Summary

Mengejar masa lalu yang tak pernah sanggup untuk di lupakannya.

Gadis yang masih polos tentang seperti apa sebenarnya kehidupan .

Hanya bertumpu pada majinasinya semata….

Bahwa semua jenis kehidupan yang berputar disekelilingnya selalu terlihat mudah.

.

.

.

Bad Boys

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto

Bad Boys milik Bird Paradise

Main Character: Sabaku Gaara, Hyuuga Hinata, Uchiha Sasuke, Yamanaka Ino.

Rated T+

Genre: Romence, Friendship, Drama, Angst, Tragedi, Hurt/Comfort dll.

Warning

AU, OOC, Typo(s), Gaje, Abal, Ide pasaran, dan warning-warning lainnya.

Don't Like Don't Read

Don't Like Don't Read

Don't Like Don't Read

.

.

.

Musim semi kali ini adalah musim semi yang sangat di nanti oleh dua gadis berbeda warna rambut. Terbiasa hidup di di tanah gersang dan bergurun, membuat kedua pasang mata indah itu tak mau berkedip untuk melewatkan pemandangan berwarna cerah sepanjang jalan yang mereka lewati.

"Ne Hina-chan, bunga sakura benar-benar indah," gumam gadis berpupil aquamarine sambil mengarahkan handycam pada deretan pohon sakura yang berdiri indah di sepanjang jalan yang mereka lewati.

"Ya, kau benar Ino-chan?" balas gadis bersurai indigo yang berjalan disampingnya.

"Udaranya juga sangat segar, tidak seperti di Suna yang selalu panas," ungkap gadis blonde yang tak henti-hentinya memuji kota yang sekarang mereka tinggali. Ya. Konoha. Sebuah kota berhawa sejuk dengan keindahan alamnya yang terlihat hijau. Bertahun-tahun lamanya kedua gadis cantik itu tinggal di kota kelahiran mereka yang beriklim panas dan kering, membuat mereka merasa tinggal disebuah kota impian seperti surga.

"Apakah sekolah disini juga menyenangkan seperti waktu kita bersekolah di Suna?" Walaupun Suna tidak senyaman di Konoha, tetap saja Ino merasa begitu menyukai masa-masa mereka bersekolah di Junior School di Sunagakure.

"Hem… semoga saja Ino-chan.." Gadis berpupil lavender itu menyunggingkan senyuman untuk sahabatnya.

"Kita harus bahagia di sini. Supaya kita tidak mengecewakan Otou-san dan Inoichi Jii-san," imbuhnya.

"Ya, kau benar Hina-chan, aku sudah tidak sabar untuk bersekolah besok." senyuman ceria tersungging dari bibir manisnya.

"Aku juga Ino-chan," timpalnya.

"Ah… kau tidak sabar bertemu dengannya kan Hina-chan? goda Ino sambil terkikik geli. Ia bisa melihat perubahan kulit wajah sahabatnya itu. Kedua pipinya yang nampak merah dan sangat menggemaskan mengundang untuk di cubit.

"A-apa maksudmu Ino-chan?" Hinata mulai tergagap. Karena sahabatnya yang memang jahil itu sudah mulai menggodanya.

"Hah… jangan mengelak Hina-chan, aku bersahabat denganmu sejak kita pree school dulu. Dan jangan pernah lupa, bahwa aku…" ada jeda sejenak. Ino melirik sahabatnya yang tampak semakin memerah pipinya. "tahu semua tentang dirimu… dan mungkin hatimu yang masih belum bisa melupakan si merah itu." ucapnya sambil menunjuk dada Hinata. Gadis bersurai indigo itu hanya diam menunduk. Ucapan sahabatnya barusan memang benar adanya. Ia rela jauh dari keluarganya untuk hidup sendiri di kota asing demi bertemu kembali dengan pemuda yang menjadi cinta pertamanya. Dan ia sangat bersyukur karena teman blondenya itu mau menemaninya untuk melanjutkan sekolah di Konoha –tentunya dengan alasan yang berbeda. Kota yang menjadi tempat tinggal pemuda yang selama ini masih mendiami hatinya.

"I-itu tidak benar Ino-chan, aku bertekad melanjutkan studiku di Konoha bukan karena itu." ungkapnya dengan suara yang lirih. Ia masih mencoba menyangkal ucapan sahabatnya yang terbukti seratus persen benar itu.

"Ha..ha.. kau tidak bisa membohongiku Hina-chan, mungkin dengan orang lain bisa, tapi tidak denganku." Ino menyeringai melihat Hinata yang semakin menundukan kepalanya. Melihat Hinata yang nampak menahan malu, akhirnya Ino memutuskan untuk membuat Hinata kembali ceria.

"Eh? Hina-chan…di seberang jalan ada kedai es krim, bagaimana kalau kita kesana? Aku yang traktir oke?" katanya dengan suara yang ceria. Hinata mengangkat kepalanya. Memandang kedai es krim sejenak dan beralih memandang sahabatnya.

"Em, boleh?" Hinata kembali tersenyum. Ino sangat tahu –hal apa yang membuat sahabatnya itu kembali pada mood-nya yang bagus.

.

.

.

Tok. Tok. tok.

Terdengar beberapa kali ketukan di pintu bercat putih itu. Hinata bergegas membukanya. Dan dihadapannya terlihatlah gadis dengan rambut pirangnya terkuncir rapi model ekor kuda, seragam dengan logo bertuliskan Konoha Senior High School di saku blazernya sebelah kiri. Hanya satu kata yang pantas menggambarkan gadis itu. Cantik.

"Ohayou, Hina-chan! Kau sudah siap berangkat kan?" sapanya ceria pada gadis yang terbengong di hadapannya. Mereka memang tinggal di kawasan apartemen elit di Konoha dengan pintu yang saling berhadapan. Tentunya mereka tidak mau tinggal berjauhan mengingat mereka hanya berdua di kota asing ini tanpa saudara yang lain. Karena orang tua mereka yang memang tergolong berpenghasilan tinggi, Hiashi dan Inoichi tidak ingin kedua putri tercinta mereka hidup dengan kekurangan fasilitas dan keamanan yang kurang memadai. Oleh sebab itu, setelah Hiashi dan Inoichi mengetahui kedua putrinya bersikeras untuk bersekolah di luar kota kelahiran mereka –yang tentunya tanpa pengawasan langsung dari orang tua- tanpa pikir panjang kedua orang tua itu langsung membelikan dua buah apartemen mewah untuk putri mereka dengan pintu yang saling berhadapan.

"Ino-chan, kau sangat cantik." kata Hinata yang lebih mirip sebuah gumaman untuk dirinya sendiri. Tapi karena jarak mereka berdua yang dekat, Ino bisa mendengar suara Hinata yang lirih itu.

"Benarkah? Bukannya aku selalu terlihat cantik?" jawabnya sambil mengerling.

"Ya, kau benar… sebentar aku ambil tas dulu." Ucap Hinata sambil berlari kecil memasuki kamarnya.

.

.

.

"Wah…! Benarkah ini sekolah baru kita Hina-chan? Ini terlihat sangat luas dan besar sekali…" pekik Ino kegirangan. Setelah mereka menaiki bus –tanpa tersesat- selama duapuluh menit, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu. Sebuah sekolah baru dan tentunya dengan pengalaman baru yang menyenangkan bagi Yamanaka Ino. Dan sebuah sekolah yang akan mempertemukan Hyuuga Hinata dengan seseorang yang sangat ia rindukan.

"Sebaiknya kita cepat masuk Ino-chan,.. kau tak ingin terlambat di hari pertama kan?" ucapan Hinata membuyarkan lamunan Ino yang menyenangkan.

"Ah! Kau benar Hina-chan, lebih baik kita membaur dengan siswa baru yang lainnya dan segera mencari kelas kita ayo!" jawabnya sambil berlari dan tak lupa ia menggenggam tangan Hinata agar mereka tak terpisah dalam lautan manusia dengan seragam yang sama.

"Woa! Kita sekelas Hina-chan!" pekik Ino girang sambil mengguncang-guncang tubuh Hinata setelah mereka melihat daftar pembagian kelas untuk siswa baru di papan nama.

"I-iya Ino-chan?" balas Hinata dengan suara lembut.

.

.

.

Kelas X-II terletak di lantai tiga gedung yang berlantai lima itu. Hinata dan Ino sangat bersyukur karena mereka tidak perlu tersesat terlebih dahulu untuk menemukan kelas mereka.

"Hina-chan, apa benar rambut merah itu bersekolah disini?" Tanya Ino ketika mereka berdua istirahat dan memutuskan untuk makan di kantin sekolah.

"Eh?" Hinata memerah.

"Hah… sudah kubilang Hina-chan? Kau tak perlu menyembunyikan niatmu itu." Ino terkikik melihat Hinata menunduk sambil menggigiti sedotan minumannya.

"Jadi, kenapa aku belum melihatnya hm?" imbuh Ino kemudian.

"Ehm, a-aku yakin Ino-chan, dia sekolah disini. A-aku sudah mencari tahu semuanya sebelum memutuskan untuk bersekolah disini." ungkap Hinata jujur pada sahabat blondenya itu. Sekarang wajahnya benar-benar memerah.

"Hah… mungkin si menyebalkan itu sedang bersembunyi di suatu tempat." jawab Ino. Gadis itu memang tidak menyukai pemuda yang sedang mereka bicarakan. Banyak hal yang membuat Ino begitu anti pada pemuda itu. Salah satunya adalah sikapnya yang angkuh dan pemuda itu sama sekali tidak perah mempedulikan Hinata yang terus mengejarnya. Ino benci. Karena pemuda itu membuat sahabat baiknya itu lemah dan tak pernah berhenti mengharapkan pemuda yang tidak pernah mempedulikannya. Ino tak habis pikir, Hinata cantik. Dulu sewaktu mereka masih bersekolah di Suna Junior high school, tidak hanya satu pria yang mengantri untuk mendapatkan cintanya. Namun tidak seorangpun yang mampu menarik hati Hinata untuk berpaling pada pemuda berambut merah –yang sialnya pemuda itu berjarak bermil-mil jauhnya dari mereka dan sama sekali tidak mereka ketahui. Ketika gadis berpupil aquamarine itu sedang sibuk dengan isi pikirannya, tiba-tiba ia bisa mendengar kegaduhan dari sebagian besar penghuni kantin itu.

Dan ketika pandangan matanya tertuju pada Hinata yang duduk dihadapannya -tidak mengalihkan objek tatapannya dari sesuatu- yang entah apa itu dibelakangnya, Ino segera menolehkan kepalanya ke belakang. Dan dengan tatapan yang hampir sama dengan Hinata -terpaku- ia sama sekali tak percaya bahwa pemuda berambut merah yang dulu sewaktu di sekolah dasar sangat menyebalkan baginya, menjelma menjadi seseorang yang terlihat begitu sempurna. Rambut merahnya yang berantakan namun terlihat keren. Kulitnya yang putih, tubuh tegap dengan tinggi di atas rata-rata, hidung mancung ditambah dengan bibirnya yang terkatup namun terlihat sangat menggairahkan. Seragam yang terkesan berantakan itu sama sekali tidak mempengaruhi 'nilai jualnya'. Oh shiit! Ada apa denganku ini? Benaknya menjerit frustasi. Ia berusaha mengembalikan kesadarannya kembali sebelum lehernya pegal karena terus-terusan menengok. Dan ketika aquamarine itu menatap Hinata yang bagai kehilangan jiwanya, Ino kembali mendesah. Jangankan Hinata –yang memang begitu mengagumi pemuda itu- sedangkan dirinya saja yang dulunya begitu membencinya, sempat terpesona beberapa detik. Oke dia mungkin memang tampan tapi gadis pirang kuncir kuda itu masih yakin seratus persen bahwa, perangai buruk Sabaku Gaara belumlah berubah.

Sabaku Gaara. Putra seorang konglomerat paling kaya di Sunagakure. Bahkan mungkin diseluruh Jepang. Teman masa kecil Hyuuga Hinata dan Yamanaka Ino. Pemuda yang membuat sahabatnya itu memimpikan untuk satu sekolah lagi dengan pemuda merah itu setelah berpisah selama empat tahun. Mungkin memang salahnya, seandainya Hinata tidak pernah bertemu dengan Sabaku Gaara –yang merupakan sahabat sepupunya Namikaze Naruto- maka gadis itu tidak akan terpaku selama ini pada pemuda yang tidak pernah menganggapnya ada. Putri tunggal Yamanaka Inoichi itu, benar-benar heran pada gadis berpupil amethyst indah itu –kenapa gadis selembut Hyuuga Hinata bisa mencintai Sabaku Gaara yang seperti iblis tanpa perasaan? Sisi manakah dari seorang Sabaku Gaara yang membuat gadis manis itu sama sekali tidak bisa memalingkan hatinya pada pemuda lain? Oh kepala Ino serasa pecah setiap kali otaknya ia gunakan untuk memikirkan –kenapa Hyuuga Hinata bisa jatuh cinta dengan Sabaku Gaara yang seperti itu.

"Hinata? Kau baik-baik sajakan?" tanyanya pada gadis bersurai indigo itu. Sejak kejadian di kantin beberapa saat lalu, Hinata terlihat begitu murung. Tidak ada ekspresi bahagia layaknya seorang yang sudah lama menantikan hari –dimana bisa bertemu kembali dengan seseorang yang sangat di rindukan.

"Y-ya, aku baik-baik saja Ino-chan," jawab Hinata sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.

"Kau masih punya banyak kesempatan untuk menemui Gaara. Bukankah sekarang kalian satu sekolah hm?" tukasnya memberi semangat pada Hinata. Ya. Kejadian di kantin tadi, memang membuat Hinata sedih. Pasalnya, pemuda itu sama sekali tak menghampiri mereka atau sekedar menyapa. Sabaku Gaara melihat dua gadis yang terduduk di depan jendela kantin itu. Tapi ia hanya mengalihkan pandangannya sejenak dan kembali sibuk dengan teman-temannya yang terlihat sama menyebalkannya seperti pemuda itu. Ino yakin, bahwa Gaara tidak akan lupa dengan mereka –terutama dengan dirinya- walaupun sudah tidak bertemu selama empat tahun, tapi mereka pernah satu sekolah dan rumah mereka yang berdekatan.

.

.

.

Dua gadis cantik itu berjalan diam di koridor sekolah yang sudah mulai nampak sepi. Hinata masih terus berkelana dengan pikirannya. Ia memang sudah mengira bahwa kejadian seperti di kantin tadi pasti akan terjadi. Tapi ia tidak menyangka dampaknya akan sesakit ini. Tidak. Ia tidak akan menyerah. Ini baru mulai. Dan ia sama sekali belum melakukan apapun untuk menggapai Sabaku Gaara.

"Ino-chan, bagaimana kalau kita pergi ke kedai es krim yang kemarin?" ucap Hinata memecah keheningan. Senyum manis terpatri di wajah putihnya dengan rona merah alami di pipinya. Ino pun ikut tersenyum dan mengangguk semangat sebelum menggandeng tangan sahabatnya keluar dari gedung sekolah. Senyuman kedua gadis itu mendadak luntur ketika kedua pasang mata berbeda warna itu menangkap sosok seorang pemuda bersandar di koridor yang akan mereka lewati. Hinata langsung menghentikan langkahnya. Pemuda itu belum bergeming dari tempatnya. Tatapan mata jade yang tajam seakan mampu meremukkan kedua gadis yang mendadak berdiri terpaku.

"Lama tidak berjumpa Gaara." Suara Ino memecah keheningan diantara mereka. Hinata hanya terdiam seakan tidak ada yang mampu ia lakukan. Sedangkan pemuda itu masih belum menanggapi ucapan gadis Yamanaka itu.

"Kukira kau sudah melupakan kami." imbuhnya.

"Hn. Aku hanya ingin menyambut teman lama." ucapnya. Tatapan jade dan amethyst sempat bersirobok selama beberapa detik sebelum akhirnya Hinata memutuskan kontak mata itu.

"Aku tidak menyangka kalian bersekolah disini." imbuhnya dengan suara datar.

"Kami hanya ingin berganti suasana. Konoha sangat nyaman pantas saja kau betah tinggal disini. Benar kan Hinata?" Ia menoleh pada Hinata. Sedangkan Hinata yang dari tadi hanya terdiam, belum mampu mengeluarkan suaranya. Alhasil ia hanya menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan.

"Hn. Kau hanya belum lihat sisi buruknya. Sebentar lagi kalian akan menyaksikannya sendiri." ungkapnya. Setelah itu ia langsung meninggalkan dua gadis yang masih terdiam di tempat.

.

.

.

"Ada banyak gadis cantik yang sekarang menjadi junior kita," ungkap seseorang sambil menghisap nikotin.

"Hn, aku belum merasa bosan dengan si rambut cokelat itu," jawab pemuda yang duduk dengan menenggak minuman sodanya.

"Ck, benarkah? ada jeda sejenak, " sejak kapan kau bertahan lebih dari satu minggu dengan seorang gadis eh?" pemuda berambut putih itu terkekeh.

"…"

Melihat tak ada tanggapan dari teman yang duduk disampingnya, akhirnya pemuda bergigi runcing itu mengeluarkan suaranya kembali.

"Aku yakin, kau akan tertarik dengan yang satu ini," ia menyeringai. Pemuda bersurai hitam itu mengalihkan tatapannya sejenak pada sahabatnya yang kembali menghisap rokoknya. Ia menunggu kelanjutan kalimat itu.

"Ada dua gadis cantik yang merupakan teman lama Sabaku itu. Mungkin…kau bisa melakukan sesuatu dengan mereka," seringaiannya makin lebar. Sedangkan pemuda bermanik obsidian itu hanya terdiam sambil mengamati langit cerah di musim semi. Ya. Bagi pemuda bermarga Uchiha itu, sesuatu yang berhubungan dengan Sabaku Gaara adalah hal menarik yang tidak boleh terlewatkan. Ia mengalihkan pandangannya pada lawan bicaranya. Seringaian menakutkan tersungging dari bibirnya yang seksi.

"Secepat itukah kau menemukan informasi tentang mereka," suaranya terdengar berat dan datar tanpa intonasi sebagaimana kalimat tanya pada umumnya.

"Kau melupakan sesuatu tentangku Uchiha?" pemuda itu menyeringai, "bahwa keahlianku selain meniduri wanita adalah pencari informasi yang handal," ia terkekeh menanggapi ucapannya sendiri. Sedangkan Uchiha bungsu itu hanya mendecih dengan tatapan matanya yang hampir selalu terlihat tajam.

.

.

.

Satu minggu sudah mereka bersekolah di Konoha High School. Dan dalam waktu yang sesingkat itu, Yamanaka Ino sudah mampu mengambil banyak perhatian siswa-siswi disana. Kepiawaiannya dalam hal bersosialisasi dan juga karena kecantikannya, membuatnya banyak dikenal oleh sesama teman seangkatannya maupun senpainya. Hal itu akhirnya juga berdampak pada Hinata yang selalu terlihat bersama Ino. Walaupun ia terlihat lebih sering diam dan menyembunyikan diri. Hinata tidak suka jika dirinya jadi perhatian banyak orang. Tapi ia sudah terbiasa dengan hal itu sejak dulu –tepatnya sejak ia berteman dengan Yamanaka Ino yang selalu terlihat ceria, bersemangat dan selalu populer. Tapi bukan berarti tanpa Yamanaka Ino, Hinata tidak akan di kenal banyak orang. Ia cantik walau sedikit pemalu dan cenderung tertutup. Seandainya ia mempunyai sifat seperti sahabatnya, tak ayal ia juga akan mudah dikenal.

.

.

.

Dering bel tanda berakhirnya pelajaran telah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Gadis berponi panjang itu masih kelimpungan mencari sahabat lavendernya yang menghilang sejak jam istirahat. Ia sudah beberapa kali ketoilet –tempat yang terakhir kali didatangi Hinata- namun hasilnya nihil. Ia sudah bertanya pada setiap anak yang ia jumpai di koridor. Namun tidak ada yang melihat Hinata. Ia juga sudah mencari ke belakang sekolah dan gudang namun hasilnya sama saja. Ino mulai panik. Ia takut kejadian buruk menimpa sahabatnya yang memang dulu –sewaktu di Suna- sering dikerjai oleh para senpai. Tapi Ino berharap semoga di Konoha akan lain ceritanya. Pikirannya hampir buntu, ketika tiba-tiba terlintas dalam benaknya –satu tempat yang belum ia kunjungi- atap sekolah. Tapi selama ia bersekolah disini –yang baru beberapa hari- Ino dan Hinata belum pernah ke atap. Dan ia tidak tahu jalan menuju ke lantai teratas gedung sekolah megah itu. Dengan semangat, Ino lalu kembali berlari mencari tangga untuk naik kelantai empat. Beruntung, ia bertemu salah satu sisiwi yang belum pulang. Alhasil ia tidak perlu repot untuk mencari tangga menuju ke atap.

.

.

"Hinata-chan! Kau darimana saja? Kenapa sehabis istirahat kau tak masuk kelas lagi? Ino langsung berteriak ketika membuka pintu atap, ia melihat sesosok gadis berambut indigo panjang yang sedang duduk memunggunginya. Gadis lavender itu sontak terkejut ketika mendengar suara keras dari belakang punggungnya.

"Eh? Ino-chan?"

Dengan tergesa, Ino langsung mendudukkan dirinya di samping Hinata.

"Kenapa setelah dari toilet kau tidak kembali ke kelas lagi Hina-chan? Apa kau sekarang jadi suka bolos eh?Aku mencarimu dari tadi dan rupanya kau disini, dan kau sudah berhasil membuat jantungku hampir meledak Hinata," ucapnya bertubi-tubi dengan nafas yang terengah tanpa jeda.

"Ano, gomennasai Ino-chan… aku….aku," dengan tertunduk Hinata tak mampu melanjutkan ucapannya.

"Apakah terjadi sesuatu tadi?" tanya Ino memastikan. Nafasnya sudah mulai teratur kembali. Dengan memainkan dua ujung telunjuknya, Hinata kembali membuka suaranya lagi.

"T-Tadi…um… aku bertemu Gaara-kun," suaranya terdengar begitu lirih.

"Apa?" tidak ada kata lain yang meluncur dari bibir gadis blonde itu. Dengan ragu, Hinata kembali melanjutkan ucapannya. Walaupun sedikit takut karena melihat ekspresi kaget dari sahabat pirangnya tersebut.

"Dia t-tadi menyelamatkanku lagi Ino-chan," pipinya sudah sempurna memerah. Setiap kali nama Sabaku bungsu meluncur dari bibir merahnya -hampir- selalu pipi putih gadis itu akan merona.

"Apakah ada anak kurang ajar yang berani mengganggumu Hina-chan?" tanya Ino antusias.

"Y-ya, tapi tidak-apa-apa Ino-chan" Hinata menyunggingkan senyuman manisnya untuk menenangkan sahabatnya.

"Aku tidak percaya. Kau selalu mampu menutup-nutupinya, tapi tidak denganku Hina-chan?" ucapan itu penuh penekanan. Sehingga mau tak mau Hinata menceritakan kejadian yang menimpanya tadi.

.

.

.

Flashback

..

Triiiiing

.

Bunyi bel itu terdengar begitu nyaring dan membahagiakan bagi semua siswa Konoha High. Pasalnya, karena energi mereka yang terkuras untuk berpikir, membuat perut mereka kembali meminta diisi.

"Ino-chan, kita makan dikelas saja ya? Aku sudah membuat bekal yang cukup untuk kita berdua," ucap Hinata sewaktu melihat semua teman sekelasnya berebut untuk keluar.

"Ya Hina-chan," jawab Ino dengan senyuman yang tersungging. Dari dulu Hinata memang sering membawa bekal untuk mereka berdua. Ia sangat beruntung mempunyai sahabat yang jago memasak dan baik seperti Hinata. Hinata mulai mengeluarkan bekalnya dari dalam tasnya. Mata aquamarine Ino berbinar melihat berbagai macam hidangan lezat tersaji di depannya.

"Um… Ino-chan, aku ke toilet sebentar. Kau makanlah dulu," kata Hinata sambil berdiri.

"Ya, jangan lama-lama Hina-chan, atau kau tak akan kebagian," canda Ino. Hinata hanya mengangguk diiringi dengan senyuman kecil sebelum ia berjalan keluar kelas.

Setelah ia keluar dari toilet, ia memutuskan untuk ke kantin membeli minuman. Kerena kantin lantai tiga penuh sesak, Hinata memutuskan untuk mencari mesin penjual minuman. Akhirnya ia berjalan menyusuri koridor menuju kedekat tangga lantai empat –karena ia pernah melihat mesin penjual minuman disana. Hinata tersenyum senang ketika melihat mesin itu tidak penuh dengan siswa yang ingin membeli minuman. Hanya ada satu siswa yang sedang memasukkan koin ke dalam mesin dan satunya lagi berdiri bersandar pada dinding. Mata siswa yang bersandar pada dinding itu, tidak henti-hentinya menatap Hinata yang berdiri menunduk. Hinata merasa risih ditatap seperti itu.

"Hei Suigetsu! Kau mau cola atau teh hijau?" tanya siswa yang sedang berdiri di depan mesin penjual minuman. Yang ditanya hanya menyunggingkan senyuman mengerikan yang anehnya, ia tujukan pada gadis bersurai indigo yang berdiri tidak jauh darinya.

"Aku mau yang ini," jawabnya ambigu. Karena si pemuda yang mengajukan pertanyaan tadi merasa bingung, akhirnya ia menolehkan kepalanya kebelakang. Ia pun akhirnya ikut tersenyum ketika melihat sesosok gadis berambut panjang yang sedang menundukkan kepalanya.

"Hei, kau murid baru kan?" tanyanya mengabaikan mesin minuman yang sudah berbunyi menandakan minuman yang di beli sudah keluar.

"I-iya…" jawab Hinata dengan menunduk.

"Bisakah kau ikut denganku sebentar? Ada yang ingin kutunjukan padamu," ucap siswa yang bernama Suigetsu itu. Hinata masih diam. Ia sibuk berpikir, tentang sesuatu yang ingin ditunjukan senpainya tersebut. Hinata merasa tidak mempunyai kepentingan apapun dengan para senpai apalagi dengan senpai yang baru pertama kali ia lihat ini.

"Hanya sebentar, dan kau tidak perlu takut padaku. Apa perlu aku memperkenalkan diri terlebih dahulu hm?" Suigetsu berjalan hingga jaraknya hanya tinggal beberapa langkah dari Hinata yang masih diam mematung. Hinata ragu. Antara mengikuti ajakan senpainya ini atau menolaknya dengan baik-baik. Tapi sekali lagi ia merasa tidak enak jika harus menolak ajakan seseorang apalagi senpainya. Akhirnya, dengan mengenyahkan semua pikiran buruknya, Hinata menganggukan kepalanya.

"Bagus," seringaian dua siswa itu makin lebar kala melihat persetujuan dari kouhai-nya.

Mereka berjalan menyusuri koridor lantai tiga menuju pintu yang menghubungkan langsung dengan balkon samping lantai tiga. Koridor mulai terasa sepi karena sudah jauh dari ruang kelas. Yang ada hanyalah ruangan seperti gudang dan toilet pria. Hinata mulai merasa takut.

"Ano.., s-senpai, a-apakah masih jauh?" tanya Hinata dengan suara lembutnya.

"Tinggal satu belokan lagi kita sampai," jawab siswa satunya yang tidak di ketahui namanya.

.

.

.

Pemuda mersurai merah itu sedang bersandar pada pagar pembatas atap sekolahnya. Pemuda berperawakan tinggi tegap, memiliki sepasang mata jade yang indah, berkulit putih dan berparas tampan. Pembawaannya yang tenang dan misterius. Itulah Sabaku Gaara. Kesempurnaan fisik yang ia miliki membuatnya digilai hampir separuh populasi siswi di sekolah elit ini. Seandainya tidak ada saingan terberatnya yang mempunyai fisik sama sempurnanya dengannya dan kepribadian yang hampir sama pula -yang merupakan rivalnya dalam segala hal- mungkin hampir semua gadis di sekolah ini akan menggilainya.

"Gaara, tadi aku melihat si bodoh Suigetsu membawa seorang gadis cantik," ucap seseorang yang tiba-tiba mengusik Sabaku Gaara yang sedang menyesap nikotinnya di atap sekolah.

"Hn, kau mengganguku hanya untuk berbicara omong kosong?" jawabnya sarkatik sambil memejamkan jadenya yang tajam. Pemuda yang dianggap Gaara sebagai pengganggu itu hanya terkekeh menanggapi perkataan sahabatnya yang terkenal tajam.

"Tentu saja, aku tidak akan memberitahumu seandainya yang dibawa Suigetsu bukanlah gadis yang kulihat .…kau temui tempo hari itu,"

Gaara masih terdiam menikmati setiap hisapan rokok di bibir tipisnya. Begitu banyak gadis yang ia temui. Bahkan hampir berbeda tiap harinya. Jadi, ia sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi –salah satu gadis yang pernah ia temui dibawa pria lain.

"Ah..! kasian sekali gadis cantik itu. Aku tak menyangka dia akan menjadi korban si gigi runcing itu atau malah mungkin saja Sasuke," pemuda itu menyalakan rokok yang sudah bertengger di bibirnya. Gaara sama sekali tidak merespon-

"Gadis berambut hitam panjang dan terlihat begitu polos. Dia adalah murid baru, jadi mungkin belum tahu siapa sebenarnya si gigi runcing itu yang bisa kapan saja 'mencabik-cabiknya'."

-sampai ia mendengar kelanjutan kata-kata sahabatnya yang sekarang berdiri di sampingnya.

"Apa kau bilang?" tanya Gaara. Reflek ia membuang puntung rokok yang masih separuh itu. Pandangan matanya terlihat begitu tajam.

"Brengsek," ia mendesis. Setelah itu, ia segera membuka pintu atap dengan begitu kasar. Meninggalkan sahabatnya yang hanya menyeringai melihat tingkah laku seorang Sabaku Gaara yang tidak biasa.

.

.

.

Hinata terlihat bingung, ketika ia sudah menjejakkan kakinya di balkon lantai tiga.

"S-senpai, tidak ada siapapun disini,"kata Hinata dengan suara lembutnya. Suigetsu yang berdiri di depan Hinata hanya menampakkan seringaiannya.

"Tenangla Hinata-chan, sebelum kau bertemu dengannya… bagaimana kalau kita bersenang-senang sebentar?" tanya pemuda berambut silver itu. Hinata membulatkan manik pearlnya. Ia tidak tahu kalau senpai-nya ini sudah mengetahui namanya dan juga mulai merasa takut dengan maksud kata-kata yang keluar dari bibir pemuda itu. Ia bukanlah gadis bodoh yang tidak mengerti apa makna dari kata-kata itu.

"Maaf, senpai….kalau sudah tidak ada urusan lagi, a-aku akan pergi," ucap Hinata sambil berbalik. Namun tiba-tiba tangan Suigetsu menahannya.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja Hinata-chan, setidaknya…" Suigetsu memberikan jeda. Ia menarik Hinata mendekat. "berikan aku sebuah ciuman" bisiknya tepat di telinga Hinata. Sontak Hinata langsung mencoba melepaskan tangannya.

"L-lepaskan tanganku s-senpai,"Hinata berusaha memberontak. Namun cengkeraman Suigetsu makin mengerat. Ia juga sudah mencondongkan wajahnya mendekati wajah Hinata yang terus menghindar.

.

BRAAAK

.

Pintu di belakang mereka menjeplak terbuka dengan suara keras. Karena kaget, seketika Suigetsu melepaskan cengkeramannya pada tangan Hinata. Tiga pasang mata itu, saling berpandangan dengan tiga tatapan mata yang berbeda. Hinata dengan tatapan bahagianya mengetahui siapa yang datang menolongnya. Suigetsu dengan tatapan yang menyiratkan ketakutan karena ia tahu, pemuda yang sekarang sedang menatapnya tajam itu, bukanlah lawannya. Dan satu pasang mata dengan tatapan tajam menakutkannya yang sanggup mengintimidasi siapaun lawannya. Pemuda itu berjalan mendekat. Suigetsu terus mundur sampai ia terpojok pada pagar pembatas balkon.

"Sekali lagi kau menyentuhnya, aku tidak akan segan-segan menjatuhkanmu dari sini," ucapannya yang terkesan datar namun mampu meremangkan bulu kuduk bagi siapaun yang mendengarnya. Ia mencengkeram kerah baju seragam Suigetsu sampai pemuda itu merasa tercekik. Sedangkan Hinata ditempatnya, memandang kedua orang itu dengan tatapan ketakutan. Ia takut pemuda bersurai merah itu menjatuhkan mangsanya. Mengingat pagar pembatas itu yang hanya sebatas pinggang orang dewasa.

"Apa Sasuke yang menyuruhmu?" tanya Gaara dengan nada yang sama.

"…" tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Suigetsu. Akhirnya Gaara hanya mendecih setelah melepaskan cengkeramannya. Ia langsung menarik tangan Hinata untuk keluar dari tempat itu. Dan sebelum keluar, sekali lagi ia menghadiahkan Suigetsu dengan tatapannya yang mematikan.

Hinata hanya diam mengikuti Gaara yang terus mencengkeram pergelangan tangannya. Koridor sudah sepenuhnya sepi karena kegiatan belajar mengajar yang sudah mulai. Namun entah mengapa Hinata sedang tidak ingin kembali ke kelasnya. Ia ingin mengikuti Gaara kemanapun pemuda itu membawanya. Sampai akhirnya, Gaara membuka sebuah pintu di lantai lima. Itulah atap sekolah yang menjadi tempat favorit Gaara untuk menyendiri. Gaara langsung melepaskan tangannya dari tangan Hinata setelah ia bersandar pada pagar pembatas. Ia kembali mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Angin berhembus menyapu rambut merahnya yang berantakan. Namun semua itu malah membuatnya semakin terlihat mempesona. Hinata terdiam tanpa berkedip menyaksikan pemandangan indah yang tersaji dehadapannya. Gaara yang tidak sadar –dirinya sedang dijadikan objek pandangan bagi gadis yang berdiri di hadapannya- itu terlihat sibuk menyalakan sebatang rokok yang telah terselip di bibirnya yang seksi.

"Kau masih saja bodoh," suara Gaara kembali menyadarkan Hinata.

"Kukira kau sudah semakin pintar setelah bertahun-tahun tidak bertemu," imbuh Gaara kemudian.

"Gomen ne Gaara-kun," sahut Hinata dengan tertunduk.

"Konoha bukanlah kota yang menyenangkan seperti dalam imajinasimu itu. Termasuk sekolah ini. Mulai sekarang jangan percaya pada siapapun sebelum kau tahu siapa mereka," kalimat yang lumayan panjang terlontar dari bibir seorang Sabaku Gaara yang terkenal irit bicara. Hinata merasa sangat senang mendengar kalimat itu. Setidaknya sekarang ia tahu bahwa Gaara masih memperdulikannya. Sejak di sekolah dasar dulu, Gaara lah yang selalu menolongnya setiap kali ia diganggu teman-temannya, walaupun setelah itu ia akan kembali tidak mempedulikan Hinata. Gaara lah yang selalu mengantarnya pulang setiap kali Hinata terluka –entah karena terjatuh atau karena kejahilan teman-temannya, walaupun tanpa sepatah katapun keluar dari bibir pemuda itu. Dia memang tidak banyak bicara, tapi ia selalu tahu setiap kali Hinata membutuhkan bantuan. Sejak saat itu, Hinata tidak bisa berpaling dari pemuda bermata jade itu. Ia selalu ingin dekat dengan Gaara walaupun Gaara selalu terlihat mengacuhkannya. Sampai pada saat Gaara memutuskan bersekolah di Konoha karena kamauannya sendiri. Tempat yang begitu jauh dari Sunagakure. Hinata begitu kehilangan dan tak sanggup melupakannya walaupun mereka tidak pernah bertemu. Sampai akhirnya Hinata memutuskan untuk menyusul Gaara setelah menyelesaikan Junior high school-nya.

"Arigatou, Gaara-kun sudah menolongku," pipinya bersemu merah kala mengucapkan kata-kata itu.

"Anggap saja itu keberuntunganmu. Aku tidak suka melakukan sesuatu yang sama dua kali,"

Kalimat yang terlontar berikutnya dari bibir yang terus mengepulkan asap tersebut benar-benar membuat hati Hinata berdenyut sakit. Apakah artinya dia tidak akan menolong Hinata lagi apabila terjadi suatu hal yang buruk padanya? Tampa sadar mata bulan itu mulai berkaca-kaca. Melihat reaksi gadis yang berdiri mematung dihadapanya, Gaara mengeluarkan seringaiannya. Ia berjalan mendekati Hinata setelah menginjak puntung rokoknya.

"Kau pikir, aku masih seperti yang dulu? Ingatlah Hinata, aku juga bisa menjadikanmu 'mangsaku' . Jadi jangan pernah berpikir lagi bahwa aku adalah pria yang baik," seringaiannya melebar setelah mengakhiri ucapannya. Setelah itu, Gaara langsung keluar. Meninggalkan Hinata dengan sebuah luka yang ia torehkan di hatinya yang lembut.

.

.

TBC

.

.

Tanks For Reading Minna….

.

-Bird