Dante Fiorenza

Disclaimer ©Masashi Kishimoto

Storyline : Yukirin Shuu

Saya tidak mengambil keuntungan materi apapun dari fanfiksi yang saya publish.

Uchiha Sasuke x Uzumaki Naruto

Western, Drama, Supranatural, Hurt/Comfort

WARNING! AU/SHO-AI/OOC

.

.

.


Romania, 1900

"Kami mohon, sucikanlah makam ini, agar hamba-mu yang kami istirahatkan di sini akhirnya bangkit bersama Engkau dan hidup mulia sepanjang masa,"

Suara berat khas orang tua meluncur dari mulut sang pastor. Senja itu, orang-orang berkumpul bersama suasana duka yang menyelimuti keadaan hati diantaranya. Payung hitam menutupi para tamu yang hadir dalam upacara penghormatan terakhir dan terlihat mengelilingi dua buah pusara yang terpampang kokoh di gereja tua Rumania.

Dari seluruh orang dewasa yang hadir, salah satunya adalah seorang anak kecil berusia lima tahun yang berdiri dengan dua kaki mungilnya di dekat pusara. Dengan khidmat ia melantunkan doa bersama tetes air mata yang berdurai dengan menelusupkan jari-jari tangan mungilnya layaknya seorang penebus dosa.

"Semoga Tuhan menerima mereka dalam damai dan membangkitkannya untuk hidup kekal."

Perasaannya kacau. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Saat mendapat kabar kematian tentang kedua orang tua yang sangat penting dalam hidupnya kelak, tubuh mungilnya seakan terbanting.

Sebagai bocah yang cukup peka, ia menangis sejadi-jadinya.

Ibu dan ayah telah tiada. Hal itu menjadi mimpi buruk baru yang selalu akan membayanginya. Bagaimana ia yang hanya sebagai bocah berusia lima tahun menghadapi kerasnya kehidupan?

"Sayang,"

Wanita berperawakan tinggi menarik halus kedua tangan bocah kecil tersebut. Mencoba untuk menyalurkan kehangatan yang ia miliki dengan meremas pelan telapak mungil dalam genggamannya.

Tidak ada yang berubah. Bahkan perlakuan dari bibinya itu semakin membuat air matanya bertambah deras. Isakan kecil terus ia keluarkan sejak doa pembuka.

Ia sudah berusaha untuk menghentikannya. Namun, tubuh mungilnya tidak berkata demikian. Perasaannya terlalu sulit untuk menerima hal ini.

Di dekapnya tubuh ringkih bocah tersebut oleh sang bibi. Walaupun sedikit jarang untuk mereka bertemu pandang, terkecuali saat berkunjung ke rumah satu sama lain.

Setidaknya ia merasakan kehangatan ketika dikelilingi oleh hal dingin seperti ini. Mungkin terlalu dingin dan bisa saja membuat tubuh mungilnya mati.

Mati dan menyusul kedua orang tuanya kah?

Dilihatnya secara seksama wajah mungil bergaris kucing yang terlihat lebih merah dari biasanya. Hati Sara semakin terasa sakit melihat keponakan kecilnya itu. Walaupun keluarganya terkenal taat, terkadang Sara berpikir jika tidak seharusnya orang tersiksa dengan cara seperti ini.

Apa hal itu menyebutkan bahwa Tuhan tidak adil?

"Naruto," Ucap Sara dengan lembut seraya mengusap pipi gembul milik bocah bersurai pirang tersebut. Sedangkan yang dituju hanya menyorot tanpa bisa diartikan.

"Ayah dan ibumu telah berbahagia di surga, mungkin mereka tidak akan senang jika melihatmu menangis seperti ini." Dielusnya kulit halus yang membuat Sara selalu merasa tenang.

"Apa itu benar?" Gumam Naruto lemah. Ada sedikit harapan di kedua mata biru langitnya itu. Ia sangat mencintai orang tuanya. Itu sudah menjadi sesuatu yang mutlak menurutnya walaupun pikirannya masih sangat kecil.

"uhum, kau tidak ingin kan mereka sedih melihatmu dari sana?" Ujar Sara seraya tersenyum hangat. Tapi hal itu tidak menyembunyikan perasaannya yang hancur.

Kala itu Sara tengah merajut benang-benang merah miliknya. Sesuatu yang menyenangkan menurutnya saat sudah melihat pola rajutan tersusun rapih hingga membentuk sebuah syal.

Hingga mendengar pembicaraan seorang warga yang mengatakan sekelompok perampok bersenjata menyerang salah satu kereta kuda yang sedang dalam perjalanan pulang. Sayangnya, itu adalah Kushina bersama Minato.

Rasanya seperti membalikkan seluruh dunia dan hilang secara bersamaan.

Namun, ada hal yang membuat Sara tidak dapat berpikir jernih. Mengapa Kushina memberi hak asuh Naruto kepada orang lain?

Bahkan Sara tidak tahu benar tentang siapa gerangan orang itu. Hey ayolah, bagaimanapun juga Sara adalah seorang adik yang berbakti pada orang yang lebih tua, terutama Kushina.

Dan ia menyayangi keponakannya itu layaknya seorang anak mengingat dirinya tidak dapat memiliki keturunan.

Takdir memang sulit ditebak, bukan?

Setelah melakukan doa terakhir, kaki-kaki tersebut satu per satu meninggalkan pemakaman. Sang surya bagi mereka telah tiada. Hanya meninggalkan seberkas siluet yang akan terus di ingat jika sebenarnya terang itu tidak sepenuhnya lenyap.

Dan cahaya bulan akan menemani di baliknya.

.

.

"Dimana dia?"

Suara bariton khas milik seorang pria mau tidak mau membuat Sara harus menghadapinya. Akhirnya datang juga. Pria berperawakan tinggi dan sepertinya ia seorang bangsawan. Kesan angkuh tidak akan bisa lepas dari wajah stoic miliknya.

Dengan perasaan campur aduk Sara menghadapi orang di depannya itu. Sehari setelah pemakaman, pria bersurai hitam tersebut datang seorang diri di malam hari. Terlebih dahulu Sara menawarkan jamuan di rumahnya, tetapi jelas sekali jika pria itu tidak pandai berbasa-basi.

Uchiha Sasuke.

Bibirnya tidak henti-hentinya menanyakan keberadaan keponakan milik Sara. Bahkan pria itu tidak berniat berlama-lama di kediaman Sara, si pengurus gereja.

"Biarkan ia tinggal sejenak. Bagaimana pun juga Naruto hanya anak kecil yang baru saja kehilangan orang tua!" Ada penekanan saat Sara membalas perkataan pria itu. Selain itu, Sara tidak rela melepaskan Naruto yang seharusnya menjadi tanggung jawab Sara.

Bukan Uchiha Sasuke.

"Selanjutnya, aku yang menjadi orang tuanya." Sahut Sasuke datar. Mata elangnya masih setia menyorot perubahan raut muka wanita bersurai merah dihadapannya. Ekspresi Sara yang menahan amarah dengan menggigit bibirnya.

Sasuke sudah sangat paham dengan ekspresi manusia selama seribu tahun hidupnya.

"Kenapa kau berbicara seperti itu!?" Ketus Sara. Ia bahkan melupakan tingkah lakunya di depan seorang tamu. Yeah, Sara tidak memperdulikan hal itu. Ia hanya mau Naruto tinggal dan hidup bersamanya. Merawat satu-satunya anak dari sang kakak yang sejak dahulu itu adalah harapannya.

Mempunyai seorang anak.

"Kau bisa lihat kertas itu." Kembali Sasuke bersuara tanpa sedikit perubahan raut di wajahnya. Terlihat selembar kertas dengan tinta hitam diatasnya, tercantum sebuah pernyataan resmi berupa penyerahan hak asuh anak yang diberikan kepada Uchiha Sasuke dari Uzumaki Kushina.

Sara meremat gaunnya. Apakah ia tidak berguna sampai Kushina melakukan hal itu?

Sejenak Sara berusaha untuk menjernihkan pikirannya. Mungkin ada sesuatu yang terjadi diantaranya sehingga Naruto tidak akan tinggal bersamanya? Entahlah. Sepertinya, Sara terlalu lelah memikirkan tentang itu. Sara menghembuskan nafasnya pelan. Mungkin ini demi kebaikan keluarganya.

"Biarkan aku menjenguk Naruto secara rutin." Ujar Sara terselip nada permohonan disana.

"Butuh setengah hari perjalanan jika kau menggunakan kereta kuda." Kali ini Sasuke terdengar sedikit berbeda menanggapinya.

"Apa itu menjadi sebuah masalah?" Balas Sara tanpa setitik keraguan di matanya. Ia bahkan rela melakukan apapun demi berperan untuk merawat Naruto. Terdengar Sasuke mendecih pelan saat mendengar jawaban dari Sara. Keras kepala sekali wanita ini.

"Strada Docentilor, disana tempatku."

.

.

"Naru, selalu ingatkan jika kau merasa sedih atau takut?" Ujar Sara lembut seraya menggunakan liontin kuno pemberian sang nenek pada Naruto.

"Tuhan selalu bersama kita." Sambung Naruto tersenyum.

Setelah berbicara empat mata dengan keadaan yang menekan bersama pria raven tersebut, Sara hendak mengantarkan kepergian naruto bersama satu tas perlengkapannya.

Bocah manis ini akan segera pergi rupanya, batin Sara sendu.

Naruto memandang Sara dengan senyum, begitu juga sebaliknya. Namun, senyumnya memudar tergantikan oleh garis bibir yang menekuk.

"Ada apa?" Ujar Sara sedikit khawatir.

"Apa aku bisa bertemu bibi lagi?" Pertanyaan balik yang dilontarkan dari Naruto membuat Sara memasang wajah polos, lalu tertawa.

"Tentu saja, manis. Apa kau tidak ingin melihatku lagi?"

Naruto yang mendengar ucapan Sara langsung menggelengkan kepalanya dengan lucu. Bocah berusia lima tahun itu hendak memeluk sang bibi dihadapannya.

Sepertinya Sara akan sangat merindukannya.

"Baiklah." Gumam Sara seraya melepas dekapannya. Wanita itu mengisyaratkan Naruto untuk memberi hormat pada pria raven yang sedari tadi menyaksikan seluruh percakapan mereka.

"încântat să te cunosc."

Suara anak-anak menyapa indera pendengaran Sasuke. Ada binar keraguan pada iris biru langit yang menatapnya itu. Tapi seperti biasanya, Sasuke hanya menanggapi dengan gumaman khas miliknya.

"Haide."

Naruto yang mendapat respon dari pria bernama Sasuke itu tersenyum manis layaknya seorang anak-anak. Ia pun mengikuti langkah panjang pria dihadapannya menuju Duesenberg yang terparkir di depan pekarangan rumah.

Langkah Sasuke terhenti, mau tak mau Naruto yang melihatnya ikut menghentikan langkahnya. Pria jangkung tersebut membalikkan tubuhnya menghadap Naruto yang terlihat kecil dimatanya.

Sasuke menyamakan tingginya dengan bocah pirang tersebut. Menatap dengan seksama pada mata biru yang juga menatapnya bingung.

"Naruto." Ujar Sasuke datar.

"Da."

"Panggilan apa yang cocok untukku?" Tanya Sasuke dengan pandangan menyelidik. Ada perasaan tidak sabar saat melihat Naruto yang tengah berpikir lama, namun mata birunya terus menyorotinya dengan tajam. Entahlah, tapi itu membuat Sasuke geli melihat raut muka bocah bermarga Uzumaki tersebut.

"Kakak? Uncle?" Perkataan Naruto membuat Sasuke mengangkat sebelah alisnya.

"Daddy?"

Sasuke kembali beranjak dan membalikkan tubuhnya. Pergerakan pria raven itu tidak lepas dari perhatian Naruto yang mengikutinya untuk masuk ke dalam Duesenberg.

"Aku suka panggilan yang terakhir." Sahut Sasuke seraya mengangkat tubuh Naruto untuk memposisikan duduknya di dalam.

"Apa itu membuatmu senang?" Tanya Naruto saat mendapati pria yang di dekatnya sedikit tersenyum.

Walaupun itu hanya sekilas.

Sasuke yang mendapat pertanyaan, kembali menatap Naruto dengan dingin.

"Apa wajahku terlihat senang?" Entahlah, Sasuke bahkan kembali melontarkan pertanyaan bukan jawaban. Naruto yang melihatnya mengalihkan perhatiannya pada jari mungil yang memainkan ujung pakaiannya.

"Scuze."

Sasuke yang mendengar gumaman pelan dari bocah tersebut masih setia memandanginya.

"Kenapa kau minta maaf?" Ucap Sasuke mencoba untuk memancingnya.

"Karena aku membuatmu tidak senang." Jawab Naruto seraya mengangkat kepalanya cepat, mempertemukan mata birunya dengan onyx yang menatapnya lekat.

"Benarkah?" Ujar Sasuke dengan intens. Sepertinya cukup menyenangkan bermain-main dengan bocah pirang itu.

"Mungkin." Gumam Naruto kembali menundukkan kepalanya. Ada perasaan gugup jika ia mendapat perhatian seperti itu, terutama untuk orang yang menurutnya baru.

Sasuke menyusul untuk memposisikan dirinya di samping Naruto. Mengingat pembicaraannya dengan Sara, Sasuke bahkan ragu jika wanita itu bisa sampai ke tempatnya dalam waktu yang cepat jika nanti ia akan menjenguk.

Pasalnya, kediaman pria raven itu cukup tersembunyi dari keramaian kota.

.

.

"Apa kau menyukai sesuatu?"

Sekitar empat jam yang lalu mereka menghabiskan waktu dalam perjalanan menuju distrik Strada Docentilor. Sebelumnya Naruto yang setia memandang jalanan pinggiran kota, akhirnya larut dalam tidurnya dan terjatuh mengenai sisi Sasuke.

Tanpa menimbulkan suara yang dapat mengganggu, ia berusaha membenarkan letak posisi bocah tersebut di atas pangkuannya.

"Umh.. Ibu mengajariku cara menanam bunga dan itu menyenangkan." Ucap Naruto seraya mengarahkan telunjuknya ke bibir. Ia berjalan mengikuti Sasuke melewati pekarangan rumah yang tidak bisa dibilang kecil.

Tidak. Lebih tepatnya mansion bergaya eropa kuno yang di kelilingi oleh tumbuhan konifer. Hal itu tidak membuat Naruto berhenti memandang takjub bangunan yang terlihat seperti kastil itu.

Mereka berjalan dalam kediaman dengan posisi Naruto yang terlihat bersembunyi dibalik tubuh Sasuke. Terlihat seorang pelayan perempuan bersurai pirang pucat menunggu tepat di pintu utama.

"Bun venit înapoi domnule." Sambut pelayan wanita tersebut seraya membungkukkan tubuhnya.

Bersamaan itu, Sasuke menghentikan langkahnya. Kepalanya sedikit menoleh untuk melihat keadaan Naruto.

"Gugup kah?" Gumam Sasuke, namun masih terdengar oleh Naruto yang langsung mengangkat kepalanya.

Dengan gerakan yang kikuk, Naruto berusaha menunjukkan dirinya pada kepala pelayan tersebut. Iris birunya memberanikan diri untuk menatap mata lavendar yang juga tengah menatapnya.

"Tunjukkan tempatnya." Ujar Sasuke tanpa membuat kontak mata dengan lawan bicaranya.

"Baik, tuan."

Naruto merasa sedikit tidak rela saat Sasuke pergi meninggalkannya. Perhatiannya ia alihkan pada wanita bersurai pirang pucat tersebut.

"Siapa namamu?" Tanya Shion seraya merendahkan tubuhnya pada Naruto.

"U-uzumaki Naruto." Cicit Naruto. Hal itu membuat Shion yang melihatnya tersenyum tipis.

"Baiklah Naruto, ayo ikut denganku." Sahut Shion seraya menjulurkan telapak tangannya pada bocah pirang tersebut. Naruto yang awalnya merasa ragu akhirnya menyambut uluran tangan Shion yang terlihat lebih besar dari telapak tangannya.

Semoga ini menjadi hal yang baik.

.

.

Mereka memasuki ruang utama berarsitektur khas romanian. Bersama sentuhan mocassin dan corak-corak semne cusute sebagai ikon utama dalam bangunan bergaya gothic tersebut.

Terdapat seratus enam puluh ruangan di dalam bangunan tersebut bersama lukisan dari berbagai macam aliran yang tepampang di setiap dinding. Berbagai macam ornamen guci keramik yang diukir secara mendetail tidak pernah lepas dari setiap sudut ruangan.

Setelah beberapa menit mereka berjalan, Shion menghentikan langkahnya di depan pintu cokelat bercorak lachy sadeckie. Jemari putihnya memasukkan ruas kunci pada lubang dan memutarnya beberapa kali.

"Apa kau menyukai pastry?" Tanya Shion sesaat mereka telah berada di dalam ruangan yang cukup luas untuk seukuran anak kecil. Naruto masuk setelah terlebih dahulu Shion memandunya.

"Uhum." Gumam Naruto sebagai respon.

"Aku akan membuatnya. Ingin makan bersama esok?" Ujar Shion dengan ramah. Naruto yang mendengarnya langsung menolehkan kepalanya untuk melihat Shion.

Tak lama garis lengkung tercetak pada bibirnya. Shion yang melihatnya secara reflek ikut tersenyum membalasnya.

Manis sekali dia, batin wanita bersurai pirang pucat tersebut.

"Tentu, nona." Ujar Naruto ringan.

Shion yang mendengar perkataan dari bocah mungil itu sedikit terpaku, lalu terkekeh. Naruto yang melihatnya terheran-heran saat menangkap suara pelan dari wanita dihadapannya.

"Panggil aku Shion, Naruto." Sahut Shion dengan senyum manis khasnya. Naruto yang melihatnya langsung mengalihkan perhatiannya dan memulai kebiasaannya untuk menggigit bibir.

"Baik, Shion."

Shion mengelus puncak kepala pirang bocah dihadapannya. Cukup terkejut saat merasakan lembutnya helaian rambut yang terasa lebat di tangan putihnya itu.

"Nah, kau harus tidur sekarang. Bukankah perjalananmu sangat panjang?" Tanya Shion seraya menggiring Naruto kearah kasur berukuran king size yang telah tersedia.

Namun sebelum itu, Shion terlebih dahulu mengganti pakaian yang melekat pada tubuh Naruto. Wanita tersebut mengambil sepasang piyama hitam berukuran kecil pada nakas meja, sedangkan Naruto terus memandanginya dari posisinya yang duduk di pinggiran kasur.

Shion pun kembali mendekati Naruto hendak membuka satu per satu kancing kemeja putih yang dikenakannya. Mata lavendarnya menangkap sebuah bandul yang bersembunyi dibalik pakaian bocah pirang tersebut. Sejenak Shion terpaku pada pantulan cahaya dari benda tersebut.

Cukup lama Shion tidak mengalihkan perhatiannya sampai suara Naruto kembali menyadarkannya. Iris lavendarnya bertubrukan dengan sapphire di hadapannya.

"Ada apa?" Tanya Naruto sedikit khawatir ketika melihat sang kepala pelayan berprilaku tidak biasa.

"Tidak apa. Hanya saja, liontin itu sangat indah." Puji Shion tulus. Naruto yang mendengarnya sedikit menundukkan kepala seraya menyentuh pelan benda pemberian dari mendiang neneknya.

"Mulțumesc." Sahut Naruto.

Shion kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Ada sesuatu yang membuat Shion merasakan sesuatu.

Apa hal ini pertanda baik?

"Baiklah, tidur yang nyenyak. Besok pagi kita akan berjalan-jalan, okay?" Ujar Shion seraya memasangkan selimut tebal berbahan beludru. Sedangkan, Naruto hanya bergumam khas seorang anak kecil.

"Noapte buna."

.

.

Jarum jam mengarah pada angka dua dini hari. Mungkin sudah terlalu larut untuk seorang wanita seukuran Shion yang masih terjaga pada tempatnya.

Namun itu merupakan rutinitasnya sebagai pelayan utama untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan di buat sebagai sarapan hingga menjelang makan malam. Ia memang sudah terbiasa akan hal itu.

Setelah selesai menyimpan loyang yang berisi adonan pada penghangat, ia meletakkan celemeknya pada hanger. Jemarinya membenarkan letak pengikat rambut yang sedikit turun seraya bergegas kembali ke ruangannya.

Dalam perjalanan menuju tempatnya, ada sesuatu yang membuat langkah wanita bersurai pirang pucat itu terhenti. Matanya menangkap pemandangan yang menurutnya tidak biasa selama ia bekerja di kastil tersebut.

Sang tuan yang sangat jarang sekali terlihat tengah berdiri tegak di depan pintu yang sebelumnya ia masuki.

Kamar bocah pirang yang sempat bersamanya sebelumnya.

Entah angin apa yang membuat Shion bersembunyi dibalik pilar ketika melihat pergerakan pria raven tersebut memasuki ke dalam ruangan.

Setelah mendengar suara decitan pintu yang tertutup, Shion kembali menampakkan dirinya. Ia memang harus memberi privasi pada tuan rumahnya itu.

Pikiran Shion berpusat pada rencana esok yang akan ia lakukan bersama bocah pirang tersebut. Bibir tipisnya tidak henti-hentinya tersenyum saat memikirkan hal itu. Sepertinya ia menyukai anak bermarga Uzumaki itu.

Mengingat wajahnya saja Shion bahkan tidak sabar untuk melihatnya nanti.

.

.

Tok tok tok.

Shion membuka knop pintu dan memasuki ruang tidur bocah berusia lima tahun tersebut dengan perlahan. Bersamaan Shion masuk, dilihatnya Naruto juga terbangun.

"Ah, sudah bangun rupanya?" Tanya Shion seraya tersenyum manis melihat wajah khas bangun tidur Naruto. Sedangkan yang dituju hanya bergumam menanggapinya.

"Ayo kita bersihkan tubuhmu, lalu setelah itu sarapan." Ujar Shion seraya membuka tirai jendela. Naruto yang telah mengumpulkan kesadarannya langsung menuruni ranjang yang cukup tinggi, tapi ia mampu.

"Buna dimineata." Sahut Naruto. Shion yang melihatnya tersenyum. Tangannya mengacak-acak helai pirang yang memang sudah berantakan. Namun hal itu menambah kesan imut menurutnya.

"Buna dimineata, Naruto." Balas Shion.

Setelah itu, ia menggiring Naruto untuk melakukan ritual pagi.

.

.

"Shion." Ujar Naruto pelan. Terlihat sebuah meja keramik yang sangat panjang, mungkin sekitar tiga meter terletak di pertengahan mansion.

Berbeda dengan waktu yang telah menunjukkan sinarnya, suasana bangunan tersebut cukup sepi, namun mencekam bersamaan.

"Ada apa?" Respon Shion seraya menuangkan teh hangat pada secangkir keramik.

"Dimana yang lain?" Tanya Naruto dengan pandangan yang mengikuti gerak aliran air teh.

"Ah, mereka sedang melakukan pekerjaan." Ucap Shion ala kadarnya. Wanita itu mengambil satu piring yang berisi potongan pastry hangat. Aromanya bahkan membuat bocah pirang tersebut tertawa.

"Ada apa?" Ujar Shion saat mendapati tawaan khas seorang anak kecil.

"Aku suka aromanya." Sahut Naruto terdengar riang. Entahlah, tapi rasanya ia teringat mendiang ibundanya yang selalu membuatkan dirinya seloyang pastry saat liburan.

"Begitukah?"

"Uhum." Gumam Naruto sedikit menunduk. Shion melirik saat mendapati gelagat Naruto yang berubah.

"Dimana daddy?" Tanya Naruto tiba-tiba. Hal itu membuat pergerakan Shion sempat terhenti.

"Ah, tuan sedang melakukan pekerjaannya." Sahut Shion dengan senyum tipis. Naruto yang mendengarnya hanya mengangguk pelan.

"Apa nanti Shion akan mengajakku jalan-jalan?" Ujar Naruto dengan binar senang di mata birunya.

"Tentu saja. Tapi setelah kau selesai sarapan, okay?"

.

.

Setelah bermain cukup lama di taman belakang mansion, Naruto saat ini sedang berada di kamarnya seorang diri. Malam hari belum terlalu larut sehingga dirinya masih bisa terjaga dengan membaca sebuah buku dongeng yang ia bawa dari rumah bibinya.

Mata birunya dengan fokus membaca tulisan latin yang pernah ayahnya ajarkan dahulu. Otaknya memang cukup cerdas di umurnya yang terbilang masih kecil.

Pandangannya beralih saat pintu kamarnya terbuka dan menampilkan sosok yang ia kenali.

Uchiha Sasuke.

Kaki jenjangnya melangkah menuju sang objek yang terduduk pada lantai berlapiskan karpet permadani. Iris sapphirenya terus menyorot polos pada onyx tajam yang mendekatinya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Suara bariton khas milik pria raven tersebut membuat perhatian Naruto kembali pada buku tersebut.

"Ini!" Sahut Naruto seraya menunjuk buku tebal berisikan ratusan cerita dongeng. Sedangkan Sasuke yang mengikuti arah geraknya hanya mengangkat sebelah alis. Cukup membuat Sasuke terkesan saat melihat bocah berusia lima tahun itu telah mengetahui tulisan asing.

"Besok malam, kau sudah pergi ke akademi." Ujar Sasuke datar. Sedangkan yang dituju hanya mengedipkan kedua bola matanya polos. Diam-diam desahan halus keluar dari bibir sang tuan rumah.

"Apa kau tidak lelah?" Tanya kembali Sasuke. Sepertinya ia harus mulai mempelajari beberapa cara menghadapi seorang anak kecil.

Naruto yang mendengar pertanyaan Sasuke hanya menggeleng. Ia memang belum merasa mengantuk. Cukup lama keduanya terdiam. Sampai Naruto menolehkan kepalanya untuk kembali melihat Sasuke yang juga tengah memandanginya.

"Apa daddy akan mengantarku ke akademi?" Tanya Naruto pelan.

"Apa kau ingin aku mengantarmu?" Oh man, cobalah kau mengerti Sasuke. Bukannya malah membalas pertanyaan dengan pertanyaan.

"Umh.. Tidak juga. Mungkin aku akan bertanya pada Shion." Balas Naruto yang entah kenapa membuat sebelah mata pria raven tersebut berkedut. Sudah sejauh mana kedekatan mereka berdua, huh?

Saat mata elangnya menangkap bocah pirang tersebut menguap kecil, ia berinisiatif untuk mengangkatnya. Naruto yang entah kenapa tiba-tiba merasa lelah akhirnya menaruh kepalanya pada pundak lebar pria bermarga Uchiha tersebut.

"Tentu saja aku yang mengantarmu, bocah." Ujar Sasuke dengan suara rendahnya. Tanpa menimbulkan suara, Sasuke memposisikan tubuh Naruto senyaman mungkin. Dilihatnya iris biru tersebut masih setengah terbuka menatapnya.

"Apa daddy tidak menemaniku?" Gumam Naruto.

Entah angin apa yang membuat Sasuke menuruti perkataan anak kecil tersebut. Maksudku, ayolah. Baru kali ini Uchiha Sasuke bertindak diluar kepribadiannya yang terkenal dingin dan apatis.

Sasuke menempatkan dirinya disamping tubuh bocah bermarga Uzumaki tersebut. Naruto yang sepertinya menyadari jika pria raven itu tidak pergi meninggalkannya langsung mendekat dan menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Sasuke. Sedangkan, tangan pucatnya berusaha mendekap tubuh kecil tersebut.

Mungkin karena keberadaan Naruto yang mampu membuatnya bertindak diluar kebiasannya.

.

.

"Maafkan saya tuan jika saya lancang menanyakan hal ini, tapi apa itu keputusan yang baik untuk Naruto mengikuti akademi di malam hari?" Pertanyaan yang Shion lontarkan, tidak sama sekali mempengaruhi pergerakan Sasuke yang berfokus pada bukunya.

Shion baru saja mengantar sebotol red wine ke ruang baca yang biasa Sasuke singgahi di mansion. Walaupun saat ini matahari menunjukkan sinarnya, hal itu tidak membuat seluruh ruangan kastil selalu mendapatkan cahaya.

Termasuk ruang baca itu.

Shion merasa bodoh saat tidak mendapati jawaban apapun dari tuan rumah. Sedikit menyesal ia bertanya seperti itu. Setelah itu, Shion pamit undur diri dan melakukan tugasnya seperti biasa.

Membangunkan Naruto dan sarapan.

Setelah ia menaiki anak tangga yang menghubungkan ke lantai dua dan melewati beberapa ruangan, barulah ia berdiri tepat di pintu kamar sang bocah tersebut. Kali ini Shion langsung memasukinya tanpa mengetuk terlebih dahulu.

Saat melihat, Shion sedikit terkejut namun disusuli oleh senyum tipisnya.

"Kau sudah bersiap?" Tanya Shion saat mendapati Naruto yang telah berdiri di dekat pintu hendak memutar knop. Dilihatnya Naruto sudah mengenakan kemeja panjang putih dan celana hitam pendek.

"Manis sekali!" Puji Shion seraya mencubit pelan pipi bergaris kucing itu. Naruto yang mendapati perlakuan seperti itu hanya tersenyum lebar.

"Ayo, kita sarapan."

.

.

"Apa kau takut?" Tanya Sasuke ketika melihat Naruto yang sedari tadi tidak berbicara. Saat ini mereka dalam perjalanan menuju akademi Bucureşti, tepatnya di ibukota.

"Apa nanti kau akan meninggalkanku?" Tanya Naruto seraya menoleh memandang Sasuke dengan lengkung bibir yang menekuk, sedangkan Sasuke hanya diam melihatnya. Naruto yang mendapati hal itu menundukkan kepalanya.

Mereka sampai pada bangunan beratap kerucut khas romania kuno. Pada bangunan diterangi oleh beberapa lampu yang cukup memberi penerangan yang jelas di malam hari.

Pada akademi di malam hari, anak hanya menjalani proses belajar sekitar empat sampai lima jam, dimulai dari jam tujuh tepat. Ada beberapa orang anak disana bersama orang tua mereka yang mendampingi untuk akademi malam.

Sasuke turun terlebih dahulu sebelum ia membantu Naruto menurunkan bocah tersebut dari dalam mobil. Seperti biasanya untuk Naruto, jika ia bertemu dengan orang baru, ia akan menyembunyikan dirinya dibalik orang dewasa.

Walaupun sebenarnya dia anak yang supel.

Sasuke menoleh untuk melihat Naruto yang tengah memandang keramaian anak seumurannya bersama pendamping mereka untuk mengantar. Sepertinya ia akan sendirian tanpa Sasuke.

Atau mungkin ia akan mendapat teman?

Sasuke menyamakan tingginya dengan Naruto. Mata onyxnya menatap lurus pada sapphire yang juga memandangnya dengan keraguan.

"Kau bisa melakukannya, bukan?" Ujar Sasuke. Kali ini terselip cemas dalam nadanya.

"Mungkin." Gumam Naruto seraya menggigit bibir mungilnya. Entah angin apa yang membuat Sasuke merasa gemas? Tidak, tidak. Uchiha tidak pernah merasa seperti itu.

Dalam percakapan keduanya, seorang wanita bersurai cokelat panjang mengenakan dress selutut menghampiri keduanya.

"Maaf, apa anakmu memiliki jadwal malam ini?" Tanya wanita cantik tersebut. Sasuke menoleh dan hanya merespon dengan dua kata miliknya. Sedangkan Kurenai, nama dari seorang wanita tersebut hanya tersenyum maklum.

"Siapa namamu, manis?" Tanya Kurenai ramah pada bocah pirang yang melihatnya dengan ragu.

"Umm.. Naruto." Gumam Naruto kecil, tapi Kurenai masih bisa menangkapnya.

"Baiklah, ayo kita ke kelas." Tawar Kurenai seraya mengulurkan tangannya pada Naruto. Ia yang awalnya ragu, akhirnya menerima ajakan Kurenai dan digiringnya memasuki bangunan tersebut.

Sesekali kelopak matanya menoleh ke arah belakang tepat Sasuke berdiri memandangnya.

"Manis sekali."

.

.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Sasuke saat dilihatnya Naruto telah kembali dan hendak memasuki Duesenberg.

"Umh.. Sangat menyenangkan." Jawab Naruto riang.

"Apa terjadi sesuatu?" Ujar Sasuke sedikit curiga.

"Uhum." Gumam Naruto pelan. Dirinya masih setia untuk menunggu ucapan Naruto berikutnya.

"Sakura bilang jika Hinata menyukaiku. Jadi aku mempunyai teman." Sambung Naruto dengan sedikit meninggi nada bicaranya. Sasuke sedikit terpaku mendengarnya. Ada perasaan tidak terbaca saat mendengar perkataan yang keluar dari bibir mungil itu.

"Siapa Hinata?" Tanya Sasuke datar. Iris onyxnya tidak lepas dari setiap pergerakan Naruto yang cukup aktif.

"Dia teman kelasku." Sahut Naruto dengan senyum manis memandang langsung onyx di sampingnya.

"Sakura juga." Sambungnya kembali seraya mengalihkan perhatiannya dari Sasuke. Okay, sepertinya Sasuke harus membiasakan sikapnya pada Naruto.

Narutonya akan memiliki banyak teman. Yeah, itu tidak bisa dihindarkan karena memang ia memasuki akademi.

Setelah Shion,

Lalu teman-temannya.

Tapi Sasuke yang akan selalu bersamanya, bukan?

.

.

To Be Continued.


.

A/N

- "încântat să te cunosc." (senang bertemu dengan anda.)

- "Haide." (ayo.)

- "Da." (Ya.)

- "scuze." (maaf)

- "bun venit înapoi domnule." (selamat datang kembali, tuan.)

- "mulțumesc." (terima kasih.)

- "noapte buna." (selamat malam.)

- "Buna dimineata." (selamat pagi.)

.

.

Halo Ha! Semoga kalian yang membaca fic ini merasa terhibur, walaupun mungkin sedikit heheh gapapa deh! :D

Please enjoy!