Disclaimer : Naruto is belong to Masashi Kishimoto, but 'Secret Of My Heart' is mine.

Warning! : AU, OOC, Crack pairing, Yaoi, fluff samar yang garing, and for this chapter : Shino's POV.


Secret Of My Heart

A fic for Infantrum Black and White Challenge

Chapter#1 : Falling Leaves

Enjoy the LOVE.

-Chika Nagato-


Aku berjalan menyusuri jalanan Shibuya dengan perlahan. Tak kuperdulikan sejumlah anak-anak SMA yang memandangku dengan tatapan yang penuh rasa penasaran.

Cih.

Semenarik apa sih aku sampai mereka memandangiku dengan tatapan menjijikan seperti itu? Ah, aku tidak mengerti cara berpikir wanita. Dengan santainya mereka mendekati, memberi harapan palsu, lalu mencampakkan kami–para kekasih, begitu saja.

Ha.

Dia pikir aku ini apa? Boneka? Kulangkahkan kaki ini ke sembarang arah, persetan dengan semua itu.

Aku terdiam, menunggu lampu merah di penyebrangan. Pikiranku masih berkelana kemana-mana. Masih memikirkan dia ternyata aku ini.

"Hhh..." aku menghela nafas pelan saat warna lampu berubah menjadi hijau-untuk pelajan kaki. Buru-buru, aku setengah berlari menerobos keramaian di Shibuya yang dipenuhi ratusan–bahkan ribuan manusia ini. Dada ini berdenyut, rasa sakit kembali menghantam hatiku.

Argh. Bodoh.

Kunaikkan kacamata hitamku, lalu berhenti sejenak untuk mengangkat tudung jaketku. Sial. Ternyata anak-anak SMA kurang kerjaan itu memperhatikan rambutku. Kuacuhkan ibu-ibu yang memandangiku dari tadi, lalu cepat-cepat berjalan ke arah sebuah cafe di pinggir jalan.

Tak lama, aku sampai disana. Kulihat sudah ada beberapa teman yang menungguku. Baik benar mereka.

"Shino!" panggil salah seorang diantara mereka. Dari suaranya.... kupikir tadi Naruto. Ku hampiri mereka, lalu membalas Naruto dengan anggukan kecil.

"Aburame-san," sapa yang lain. Nada suara yang formal ini... pasti Neji. Cih. Hyuuga. Mata lavender yang sama dengannya... Heh, bikin luka lama bernanah lagi saja.

"Hyuuga-san," jawabku singkat. Lidahku kelu saat mengucapkan nama itu. Hyuuga, Hyuuga, Hyuuga. Blah.

"Yo, Shino," sapa seseorang dengan suara malas yang sangat kukenal, Shikamaru. Si Mr. Genius, saingan Neji dan Sasuke. Kuangkat tanganku untuk membalas sapaannya yang terkesan tak ikhlas itu.

"Ah, Shino-kun! Kupikir kau tak akan datang!" sapa suara ceria yang selalu berada disampingku, Kiba. Ya, dialah sahabat terbaik sepanjang hidupku. Sayang dia bawel, seperti perempuan saja.

"Kiba," jawabku sambil mengambil tempat duduk disampingnya. Kiba hanya nyengir pasrah, lalu menyodorkan sebuah menu kedepan wajahku.

"Apa?" tanyaku datar.

"Mau pesan apa, Shino-kun?" jawabnya jenaka, polos. Manis benar dia.

Hah, Manis? Lupakan saja perkataan bodoh tadi.

"Terserah," jawabku datar. Menahan sejuta pujian yang mungkin kukeluarkan setelah melihat wajah manisnya.

Aku termenung sementara Kiba memesankan sesuatu untukku. Aku menyadari pikiranku tadi. Sejuta pujian? Wajah manis? Kiba? Mungkin sudah saatnya aku periksa dokter.

Yah, kuakui Kiba memang baik padaku. Setelah dicampakkan olehnya, dialah tempatku menumpahkan segala unek-unek. Ibaratkanlah, aku pohon yang sedang menggugurkan daun sementara dia penyapu daun gugur tadi. Perumpamaan yang jelek.

Pesanan kami akan agak lama datangnya karena cafe sedang penuh, analisisku. Kuputuskan untuk memperhatikan suasana di sekelilingku. Naruto yang mengomel sedang ditenangkan oleh Neji sementara Shikamaru sudah tertidur lelap di meja cafe. Aku menghela nafas, beralih memperhatikan Kiba. Ia menatap ke suatu tempat dengan mata berbinar. Penasaran, kuikuti arah pandangannya.

Satu kata untuk menggambarkannya. Wow.

Daun pohon Momiji sudah mulai berguguran rupanya. Warna kuning dan jingga pun mewarnai trotoar dan jalan. Daun-daun yang jatuh dengan lembut, ditambah udara dingin yang cukup menusuk. Dedaunan yang jatuh itu membentuk sesuatu yang seperti karpet hidup, itulah yang membuat Kiba terpesona.

Kutatap wajahnya lekat-lekat. Wajah kecoklatannya mengarah ke jendela cafe, mata coklatnya juga masih memandangi daun gugur itu dengan pandangan kagum. Dibalik kacamata hitam ini, kurasakan pandanganku menghangat padanya. Dari datar menjadi lembut.

"Indahnya..." desis Kiba sambil masih menatap dedaunan yang gugur itu.

"Ya, indah sekali..." ucapku pelan, menyetujui perkataannya.

Kulihat dia menatap tak percaya padaku, kuacuhkan tatapan itu lalu kembali memandangi daun-daun itu. Sebelum aku memutar kepala, dia tersenyum padaku. Senyum jenaka yang tulus. Memang tak seindah senyumannya, namun setidaknya lebih—MIKIR APA SIH AKU INI? Huft.

Kualihkan pandanganku darinya. He, ternyata pelayan sudah datang membawakan pesanan ya?

Seorang gadis dengan pakaian maid yang berwarna hitam datang menghampiri kami. Ditangannya terdapat nampan berisi pesanan kami.

"Maaf, tuan-tuan... Ini pesanannya. Selamat menikmati..." ujar pelayan itu pelan, lalu pergi meninggalkan meja kami.

Kuambil pesananku, Black Coffee. Sedikit lega rasanya setelah kuhirup sedikit. Kulihat Kiba sedang mengaduk-aduk Vanilla Latte-nya. Tampangnya menggemaskan.

Ha, aku mulai ngelantur.

"Ne, Shino..." panggil Naruto dengan suara pelan. Hm, tak seperti biasanya...

"Apa?" sahutku datar, berhasil menyembunyikan rasa penasaranku.

"Besok bisa datang ke acara pertunangan Sasuke kan?" tanyanya pelan, pelan sekali hingga nyaris terdengar seperti bisikan.

Aku terdiam. Sasuke bertunangan?

"Memangnya dia bertunangan dengan siapa?"

"Di-dia..." Naruto tergagap.

" Hinata-sama," potong Neji singkat. Aku terkesiap.

Eureka, dugaanku benar ternyata. Mungkin seharusnya aku menjadi detektif. Ingin rasanya aku tertawa lebar, namun yang dapat kulakukan hanya tersenyum... pahit. Tersenyum pahit dibalik wajah datarku.

"Entahlah, aku tak tahu. Mungkin besok—" ucapanku terhenti karena Kiba menggebrak meja. Kami pun dipandangi oleh para pengunjung cafe dengan tatapan yang menyebalkan. Kiba bodoh.

"Jangan begitu, Shino-kun! Setidaknya hargailah dia! Aku tahu kalau kau masih sakit hati, tapi jangan begini! Kasihan dia yang setiap malam meneleponku hanya untuk menanyakan kabarmu!" bentak Kiba kasar, padaku tentunya.

Hinata... menelepon Kiba tiap malam hanya untuk menanyakan—kabarku? Tenggorokanku tercekat.

"Kau serius?" tanyaku susah payah, menahan semua emosi yang mungkin kutumpahkan padanya.

"TENTU SAJA, BODOH! KAU PIKIR AKU INI PEMBOHONG APA?!" bentaknya, lagi. Miris rasanya melihat dia membentakku seperti itu.

Naruto hanya tercengang, dengan tatapan takut-takut dia mengarahkan pandangannya kearah Kiba.

"Kiba, memang apa hubungan Shino dan... Hinata?" Naruto bertanya dengan suara yang pecah. Menahan tangis rupanya dia. Cengeng.

Aku tahu kalau Naruto dan Sasuke adalah sepasang kekasih, sebelum pertunangan sialan itu dilaksanakan. Sama seperti aku dan Hinata.

"Shino itu mantannya Hinata," jawab Kiba pendek lalu menatapku dengan tajam. Kubiarkan dia memandangiku seperti itu.

Wajar kalau Naruto tak tahu, aku dan Hinata backstreet sih.

"Shino-kun," suara Kiba melembut, "besok datang ya? Kutemani deh, yang penting Shino-kun datang," lanjutnya sambil tersenyum kearahku. Ugh. Sepertinya aku takkan bisa menolak nih.

"Shino..." panggil Naruto, "Ayo kita berusaha! Kita tak boleh kalah hanya karena ditinggalkan! Ya kan?" tanyanya jenaka. Sudah bersemangat lagi rupanya. Dasar.

Neji dan Shikamaru -yang sudah bangun- menepuk pundakku bersamaan. Mengisyaratkan, 'Jangan takut, ada kami,' padaku.

Aku tersentuh.

Memang, dia takkan pernah jadi milikku. Untuk apa kutangisi? Aku masih memiliki teman-teman, keluarga, sahabat, dan—Kiba. Ya, aku harus bangkit dari keterpurukkan yang memuakkan ini.

Aku tersenyum tipis dibalik jaketku, "Baiklah, aku akan pergi," jawabku singkat.

Kontan, Kiba memelukku dengan erat sampai aku tak bisa bernafas.

"Kiba. Lepaskan. Aku." suruhku pada Kiba yang masih saja memelukku sementara yang lain malah tertawa. Che, menyebalkan.

"Maaf, Shino-kun," jawabnya dengan wajah yang... merona? Entahlah, mungkin sudah saatnya aku ganti kacamata.

Tak kutanggapi jawabannya itu, lalu menyesap Black Coffee-ku. Kurasakan kelegaan dalam hatiku.

Ternyata rasa sakit di hatiku ini telah berguguran, seperti daun pohon Momiji yang kulihat tadi. Dan yang membuat rasa itu gugur—adalah mereka. Teman baikku, sahabatku, Kiba-ku.

Eh? Kiba-ku? Lupakan. Terdengar seperti peliharaan kakak Naruto saja.

Tapi yang ada malah kurasakan wajahku memanas. Bodoh.

"Hei Shino..." panggil Shikamaru. Aku menoleh padanya, mengisyaratkan, 'Ada apa?'.

"Mengapa wajahmu memerah begitu? Kau sakit?" tanya Shikamaru menyelidik.

Glek.

Hampir saja kusemburkan kopiku karena kaget. Kukira wajahku yang terasa panas ini karena terkena uap kopi, ternyata memerah... Kupandangi kaca disebelahku dan menyadari kalau wajahku memang—memerah. Bravo, tuan jenius!

Aku mengendikkan bahu, "Dunno, mungkin karena cahaya yang muram?" jawabku. Hah, ternyata aku cukup jago ngeles.

Kulirik Shikamaru, dia sedang menguap. Jawabanku tidak ditanggapi rupanya. Brengsek.

"Shino-kun," panggil Kiba padaku.

"Apa?"

"Pulang bareng ya~" pintanya padaku, manja. Ugh. Rasanya mau pingsan melihat dia di cute mode begitu.

Cute mode? Aduh, aku mulai stress.

"...Bolehlah," jawabku datar dan singkat, tak mau mengambil resiko lebih banyak.

"Yey! Shino-kun baik!" soraknya sambil memeluk lenganku. Childish.

Meski begitu dapat kurasakan wajahku memanas—lagi.

D'oh.

"Ne, Kiba... Senang benar kau kelihatannya..." goda Naruto pada Kiba.

Sontak wajah Kiba memerah, lalu melepaskan pelukannya ke lenganku. Hh... sedikit kecewa rasanya, tapi tak apa.

Kulirik Neji yang sedang menahan tawa. Menyebalkan... bukannya bantuin malah ketawa!

"Argh!" erang Shikamaru tiba-tiba. Serentak, kami menoleh padanya yang sedang grasak-grusuk mencari sesuatu.

"Ada apa, Shika?" tanya Naruto kebingungan. Mata birunya menyipit, alisnya berkerut.

"Ada yang bawa jam?" tanya Shikamaru datar. Neji mengangkat tangannya.

"Jam berapa sekarang?" tanya Shikamaru pada Neji.

Neji melirik jam tangannya sekilas, lalu berkata, "17.42"

"Bodoh, pantas saja ada getaran alarm, sudah jam segitu rupanya," sahut Shikamaru santai sambil menunjukkan telepon genggamnya.

"Ne, Shika... apa sebaiknya kau tak bergegas? Apa kau mau jadi sasaran kemarahan Ino?" tanya Naruto menahan tawa.

Kiba terkikik.

Neji tetap tenang.

Aku kebingungan. Sejak kapan Shikamaru pacaran dengan Ino?

"Mendokuse na. Aku duluan," ujar Shikamaru sambil bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menjauhi kami.

Kutatap punggung Shikamaru yang mulai menjauh, lalu mengalihkan pandangan kearah Naruto dan Kiba yang sedang tertawa terbahak-bahak.

"Mereka kenapa?" tanyaku pada Neji yang sedang menghabiskan Jasmine Tea-nya.

"Sudah gila mungkin," jawab Neji santai, tak menyadari delikan Kiba dan Naruto yang siap menerkam Neji bagaikan singa betina.

"Hei, Kiba," panggilku. Dia menoleh, menelengkan kepalanya.

"Sejak kapan Shikamaru dan Ino pacaran?" tanyaku datar. Rasa penasaranku menang rupanya, haha.

Kiba terkekeh, "Baru-baru ini... Hello? Kemana aja kamu? Masa yang begitu aja gak tahu?" jawab Kiba jenaka, lagi.

Bodoh. Dia pura-pura lupa ya?

Kutatap Kiba dengan tatapan tajam dari balik kacamata hitam yang menyebalkan ini. Dia menyadarinya, lalu terkikik.

"Ahh... Sudah malam rupanya..." ujar Naruto sambil menatap langit yang sudah berubah warna dari jingga kemerahan menjadi hitam kelam.

"Mau pulang?" tanya Neji pada Naruto. Naruto mengangguk.

"Kuantar," kata Neji pendek. Mata Naruto melebar.

"Makasih Neji! Shino, Kiba, aku dan Neji duluan ya!!" pamit Naruto ceria, disertai anggukan Neji. Tak berapa lama, bayangan mereka menghilang dari pandanganku.

Kupandangi Kiba yang sedang menyeruput tetes terakhir Vanilla Latte-nya.

"Mau pulang sekarang?" tanyaku sambil merapikan bajuku.

Kiba mengangguk lalu bangkit dari duduknya, "Ayo!"

Aku tersenyum dalam hati, lalu menggandeng tangannya.

"Eh?" dia kebingungan rupanya, wajahnya memerah.

Ku acuhkan pandangan bertanya-bertanya Kiba, lalu menyeretnya keluar cafe. Aku mengenggam erat tangannya dan-yang tak ku sangka- ia membalas genggaman tanganku, erat. Kurasakan jantungku berdegup kencang, aliran darahku menjadi cepat, dan... hatiku terasa nyaman. Selalu bila didekatnya.


Kami berjalan dalam hening.

Diiringi simfoni malam dari gesekan angin yang dingin dengan dedaunan yang gugur.

Ditemani tabuhan detak jantung dan denyutan nadi kami.

Disaksikan bulan yang menerangi langkah kami.

Kutatap wajahnya yang sedang menyaksikan keindahan malam.

Aku tahu, dialah yang menyebabkan gugurnya rasa sakit dan penderitaanku.

Aku tahu, dialah yang selalu membuatku tersenyum dan merasa tenang.

Yang aku tak tahu, dialah yang menggantikan posisi Hinata dihatiku...


Curhatan si Chika

Fic gaje~ *garuk-garuk pala* And, yeah, it's yaoi!! ShinoKiba! *ngomong sendiri, tepuk tangan sendiri* I love this pairing! *peluk Shino dan Kiba bersamaan* Karena saya gak tau isi pikiran Shino itu gimana, saya buat dia jadi sinis dan sedikit… apatis mungkin? Tapi kok jadi kayak Sasuke? O.O

Ucapan terimakasih saya ucapkan untuk play with the immogen-senpai yang sudah mengajari saya nulis yaoi. Makasih banyak, senpai~!! *bungkuk hormat*

Reviewlah kalau menurut kalian itu perlu. Saya gak maksa kok. Saya menerima saran, kritik, pujian *ditimpuk*, bahkan flame. Jika fic ini pantas diflame, ya flame aja... Saya gak keberatan karena saya tahu saya masih punya banyak kekurangan.

Akhir kata, saya senang bisa mempublish fic ini. Dan saya harap kalian bisa menikmati fic ini. Semoga kalian mau menunggu next chapter *dilempar bola*. Doakan supaya saya bisa menyelesaikan challenge ini...

Salam,

Chika Nagato Hoshiyama *ditendang temen-temen*