingin terus bersamanya.

.

end