This ficOwned by me.
Boboiboy, miliknya Animonsta
Warning!
Fic ini mengandung: "OOC tingkat akut, ranjau typo, gaje, abal, EYD ancur-ancuran.
Mohom di maklumi saya orang baru di dunia ini (?)"
RATE : M
Don't like, Don't read.
.
.
Moonlight I
(start)
.
.
Jarum jam di ruang tengah sudah menggandeng angka sebelas, saat Fang memutuskan untuk beringsut ke kamarnya di lantai dua. dengan malas menanjaki anak tangga, usai menuntaskan sepaket cerita fiksi di ruang perpustakaan. Empat novel dalam semalam—wajar saja matanya bengkak karena kantuk.
Lampu-lampu sudah dipadamkan, menyisakan beberapa ruangan saja yang selamat dari rengkuhan kokoh atmosfer gelap. Beberapa lilin mungil disulut, menyokong buram ruang penglihatan yang sempit. Fang menggosok matanya, mengerjap perih dari balik kacamata. Menyingkirkan rasa berat dari sana.
Baru mendaki seperempat undakan, suara samar televisi dari ruang keluarga agak menggelitik rasa jengkelnya. Itu pasti Kaizo, ia pikir. Laki-laki kepala tiga itu sama susah tidurnya seperti Fang. Bedanya, Kaizo melampiaskan dengan perbuatan onar. Ah! Jagan lupa juga, dengan para wanitanya. Mereka bising.
Fang menghela napas, meraih sakelar lampu di samping pintu kamarnya. Sedikit gerakan kecil, ruangan yang tadinya terang berbalik sempurna membutakan mata—Gelap.
Cahaya temaram lengkungan sabit bulan menjejali tirai beranda. Masuk, menantang gelap ruang kamar, dan entah kenapa malah terlihat menyedihkan. Rasanya, suram. Meski suara tawa Kaizo dan pacar barunya menggema rendah dari bawah sana, untuk alasan yang aneh—Fang merasa, sepi.
Kosong.
Langkah ringan menyeberangi ruang kamar, sekali sibak ia menggeser tirai beranda. Lembab dan berdebu—Entahlah, Fang sendiri lupa kapan terakhir kali, parka tebal sewarna batu mirah itu dibuka atau dibersihkan. Errm—
Sebulan? Setahun? atau mungkin—lebih lama lagi, ia tak ingat.
Tangannya dikibaskan, menghalau serbuk debu yang terbangan kegirangan. "Astaga—" Terbatuk-batuk sebelum akhirnya berhasil mengais gagang pintu kaca beranda. Berderit berat oleh karat, kemudian terbuka sempurna.
Langkahnya mantap, rasanya kantuk tak jadi datang. Sabit rembulan yang melengkung janggal di ujung langit, menjatuhi kepala serta tubuh tegapnya dengan sinar muram. Lebih lemah dari yang ia kira, lebih magis dari malam-malam sebelumnya.
Manik anggurnya memandang jauh ke bawah. Pada hamparan hutan yang bermandikan temaram keperakan. Tiupan angin bergelung pelan, menubruk kulit di balik kaos tipisnya—Dingin. Beberapa daun bergemerisik, bersahut ngeri dengan lolongan janggal serigala di ujung padang—tepat di tengah hutan, nampak seperti lingkaran ilalang yang diapit pinus-pinus serta pepohonan oak.
Ia takut. Tak bisa dipungkiri, sedikit gemetar.
Kemudian, kepala yang ditumbuhi surai gelap itu mendongak. Kembali memaku pandangan pada kebisuan bulan,
'Apa . . . akan terjadi lagi ya?'
Bisiknya—terbang oleh angin.
.
.
.
.
Sepasang kaki berhak tinggi. Melangkah panik menyisir rumput basah, tertatih menyeret tubuh yang gemetar hebat. Beberapa kali pohon pinus nyaris ditabrak, membuatnya memutar arah menjauhi hutan yang merapat. Membawa nasib pada padang ilalang.
Ia berlari, putus asa menyusuri ilalang setinggi pinggang. Terseok-seok sebelum akhirnya mendapati kaki tebing curam yang memotong ujung padang.
Jalan buntu.
"Hmm, tersudut nona?"
Gelenyar ngeri merangkul. Hawa kering mengikuti, suara itu dingin—kaku dan tajam. Seolah menekan takdir bahwa, kematiannya ada pada suara itu. "Ak-aku-aku mohon. . ." Rengeknya panik, disertai kucuran keringat dan air mata yang menghapus riasan cantiknya.
"Jangan . . . jangan bunuh aku. Tuan—aku," susah payah, ludah ditelan. "aku mohon—!" Maniknya membulat ngeri. Mendapati cakar-cakar tajam di ujung tengorokan.
Kekehan kering keluar dari mulut mahluk bengis di depannya, "Teruslah memohon cantik—kau tahu, kau pantas melakukannya."
Tangis pecah. Tubuhnya nyaris merosot gemetar. Putus asa, "K-ku-kumohon! kumohon tua—"
Lumpur berarak pecah, tubuh molek menggelepar heboh. Manik sembab melotot kaku, pada lengan yang menghajar jatuh tubuh gemetarnya. Susah payah merangkak, merayap sejauh mungkin dari ujung kaki calon pencabut nyawanya—si gadis menjerit nyeri, oleh jerat jemari di rumpun kepala.
Jerit melengking tajam, mencakar-cakar ujung langit temaram. Di belakangnya geram girang menyentil ujung napas, membuat raung tangis makin kasar. "Kum-k-kumoh—"
'Crakk!'
'Crak!'
'Crak!'
Suara daging terkoyak. Menggema rendah di antara pepohonan pinus. Sang mangsa jatuh. Tak berdaya, sekarat di dalam kubangan lumpur dan darah. Sementara si pemangsa—berdiri menjulang, memicing sinis dari bayangan hutan. Si mahluk ringkih meregang nyawa di bawah kakinya, mendengking sekarat sebelum akhirnya benar-benar tamat.
Senyum lebar ditarik, melengkung janggal di bawah temaram perak sang rembulan."Satu lagi, mahluk malang," dijejakannya sepatu bersol tebal, menghantam wajah mati. Makin terbenam pada lumpur. Kotor dan menyedihkan. "Dan, yah—terpaksa jadi makan malam ku." Membungkuk lebih rendah, meraih hasil buruannya.
'Krak!'
Sebelah tungkai patah. Tak ada teriakan, pun dengan geraman sakit. Karena memang pemiliknya tak punya hak lagi untuk itu. Ia sudah mati. Dan tubuh matinya tengah dikunyah sebagai santapan sang pemangsa.
Di tengah padang, lingkar ilalang pada pusat hutan. Bermandikan cahaya magis sabit rembulan, sedikit demi sedikit tubuh si mangsa dikunyah, dikoyak hingga puas rasa lapar pemangsanya. Taring-taring ganas menancap, menariki daging segar di bawah tubuh membungkuknya.
"Hoo—Kau masih saja bersikap barbar ya, Halilintar."
Suara lirih memergokinya. Dengan tenang ia mengangkat tubuh, melirik malas sudut tergelap pingiran padang. "Bukan urusanmu kan?"
Si pengganggu melangkah ringan. Menapaki area temaram bulan, "Jadi—begitu sikapmu? Pada teman lama? Sopan sekali Hali."
Sang pemangsa—Halilintar, menarik seringai panjang. "Apa maumu Ying?" Mengelap bercak darah di pipi dan permukaan bibirnya, "Aku sedang makan—Ah! Atau mungkin kau juga lapar?" Senyum mengejek ia pasang, sebelah tangan menyodor segumpal daging.
"Oh, tak perlu repot Hali. Aku diet." Jawab Ying. Mencibir.
"Puh!" Sembur Halilintar, "Jangan bercanda! Lintah sepertimu—diet? Astaga, bwahaha!" Tawanya bergemuruh, persis lolongan binatang buas. Ekornya ikut mengibas, tanda antusias. "Besok pasti akan ada badai!"
Ying mendengus kasar, "Lintah kau bilang? Ceh! Berani juga kau. Kalau begitu, tuan menyebalkan—bagaimana dengan dirimu? Apa sebutan yang pantas? Anjing liar? Hama? Parasit? Oh! Atau mungkin. . ." lirikan singkat jatuh pada ongok danging berlumpur, "Monster?" dengusan jijik meluncur.
Kekehan kering mengalun dari mulut Halilintar, mengambang aneh dalam hawa dingin malam. "Terserahmu, Nona vampire." ucapnya acuh, kemudian kembali sibuk pada daging segarnya.
Si gadis vampire mengernyit. Mendapati tingkah mengesalkan pemuda serigala di depannya, "Kau benar-benar. . . Suka menu menjijikan itu? Geh! seleramu payah." Ucapnya. Mengejek.
"Hei bung—Aku suka perempuan cantik terkapar di depanku. Apa hah? Kau bermasalah dengan itu?" Sergah Halilintar, mendapati kerut jijik di wajah pucat Ying.
"Bukan hanya menumu yang menjijikan. Kau tak kalah rupanya," Ying melipat tangan, merapatkan mantel hitamnya. "Setidaknya jangan mengunyah mereka seperti itu."
"Sudah kubilang Nona, aku suka melihat wanita cantik terkapar di dep—"
"Cukup! Aku mual mendengarnya Hali. Selesaikan makanmu! Ada yang ingin ku bicarakan," ucap Ying, suaranya serius dan tegas. Tak bisa dibantah.
Melirik sekilas, Halilintar menyipitkan mata. Manik kemerahan itu berkilat curiga, "Sepenting itu sampai kau yang harus turun tangan?"
"Seperti yang kau kira—Wolf boy." Seulas senyum tergurat. Senyum culas di mata Halilintar. "Kami punya tugas untukmu."
Halilintar hanya mendengus, berdiri tegap dari mangsanya. Menunjukan wajah bernoda darah. Taring-taringnya menyembul, terlihat saat pemiliknya menarik senyum gila. Ekor kemerahannya menggembang angkuh. Mengibas membabat udara berkali-kali, jelas tercermin rasa bangga akan diri sendiri. "Yakin sekali kau—Ceh! Seperti aku mau patuh saja!" Geramnya. Rendah dan mengintimidasi.
Tapi tidak untuk Ying. Menghadapi kesombongan Halilintar sudah jadi pekerjaan sampingannya. "Hoo~ Hali, aku bersumpah—kau tidak akan sanggup menolak yang satu ini." Balasnya, menaikan seringai.
Halilintar mengangkat sebelah alis, penasaran. "Dan, apa itu? Sesuatu yang tak sanggup ku tolak." Tantang Halilintar.
"Identitas."
Tersentak kaget, Halilintar menatap tajam vampire pendek di depannya. "Apa maksudmu? Ying, jangan bercanda."
"Hee~ kejam sekali, kau tidak percaya padaku." Rengek si pucat. "Dengar Hali, kau tahu kan betapa pentingnya sebuah identitas untuk mahluk seperti kau dan aku?" Tanya Ying, disambut anggukan paham.
Halilintar menyeringai. "Dengan identitas, aku bisa keluar dari kota sialan ini. Mahluk seperti kita bisa membaur. Dan tentu saja—Itu berarti mangsa yang lebih lezat!" Ucapnya, menimpali Ying. Matanya berkilat liar, membayangkan kebebasan dari jerat kota terkutuk. "Ah! Dan, apa syarat yang kau ajukan—Nona lintah?"
Lagi, "Khe!" Ying mendengus. "Kau pintar melihat peluang ya," sepasang manik birunya melirik ujung langit malam. Sabit rembulan nyaris hilang, tersudut oleh gumpalan awan.
Di sampingnya pendar keemasan berkerlip lembut, saat menoleh sosok Halilintar sudah kehilangan ekor dan telinga besarnya. "Ah_sekarang kau tak ada bedanya dengan makananmu sendiri Hali." Ejeknya. Sekilas Ying tertawa renyah, "Rupanya tingkat perubahanmu tergantung dengan bentuk bulan yah. Wah-wah repot juga. Jadi, kalau bulannya purnama sempurna, kau baru jadi serigala utuh? Sedih sekali~"
"Sialan! Katakan saja apa yang harus ku kerjakan bung!" Wajah Halilintar tertekuk masam. Sangat jengkel saat kekurangannya disingung.
"Oke-oke. Santai saja." Mengibas-ngibaskan tangan di ujung hidung Halilintar, Ying merogoh saku mantelnya. Menarik keluar selembar parkemen tua, "Ah! ini dia," menyodorkannya pada pemuda serigala, "Kudengar, kau bagus dalam hal mengendus," Ying berceloteh.
"Ckckck—Ying, kau tidak akan menemukan moncong lain yang sebaik punyaku di kota ini." Balas Halilintar. Menyombongkan diri. Di bukanya lipatan parkemen, mengamati isinya. Sebuah surat, ditulis rapih dengan bahasa sopan. Bau manis lemon menguar, menggelitik hidung Halilintar.
"Wah Ying, jadi ini baunya?" Beberapa kali ia mengendus. Dalam-dalam mengingat tiap celah dan lekuk bau, samar dan lemah. Begitu tenang, begitu rapuh, begitu—
Menggoda.
"Kau hanya perlu membawanya hidup-hidup. Jangan ada cacat sedikitpun." Ucap Ying. Wajahnya mengeras serius, "Itu yang dipinta petinggi timur. Selesaikan dan kau dapat identitas resmimu." Menatap tenang dari balik lentik panjang bulu matanya.
"Batas waktu?"
"Tiga bulan."
"Tiga bulan? Berlebihan sekali."
"Ah! Apa aku lupa mengatakannya," Ying tersenyum lebar, sepasang taring tajam menyembul jelas. "Target ini—" Serbuan angin malam menerpa, memainkan helai panjang surai gelapnya. Menampar wajah, tergerai panjang nyaris membelit pemuda jangkung di depannya.
Awan tebal bergeser, meninggalkan sabit suram langit malam. Di bawah rembulan, senyum misterius mengembang. Tersiram cahaya keperakan. "—harus sukarela menyerahkan diri. Tak boleh rusak oleh paksaan, " Lambat-lambat diliriknya jari Halilintar, kotor oleh darah dan lumpur. "Apalagi cakar busukmu."
"Oh, seperti kau belum tahu aku saja. Kalau sudah terjerat pesonaku—" Manik merah menatap remeh, tumpukan daging dan tulang dalam kubangan di bawahnya. "—anjing liar sekalipun akan patuh."
Hening menggantung lama. Bermain asik di antara dua pemangsa, masing-masing saling menyelami pemikiran mahluk di depannya. "Kita lihat saja," pecah suara lirih, menantang dengan arogan.
Udara malam makin dingin. Sinar lemah terakhir rembulan kembali tertelan. Gelap. Rintik pertama turun. Dua mahluk bengis, satu bangkai tercabik—terguyur di tengah padang ilalang.
"Kalau begitu, aku pergi dulu." Si vampire berbalik, menutup kepala dengan tudung mantel. "Aku tunggu hasil darimu. Ah—Jangan lupa membereskan makan malam mu." Telunjuknya lentik, mengacung pada tubuh mati. Senyum dingin terangkat,
"Dan, sebaiknya kau bergerak cepat—Hali, bukan kau saja yang menginginkan sebuah identitas." Ucapnya rendah. Dengan tenang berbalik, melangkahi ilalang panjang, menghilang dalam gelap bayang-bayang pinus.
Halilintar tak bergeming, memaku tatapan pada jejak terakhir si vampire. Angin mengacak lemah rambut pekatnya, "Hmm—" Seringai lebar membelah wajah bernoda darah. Diangkatnya selembar parkemen. Setinggi rentanganan lengan, membuat ia mendongak.
Beberapa tetes gerimis membasahi, melunturkan tulisan tinta. Aroma si target menguar, membuat seringai Halilintar makin lebar.
"Tunggu saja," bisiknya.
.
.
.
.
Pagi hari datang perlahan. Menyinari kota berkabut tempat Fang dan kakaknya—Kaizo tinggal. Udara benar-benar baru terasa hangat saat pukul sembilan lewat. Memecah embun jadi uap, menyegarkan suasana. Hutan masih basah, pastinya oleh gerimis semalam. Kubangan lumpur makin banyak bertambah, menguarkan bau khas.
Harusnya, dengan itu semua—Fang bisa mendapati hari yang tenang.
Tapi, tidak! Pemuda tujuhbelas tahun itu malah mengawali hari dengan napas terengah di atas ranjangnya.
Pagi ini, buruk untuk Fang. Ia terbangun dan mendapati sekujur tubuh dan seprei di bawahnya basah oleh keringat. Kepalanya berdenyut pening dengan jemari tangan gemetar hebat. Suasana hatinya benar-benar jelek, ingatan tentang mimpi mengerikan terus bergelantungan di otaknya. Mengejek dengan cara paling menjijikan dari yang pernah Fang ingat.
Bulan merah yang runtuh—berjatuhan menimpa dengan jari-jari busuk membelit lehernya. Fang bergidik sendiri mengingat mimpinya. Ngeri dan jijik disaat bersamaan. Ia sendiri bingung, sudah beberapa tahun terakhir mimpinya selalu sama. Anehnya terasa sangat nyata, ia bahkan merasa bisa melihat bercak kebiruan di lehernya—memutar lurus pada tiap lekuk. Hasil dari perbuatan jari-jari si setan.
Detik berikutnya, Fang melompat turun dari ranjang. Meraih kacamata persegi di atas nakas, usai menutup tirai beranda—mengeryit jijik saat tak sengaja bersentuhan dengan jamur lembab di tepian parka—sebelum akhirnya, memutuskan untuk turun ke bawah.
Sepasang tungkai dibalut celana panjang menuruni undakan tangga. Meringis pelan saat dingin jati mengigit telapak kaki. Melompati undakan terakhir, Fang melirik malas ruang tengah. Televisi menyalah, Kaizo dengan pacar terbarunya—yang kesebelas bulan ini—duduk berdekatan dalam satu selimut. Bergelung saling menghangatkan, sesekali daun telinga Fang dibuat panas saat mendapati desah memuja.
Pakaian wanita berserakan di mana-mana, bertumpuk satu dengan milik Kaizo—tercecer menyesaki ruang tamu yang memang tidak terlalu luas. Membuat Fang berkerut jengkel, "Sampah satu ini," geramnya, mengeraskan rahang. Langkah kaki sengaja dibuat menghentak-hentak, menegaskan kejengkelan yang luar biasa mengelegak dari dasar tengorokan.
Kaizo memang selalu seperti ini. Fang sendiri tidak tahu, seingatnya—dulu, Kaizo orang yang menyenangkan, berkeperibadian hangat dan dewasa. Tapi semenjak tiga tahun yang lalu, saat mereka pertama kali pindah ke kota kecil ini. Pria dewasa itu mengalami kerusakan moral yang bukan main parahnya.
Fang akui, untuk dirinya sendiri—kepindahan mereka cukup susah untuk diterima. Jauh dari orang tua dan harus meninggalkan kenyamanan tempatnya yang dulu. Terpaksa hidup berdua di bawah atap rumah asing. Terpencil, terhimpit diantara gunung dan bukit-bukit kecil dan yah—kebanyakan hanya ada hutan.
Tapi—Itu bukan berarti Kaizo harus merusak diri sendiri kan? Fang benci ini. Ia sangat benci, saat saudara satu-satunya perlahan jatuh berkubang dalam hal yang menjijikan.
"Oh! Adik kecil—sudah bangun?" Sapa Kaizo riang, mengangkat kepala dari ceruk leher penuh ruam si wanita."Tidak pergi ke sekolah?"
"Kemarin hari kelulusanku bodoh!"
"Dingin sekali reaksimu Fang." Cibir Kaizo, mendudukan diri lebih tegap. Membuat desahan kecewa keluar dari mulut wanita di bawahnya. "Mimpi buruk lagi?" Kaizo bertanya, kali ini terdengar tulus.
Dari dapur, helaan napas bergema. "Bukan urusanmu Kaizo," balas Fang acuh, sibuk dengan sepotong roti dan selai kacang."Dan lagi—apa kau tidak bisa menggunakan kamarmu? Itu, yang di pojok dekat tangga, kalau kau lupa." Sindirnya, mendelik risih.
"Di sini lebih menyenangkan." Kaizo menyeringai nakal, "Kapan-kapan kau juga harus coba." Terbahak saat mendapati adik pemarahnya tersedak roti di meja makan. Sementara wanita di dadanya terkikik geli, Fang susah payah mendinginkan wajah, megutuk dan menyumpah dari atas menu sarapannya.
"Kaizo idiot!"
Saat matahari sudah meninggi, jam berdentang pada pukul satu siang. Kaizo dan pacarnya memutuskan untuk makan siang di luar, meninggalkan Fang yang berguling malas di ruang baca. Sebuah buku tebal terbuka lebar di bawah hidung, berbau jamur dan debu. Biasanya, Fang akan sangat menikmati aroma itu—Tapi tidak jika ia sudah membaca buku itu tigabelas kali.
Bosan.
Memutuskan untuk makan siang, Fang berjalan malas melintasi ruangan, menuju dapur. Tak butuh waktu lama, dahinya berkerut kesal. Tak ada apapun yang bisa dijadikan pengganjal perut, ia pikir—Kaizo pasti mengerjainya.
Laki-laki itu tahu betul, jika Fang tidak suka pergi keluar. Dan sekarang, ia harus membeli makanannya sendiri. Hah!
Jika saja perutnya tidak terus-terusan mendengking, mana mau ia saat ini susah payah mengayuh sepeda, gelabakan mencari toko terdekat. Dan bagusnya, yang paling dekat—terimakasih Tuhan!—tiga kilometer dari rumahnya.
Dengan jalan berlekuk serta agak menanjak. Ah, jangan lupa juga hutan lebatnya. Rapat dan suram, seolah mengukung dari tepi jalan. Rasanya benar-benar diejek oleh nasib.
"Awas saja Kaizo! Kupecahkan ban mobilmu nanti," geramnya dari atas sepeda. Kaki-kakinya kelelahan, keram serta mati rasa. Beberapa kali ia mengutuk, menyumpahi nasib sial untuk Kaizo.
Entah sudah belokan yang keberapa ia lalui, yang jelas hutan yang rapat belum menunjukan tanda-tanda kehidupan pusat kota. Hingga udara mendingin, dua titik dingin menjatuhi ujung hidungnya. Hujan.
Sial!
Kayuhan dipercepat, jaket dieratkan. Menerobos hujan bak kucing kesetanan."Ceh!—Kaizo sialan! Persetan dengan saudara! Mana ada kakak yang tega seka—"
'GUSRAK!'
Semua terjadi dalam hitungan detik, saat sepedanya jatuh terpental menuruni lereng curam hutan. Beberapa kali tubuhnya terguling, tersambar kubangan lumpur dan semak berduri.
'BRUKHH!'
Membentur pangkal kokoh pohon pinus, Fang rasa sebelah bahunya patah. Nyeri. Rahangnya mengeras, menekan geraman lolos dari tengorokan, menyisakan ringisan bisu, menahan sakit di sekujur tubuh.
Kacamatanya retak, nyaris kotor seluruhnya, mengaburkan penglihatan.
Ia mendongak, saat sepasang kaki lembek tertanggkap samar manik violetnya. Pandangannya terangkat tinggi, menatap gemetar mahluk setinggi dua meter, berdiri menjulang di atasnya. Fang yakin, monster itu yang tadi menubruk sepedanya hingga jatuh dari tebing jalan.
Dari balik kacamata cacatnya, samar-samar terlihat, seringai memanjang si monster. Membelah lebar wajah busuk penuh lendir kecokelatan—bertumpuk membentuk jeli menjijikan.
Sekali raup, tangan besar mencengkeram leher Fang. Menyeretnya hingga terangkat cukup tinggi dari lumpur, membuat Fang mengeliat panik.
"Le-pas-khan!" Suaranya serak, sedikit banyak tercekat oleh belitan jemari kasar—sisanya oleh saliva yang tersendat, bercampur pekat dengan liquid hujan yang tanpa ampun menerobos tengorokan. Menetes-netes menuruni dagu hingga berakhir di pangkal jaket kotornya.
Kaki-kakinya menendang asal, memberontak putus asa. Susah payah ia melawan, meninju asal tak karuan. Cengkeraman Fang terangkat, meraih daging lembek pada lengan busuk. Daging lapuk mengelupas janggal, meningalkan asalnya, melepaskan bau luar biasa amis.
'Sial!' Batin Fang, putus asa.
Bukannya melemah, cengkeraman di lehernya malah mengerat. Napas diseret paksa meningkalkan paru-paru, membuat otak serasa mati fungsi perlahan. Kesadaran seolah melambaikan salam perpisahan, mengejek Fang dengan berengseknya.
"Oke—Bung, cukup sampai di situ."
'BRUKHH!'
Suara angkuh disertai tendangan telak di kepala si monster menyelamatkan nyawa Fang.
Cengkeraman di lehernya bergetar, melongar hingga lepas sepenuhnya. Tubuh memarnya kembali menghantam lumpur, lagi-lagi menimbulkan suara berderak yang mengerikan. Mati-matian ia menjaga kesadaran, melawan rasa pegal di otaknya. Tapi gagal—Napas berat makin memburamkan matanya.
Sakit.
Terakhir, hanya temaram kabur sewarna emas yang bermain di sudut kacamata buramnya.
Kemudian—
Gelap.
.
.
.
TBC
.
.
Alohaa~~ \(^_^)/
Oke, jadi ceritanya ini genre fantasy #Eaaa. Dan kalau ada yang penasaran (kalau ada) kenapa saya nulis genre ini, itu karena sepupu saya yang tiba-tiba ngotot mau baca fic yang ada bau-bau(?) fantasynya. Dan—Yak, fic abal inilah akibatnya. Semoga gak ada yang muntah darah ya. . .
Oh ya, fic ini didasari dari ship kesayangan sepupu saya, jadi masih asing buat saya bikin halilintar kek gini. Makanya kalo, rada nggak beres maapin saya yah^^
Ps: Maap buat yang matanya perih karena typo.
Akhir bacot,
Review?
