Ray of Tiger Man who Loving Smile
Rate: T
Genre: Hurt/comfort
Disclaimer: Asagiri Kafka & Harukawa Sango.
Warning: OOC, typo, gaje dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini, dan semata-mata dibuat untuk bersenang-senang serta diikutkan pada event "shin soukoku week 2019" di tumblr.
Day 1: Eye of the tiger/Tickle a dragon's tail
Mereka tidak pernah duduk semeja, membayangkan lebih-lebih menginginkannya, karena sinyal permusuhan membuat sepotong kue menjadi pahit.
Semua karena selembar pesan yang ditaruh di depan pintu kamar Nakajima Atsushi–sementara pada kasus Akutagawa Ryuunosuke, kertas tersebut dititipkan ke tukang pos. Mereka mendapat mandat dengan tulisan tangan dan isi serupa–meminta supaya keduanya pergi ke kafe di persimpangan, lantas menunggu si penulis datang untuk menemani sepasang cangkir teh agar tetap hangat di meja kaca.
Namun, ekspektasi berbelok tajam dari realitas. Dua pemuda itu telah ditinggalkan setengah jam tanpa kepastian, dan canggung mulai berbau busuk dengan aura hitam di sekeliling.
"Dazai-san lama, ya. Menurutmu dia sedang apa?" Nakajima Atsushi–pemuda detektif itu memecah hening yang ngeri. Pandangannya menemui punggung berjas hitam yang sedari awal, telah membelakangi dia.
"Entah."
"Sepertinya Dazai-san bertemu wanita cantik, dan mengajak dia bunuh diri."
"Mungkin."
"Atau Dazai-san tenggelam lagi? Kuharap dia baik-baik saja."
"Hn."
"Tetapi menghilang setengah jam tanpa kabar tetap saja mengkhawatirkan. Apa kita harus men–", "Dazai-san tidak selemah itu. Berhenti mengatakan hal-hal bodoh," potong Akutagawa cepat yang lagi-lagi, tidak menatap Atsushi. Napasnya berembus letih meningkahi ketidakacuhan si anjing mafia.
"Tatap mataku saat kita mengobrol, Akutagawa." Sekian lama diabaikan, ganjalan itu kini terungkap dengan jernih. Mata hitam jelaganya bertamu pada sepasang nila yang sejurus kemudian, pamit dan kembali membelakangi.
"Siapa juga yang mengobrol denganmu?"
"Aku hanya mencoba mencairkan suasana sampai Dazai-san datang."
"Sia-sia, Jinko. Dazai-san tidak akan datang."
"Apa maksud–" Seorang pelayan datang menyuguhkan dua piring kue, teh apel, dan selembar kertas tanpa diminta. Tulisan familier itu adalah milik Dazai yang isinya membenarkan pernyataan Akutagawa.
Sayangnya aku ada pekerjaan~ Kalian berdua yang akur, oke?
"Memang Dazai-san seperti itu, ya. Tidak mengejutkan."
Nila warna itu terasa mengecil dalam senyum yang melelapkan air mata. Meluruh dan seolah-olah ingin tenggelam, tanpa Akutagawa pahami ke mana larinya jengkel yang membiaskan dia untuk membantah garis lengkung tersebut. Rashomon bahkan turun tangan menghentikan langkah Atsushi. Menarik kasar si bocah perak agar kembali duduk, dan mengikatnya biar tidak mencoba-coba kabur.
Kejengkelannya harus Akutagawa renggut kembali dengan mengutuhkan senyum di mata itu.
"Hentikan, Akutagawa. Kita sedang di luar, dan kau membuat pelanggan lain takut." Beberapa berlari panik melihat monster hitam berkeliaran. Atsushi memilih diam daripada ikut mengacau.
"Duduk dengan baik. Jangan mencoba pergi."
"Makanya tatap mataku." Rashomon dilepaskan sebagai persetujuan. Akutagawa menghadap Atsushi yang memperbaiki posisi duduknya, dan membiarkan hening sebagaimana ada.
Atmosfer larut dalam senyap yang mengherankan. Napas Atsushi menggarisbawahi resah tak berujung, sewaktu Akutagawa menatap sang detektif tanpa meloloskan jeda. Ke mana pun pandangan Atsushi dibawa pergi–entah atas, bawah, kiri atau kanan, Akutagawa gigih mengekori. Jika sepatu Atsushi sedikit keluar dari bawah meja, rashomon akan mengikat pergelangan kakinya untuk mengembalikan ke posisi semula.
"Sebenarnya apa masalahmu denganku?" Keanehan Akutagawa membangkitkan risi yang memporak-porandakan benak Atsushi. Tahu begini ia melawan saja dari awal.
"Makan kuenya."
"Eh? Kau menyuruhku atau bagaimana?"
"Hanya ada kita berdua di sini. Cepat makan kuenya." Sendok alumunium diambilkan rashomon yang sekalian memotong kue tersebut. Asam buah berpadu dengan manis cokelat memanjakan lidah sewaktu Atsushi mengunyahnya.
"Rasanya tidak enak?"
"Enak, kok. Akutagawa mau coba?" Tanpa menjawabnya rashomon merebut sendok. Memotong lagi kue buah itu, lantas menyodorkannya pada Atsushi yang hendak meraih gagang alumunium tersebut.
"Langsung makan. Jangan ambil sendoknya." Rashomon yang menyuapkan kue memberi sensasi ajaib bagi Atsushi. Hatinya sedikit tergelitik, karena tingkah menggemaskan ini tidak mempermanis wajah datar Akutagawa.
"Kamu sakit? Mau kuantar ke dokter?"
"Duduk saja di kursimu atau kuhajar." Garpu diarahkan ganas ke leher Atsushi. Tawa gugup lolos dari bibir keringnya yang turut disuguhkan secangkir teh.
Kue yang tersisa disuapkan rashomon tanpa melembutkan kecepatan. Remah-remahnya berhamburan mengotori meja, begitupun wajah sang detektif yang tertunduk malu. Atsushi membersihkan ujung bibir dan pipi menggunakan sapu tangan. Teh oolong-nya yang tinggal separuh dihabiskan dalam tiga teguk, dan ia memulangkan seulas senyum yang lagi-lagi, gagal Akutagawa bingkai dalam kejengkelan.
Senyum itu hanya sejenak menjadi garisnya sendiri, dan kembali pada masa lalu di 22 menit yang asing–pada sebuah waktu tanpa sedetik pun, muram mengikhlaskan wajahnya berpecahan dalam peluk kebahagiaan.
Kegelapan milik Akutagawa sebatas ingin mengembalikan segenggam keakraban yang dibencinya itu. Jika Atsushi terlalu monoton seperti sekarang, sang mafia akan kehilangan rival yang bisa dilawannya sepenuh raga.
"Makanmu berantakan sekali."
"Akutagawa memang tidak cocok melakukan hal-hal seperti ini, ya. Kamu kurang lembut dan terlalu cepat." Tisu di samping piring Atsushi gunakan untuk membersihkan meja. Namun, rashomon menghentikannya lagi entah disebabkan apa.
"Apa karena itu matamu jadi berbeda?" Karena semua akan salah jika cara tersebut adalah milik Akutagawa? Karena dirinya bukan gelap di atas awan, melainkan hitam paling malam tanpa bintang senja?
Apa karena kegelapannya adalah malam yang pencemburu, sehingga Akutagawa Ryuunosuke tidak diizinkan memahami dan selalu pantas untuk disalahkan?
"Berbeda bagaimana? Warnanya selalu begini sejak aku kecil."
"Cahaya matamu jadi seperti milik Dazai-san."
Apakah itu cinta, kasih, harapan, iba, simpati, bahagia atau semangat? Bentuknya abstrak tetapi menyimpan lika-liku labirin. Bukan tenang untuk berpulang, kebaikan yang bisa diandalkan terlebih membawa damai.
Cahaya Dazai adalah ambiguitas yang bagaimanapun angka matematika mencapai sekian miliar dalam tahun, menit atau detik akan mustahil Akutagawa pahami. Dan milik Atsushi sedang terjatuh ke fase itu, di mana bentuknya mulai kehilangan pribadi.
"Mana mungkin. Kami beda lagian." Sebelah tangannya dikibaskan menolak pendapat Akutagawa. Keseriusan pemuda serba hitam itu membungkam tawa Atsushi, dan mereka menjadi tegang.
"Punyamu lebih sederhana dibandingkan milik Dazai-san."
"Jujur. Aku tidak paham apa yang kau bicarakan. Lagi pula aku baik-baik sa–", "Cahaya Jinko tidak pernah redup dan selalu jujur." Akutagawa yang menemui sisi lemahnya itu membuat Atsushi patah hati. Mungkin, jika mendung pernah melupai dunia di mata ini, Atsushi tidak perlu menurunkan hujan yang merapuhkannya lagi.
"Dazai-san bilang padaku, 'ketika seorang ayah meninggal, mereka yang ditinggalkan akan menangis'. Aku ... entah bagaimana tidak bisa menyangkalnya." Kasus tempo lalu ternyata. Akutagawa ingat menjadi informan yang memberitahu perihal kecelakaan tersebut.
"Meskipun penjaga panti melakukan semua kekejaman itu demi kebaikanku. Rasanya tetap saja aneh, karena tiba-tiba menangisi dia. Aku yakin tidak pernah menganggapnya sebagai ayahku bahkan sampai kini."
"Tetapi ... kenapa aku menangisinya lagi jika untukku dia bukan ayahku? Ini benar-benar aneh sekaligus membingungkan."
Mana yang dusta atau murni kejujuran, Atsushi tidak lagi tahu karena keduanya basah dalam air mata. Semua sudah mengabur, menumpuk dan tidak berpadu mengacak-acak kewarasannya.
"Mafia bukan penghibur yang baik, Jinko. Kau salah jika menangis di hadapanku." Memeluk dan membisikkan ketenangan bukan peran tepat untuknya, mereka tahu itu. Semak-semak di seberang kafe menjadi pelarian untuk pandangan Akutagawa yang enggan menontoninya melemah.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja ... aku ..."
"Aku membenci seseorang yang lemah dan itulah kau. Tetapi kali ini saja ..." Sekuntum mawar diselipkan pada telinga kiri Atsushi, ketika Akutagawa berdiri di sampingnya. Rashomon baru saja mengambilkan dari semak-semak, sebelum sang tuan berniat meninggalkan kafe.
"Kelemahanmu itu kulupakan, karena mata seorang harimau telah kembali."
"..." PUK! Bahu Atsushi ditepuk pelan, dan sepasang nila menatap punggung hitam yang menjauh itu. Hanya rashomon Akutagawa yang menjawab tatkala Atsushi meneriakkan 'terima kasih', dengan menjitak si bocah perak tanpa ampun.
"Selamat ulang tahun, ya ... aku sampai lupa." Bisikan Akutagawa terlampau manis hingga pedih di kepalanya berguguran. Mungkin, dengan mempertahankan kenaifan serupa mereka bisa menjadi sahabat betulan.
Mata yang baik, perhatian pada harapan, meneduhkan gundah, dan cahayanya menggenggam para kebaikan untuk berpulang, adalah mata seorang harimau yang Akutagawa Ryuunosuke kenal.
Tamat.
A/N: Maafkeun diriku yang maruk ini. AtsuKyou week ikut dan AkuAtsu dibabat juga, dan jadilah yang AtsuKyou enggak update hari ini~ (moga besok bisa update tepat waktu). dan karena aku ikut dua, jadinya update kugilir yak WKWKW. mau protes silakan kok, marahin sadja aku yang gak tau diri mentang2 udah mau lulus ini.
Kalo soal ide di sini enggak ada yang spesial ya~ simple banget tapi kuharap, ini udah cukup buat di hari pertama. dan thx buat yang udah baca, review, fav/follow atau sekedar mampir. aku menghargai apa pun yang kalian berikan padaku~ mohon kritik saran juga biar di day 2 bisa lebih baik.
