"Venesia, aku selalu mendukungmu."

Apa?

"Venesia, jangan memforsir dirimu, repot kalau kau sakit…"

Ada apa?

"Nes… aku tahu kau bisa, namun aku juga paham kau sedang dilemma."

"Venesia."

Siapa?

"Nesia!"

Siapa?

"Hei, aku selalu ada di sampingmu, Venesia…"

Kau siapa?

Siapa yang memanggilku?

"Ini aku, Nes. Aku…"

Kau siapa?!

"Venesia. Aku sayang padamu. Kau sahabatku yang sangat berharga."

Hentikan.

"Aku menyayangimu… kawan."

Hentikan. Sakit… sesak…

"Apapun yang kau lakukan… aku selalu mendukungmu."

Hentikan-

'Ciiit, braaak!'

"ILYUSHA!"

-seorang gadis Indonesia, terbangun dari tidurnya di tengah malam dengan napas terengah dan wajah pucat pasi.

Ia terduduk dan lantas menekuk lututnya, memeluknya dan sebisa mungkin menahan tangis yang mengancam keluar.

Namun tetap saja, tempiasnya pecah dan suaranya mengisak parau, "Ilyusha…"

.

.

.

Memories of You, My Precious… Dear Friend?

.

.

.

Hetalia © Hidekazu Himaruya

Memories of You, My Precious… Dear Friend? © Mmerleavy Ellesmerea

.

No copycat, of story and else, please.

Stop plagiarisme, mari ciptakan dunia berkarya yang damai dan penuh pertanggungjawaban.

.

T rated, an hurt/comfort romance story

.

RomaNeSha (Romano x fem!Indonesia x Ilyusha) FanFiction, OC!fem!Indonesia : Venesia Violet, OC : Ilyusha Ackerley, hidup OC! #disambit, human names used –human name nya South Italy/Romano tetep Romano; baca Author Notes untuk penjelasan, probably OOC, awas miss/typo(s) berseliweran, an absurdly short multichapter fic, etc.

.

Do not like? I beg you not to waste time here.

.

.

.

Chapter 1 : Memoar dan Kehadiranmu

.

"Hei, Venecciana, jangan melamun."

Gadis yang ditegur mendongak dan segera menyadari keteledorannya, kini lantai di bawah kakinya telah basah oleh air kran.

"Ah, maaf, Romano. Akan segera kubereskan." Gadis itu berlari mengambil lap pel yang diletakkan di kardus di pojok ruangan dan segera kembali untuk mengeringkan lantai yang basah tersebut.

Venesia Violet, kecerobohannya sepertinya memang sudah bawaan sejak lahir. Ataukah… ada sesuatu yang mengganggu pikirannya?

Romano, melihat Venesia dengan cemas. Pemuda Italia tersebut segera menghampiri gadis yang merupakan kekasihnya itu dan menyentuh pundak si gadis Indonesia.

"Ada apa?" tanyanya.

Venesia hanya terdiam, lalu menggeleng, "Tak ada apa-apa. Aku hanya sedikit blank tadi, maafkan kecerobohanku."

"Kau yakin tak apa? Sepertinya kau butuh istirahat. Duduklah, aku bisa menangani kafe ini sendiri jika hanya untuk satu jam kedepan, toh kafe ini tidak sedang ramai-ramainya."

"Tidak, tidak. Aku akan tetap bekerja, dear. Aku tak apa."

Sekali lagi Romano menatap kekasih hatinya itu dan menelisik matanya. Setelah beberapa saat, pemuda itu menghela napas dan mengangguk, lalu berbalik kembali ke dapur setelah meninggalkan sebuah kecupan hangat di kening Venesia.

.

"Hei," bisik Romano di telinga Nesia ketika ia memeluk gadis itu dari belakang. Hampir saja piring di tangan Nesia jatuh ke wastafel.

"Romano! Kau mengagetkanku!"

"Hmm, maaf."

Nesia melanjutkan acara cuci piringnya-tugas terakhirnya setelah bersih-bersih dan tutup kafe.

Jam dinding sederhana warna ungu-hitam yang digantungkan di bagian dinding sebelah kirinya kini menunjukkan waktu pukul delapan malam.

Romano terus saja memeluknya seperti itu sampai ia selesai mencuci perkakas kotor yang ada di bak cuci.

Pemuda Italia itu lalu menarik sang gadis untuk menuju ke lantai dua -kediaman sang gadis- setelah mematikan lampu kafe, dan duduk di sofa empuk dengan Romano memangku Nesia -dengan gaya duduk miring- yang sedang memerah pipinya.

"A-apa?" Tanya Nesia dengan gugup, menyadari betapa sesuatunya posisi mereka. Ia percaya Romano takkan melakukan hal-hal yang aneh sebelum mereka menikah, tapi tetap saja jantungnya berdebar dengan cepat dan aliran darahnya seakan sedang berlomba untuk memusatkan diri pada kedua belah pipinya yang kuning langsat.

Romano tak segera menjawab pertanyaan itu, alih-alih ia membelai kepala si gadis yang tertutup kerudung. Tangan sang pemuda turun ke pipi si gadis, berhenti cukup lama di sana dan bermain dengan belah pipi yang halus itu. Si pemilik pipi bisa merasakan bahwa wajahnya pasti memerah segar sekarang.

"Venecciana."

"Romano."

Si pemuda tersenyum tipis, hampir tak kelihatan, namun wajahnya memerah ketika mendengar kekasihnya memanggil namanya dengan begitu lembut.

"Kau tahu kau bisa bercerita tentang apapun, kapanpun padaku, dear."

"Hmm, lalu?"

"Berceritalah."

"Tentang apa? Apa yang harus kuceritakan?"

"Jangan berpura-pura, Venecciana…"

"I am not."

"Yes, you are, darl."

Nesia terdiam.

"Sungguh, Romano. Apa yang kau minta dariku untuk diceritakan?"

"Bekas airmata di pipimu tadi pagi? Matamu yang sedikit bengkak dan terlihat sembab saat bangun tidur? Mengapa?"

Memang, tadi pagi Romano –dengan tumbennya- sudah berada di kafe pada pukul enam pagi. Tak perlu menanyakan tentang bagaimana dia masuk, karena berhubung dia adalah salah satu dari pemiliki Kafe bernama Venecciana di'Romano ini, maka otomatis dia memiliki kunci kafe ini.

Pagi tadi, Romano mendapati Nesia dalam keadaan yang kacau –dengan rambut kusut semai, mata sembab dan sedikit memerah, dan dengan jejak bekas airmata yang terpeta di pipinya.

"Venesia…"

Romano memanggil gadis itu dengan benar* dan dengan nada selembut desir angin di padang bunga. Membuat si gadis mau tak mau harus bercerita –mana bisa dia menolak kekasihnya jika pemuda itu sudah menggunakan panggilan satu itu?

Maka Nesia menunduk dan bercerita dengan suara lirih.

"Kau ingat seseorang bernama Ilyusha?"

"Hmm, sahabatmu di Indonesia yang kecelakaan dulu itu?"

Nesia mengangguk.

"Saat aku pergi ke Inggris untuk mengejar beasiswa, dia masih saja tertidur. Yah… aku masih merasa bersalah karena secara tidak langsung, penyebab kecelakaannya adalah kecerobohanku."

"Ssh, sayang, kau tak salah. Jangan memojokkan dirimu seperti itu lagi." Romano menggenggam dan membelai dengan lembut tangan si gadis saat dilihatnya mata hitam kecokelatan itu mulai berkaca-kaca.

Gadis itu menggeleng, "Tidak, memang akulah penyebab tragedi itu."

"Venecciana…"

"Sampai saat ini aku tak mengetahui kabarnya sama sekali –sahabat macam apa aku ini? Aku meninggalkannya dalam keadaan setengah mati begitu sedangkan sebelumnya ia mengorbankan dirinya untuk melindungiku!

"Bahkan setiap kutelepon Ibu atau kawan-kawanku yang lain di sana, meski aku sadar, aku mengingat Ilyusha, namun tak pernah sekalipun timbul keberanianku untuk menanyakan eksistensinya… aku ini kejam."

Romano menarik gadis yang tengah menangis itu ke dalam pelukannya, membawa kepala itu ke dadanya, memeluk tubuh mungil si gadis yang bergetar hebat.

"Semalam, saat aku terlelap. Jauh dari dalam kegelapan anganku, aku mendengar seseorang memanggilku." Nesia berhenti sejenak untuk mengambil napas dan melanjutkan, "Saat suara itu terus menggema dalam kepalaku, lamat-lamat akhirnya aku mengenali siapa yang memanggilku –itu Ilyusha. Dan kilasan musibah di hari itu terputar kembali dalam benakku… Romano… hiks… Romano," isak Nesia sembari menenggelamkan dirinya dalam kehangatan dekap sang kekasih.

Gadis itu terus saja menangis dalam pelukan sang pemuda Italia yang mengelus kepalanya, memeluknya erat dan terus membisikkan kata-kata lembut untuk menenangkan si gadis.

Mereka terus seperti itu sampai si gadis terlelap dan si pemuda sama sekali tak bisa tertidur.

.

.

.

"Selamat datang!"

"Meja untuk lima orang."

"Baik, silakan, nona."

Nesia mengantar tamu-tamu itu ke meja mereka, mencatat pesanan mereka dan segera meluncur ke dapur –tempat Romano bekerja dengan segala masakan kebanggaannya.

"Sepertinya mereka pelanggan terakhir kita hari ini hm?" Tanya Romano pada Nesia yang sedang meneguk segelas air mineral untuk menghilangkan rasa hausnya.

Gadis itu mengangguk singkat setelah minumannya habis. "Ya, setelah ini kita bisa tutup."

"Rasanya agak aneh untuk tutup kafe pada saat siang begini."

"Ahaha, apa boleh buat, kita sudah harus menentukan bentuk kue pengantin. Atau kau mau ganti hari, eh?"

Pemuda itu melirik sejenak lalu menggeleng dengan pipi bersemu merah, lantas berkata, "It's a big no no. Aku mau hari ini kita menyelesaikan desain kue itu… sekalian kencan."

Nesia tertawa saat melihat Romano bersemu merah dan berusaha menutupinya dengan menaburkan gula halus di atas roti yang baru saja keluar dari panggangan.

"Kau tahu, Romano?"

"Hmm?"

"Kau manis saat blushing," ucap Nesia sembari mencolek pipi Romano dengan krim kocok di mangkuk.

"Berisik." Romano mengatakannya dengan suara pelan dan wajah semakin merah. Meski alis itu menukik dan bibir itu merengut, Nesia tahu sebenarnya Romano sedang senang, karenanya gadis itu pun tertawa.

"Nih, segera antarkan ke meja nomor duapuluh."

"Aye, aye, Cap'n~!"

Nesia membawa senampan pesanan untuk lima orang, "Silakan. Kami harap kalian menyukainya!" ucapnya dengan riang dan senyum ceria.

Setelah beberapa saat, meja itu kosong dan seisi kafe terlihat sepi dan lengang. "Fuuh… akhirnya. Romanooo! Kau yang cuci piring ya, aku mau siap-sia-"

Klining.

Belum juga ucapan itu tuntas, bunyi lonceng di pintu kafe mengalihkan perhatian sang gadis.

"Selamat datang, maaf, kami sudah tutup untuk hari in-"

Tepat saat Nesia menoleh pada pelanggan yang baru membuka pintu kafe tersebut, Romano keluar dari dapur dan mendapati kekasihnya hanya terdiam sambil melihat si pelanggan. Bolpoin yang ada di tangan Nesia terjatuh.

"Kau…"

"Hai, lama tak jumpa…"

Sebuah senyum tulus tergurat di wajah sang pelanggan. Nesia mengingatnya, sangat mengingat senyuman macam itu. Senyum yang mungkin… sangat ia rindukan selama ini.

"Akhirnya aku menemukanmu... Venesia."

Dan suara itu, serta tatapan penuh kerinduan dari pemuda yang masih memegang gagang pintu kafe Venecciana di'Romano. Tidak mungkin Nesia melupakannya,

"Ilyusha…?"

.

.

.

To Be Continue

.

.

.

*biasanya, Romano memanggil Venesia dengan 'Venecciana', Romano hanya menggunakan nama 'Venesia' untuk saat-saat tertentu saja.

A/N : jangan sambit saya! Iyaa, saya tau masih banyak tanggungan fictions saya, tapi sekarang malah balik dengan watados dan sebuah cerita baru, multichap pula! Iya saya tau, saya tau, saya keren kan? BD #disambitbeneran

Ehem, oke, jadi sebenernya, FF kali ini adalah sekuel dari novel buatan saya –sebuah novel sekitar delapan puluh halaman A4, untuk lomba, yang dikebut hanya dalam waktu dua hari, DUA HARI! (W O AO)W

Kalau nggak jadi menang lomba, ntar saya post novelnya di FFn deh~ hyahaha~ #eh

Ehem, kenapa nama manusia Romano tetep Romano? Oho, itu karena keperluan cerita, keperluan novel saya itu, jadi ya… gitu deh '_')v #ditimpuktomat

Oke, ini bakal cepet saya lanjutin kok, soalnya ini request dari senpai saya, Heichou penggila kentang, wkwkwk *dilirik heichou-senpai *keringat dingin *kabuuur

Yang pasti, FF satu ini saya tanemin(?) prinsip "Lebih Cepat SANGAT Lebih Baik!"

Oke, see you in the next week for second chap!

-Mmerleavy Ellesmerea. 6th of October 2013, 10.05 p. m.