The spirit who wished to become human
Step 1 - rebirth
.
.
.
Bau kematian.
Sesuatu yang terbakar. Menjerit langsung di telinganya.
Langit yang tertutup asap, menyesakkannya. Puing-puing di sekitarnya, mengurungnya. Seolah mengatakan bahwa ia tidak bisa pergi kemanapun—dalam keputusasaan menanti sang dewa kematian menjemputnya.
Suara seseorang memanggil—suara seseorang menjerit.
Ia ingin berteriak balik, mengatakan bahwa ia ada disini—terkurung dan tidak bisa bergerak. Namun suaranya enggan untuk keluar sebagai sebuah kalimat yang runtut. Ia curiga paru-parunya yang malang kini tak lagi bersisa, mengingat runtuhan yang menimpa dadanya sekarang.
Sakit.
Sakit.
Hari ini tidak seharusnya seperti ini; seharusnya ia bersenang-senang dengan keluarganya setelah sekian lama—ayahnya yang hampir tidak pernah ada di rumah, ibunya yang sibuk dengan tokonya, kakak laki-lakinya yang sibuk dengan kuliahnya, dan dia sendiri yang sibuk dengan kegiatan klubnya. Hanya hari ini saja mereka dapat bersenang-senang sebagai sebuah keluarga, melakukan piknik yang telah lama mereka tidak lakukan.
Ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya—ia tengah tertidur saat hal itu terjadi. Yang ia ingat sekarang, di tengah rasa sakit yang menusuknya dari segala arah, adalah tangan kakaknya yang menggenggam tangannya, dingin dan kaku. Ayahnya yang kini menindihnya, melindunginya dari dinding yang terjatuh—dan entah mengapa, justru menambah beban di tubuhnya. Ibunya—ia tidak melihat ibunya. Ibunya yang selalu ia lihat paling pertama setiap hari, membangunkannya meski dirinya sendiri terlihat lelah seolah tidak tidur sama sekali. Sosok yang paling ia cintai.
Semua seharusnya tidak seperti ini—ini tidak adil—ini tidak adil—
"Kenapa?"
Ia menangkap sosok seorang laki-laki, berdiri di atas puing yang menimpa dirinya. Manik heterokrom seolah menjebak pandangannya, tidak mengizinkannya untuk menatap ke arah lain selain laki-laki itu. Namun di saat yang sama, intensitas ketajamannya seolah melarangnya untuk menatap langsung pada manik merah dan emas itu.
Kenapa? Kini suara itu seolah mengulang dalam jiwanya. Kenapa semua ini tidak adil? Bukannya ini adalah takdir Tuhan yang telah ditulis dalam batu, dan hanya perlu ia jalani? Kenapa ia berpikir ini tidak adil? Kenapa ia tidak dapat menerimanya begitu saja?
Bayang-bayang akan senyum keluarganya—senyum yang seharusnya ia lihat sekarang—terbayang dalam kepalanya. Ayahnya yang mengelus kepalanya, kakaknya yang meledeknya karena nilainya yang biasa-biasa saja, ibunya yang berusaha menghentikan kakaknya, namun tanpa hasil—
"Kenapa kau terus bermimpi?"
Kenapa? Walaupun mimpi dan harapan seperti itu yang mengikatnya—membuatnya merasa sakit, mengingatkannya pada hal yang tidak dapat menjadi sebuah kenyataan—mengapa ia masih terus melihatnya?
Karena itulah kehidupan yang ia inginkan—itulah tujuannya berada di sini—segalanya yang direbut darinya secara paksa seperti ini—oleh kehidupan yang tidak adil ini—
"Kenapa kau ingin hidup?"
Kenapa? Bukankah lebih menyenangkan kalau ia tidak merasakan apapun? Bukankah lebih menyenangkan kalau ia tidak merasakan rasa sakit dari kehidupan? Bukankah lebih menyenangkan kalau ia hanya duduk di kursi penonton, menyaksikan mereka yang berjuang dalam hidup mereka, menertawakannya seperti sebuah lelucon di masa lalu?
Karena ia ingin menemukan tujuan hidupnya—karena ia ingin mengetahui kenapa ia ada, sebagai orang biasa di tengah luar biasa—karena ia ingin menemukan hal luar biasa di tengah kebiasaannya—
"Kenapa?"
Karena ia ingin hidup dan merasakan banyak hal—
"Kenapa?"
Karena ia ingin hidup dan membuat banyak kenangan—
"Kenapa?"
Karena ia tidak ingin mati, sesederhana itu—
"Meskipun kehidupan begitu menyakitkan?"
Bukankah hidup seperti itu? Meskipun menyakitkan—meskipun ia harus jatuh dan berdiri berulang kali—
.
.
.
"—Kau begitu aneh, Kouki Furihata."
Begitu namanya di sebut, barulah segalanya kembali padanya—rasa sakit di tubuhnya, panas yang seolah memanggangnya hidup-hidup, sesak yang mencegah sedikitpun oksigen dalam paru-parunya—
Dan akhirnya, sebuah senyum seorang laki-laki berambut merah, dan sepasang manik merah dan emas yang menunjukkan sebuah ketertarikan bagaikan peneliti yang menemukan subjek penelitian yang bagus.
"Aku telah mendengar keinginanmu."
Manik cokelat melebar kala laki-laki itu menjulurkan tangannya, menggapai tangannya. Aneh sekali—tangannya seharusnya tertimpa dalam puing-puing ini, tidak dapat diselamatkan lagi. Untuk suatu alasan, ia merasakan laki-laki yang tidak dikenal itu menggenggam tangannya, menariknya hingga berdiri.
Ia melihat semuanya—kehancuran di sekelilingnya, puing-puing yang menindihnya, sosok seorang ayah yang berusaha menolong anak laki-lakinya, dan akhirnya, sosok seorang laki-laki berambut cokelat yang memandang langit dengan manik cokelat kosong—dirinya sendiri.
"Kau akan hidup dibawah namaku." Pandangannya kembali tertarik pada sosok yang masih menggenggam tangannya—laki-laki berambut merah itu, masih dengan seringai mengerikan yang sama. "Jiwamu terikat dengan jiwaku. Keinginanku adalah perintah bagimu. Segala milikmu adalah milikku. Akulah tuan barumu."
Ia tahu kalau sesuatu berubah dalam dirinya—ia hanya tidak mengetahui apa itu. Seolah tangan dingin yang menggenggam miliknya mengalirkan sesuatu—sejenis kekuatan yang tidak ia ketahui. Apapun itu, itu membawanya kembali menuju kehidupan yang baru—jauh dari kematian yang seharusnya tempatnya kembali sekarang.
"Kau akan menunjukkan padaku, Kouki Furihata." Suara laki-laki itu sedingin pandangannya, dan ia tidak mampu menahan dirinya sendiri untuk tidak merinding karenanya. "Tunjukkan padaku—apa yang membuatmu ingin hidup dalam jasad yang tidak abadi itu."
Kemudian laki-laki itu mulai menariknya—menjauh dari tempat berbau kematian itu. Memaksanya meninggalkan delapan belas tahun hidupnya sebagai seorang manusia, yang kini terkubur dibawah puing-puing kematian.
"Kau akan pulang sebelum makan malam, bukan?"
Suara terakhir ibunya—yang selalu terdengar saat ia hendak pergi menuju latihan di akhir pekan—terngiang dalam kepalanya, menyakitkan batinnya.
Barulah ia terjatuh ke tanah—bebatuan tidak lagi menyakiti kulit di lututnya—saat tangis mulai keluar dari mulutnya. Tidak terdengar oleh manusia manapun, tidak terdengar pula oleh laki-laki yang dapat mendengar tangisannya.
Dan ia terus menangis. Dan terus menangis.
.
50 Chapter yang seharusnya di update tanggal 1 November. Di post dari tanggal 1 sampai 20 Desember nanti :"3/ Jadi hari ini saya mengupdate sampai chapter 5 :'3
More like a drabble, though; setiap chapter kurang dari 1000, bahkan bisa ada yang kurang dari 500 words. But I hope you enjoy this fic :'3
I don't own Kuroko no Basuke :'3
