A/n; sedikit intro di awal, ff ini bukan ff pertama saya tapi ff ini— another life, pernah saya publish di akun saya yang dulu dengan pair yang berbeda (anime, Naruto— SasufemNaru). Tapi itu dulu, jauh sekitar tahun 2015. Ff ini dibuat tapi tidak diselesaika, hanya bagian awal-awal saja. Dan karena di sayangkan kalo ini gak di lanjut maka saya remake jadi ceritanya hunhan. Ceritanya jauh berbeda dari yang awal, tapi intinya sama.

Jadi untuk menghindari adanya ungkapan/tuduhan plagiarisme maka saya buat pernyataan ini di awal.

Kalo mau mampir ke cerita lama saya silahkan untuk membuktikan kebenarannya, judulnya sama another life, dengan nama pena Fushigi na Ashita.

Okey, sudah clear? Mari kita lanjut.

Dan satu lagi info penting, cerita ini terinspirasi dari novel karya Marry Hoffman dari buku stravaganza series; City of Mask

.

.

.

Oke sudah clear? Let's check this out /winkeu ;)

.

.

.

.

.

.

Another Life

.

.

.

.

Dark Eagle's Eye

Own Project

.

.

.

.

.

Genre:

Romance, Fantasy, Drama, Hurt/ Comfort, Tragedy

.

.

.

Cast:

Oh Sehun as Oh Sehun

Lu Han as Wu Luhan

And other

.

.

Pair:

HunHan

.

.

Rate:

Mature

.

.

Warn:

GS, Fantasy, Typo, DLDR, Messing EYD, Time Travelers, Tidak masuk di akal dll.

.

.

Ketika cintamu sejati, semua akan menjadi mudah. Dan segala sesuatu di atas debu adalah debu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

You were perfect tragedy and I love you.

.

.

.

.

.

Chapter; 1

Luhan pikir selama ini dia menatap dunia dengan benar. Menegakkan kepala, membusungkan dada dan dengan bangga berucap bahwa dia mampu menaklukkannya. Menciptakan ribuan mimpi dan membuatnya menjadi nyata. Mengisahkan manisnya dongeng dengan beberapa hal ajaib di dalamnya.

Namun ternyata selama ini Luhan melihat kehidupan dari sudut pandang yang salah. Dia tidak mengerti akan arti dunia yang sesungguhnya, hidupnya hanya dipenuhi khayalan dan mimpi-mimpi belaka tanpa tahu betapa kejamnya dunia, betapa pahitnya kenyataan. Setidaknya dulu dia harus mensetting otaknya bahwa tidak selamanya apa yang dia miliki akan tetap bersamanya, atau seharusnya dulu dia memberikan impuls bahwa dunia yang dia pijak itu kejam tidak sama seperti negeri dongeng dengan kisah bahagia di setiap akhirnya.

Luhan lalu tersenyum konyol. Andai saja dulu dia berpikir dengan realitas pasti perasaannya tidak akan sekacau ini, tidak akan seburuk ini, dia perlahan-lahan bisa menerima karena memang sudah dipersiapkan sedari jauh. Dia bagaikan Puteri kecil yang dipenuhi kepingan manis cerita berlindung di balik dinding kastel yang tinggi, betapa indah dan mengagumkan tetapi kenyataannya semua itu hanya ilusi! Tidak ada kebahagiaan yang benar-benar nyata.

"Pass!"

Teriak seorang wanita memenuhi lapangan, peluh tampak memenuhi wajahnya, tidak dia pedulikan nafas yang sudah saling memburu dia tetap berlari menggiring bola oranye itu menuju tempat terletaknya angka di sana. Gerakannya sangat halus, langkahnya seringan kapas namun mampu menembus pertahanan dan membuat lawan kewalahan.

Orang-orang sama berlari, mengoper, menggiring dan menyusun strategi demi mencetak angka yang mereka perebutkan. Saling berebut, beradu. Tidak ada yang ingin mengalah dari mereka, masing-masing ingin mempersembahkan kemampuan terbaik mereka. Masih saling berlari dengan nafas yang memburu, suara debutan sepatu serta bola beradu dengan lantai.

"Okey stop!"

Teriakan pelatih bersamaan dengan tarikan peluit panjang menghentikan persaingan sengit mereka. Mereka menghentikan permainan saling memandang kemudian tertawa dan bersalaman sebelum akhirnya duduk bersandar di tepi lapangan.

"Hari ini latihan sampai di sini dulu! Ingat persiapkan mental dan fisik kalian, turnamen sudah menanti dan saya harap kalian bisa mempertahankan apa yang seharusnya kita pertahankan. Tidak ada kamus kalah dan menyerah dalam tim kita! Terus maju dan menggapai puncak, mengerti?!"

"NDE COACH, MENGERTI!" ucap para siswi itu serempak. Ya seperti apa yang pelatihnya bilang, meski mereka hanya tim yang diremehkan bukan berarti mereka tidak bisa membuktikan. Buktinya selama dua tahun terakhir ini mereka bisa menyabet juara tanpa hambatan, menjadi regu putri pertama di sekolahnya yang berhasil melenggang ke kejuaraan nasional, sungguh suatu prestasi yang patut untuk dibanggakan.

Sang pelatih tersenyum puas, dia menatap anak didiknya satu persatu, ya dia yakin dia bisa. Meski regu ini tidak sekuat dulu, tapi dengan usaha dan kerja keras dia percaya murid yang dia didik mampu melakukannya. Sejenak dia tersenyum ada rasa getir yang tersirat di dalamnya. Dia menyayangkan mengapa murid kebanggaannya tidak mampu bertahan sampai sekarang, tapi tidak apa, mungkin memang bukan jalan bagi muridnya itu, padahal dia selalu berharap bahwa murid kesayangannya mampu terus bertahan memajukan impiannya. Dia menghela nafas dan tersenyum kecil, lalu berjalan ke luar dari arena gymnasium.

Jauh dari hiruk pikuk euforia penuh semangat yang mereka keluarkan, di sebuah tempat tersembunyi dan tidak terlihat, terdapat seorang siswi yang hanya bisa diam memperhatikan.

Bersembunyi di balik dinding dengan tangan terkepal, bibirnya melengkung melukiskan senyum simpul yang indah namun matanya menyinarkan rasa kecewa. Semua tidak lagi sama, semua telah hilang dengan perlahan. Memejamkan matanya dan menghela nafas pelan lalu tersenyum. Untuk apa dia harus kecewa, untuk apa dia harus marah pada keadaan. Tidak, dunia itu berputar ada kalanya di bawah dan ada kalanya juga berdiri di atas, mungkin dulu masa-masa kejayaannya berdiri tegap di atas penuh kebanggaan, harapan, impian serta pujian— dan kini tinggal rotasi masa yang harus dia Terima. Jatuh terperosok jauh di bawah. Merasa kehilangan, hampa, tidak memiliki harapan dan sendirian.

Untuk apa dia mengeluh, dia sudah memiliki segalanya dulu tinggal dia menikmati sisanya saja. Ah dia jadi menyesal, mengapa dulu tidak menikmati semuanya dan bersenang-senang, jika sudah seperti ini saja baru dia merasakannya.

Badannya semakin merapat pada celah tembok, dia terkejut saat siswi di sana tiba-tiba berhambur keluar. Dia bersembunyi dan mencoba menahan nafas, tidak ingin salah satu dari mereka melihat dirinya di sana.

"Ah, aku sangat senang sekali! Kali ini pihak sekolah mensponsori kita, mereka bahkan mendukung penuh turnamen kali ini, aku jadi sangat bersemangat untuk pertandingan minggu depan." Ucap salah seorang siswi kepada temannya di sana.

"Benar! Ini seperti sebuah mimpi menjadi nyata, dulu jangankan di topang seperti ini, didukung saja tidak! Kita benar-benar berjuang mati-matian untuk menunjukkan bahwa kita mampu bersaing dan menang." mereka tertawa dan masih berjalan.

"Menyusun strategi sendiri, mencari pelatih yang benar-benar mau melatih kita, mengorbankan tabungan kita. Aku tidak percaya akhirnya kita diakui."

"Dulu kita diremehkan, mereka menganggap kita lemah yang hanya berisi gadis cupu dengan khayalannya. Aku dulu sempat ingin menyerah, tapi lihat sekarang! Tidak ada yang tidak mengagumi kita." Siswi itu berdiri dengan bangga dan tersenyum penuh kepuasan.

"ya, kau benar. Dulu adalah masa-masa sulit, dan sekarang kita bisa sampai pada posisi ini." Salah satu siswi berjalan dan tiba-tiba menunduk merasakan apa yang mereka capai sekarang masihlah belum sempurna. "Tapi aku merasa sedih." Ucapnya pelan.

Semua teman-temannya tiba-tiba terdiam dan mendadak hening. "Aku begitu mengagumi Luhan-sunbae. Dialah yang membuat kita menjadi seperti sekarang ini. Dia bahkan tanpa ragu menyeret kita untuk terlibat, dia tidak memperbolehkan kita menyerah dan pesimis."

Mereka diam dan menunduk sedih. "Dia benar-benar menopang kita mulai dari nol, memberikan kita kepercayaan dan terus menyemangati kita. Tapi di saat kita telah mencapai puncak,—"

Mereka mendadak diam suasana hening seketika. "sayang, Luhan-sunbae tidak bisa merasakannya."

Di sisi lain, di balik tembok itu dia— Luhan, mengepalkan jari-jarinya erat, matanya memanas tapi dia berusaha menahannya.

Luhan tersenyum melihat rekan-rekannya yang kini berjalan semakin menjauh. Tersenyum kecil, gurat-gurat kelelahan tampak nyata di wajahnya, hampa. Semuanya hanya tinggal seuntai kisah saja.

Mengeratkan mantelnya, Luhan merasa udara semakin dingin saja padahal ini adalah musim semi, hangat udara kini tidak mampu dia rasakan lagi. Berjalan perlahan, tangannya meraba dinding mencoba menopang tubuhnya takut apabila dia jatuh begitu saja. Ah menyebalkan, seharusnya dia menuruti kata kakaknya supaya tidak sekolah saja hari ini, setidaknya sampai keadaannya pulih— tapi entah kapan.

Luhan membuka ponsel, kakaknya mengirim pesan agar Luhan menunggu di kelas seperti biasa biarkan dirinya menjemput Luhan di sana. Luhan menggeleng pelan, dia membalas supaya datang ke taman di dekat gerbang saja, karena Luhan sudah ada di sana.

Mematikan ponselnya, dia tidak mau peduli apabila kakak menyebabkannya itu melayangkan protes padanya. Luhan dengan pelan kembali berjalan, entah mengapa setiap langkah yang Luhan ambil terasa begitu berat, pandangannya tidak bisa Luhan fokuskan, tapi Luhan tetap berjalan tidak memedulikan beberapa siswa yang lewat hanya sekedar memandang aneh dirinya. Hey kenapa, dia bukan tontonan.

Susah payah Luhan lalui, akhirnya dia sampai juga di tempat yang Luhan janjikan. Mencoba mengambil nafas, dia merasa seperti sehabis berlari marathon saja, padahal jarak antara gedung olah raga dan tempat tujuannya hanya sesuatu kecil yang mampu dilalui.

Menyandarkan tubuhnya, Luhan merasa tenaganya terkuras begitu banyak menyisakan Luhan yang hanya terdiam lemas. Duduk menunggu, Luhan menunduk memperhatikan satu buah liontin yang tersemat di lehernya, bertanduk kristal biru yang begitu jernih, berbentuk persegi lima.

"Gege."

Luhan berucap pelan dengan posisi yang masih sama, menunduk memperhatikan liontinnya.

Sosok di belakang terkekeh pelan. "Tajam seperti biasa, kau mampu mengetahui itu Gege bahkan dalam jarak lima langkah di belakangmu. Sepertinya kemampuanmu harus diasah dan dikembangkan."

Luhan tertawa kecil, dia mendongakkan melihat kakaknya berdiri di sampingnya.

"Tidak ada yang perlu dibanggakan Ge. Aku sudah mengetahui itu dirimu bahkan dari sepuluh langkah sebelumnya, bau tubuh derap langkah aku bisa mengenali itu milikmu, aku tahu karena aku adik Gege."

Laki-laki itu tersenyum kecil dan mengusak kepala Luhan gemas. "kau memang satu-satunya adik Gege yang paling berharga. Terima kasih sudah mau hadir di keluarga kami."

Luhan menatap kakaknya dan tersenyum. "Bukan hal besar, karena memang orang hebat sepertiku ditakdirkan untuk menjadi bagian keluarga ini. Aku tidak menyesal telah terlahir dan bisa menjadi adik Gege, apa pun itu aku tetap menerimanya."

Laki-laki itu terkekeh pelan dan mencubit pipi Luhan gemas. "oh baiklah, coba lihat adik siapa yang sudah tumbuh besar ini."

Luhan merajuk. "Yifan-ge, aku bukan anak kecil lagi."

Yifan, atau yang biasa dipanggil Kris— kakak Luhan, hanya tertawa pelan. Dia kembali mengusap kepala Luhan penuh sayang.

"Jadi, adik Gege yang paling cantik ini sudah menunggu?"

Luhan menggeleng kecil dan tersenyum. Kakaknya terkekeh dan mengacak rambut Luhan gemas. "Arraseo, kita pulang. Ada tempat yang ingin tuan Puteri kunjungi?"

"Nde."

"Benarkah, di mana?" Tanya Kris.

"Menuju hati Gege." goda Luhan yang di balas cubitan gemas dari Kris, dia terkekeh pelan lalu duduk berjongkok di depan Luhan.

"Aniya Ge."Ucap Luhan saat Kris memberikan kode untuknya supaya naik di punggungnya.

"Ayolah tidak apa-apa, naik saja." Kris berbalik dan tersenyum simpul pada Luhan. Sementara itu Luhan menggeleng pelan, tidak dia tidak ingin menyusahkan kakaknya.

"Tidak apa-apa, naiklah. Jika memang mengaku adik Gege maka naik, Gege tidak Terima penolakan."

"Baiklah. Jika Gege memaksa."

Kris hanya tersenyum pelan, bisa dia rasakan Luhan yang perlahan naik ke atas punggungnya. Mengangkat Luhan dan mulai berjalan, kedua tangan Luhan melingkar di lehernya.

"Mianhe." Bisik Luhan lirih. "Maaf karena aku selalu membuat susah."

"Jeongmal mianhe."

Kris hanya tersenyum simpul. "Tidak. Sudah kubilang kau adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan untuk kami. Jangan merasa seperti itu, kau adalah permata hati kami."

Luhan tersenyum, semakin erat memeluk lehernya matanya sudah memanas sedari tadi dan tanpa sengaja mengalir di pipinya.

"Gomawoyo."

Luhan kini tengah duduk di kamarnya, menatap keadaan sekitar dan merenung. Kris tadi benar-benar mengantarnya bahkan sampai kamar, ah mendapati perlakuan seperti itu terkadang Luhan merasa sungkan. Tidak seharusnya dia diperlakukan seperti ini, Luhan hanya merasa tidak pantas. Dia merasa seharusnya dia tidak seperti ini.

Luhan melepas liontin miliknya, menatapnya dan bergumam samar.

"Mengapa aku harus menjalani hidup seperti ini, hidup seperti apa yang kalian rasakan hingga enggan untuk tetap bersamaku." Tanya Luhan terhadap benda mati yang telah diberikan kepadanya satu tahun yang lalu.

Luhan menangis, bohong jika dia merasa baik-baik saja, bohong jika dia mengatakan tidak ingin menangis. Hidup yang Luhan rasakan sempurna ternyata tidak sesempurna yang Luhan bayangkan.

Selama ini dia dicukupi materi dengan melimpah, diberi kasih sayang yang begitu besar, menjadi anak bungsu dan satu-satunya anak permpuan di keluarganya membuat Luhan memiliki segala yang Luhan inginkan. Sempat terbesit dalam pikirannya bahwa dia seperti putri di negeri dongeng, memiliki ayah dan ibu luar biasa, harta kekayaan kekuasaan, kasih sayang yang tidak terhingga dengan dilengkapi berkat indah yang Tuhan berikan untuknya, wajah memesona, bakat luar biasa serta kecerdasan di atas rata-rata.

Tetapi hidupnya tidak berjalan mulus begitu saja, tepat di usianya yang ke delapan belas dia diberikan hadiah sebuah liontin biru yang sudah menamainya sedari dulu, serta hadiah sebuah fakta bahwa dia bukanlah bagian dari keluarganya. Luhan bukanlah anak ayah dan ibunya, dia hanyalah seorang anak yang mereka adopsi karena rasa kasihan ketika melihatnya tergeletak tidak sadarkan diri di dekat sebuah hutan. Dan mereka yang baru saja kehilangan putri bungsunya mendadak menemukan harapannya kembali ketika melihat Luhan yang berusia tiga tahun di waktu itu.

Mereka berdalih telah mencari orang tua Luhan, namun nihil mereka tidak menemukannya. Karena rasa kehilangan yang begitu dalam, mengantarkan mereka menuju rasa simpati dan membuat Luhan menjadi bagian keluarga.

Menyedihkan. Mereka mengatakan bahwa mereka menyayangi Luhan seperti halnya anak mereka sendiri, mereka mengungkapkan fakta ini karena mereka harus bijak Luhan tetap harus tahu masa lalunya sesulit apapun itu, tanpa memikirkan bagaimana perasaannya.

Semua berubah pada saat itu, Luhan awalnya ingin mengabaikan saja, namun dia sadar bahwa tidak sepatutnya Luhan menghindar, seharusnya Luhan bersikap baik-baik saja dan pura-pura tidak mengerti keadaan. Namun dia bukanlah gadis bodoh, apa yang mereka ucapkan bukan hanya untuk kebijakan semata namun lebih pada penegasan di mana letak posisinya berada.

Pantaskah Luhan untuk tetap berada dalam lingkup ini, terkadang terbesit pikiran haruskah dia pergi saja dari sini namun pergi ke mana? Dia bahkan di buang dan tidak diharapkan. Hanya kakaknya yang masih setia tetap bersamanya tidak memandang Luhan dari segi apa pun, menerimanya dan bahkan terus berada di sampingnya melindunginya. Di saat Luhan kehilangan arah dan harapan Kris ada untuknya.

Terlebih, kali ini dia tidak lagi sama seperti yang dulu. Perlahan fungsi tubuhnya mengalami penurunan, entah dimulai sejak kapan namun semakin hari Luhan merasa nyawanya seperti di ambil perlahan-lahan. Rasa sakit senantiasa menemani malam-malamnya, dan Luhan merasa semakin lama dia semakin tidak berguna.

Bukan bagian dari anggota keluarga, dan membuat susah orang-orang di sekitarnya adalah suatu rumus yang tepat untuk menjadikannya sebagai alasan Luhan pergi. Namun sekali lagi Luhan tidak mampu untuk pergi begitu saja, setidaknya dia harus membayar terlebih dahulu apa yang mereka berikan untuknya.

Luhan akan terlihat seperti tidak tahu terima kasih apabila dia pergi begitu saja setelah fakta yang dia ketahui, setidaknya dia harus bertahan tetap tersenyum dan menjadi matahari bagi keluarga ini sampai sisa umurnya tiba. Hanya sebentar, yah. Hanya sebentar lagi.

Memejamkan matanya memeluk liontinnya erat dan kembali menangis, terkadang dia berpikir mengapa Luhan tidak diinginkan, apakah dia dibuang atau dia terlantar atau bagaimana. Lalu seperti apa kedua orang tuanya, apakah mereka tampan dan cantik, seperti apa mereka, apakah mereka masih merindukan Luhan atau mereka sudah melupakannya. Masih hidupkah mereka, dan apakah ada kesempatan bagi Luhan untuk bertemu dengan mereka.

Apakah bisa, apakah mampu, apakah itu permintaan yang terlalu berat baginya?

Tanpa sadar permata yang Luhan genggam bersinar, meski redup namun pendar cahayanya terasa hangat mampu menyelimuti tangan dan tubuhnya. Rasa tenang memenuhi dirinya, sejenak udara berhenti dan ruangan di sekitarnya berputar cepat, sangat cepat sehingga sulit bagi Luhan untuk mengambil nafas.

Hening dan lenggang, tidak ada dinding pemisah di sana, tidak ada langit-langit yang Luhan gambar dengan awan dan matahari, tidak ada lemari beserta ranjang, lantai berserta jendela. Hanya ruangan hampa di mana Luhan melayang di dalamnya.

Luhan berkedip, semuanya terasa berhenti untuk sesaat dan bergerak pelan namun saat Luhan kembali berkedip lagi semuanya menjadi pecah. Ruangan kembali berputar cepat tanpa ada tenggat waktu, udara terhempas memenuhi wajahnya, Luhan merasa melayang-layang seperti dijatuhkan dari tebing yang tinggi. Dan saat dia membuka mata, langit biru dan cahaya kuning keemasan senja yang bisa Luhan tangkap. Rindangnya pepohonan serta tumpukan dedaunan adalah hal kedua yang tidak mampu Luhan mengerti keadaannya.

Waktu kembali berjalan normal, dan Luhan jatuh di atas tumpukan dedaunan. Matanya terpejam, beberapa daun masih terbang melayang di sekitarnya dan sebelum Luhan memejamkan matanya, sesosok tinggi tegap menghampiri, Luhan tidak mampu menangkap semua objeknya, hanya mata hitam kelam yang menenggelamkan Luhan dalam danau tidak berdasar.

Nugusseyo?

Itulah yang mampu Luhan tangkap sebelum akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri.


Jauh di pelataran bumi lainnya, menembus waktu melintasi cakrawala memecah akal sehat, terdapat sebuah dataran luas yang terbagi-bagi menjadi beberapa wilayah. Berisikan kurang lebih lima ratus ribu penduduk terbagi menjadi empat wilayah utama dan lima dengan yang dianggap hilang.

Berbanding terbalik dengan hiruk pikuk suasana kota yang berkecamuk antara kesibukan, gedung-gedung pencakar langit dan beberapa mobilitas di dalamnya, di sini, di tempat ini begitu tenang dan damai. Hanya mengisahkan kehidupan rakyat dengan pemimpinnya. Pengklaiman wilayah dan bagaimana caranya membuat penduduk aman sejahtera serta tampuk kepimpinan yang dipikul semakin luas.

Di antara luasnya daratan berdiri satu tembok merah, kastel besar yang menjulang tinggi sebagai ikon kekuasaan. Dinding tinggi pemisah yang menjadi jantung utama kehidupan.

Terpisah oleh bukit, terhalang oleh jurang, diperkuat penjagaan para kesatria yang siap mati demi raja mereka. Satu kerajaan yang berdiri di wilayah barat, wilayah yang hampir mendominasi semua daratan.

Di balik tabir agung kekuasaan, terdapat cerita kehidupan layaknya manusia biasa, tentang anak manusia yang terperangkap dalam lingkup suatu takdir. Dan tentang ketidakmampuan manusia dalam melawan arus masa, tergerus oleh waktu terpenjara oleh kenangan. Terperangkap dalam bayang-bayang yang berkelebat menyedihkan dalam pikirannya.

Lingkaran terpecah, untaian rantai takdir terpecah dan mereka terperangkap oleh ilusi yang tidak dimengerti akan polanya. Sebuah kisah yang akan membelenggunya dalam sapuan jarak yang tak pernah mampu dia lampaui.

Pangeran keempat dari Kerajaan Barat memasuki ruangan. Dia berjalan angkuh dengan langkah tegap penuh karisma. Postur tubuh yang memesona; tinggi dengan bahu lebar dan kaki panjang, menambah daftar kesempurnaan pangeran termuda ini. Wajahnya rupawan dengan rahang tegas dan tatapan mata yang tajam, rambutnya hitam legam begitu kontras dengan kulit putih pucat miliknya.

Dia berjalan menggunakan jubah berwarna emas dan merah dengan bordiran phoniex di dalamnya, hanya satu kata yang menggambarkan pangeran bungsu ini— sempurna.

Dia lalu menunduk berlutut memberikan salam serta penghormatan. "Salam untuk Baginda Raja, Semoga Baginda tetap dalam keberkahan."

Kaisar Oh Yunho duduk di atas singgasananya, dia mengangguk dan setelahnya menatap, memperhatikan satu pemuda yang kini berdiri di hadapannya, sesekali tangannya memijit kening mencoba menetralkan rasa pening yang dia dapatkan akibat kelakuan sang Pangeran.

"Bagaimana harimu?" tanya Yunho.

"Baik Ayahanda, hari ini hamba kembali ke barak untuk memantau beberapa pasukan."

Yunho mendengus pelan, dia kembali menatap putranya. "Baiklah, sepertinya kau sudah tahu maksud kedatanganmu kemari, bukan begitu Pangeran Sehun?"

Sehun hanya menunduk. "Anda yang lebih tahu atas kehendak Anda Yang Mulia."

Mendengar penuturan seperti itu sangat Raja tergelak, dia lalu menatap pangeran keempat dalam sorotan yang tajam.

"Untuk kali ini tidak ada toleransi lagi!" Yunho mulai bersuara. "sudah cukup aku mendengar tentang apa yang kau lakukan selama beberapa bulan terakhir ini! Tidak ada bantahan, kau akan diasingkan. Ah tidak, lebih tepatnya di berikan kebebasan dengan sebuah tanggung jawab."

"Tapi Baginda Raja—"

"Sudahi semuanya, aku tidak mendengar bantahan apa pun! Hukuman— lebih tepatnya tugas, yang akan engkau kerjakan mulai lusa adalah; memimpin pengawasan di perbatasan utara."

Oh Sehun— pangeran ke empat, putra tunggal dari permaisuri serta mendapat dapukan sebagai putra mahkota berdiri. "Ayahanda, suatu kehormatan bagi saya untuk melaksanakan tugas ini, tetapi— mengapa harus melandaskan pada hukuman. Saya bisa lebih mengerjakan daripada apa yang Anda harapkan!"

"Tidak, keputusanku adalah mutlak! Dan karena kau pandai bernegosiasi, maka kau akan diperlakukan sama seperti prajurit pada umumnya, memang hal apalagi yang bisa kau berikan untukku Oh Sehun, mengertilah semakin lama aku semakin tua, tidak banyak waktu yang tersisa sedangkan tampuk kepemimpinan ini harus terus bergulir. Berhenti bersikap kekanak-kanakan."

Sehun menghela nafas, dia melirik pada sekitarnya para ajudan hanya diam mematung di sekeliling ruangan serta di belakang kursi ayahnya.

Sehun mengangguk dia berdiri dan kembali mengucapkan salam. "Baik Yang Mulia, titah Anda adalah mutlak pangeran siap mati untuk Anda." Setelahnya Sehun berdiri mengambil langkah untuk undur diri, berjalan tegas menyisiri istana.

Oh menyebalkan, ini semua karena teman-temannya! Jika saja mereka tidak membuka mulut dan tidak mengatakan yang sebenarnya Sehun pasti tidak akan mengalami hal ini! Lebih memilih sang Raja katanya, cih— benar-benar tidak setia kawan. Lain kali jika Sehun ingin melanggar lagi, seharusnya dia menyumpal kudanya saja dengan rumput hijau nan segar daripada menutup mulut sahabatnya benar-benar tidak bisa diandalkan.

Oh lihat saja nanti! Dengus Sehun dalam hati.


Maka di sinilah Sehun berada. Jauh dari keramaian kota, terpencil menjauh di suatu pegunungan dan hutan lebat bersama beberapa prajurit kelas rendah. Menjaga perbatasan daerah yang bahkan sudah tertinggal! Yang benar saja, jika Sehun jadi ayahnya akan Sehun bebaskan saja semua prajurit dan kembali pulang memeluk istrinya masing-masing. Berjaga-jaga di area sini seperti mengisi air dalam tong yang bocor— benar-benar tidak ada manfaatnya.

"Santai saja Oh, tidak perlu berwajah masam seperti itu. Nikmati saja, dan anggap saja ini rekreasi." Seorang pemuda berbadan tegap berkulit agak kecokelatan berucap santai sembari tangannya memetik daun-daun dengan iseng.

"Apa kau bilang?" Sehun menghentikan langkahnya. Dia lalu berdiri menatap kesal temannya ini. "—santai? Santai katamu, kau pikir gara-gara siapa aku berada di sini hah! Jika saja mulut embermu itu bisa dijaga sudah dipastikan kita tidak akan terjebak di dalam sini! Dan kau dengar Kai, bahkan tidak ada keistimewaan bagi kita! Pikirmu kita di sini untuk bersenang-senang hah?! Oh astaga, betapa sempitnya pikiranmu!"

Kai hanya terkekeh pelan mendengarkan sahabat karibnya ini mengomel sedari tadi, kupingnya kelewat kebal dengan ocehan-ocehan yang kelewat tajam ini.

"Memang kau pikir ini mauku?" tanya Kai santai. "Jika ingin melimpahkan kesalahan silahkan salahkan dirimu sendiri, seharusnya kau lebih cerdas jika tidak ingin kelakuanmu diketahui oleh Yang Mulia, kau tidak tahu saja betapa mengerikannya Yang Mulia. Dan jika sudah ketahuan, aku bisa apa." Kai mengendikan bahunya acuh. "Aku memilih untuk menurut pada Yang Mulia daripada membiarkan kepalaku melayang demi sahabat yang bahkan lebih bodoh dari keledai."

"Yak!" Teriak Sehun keras, oh sungguh menyesal Sehun mempunyai sahabat seperti ini, tidak setia dan perhitungan!

"Memang kau pikir aku melakukan ini secara sukarela? Lihat, pada akhirnya yang terkena imbas siapa? Ketampanan siapa yang harus terkubur demi menemani sang pangeran menyebalkan ini?" Kai mendengus pelan. "Jika bukan sahabatku, sudah kucincang kau sedari zaman dulu."

Sehun menghela nafas kesal, dia menatap sahabatnya masih dengan amarah! Persetan dengan persahabatan, dia bahkan tidak memedulikan Sehun.

Saat tengah berjalan mengontrol daerah sekitar, samar-samar Sehun dan Kai mendengar sesuatu gemeresik di balik semak-semak.

"Ssttt... Kai, kau mendengarnya?" Sehun berbisik lirih, tatapan matanya menajam memperhatikan sekitar. Namun kosong, hanya ada pepohonan saja, bunyi daun yang saling bergesek kembali meredam suara.

Sehun mulai dalam mode siaga, tangannya segera sigap memegang pedang yang tergantung di pinggangnya. Sehun melirik Kai dan memberikan kode, akhirnya keduanya melangkah dalam arah berlawanan namun menuju titik yang sama.

Dengan penuh kehati-hatian Sehun melangkah menuju asal suara. Pedang telah tercabut dari sarungnya, dan kini ia genggam bebas. Mencoba menajamkan pendengarannya dan naluri yang mengantarkan Sehun pada sebuah tempat.

Sehun memicingkan matanya melihat sesosok manusia tergeletak di antara rimbunnya pepohonan. Matanya memancing dengan posisi kuda-kuda memindai keadaan, melihat apakah area ini aman atau masih ada musuh di sana.

Setelah dirasa aman, Sehun menurunkan pertahanannya. Dia berjalan sembari menggenggam pedang miliknya. Berjalan dan mengernyit heran menemukan makhluk asing yang Sehun tidak kenali.

"Nugusseyo?" ucap Sehun pelan. Sosok itu tidak menjawab dan malah memejamkan matanya.

Memperhatikan dengan raut wajah bingung, pedangnya ia gunakan untuk menyingkap kain yang menutupi badannya. Dagunya Sehun angkat menggunakan pedang dan Sehun torehkan ke arah kanan dan kiri.

Tidak ada yang aneh, dia adalah manusia. Batinnya. Karena di rasa tidak ada hal yang membahayakan Sehun bergerak mendekat, tangannya terulur untuk melihat lebih jelas seperti apakah sosok ini.

Membalik tubuh itu, dan menyingkirkan helai kecokelatan milik sosok itu dan diam memperhatikan. Satu hal yang Sehun rasakan saat tanpa sengaja mereka melakukan kontak fisik; hangat. Rasa hangat itu menjalari lewat jari-jarinya, darahnya berdesir pelan dan jantungnya berdegup kencang dan Sehun merasakan ketenangan yang begitu dia harapkan. Matanya terpejam, sejenak waktu seperti berhenti untuk sesaat dan Sehun merasa terbuai di dalamnya.

Menyingkirkan dengan halus rambut coklat yang menghalangi, dan Sehun terpana akan satu keindahan yang terlihat begitu sempurna. Pahatan yang begitu indah. Hidung itu, pelipis dan matanya, dan dua buah kelopak seperti mawar segar, merah dan ranum, kulit seputih pualam, benar-benar suatu keindahan yang sempurna.

Sehun akui dia terpana, dia jatuh terperosok dalam sebuah pesona bahkan dalam satu kali tatap. Sehun merasa ini bukan dirinya, dia seperti terhipnotis dalam sebuah ilusi. Apakah sosok ini hanya jebakan saja, sebuah ilusi yang musuhnya ciptakan, atau sosok ini adalah sebuah keindahan yang nyata.

Tangan Sehun terulur menelusuri keindahan itu, dalam hati dia bertanya Siapakah sosok ini, dan apa yang dilakukannya di tempat terpencil seperti ini. Sehun mendekat mengikis jarak yang ada, semakin dekat mencoba mengubur rasa ketertarikannya, semakin dekat, dan—

"Sehun lihat! Aku sudah membawa penyusupnya!" Kai si pria menyebalkan yang pernah ada tiba-tiba datang dan berteriak, di tangannya ada seekor kelinci yang dia cengkeram kedua telinganya, kelinci itu tampak pasrah menggantung di udara dan sesekali mengendus. Memiring-miringkan kepalanya dan melengos tidak peduli pada sosok Oh Sehun.

"Sudah ku bilang wilayah ini sepi! Penyusup apanya?! Lagi pula siapa yang mau bertahan tinggal di tempat seperti ini, Oh yang benar saja!" Kai mengomel sendiri dan semakin mengeratkan cengkeramannya membuat kelinci itu mengayun-ngayunkan tubuhnya memberontak.

Sehun dengan segera bangkit dari posisinya, sedikit bersyukur Kai tidak sepenuhnya melihat. Berdehem pelan pura-pura tidak terjadi apa pun.

"Kau payah." Ejek Sehun. "Aku menemukan seseorang di sini, tapi sepertinya dia tidak sadarkan diri."

Kai tampak mengernyit heran, dia mendekat masih dengan kelinci dalam tangannya. "Siapa dia pangeran? Dan mengapa pakaiannya aneh sekali."

Sehun mengangkat bahunya. "Entah, aku menemukannya di sini. Aku pikir ada seseorang yang mencintai kita, sebaiknya kita bawa dia untuk diinterogasi, aku takut dia adalah penyusup yang musuh gunakan untuk menyerang kita. Apa pun itu, sekecil mungkin keadaannya jangan sampai lengah."

Kai mengangguk paham. Sehun lalu menatap Kai, memberikan kode lewat tatapan matanya. Sebal karena Kai tidak mengerti— entah pura-pura tidak mengerti, apa yang Sehun maksud, Sehun berucap jengah.

"Oh astaga! Bawa dia Kai, kita akan kembali ke tenda! Patroli sudah usai, tidak ada lagi wilayah untuk disisir hari ini!"

"Tapi pangeran," Kolah Kai cepat. "Bagaimana dengan penyusupku. Itu adalah temuanmu dan mahluk berbulu ini adalah tangkapanku! Ingat seperti Yang Mulia ucapkan, tidak ada pengecualian kita semua kali ini sama! Jadi silahkan mengurusi tangkapannya masing-masing."

Sehun menggeram, sahabat satu popokkannya ini benar-benar. Kita lihat saja nanti di tanah Merah, Sehun pastikan dia akan habis!

Sehun lalu berjalan mendekat, berlutut dan membawa sosok itu dalam dekapannya lalu dia taruh di atas bahunya— persis seperti membawa karung kentang.


Sehun meletakan sosok itu di sebuah alas tempat tidur. Tabib yang berjaga di sana kini tampak sibuk memeriksa keadaan.

"Tidak ada yang mencurigakan dari tubuh gadis ini, dan keadaan tubuhnya baik-baik saja mungkin dia memerlukan istirahat dan besok padu sudah kembali sadar."

"Hm." Jawab Sehun seadanya. Dia lalu menatap Kai malas yang tampak asik bermain bersama tangkapannya.

"Baik pangeran, saya mohon undur diri."

Sehun mengangguk mengiyakan membiarkan tabib itu pergi keluar. Setelah keluarnya tabib, Sehun menopangkan kakinya dan menatap Kai dengan jengah.

"Kita menyisir untuk berpatroli bukan berburu. Lepaskan mahluk itu, ingat kau juga harus fokus pada tugasmu kali ini."

Kai berdecak malas. "Dengarkan aku wahai sahabatku. Tidak peduli apa pun tujuannya apa yang sudah aku dapat adalah milikku. Lagi pula kelinci manis ini tidak mengganggu, akan aku biarkan dia berkeliaran di barak dan bagiku menjaga satu kelinci tidaklah sulit ketimbang menjaga satu pangeran yang keras kepala."

Sehun berdecak sebal, dia benar-benar menguji kesabaran Sehun. Menghela nafas pelan, Sehun mencoba menjaga imagenya. Tidak, dia adalah pangeran ke empat, putra pertama permaisuri, putra bungsu sang raja serta calon penerus takhta wilayah barat sang penguasa tanah merah. Dua harus menjaga sikap.

"Terserahmu, pergilah tangkapanku biar aku yang menjaganya. Bukankah kita memiliki tanggung jawab masing-masing?"

Setelahnya Sehun hanya duduk diam mengamati satu sosok yang terlelap ini.


Luhan terbangun dengan rasa pening di kepalanya. Dia tidak yakin dengan apa yang terjadi namun Luhan merasakan dia seperti berpindah tempat.

Matanya yang nyaris terbuka sempurna kembali terpejam merasakan udara yang begitu segar mengisi ruang di paru-parunya. Entah ini perasaannya saja atau bukan tapi Luhan merasa sesuatu yang berbeda dalam dirinya.

Luhan kembali membuka mata, dan hal pertama yang Luhan kenalan adalah atap dari sebuah tenda, beberapa meja kuno dan perlengkapan yang Luhan tidak mengerti. Riuh redam suara para lelaki menggema di luar sana bersahutan dengan desau angin dan sahutan burung-burung.

Luhan bangkit duduk dan menyandarkan tubuhnya pada tiang, mantel uang dia kenalan sudah terlepas menyisakan seragam sekolah yang masih dia kenalan kemarin.

Memperhatikan keadaan sekitar, tunggu, tempat macam apa ini! Mengapa dia tiba-tiba ada di sini seharusnya dia masih berada di dalam kamarnya. Mengetahui ada hal janggal mendadak rasa panik menguasai Luhan. Jantungnya berdegup cepat dan kering dingin memenuhi wajahnya. Belum sempat Luhan menelaah kembali apa yang terjadi beberapa pria tiba-tiba masuk, mereka bertubuh tinggi dan kekar, mengenakan baju zirah lengkap dengan pedang yang menggantung di pinggangnya.

Luhan tetap diam dan tidak membuka suara, dia takut apabila Luhan melakukannya hanya akan memperburuk keadaan. Biar Luhan tahu dahulu situasi seperti apa yang Luhan hadapi baru Luhan mengambil tindakan.

Satu pria duduk, sedangkan dua pria lainnya berdiri di belakang.

"Baik nona, kami tidak tahu dari mana asalmu dan siapa dirimu, namun satu yang kami tanyakan sedang apa kau kemarin ada di tengah hutan ini?"

Luhan diam dan dia menggeleng pelan. Luhan sama sekali tidak mengerti situasinya, hutan? Setahunnya kamar adalah hal terakhir yang Luhan tempati.

"Mengapa tidak tahu? Ah apakah kau penyusup? Sengaja memata-matai, kau tahu hukuman paling pantas untuk seorang penyusup adalah penggal kepala. Jadi sebaiknya Anda jujur nona, setidaknya jujur membuat hukuman lebih ringan."

Luhan menggeleng kecil. "Tidak! Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi! Terakhir kali aku berada di kamar dan aku tidak ingat."

"Jangan bermain-main! Sekarang ucapkan dengan lantang apa tujuanmu berada di hutan kemarin?!"

"Aku tidak berbohong! Aku hanya duduk di kamarku dan tiba-tiba aku berada di sini! Kau lihat, bahkan baju kita berbeda, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi tapi ini bukan tempat asalkan dan aku tidak mengerti mengapa aku harus ada di tempat ini."

Pria itu tampak kesal. Mengentakkan kakinya dan menatap Luhan tajam. "jangan mengarang cerita nona, Anda lihat ini—" tunjuk pria itu pada pedangnya. "Sebuah tindakan akan lebih nyata daripada ucapan."

Satu orang maju dan memegang bahu si pria yang menanyai Luhan. Matanya bergerak separuh memberikan sebuah kode.

"Tapi Pangeran—" ucap pria yang bertanya padanya, sementara laki-laki yang berdiri tadi hanya mengangguk kecil dan membiarkan pria itu menyingkir lalu duduk dengan tegap di depan Luhan.

Kulit putih bersih, rambut hitam legam serta tatapan tajam itu entah kenapa Luhan merasa terhanyut dalam dua keping sewarna malam itu.

Laki-laki itu berdehem pelan dan menatap Luhan. "Jadi bisa kau ceritakan secara mendetail siapa dirimu, apa yang kau lakukan di sini dan apa tujuanmu."

Kembali mendapatkan pertanyaan seperti itu Luhan hanya menghela nafasnya.

"Sudah kubilang, aku adalah Luhan, sembilan belas tahun, siswi di tahun akhir. Dan aku tidak mengerti mengapa bisa ada di sini dan tujuanku, aku tidak memiliki tujuan apa pun, hanya mahluk yang tersesat. Dan perlu kuberi tahu, aku tidak hidup di sini, lihat ini—" tunjuk Luhan pada liontinnya. "Setelah aku memegangnya erat aku tiba-tiba berpindah tempat ke sini!"

"Kau bisa meninggalkan tempat ini ketua. Sisanya biar aku yang urus." Laki-laki itu berbisik pada sosok yang menginterogasi Luhan pertama kali. Setelah sosok itu pergi, dia kembali memusatkan perhatiannya pada Luhan.

"Jadi kau ingin bilang bahwa kau adalah manusia yang berpindah tempat dari dimensi yang berbeda?"

Luhan terlihat berpikir. "Terdengar sangat berlebihan dan tidak masuk akal, tapi sepertinya ya."

"Kau bukan penyusup?"

Luhan menggeleng kecil dan menatap memelas pada dua sosok di depannya. "Tidak, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan! Aku tidak mengerti ini di mana dan aku tidak paham apa yang harus aku lakukan."

"Kai, dia tampak bersungguh-sungguh."

Luhan hanya diam memperhatikan.

"Lalu setelah ini apa yang akan kau lakukan?" Tanyanya, dan Luhan hanya menggeleng pelan. Menatap kedua laki-laki di hadapannya dengan tatapan putus harapan. "Aku tidak tahu." Ucapnya, membuat kedua sosok itu menghela nafas.

"Siapa namamu?"

"Luhan."

"Berapa umurmu?"

"Sembilan belas."

"Baiklah Luhan-ssi, perkenalkan aku Sehun dan ini Kai temanku. Dan kami—"

Sehun menggantungkan ucapannya dia tidak memedulikan Kai yang memicingkan mata padanya.

"— adalah prajurit di barak ini."

"Ya—" Sehun dengan segera mencengkeram erat tangan Kai yang akan melontarkan protesan.

"Untuk sementara waktu kau akan tinggal di sini terlebih dahulu, dan untuk menjaga keamanan dan memastikan bahwa kau bukan penyusup, aku akan mengawasimu secara langsung. Dan aku juga akan melaporkan kasus ini pada pihak istana karena jelas-jelas ini bukan perkara yang kecil dan untuk mengetahui lebih pasti apa yang sebenarnya terjadi."

Luhan mengangguk paham, dan tiba-tiba seekor mahluk berbulu berlarian masuk. Bantalan bulu putih itu masuk membuat keributan, memecahkan beberapa barang dan mengacaukan suasana. Mahluk itu terdiam dan mengendus-endus sekitarnya, kedua kupingnya bergerak-gerak lucu saat dia mencari sesuatu yang entah itu apa. Dan saat mendekat dengan Luhan, mahluk berbulu itu meringsek masuk menggesek-gesekkan kepalanya dan memutari tubuh Luhan.

"Oh perkenalkan kelinci itu adalah tawananku." Ucap Kai. "Dan sepertinya dia menyukaimu."

Luhan hanya tertawa canggung, dia mencoba menjauhkan hewan itu tapi percuma dia malah mengendus tangannya dan kembali menduselkan kepalanya.

Sehun bangkit berdiri. Dia menatap Luhan sesaat lalu kembali mengalihkan pandangannya.

"Untuk saat ini beristirahatlah dulu. Dan siang nanti kau bisa mengikuti kegiatan yang ada di barak ini."

Sehun melangkah pergi dengan Kai di belakangnya.

"Ah, dan untuk kelinci itu kini bagianmu untuk merawatnya. Dia bagian dari penghuni barak ini, jadi perlakukan dia dengan baik, mengerti?"

Luhan mengangguk kecil dan menjawab. Dan setelahnya Sehun dan Kai pergi meninggalkan Luhan dengan kelinci ini.

Sejenak Luhan diam, Luhan tidak mengerti apa yang dia alami saat ini. Dia mengelus bulu kelinci itu dengan halus, tapi yang Luhan rasakan adalah nyata. Luhan lalu mencubit tangannya dengan kencang dan Luhan merasakan sakit itu. Ini bukanlah mimpi! Dia tersesat di dunia antah berantah.

Tangannya menyibak kain yang menutupi kakinya, ada yang aneh. Luhan tidak mengerti ini hanya perasaannya saja atau apa, tapi yang jelas Luhan merasa ada hal yang berbeda. Udara kini terasa bersahabat bagi Luhan, Luhan tidak merasakan sesak atau kesulitan bernafas. Dan saat Luhan berdiri semua terasa ringan, Luhan berjalan tanpa ada kendala. Luhan berkeliling sekitar ruangan dengan kelinci putih yang membuntuti, Luhan tidak merasa kepayahan bahkan jika untuk berlari sekalipun Luhan merasa baik-baik saja.

Luhan laku mengalihkan pandangannya pada cahaya yang menerobos lewat ventilasi tenda yang di buka. Berjalan, dan Luhan terdiam jantungnya serasa berhenti berdetak, saat cahaya matahari itu menerobos melewati tubuhnya tidak ada yang bersisa, bahkan untuk bayangannya sekalipun. Di sana lenggang, tidak ada bayangan dirinya— Luhan tidak memiliki bayangan.

Dan saat mendongak kan kepalanya, dia berdiri tepat berhadapan dengan sebuah cermin yang berukuran setinggi dirinya, meluruskan pandangannya melihat cermin itu. Namun di sana kosong, tidak ada cerminan dirinya, hanya menampakkan ruangan yang sepi dan seekor kelinci saja.

Luhan tidak mempunyai bayangan layaknya seorang manusia.


Kris bersenandung pelan. Di tangannya kini sudah tersedia nampan dengan satu hidangan lezat di atasnya. Setelah mengantar Luhan pulang Kris langsung pergi ke kampus karena memiliki urusan mendadak. Dan sekarang dia ingin mengecek kondisi adiknya.

Membuka pintu dengan pelan, gelap adalah hal pertama yang menyapa indra penglihatannya. Masuk dengan santai dia meletakan nampannya di atas meja dan tangannya bergerak menyalakan saklar lampu.

Kris mendapati adiknya tertidur dengan posisi duduk menyandar di kepala ranjang. Menghampiri Luhan dan mencoba membangunkannya, namun Luhan sepertinya lelap sekali.

Tidak tega karena Luhan tampak begitu pulas Kris akhirnya hanya bisa tersenyum dan membenarkan posisi Luhan. Membaringkannya dengan hati-hati, dan menyelimutinya hingga batas dada.

Duduk diam memperhatikan wajah Damai sang adik, tangannya terulur mengusap wajah itu halus. Tersenyum kecil, suara deru nafas itu benar-benar membuat Kris tenang.

Kembali mengusap wajahnya dan Kris beralih mengecup kening Luhan lama. Menyalurkan kasih sayangnya, menyalurkan rasa yang begitu membuncah meledak-ledak dalam dadanya tetapi sayang tidak bisa Kris ungkapkan.

"Selamat malam. Gege menyayangimu."

Mengecup bibit Luhan sekilas, dan bangkit berdiri. Mematikan lampu dan membiarkan Luhan berkelana dalam alam mimpinya.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Saya gak ada kata-kata lagi. Udah penuh di depan kkkk...

See you!

Don't forget to Read and Review.

Love you all. Muachhhhh.