I drank a bottle of blissful yellow paint,
Lured myself with the calmness of blue,
Drowned myself into a pool of thick red blood.

Akabane Karma sekalipun, masih menginginkan hidup indah bagai palet 24 warna. Dan untuk itu juga ia berjuang.


Color Palette —

Assassination Classroom © Yuusei Matsui

.

- The story of a young lad wishing to see the colorful world once more -

.

First Painting: Magnolia.


Lagi.

Kembali dalam ruangan membosankan cukup dingin. Diluar masih siang, begitu terang; sayang cahaya matahari yang berusaha masuk terhalang kain gorden jendela sutra hijau lumut, digantikan oleh lampu menyala tak kenal siang dan malam. Sosok tersebut tampak duduk diatas ranjang empuk rumah sakit ditemani musik klasik memanjakan kedua telingakemungkinan Étude Op. 10, No. 2 karya Chopinjuga sebuah buku gambar ukuran A3 berada di pangkuan. Tangan kanan begitu lihai mengendalikan pensil, seakan menari-nari dibuatnyamenciptakan sebuah sketsa natural berasal dari bakat. Rasa pedih yang sesekali dirasakan dari jarum infus di pergelangan tangan kiranya tak mempengaruhi hasil karyanya.

Apa yang dia lukis? Masih menjadi misteri.

Merkuri berbinar-binar selama menggambar, senyum diulas bibir ditujukan entah pada apa dan siapa. Mana peduli. Selama kegiatannya ini masih dapat dilaksanakan tanpa ada yang melarang, dia tak peduli.

Satu, dua, lima goresan samar, dan fokus harus dibuyarkan oleh suara ketukan pintu dari luar. Ada keheningan singkat berdurasi dua detik sebelum dibuka, memperlihatkan sosok familiar dibaliknya membawa sebuah tas tenteng, lalu melangkah masuk.

"Halo, Karma."

Begitu sapa sosok tersebut, si empunya nama lantas meletakkan pensilnya diatas buku gambar berhias sketsa setengah jadi. "Oh Nagisa, kau mengunjungiku lebih cepat hari ini. Tidak sibuk, kurasa?"

Si biru hanya mengusap belakang kepalanya sedikit kikuk seraya meletakkan tas tadi diatas meja minimalis tak jauh dari ranjang pasien. Lanjut mendudukkan diri pada sebuah kursi yang tersedia disana.

"Begitulah. Aku baru kembali dari panti asuhan dan sekalian menjengukmu. Mengingat rumah sakit juga satu arah dengan rumahku..."

Oh benar, Karma selalu ingat itu. Pasti baru kembali dari mengajar anak disana.

"Hee~ Kalau begitu mana kue untukku? Atau buah?" permintaan berkesan canda ia lontarkan, mungkin juga bukan sebuah candaan karena kita tahu bagaimana tipe Akabane muda ini. Nagisa sendiri, disinggung hal demikian tertawa canggung berbalut rasa tak enak dalam hati dan langsung dimaklumi. Karma tahu jawabannya. "Hehe, bercanda. Aku pasti akan menghubungimu kalau menginginkan sesuatu."

"Maaf aku tak bisa membawakanmu apa-apa hari ini, Karma. Sebenarnya aku juga menunggu tanggal gajian, jadi—"

"Tak apa, tak apa. Santai saja. Hanya saja setelah kau gajian, bawakan aku kue, ya~"

Nagisa mengangguk juga tersenyum menanggapi kawannya itu. Baik yang biru atau merah selalu seperti ini, berkat tali persahabatan yang telah terjalin hampir satu dekade. Bukan sahabat lagi namanya... Bahkan Nagisa telah menganggap Karma bagai saudara sendiri. Pertengkaran kecil memang sering menguji mereka, dan terima kasih pada kepala dingin si biru Shiota, semua terselesaikan sebelum berubah semakin buruk.

Salah satunya ini; bahkan seperti belum memudar dari ingatan bagaimana Nagisa menyampaikan kekesalannya tanpa jeda disaat Karma dinyatakan sebagai pasien di rumah sakit; berkomentar bagaimana si merah maniak stroberi selalu menunda jam makan, banyak bermain, dan ketahuan mengkonsumsi obat terlarang jenis sabu.

Ah, pengaruh lingkungan—aku Karma waktu itu.

Pemuda merah sempat melirik kearah tas tenteng hitam yang dibawa Nagisa, terheran karena sepengetahuannya, sosok itu bukanlah penggemar warna gelap—walau tak terlalu mempedulikan isinya. Karma kembali menggenggam pensil, seakan ingin melanjutkan gambaran yang sempat tertunda akan kedatangan tamu tadi; begitu menarik perhatian. Yang biru penasaran, lantas menggeser kursinya mendekat pada ranjang.

"Apa yang kau gambar?"

"Magnolia."

Nagisa mengernyit. Karma melanjutkan.

"Representasi kehidupan, Nagisa. Lihatlah kelopak yang dimilikinya, melambangkan besar dan indahnya kehidupan kita. Nagisa sendiri pasti bisa merasakannya, benar?"

Direspon anggukan, keduanya berselimut keheningan tanpa ada yang mengucap sepatah kata. Hanya suara pensil Karma yang masih lihai menggores kertas beserta tetesan teratur cairan infus Vena, itupun suaranya samar. Jam persegi empat yang bertengger manis pada dinding menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh menit; hampir jamnya makan siang.

"Karma, sebenarnya..." Nagisa bersuara, dari pandangan pemuda Akabane terdengar seperti ingin mengutarakan sesuatu namun masih bergelut dengan rasa ragu.

"Nng?"

"Aku ditugaskan mengajar di Tokyo untuk beberapa bulan, dan..."

Suara itu bergetar. Bergetar. Bergetar.

"Dan itu berarti aku tak bisa menjengukmu untuk beberapa saat. Kabarnya satu semester dan aku tak tahu harus bagaimana..."

Kau akan pergi?

Jadilah Karma mendengus sinis.

Jangan pergi, bodoh. Kau sahabatku, kan?

"Oh, tak masalah," Yang merah sengaja mengucap tegas, senyuman simpul diperlihatkan agar dengusannya diawal tertutupi. Tak ada rasa penyesalan terpencar dari paras pucatnya dikala kedua belah bibir berubah munafik, berucap hal lain dari bisikan hati.

"T-Tapi aku khawatir tak ada yang menjagamu. Selain efek dari obat terlarang waktu itu, Karma juga mengidap—"

"Tak apa, Nagisa."

Lagi-lagi dicela, kepala pemuda Shiota tertunduk lesu sementara Karma membisukan diri ditempat. Teringat dia akan diagnosis dokter mengenai penyakitnya, alasan mengapa figur tersebut harus vakum dari kegiatan menjahili orang lain untuk sementara waktu; juga menjauh dari kanvas putih suci dan kuas bernoda sejuta warna miliknya.

Sudah dua bulan. Terkurung dalam ruangan yang sama guna menjalani bermacam perawatan, tak terkecuali obat-obatan getir menyapa lidah setiap harinya.

Muak sudah. Muak.

Dan kini Nagisa harus berpindah dinas? Sebegitu tega membiarkannya bercengkerama dengan lukisan mati tak bernyawa?

Terserah.

"Aku akan baik-baik saja. Lagipula, pekerjaanmu tentu lebih penting. Kau masih bisa menghubungiku dikala bosan atau sekedar ingin menanyakan kabar."

"..."

Setelah penuturan Karma, dua manusia disana kembali berakhir dalam keheningan; enggan tuk mengucap dalam suasana canggung tak disengaja.


Sudah lebih dari sepuluh menit semenjak Nagisa izin pamit untuk pulang, meninggalkan Karma yang diam-diam memperhatikan hasil sketsanya; cukup memuaskan, sayang ada rasa janggal disana, namun bagian mana itu dia juga tak bisa ungkapkan.

Tangkainya?

Daunnya?

Atau susunan kelopaknya?

Penghapus telah berada disisi pensil; siap menjalankan tugas jika saja dada tak terasa sesak begitu mendadak. Karma terbatuk beberapa kali dan tangan kanan menutupi mulut. Ketika ditarik menjauh, netra merkuri membulat sesaat.

"Sial. Lagi-lagi..."

Beberapa tetes likuid kental semerah surainya menodai telapak tangan, dan tak sedikit lolos dari sela jari mewarnai Magnolia gambarannya. Merupakan yang kedua hari ini, ketiga belas dalam satu minggu. Karma selalu mengutuk diri disaat karyanya kembali menerima bercak merah darah, meski tak dapat dipungkiri bahwa warna itulah favoritnya.

Dan tangan terulur, meraih beberapa helai tisu dari kotaknya diatas meja minimalis tempat dimana Nagisa tadi meletakkan tas tenteng hitam guna membersihkan telapak tangan. Perlahan namun pasti.

.

Tok. Tok. Tok.

Disusul ketukan pintu. Bintik darah pada sketsa tak diambil pusing sebelum buku gambar ditutup dan disembunyikan dibalik selimut tebal yang digunakan bersama tiga helai tisu bernoda, berharap eksistensinya tak diketahui.

Untung tepat waktu, alhasil Karma telah terduduk tenang tatkala sosok berperawakan tinggi berilmu membuka pintu kemudian melangkah masuk. Selalu terlihat rapi juga bersih, jas putih lengan panjang juga stetoskop yang bertengger pada leher memperjelas statusnya.

"Pemeriksaan rutinmu, Akabane. Kita lihat bagaimana kondisi tubuhmu saat ini sebelum menjalani perawatan lebih lanjut."

Yang berstatus pasien mengangguk pelan, ekspresi cerah dibuat-buat miliknya tampak bertolak belakang dengan air muka serius dokter yang berkutat dengan sebuah catatan rumit dibantu seorang suster wanita disisi kanan.

"Apa masih diperlukan? Aku baik-baik saja, Asano-kun—ah maksudku Pak Dokter~"

Mendengar itu, kepala jingga mengangkat wajah dimana ametis bertemu pandang dengan merkuri cukup intens. Catatan yang awalnya berada dalam genggaman kini berpindah tangan pada suster selaku asisten, bibir mengulas senyum khas penuh kharisma yang mana menurut Karma cukup menyebalkan.

"Jika baik-baik saja, kau tak mungkin berada disini selama berbulan-bulan. Sekarang ulurkan tangan kananmu, kita mulai pemeriksaannya."

Salahkan status sebatas pasien, Karma terpaksa mengalah dan menuruti instruksi dingin dokter pribadinya tersebut. Sesekali ketahuan mendesis benci tanda tak suka. Namun si merah bisa apa dalam kondisi seperti ini?

Tuhan, dia ingin mati saja daripada terus-menerus berurusan dengan Asano Gakushū. Magnolia pun bisa disulapnya jadi Myosotis nanti.


Clouds and colors painted across the sky,
Reflecting in lovers' eyes.
Violet, rose, bluest of blues,
Peach with vanilla hues.
This palette made for two.

.

- To be Continued -


Alexie kembali bersama ide mendadak. Daripada hilang diterpa badai brainstorm, lebih baik diketik cepat. Sayangnya hari libur terakhir malah dihabiskan untuk kesibukan di dunia lain, dan project ini baru bisa selesai fix tanggal empat.

Maksudnya chapter ini. Hehe.

Hint KaruNagi diawal? No, no, no. Mereka hanya sekedar sahabatan kok. Moment AsaKaru menunggu di chapter-chapter berikutnya.~

Ucapkan selamat datang kembali pada dunia perkuliahan. Doakan Lex tetap bersemangat ngetik juga dikaruniai ide yang melimpah. Beneran, gak pengen story kali ini stop di satu atau dua chapter. Tapi demi mama tobeli dan papa jeyuk, diusahakan.

Sekian saja kali ini, review dan apapun itu sangat dihargai. See you on the next chapter, everyone~!